Ilustrasi Pemilihan Umum 2024 |
Pengantar
Menurut Eddy O.S. Hiariej dalam konteks pidana
pelanggaran pemilu secara garis besar dibagi menjadi tindak pidana di bidang
pemilu dan tindak pidana pemilu.[1] Tindak
Pidana di bidang Pemilu mempunya dua pengertian; pertama, setiap
tindak pidana yang dilakukan dalam penyelenggaraan pemilu dan diatur dalam
Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (Pemilu) dan peraturan perundang-undangan
pidana lain di luar Undang-Undang Pemilu. Kedua, Tindak Pidana
Pemilu dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pemilu.
Sedangkan, pengertian Tindak Pidana Pemilu adalah
tindak pidana yang dilakukan dalam penyelenggaraan pemilu dan diatur dalam
Undang-Undang Pemilu.
Tindak pidana pemilu merupakan bagian dari tindak
pidana di bidang pemilu.[2] Dalam
studi kejahatan, tindak pidana pemilu juga dapat dimasukkan dalam Tindak Pidana
Korupsi. 2 (dua) dari 9 (Sembilan) tipe korupsi berkaitan langsung dengan
pemilu adalah Election Fraud dan Corruption Campaign
Practice.
Election Fraud adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan pemilihan
umum. Termasuk dalam election fraud adalah pendaftaran pemilih
yang sengaja dilakukan secara tidak akurat, kecurangan dalam
penghitungan suara dan membayar sejumlah uang tertentu atau memberi
uang atau janji agar memilih calon tertentu dalam Pemilu.
Sedangkan, Corrupt Campaign Practice adalah
praktik kampanye dengan menggunakan fasilitas negara maupun uang
negara oleh calon yang sedang memegang kekuasaan negara. Sehingga tindakan
memberi materi atau janji atau suap sebagaimana dalam ketentuan
pelanggaran administrasi sebagaimana diulas pada bagian awal
tulisan ini secara teoritis masuk tindak pidana pemilu
sebagai Election Fraud. Sementara suap/korupsi yang
dilakukan oleh pejabat pemerintah dengan menggunakan fasilitas negara untuk
meraih dukungan dapat masuk kategori corrupt campaign
practice.
Bentuk-Bentuk dan Pengaturan Mengenai Tindak Pidana Pemilu
Setelah mengetahui sedikit gambaran mengenai Tindak
Pidana Pemilu yang kami jelaskan di atas, Anda harus memahami terlebih dahulu
mengenai “Larangan Dalam Kampanye” Sebagaimana ketentuan Pasal 280
ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang
menyebutkan bahwa:
“Pelaksana,
peserta, dan tim Kampanye Pemilu dilarang:
a.
Mempersoalkan
dasar negara Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.
Melakukan
kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c.
Menghina
seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta Pemilu yang lain;
d.
Menghasut dan
mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat;
e.
Mengganggu
ketertiban umum;
f.
Mengancam
untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada
seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau Peserta Pemilu yang lain;
g.
Merusak
dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye Peserta Pemilu;
h.
Menggunakan
fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan;
i.
Membawa
atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut selain dari tanda gambar
dan/atau atribut Peserta Pemilu yang bersangkutan; dan
j.
Menjanjikan
atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye Pemilu.”
Bahwa yang dimaksud dengan “ketertiban umum” adalah
suatu keadaan yang memungkinkan penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan umum,
dan kegiatan masyarakat dapat berlangsung sebagaimana biasanya. (vide Penjelasan
Pasal 280 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum) Sedangkan, Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat
pendidikan dapat digunakan jika Peserta Pemilu hadir tanpa atribut Kampanye
Pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat
ibadah, dan tempat Pendidikan dan yang dimaksud dengan ”tempat pendidikan”
adalah Gedung dan/atau halaman sekolah dan/atau perguruan tinggi. (vide Penjelasan
Pasal 280 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum)
Kemudian, Pelaksana dan/atau tim kampanye dalam
kegiatan Kampanye Pemilu dilarang mengikutsertakan:
a.
Ketua, wakil
ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung, dan hakim pada semua badan
peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan hakim konstitusi pada Mahkamah
Konstitusi;
b.
Ketua, wakil
ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
c.
Gubernur, deputi
gubernur senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia;
d.
Direksi,
komisaris, dewan pengawas dan karyawan badan usaha milik negara/badan usaha
milik daerah;
e.
Pejabat negara
bukan anggota partai politik yang menjabat sebagai pimpinan di lembaga
nonstruktural;
f.
Aparatur sipil
negara;
g.
Anggota Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
h.
Kepala desa;
i.
Perangkat desa;
j.
Anggota badan
permusyawaratan desa; dan
k.
Warga Negara
Indonesia yang tidak memiliki hak memilih. (vide Pasal 280
ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Dan setiap orang sebagaimana dimaksud di atas dilarang
ikut serta sebagai pelaksana dan tim Kampanye Pemilu. (vide Pasal
280 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Pelanggaran terhadap larangan ketentuan pada ayat (1)
huruf c, huruf f, huruf g, huruf i, dan huruf j, dan ayat (2) merupakan tindak
pidana Pemilu. (vide (vide Pasal
280 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Kemudian, mengenai Ketentuan Pidana dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (“Pemilu”),
diatur dalam BAB II Ketentuan Pidana Pasal 488 sampai dengan Pasal
554 Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, antara
lain:
Tindak Pidana Memberikan Keterangan Tidak Benar Mengenai Diri Sendiri atau Orang Lain Untuk Pengisian Daftar Pemilih
Sebagaimana ketentuan Pasal 488 Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan bahwa:
“Setiap
orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri
sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian
daftar Pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203, dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00
(dua belas juta rupiah).”
Adapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, tersebut ialah:
“Setiap
orang dilarang memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri
atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar
Pemilih.”
Dalam Penjelasan Pasal 203 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan bahwa:
“Yang
dimaksud dengan “hal yang diperlukan untuk pengisian daftar Pemilih” antara
lain mengenai nama, tempat dan tanggal lahir, gelar, alamat, jenis kelamin, dan
status perkawinan.”
Tindak Pidana Tidak Mengumumkan Perbaikan Daftar Pemilih Sementara (DPS) oleh PPS atau PPLN
Sebagaimana ketentuan Pasal 489
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan
bahwa:
“Setiap
anggota PPS atau PPLN yang dengan sengaja tidak mengumumkan dan/atau
memperbaiki daftar pemilih sementara setelah mendapat masukan dari masyarakat
dan/atau Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206, Pasal 207, dan
Pasal 213, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda
paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).”
Yang dimaksud dengan PPS adalah Panitia Pemungutan
Suara yaitu panitia yang dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota untuk melaksanakan
Pemilu di tingkat kelurahan/desa atau nama lain. (vide Pasal
1 Angka 12 Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Sedangkan, yang dimaksud dengan PPLN adalah Panitia
Pemilihan Luar Negeri yaitu panitia yang dibentuk oleh KPU untuk melaksanakan
Pemilu di luar negeri. (vide Pasal 1 Angka 13 Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Bahwa Daftar Pemilih Sementara (DPS) disusun oleh PPS
berbasis domisili di wilayah Rukun Tetangga (RT). Daftar Pemilih Sementara
(DPS) sebagaimana dimaksud disusun paling lambat 1 (satu) bulan sejak
berakhirnya Pemutakhiran Data Pemilih. (vide Pasal 206 ayat
(1) dan ayat (2) Pasal 1 Angka 13 Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum)
Pemutakhiran Data Pemilih yang dimaksud adalah
dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu
terakhir yang dimutakhirkan secara berkelanjutan. Pemutakhiran data Pemilih
oleh KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud diselesaikan paling lama 3 (tiga)
bulan setelah diterimanya Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu yaitu Data
Kependudukan yang telah disinkronkan oleh Pemerintah bersama KPU yang harus
diserahkan dalam waktu yang bersamaan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah paling
lambat 14 (empat belas) bulan sebelum hari pemungutan suara dengan mekanisme:
a.
Menteri Dalam
Negeri menyerahkan kepada KPU; dan
b.
Menteri Luar
Negeri menyerahkan kepada KPU. (vide Pasal 204 ayat (1) dan
ayat (2) jo. Pasal 201 ayat (6) Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Kemudian, Daftar Pemilih Sementara (DPS) tadi
diumumkan selama 14 (empat belas) hari oleh PPS untuk mendapatkan masukan dan
tanggapan masyarakat. Daftar Pemilih Sementara yang diumumkan tadi, salinannya
harus diberikan oleh PPS melalui PPK kepada yang mewakili Peserta Pemilu di
tingkat kecamatan sebagai bahan untuk mendapatkan masukan dan tanggapan.
Yang dimaksud PPK di sini adalah Panitia Pemilihan
Kecamatan yaitu panitia yang dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota untuk
melaksanakan Pemilu di tingkat kecamatan atau nama lain. (vide Pasal
1 Angka 11 Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Masukan dan tanggapan masyarakat dan/atau Peserta
Pemilu sebagaimana dimaksud diterima PPS paling lama 21 (dua puluh satu) hari
sejak daftar pemilih sementara diumumkan. Kemudian, PPS wajib memperbaiki
daftar pemilih sementara berdasarkan masukan dan tanggapan masyarakat dan/atau
Peserta Pemilu paling lama 14 (empat belas) hari sejak berakhirnya masukan dan
tanggapan masyarakat dan Peserta Pemilu. (vide Pasal 206 ayat
(3), ayat (4), ayat (5),dan ayat (6) Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum)
Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan tersebut
kemudian diumumkan kembali oleh PPS selama 7 (tujuh) hari untuk mendapatkan
masukan dan tanggapan masyarakat dan/atau Peserta Pemilu. PPS wajib memperbaiki
Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan berdasarkan masukan dan tanggapan
masyarakat dan/atau Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud paling lama 14 (empat
belas) hari setelah berakhirnya pengumuman. Daftar Pemilih Sementara Hasil
Perbaikan Akhir tersebut disampaikan oleh PPS kepada KPU Kabupaten/Kota melalui
PPK untuk menyusun Daftar Pemilih Tetap (DPT). (vide Pasal
207 Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Sementara untuk PPLN, dalam menyusun daftar pemilih
sementara dilaksanakan paling lama 1 (satu) bulan sejak berakhirnya
pemutakhiran data Pemilih. Daftar pemilih sementara diumumkan selama 14
(empat belas) hari oleh PPLN untuk mendapatkan masukan dan tanggapan
masyarakat. Masukan dan tanggapan masyarakat diterima PPLN paling lama 21 (dua
puluh satu) hari sejak daftar pemilih sementara diumumkan. Kemudian, PPLN wajib
memperbaiki daftar pemilih sementara berdasarkan masukan dan tanggapan
masyarakat paling lama 7 (tujuh) hari sejak berakhirnya masukan dan tanggapan
masyarakat sebagaimana dimaksud. Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan
sebagaimana dimaksud digunakan PPLN untuk bahan penyusunan Daftar Pemilih Tetap
(DPT). (vide Pasal 213 Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum)
Tindak Pidana Kepala Desa Menguntungkan/Merugikan Peserta Pemilu
Sebagaimana ketentuan Pasal 490 Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan bahwa:
“Setiap
kepala desa atau sebutan lain yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau
melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu
dalam masa Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
Tindak Pidana Mengacau, Menghalangi, atau Menganggu Kampanye
Sebagaimana ketentuan Pasal 491 Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan bahwa:
“Setiap
orang yang mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya Kampanye Pemilu
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
Tindak Pidana Melakukan Kampanye Pemilu di Luar Jadwal yang Telah Ditetapkan oleh KPU
Sebagaimana ketentuan Pasal 492 Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan bahwa:
“Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan Kampanye Pemilu di luar jadwal yang telah
ditetapkan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk setiap Peserta
Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (2), dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00
(dua belas juta rupiah).”
Kampanye Pemilu di luar jadwal yang dimaksud adalah
yang dilakukan dengan iklan media massa cetak, media massa elektronik, dan
internet dan dengan rapat umum yang dalam pelaksanaannya dilaksanakan selama 21
(dua puluh satu) hari dan berakhir sampai dengan dimulainya Masa Tenang. (vide Pasal
276 ayat (2) Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum) Masa
Tenang adalah masa yang tidak dapat digunakan untuk melakukan aktivitas
Kampanye Pemilu. (vide Pasal 1 Angka 36 Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum)
Tindak Pidana Tim Kampanye Mengikut Sertakan Pejabat Negara dan WNI yang Tidak Memilih
Sebagaimana ketentuan Pasal 493 Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan bahwa:
“Setiap
pelaksana dan/atau tim Kampanye Pemilu yang melanggar larangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 280 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
Pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan
Kampanye Pemilu dilarang mengikutsertakan:
a.
Ketua, wakil
ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung, dan hakim pada semua badan
peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan hakim konstitusi pada Mahkamah
Konstitusi;
b.
Ketua, wakil
ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
c.
Gubernur, deputi
gubernur senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia;
d.
Direksi,
komisaris, dewan pengawas dan karyawan badan usaha milik negara/badan usaha
milik daerah;
e.
Pejabat negara
bukan anggota partai politik yang menjabat sebagai pimpinan di lembaga
nonstruktural;
f.
Aparatur sipil
negara;
g.
Anggota Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
h.
Kepala desa;
i.
Perangkat desa;
j.
Anggota badan
permusyawaratan desa; dan
k.
Warga Negara
Indonesia yang tidak memiliki hak memilih. (vide Pasal 280
ayat (2) Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Tindak Pidana kepada ASN, TNI/Polri, Kepala Desa sebagai Pelaksana atau Tim Kampanye
Sebagaimana ketentuan Pasal 494 jo. Pasal
280 ayat (3) Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum,
menyebutkan bahwa:
“Setiap
aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia, kepala desa, perangkat desa, dan/atau anggota badan
permusyawaratan desa yang melanggar larangan ikut serta sebagai pelaksana dan
tim Kampanye Pemilu dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
Tindak Pidana Pelaksana Kampanye Sengaja dan Lalai Membuat Terganggunya Pelaksanaan Kampanye
Sebagaimana ketentuan Pasal 495 Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan bahwa:
“Pelaksana
kampanye dan/atau peserta kampanye yang dengan sengaja mengakibatkan
terganggunya pelaksanaan Kampanye Pemilu di tingkat kelurahan/desa dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
“Pelaksana
kampanye dan/atau peserta kampanye yang karena kelalaiannya mengakibatkan
terganggunya pelaksanaan Kampanye Pemilu di tingkat kelurahan/desa dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).”
Tindak Pidana Peserta Pemilu Memberikan Keterangan Tidak Benar Mengenai Dana Kampanye
Sebagaimana ketentuan Pasal 496 Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan bahwa:
“Peserta
Pemilu yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana
Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 334 ayat (1), ayat (2),
dan/atau ayat (3) serta Pasal 335 ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa Peserta
Pemilu adalah partai politik untuk Pemilu anggota DPR, anggota DPRD
provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, perseorangan untuk Pemilu anggota DPD,
dan pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. (vide Pasal
1 Angka 27 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Disebutkan bahwa Pasangan Calon dan Tim Kampanye di
tingkat pusat wajib memberikan laporan awal dana Kampanye Pemilu dan rekening
khusus dana Kampanye Pasangan Calon dan tim kampanye kepada KPU paling lama 14
(empat belas) hari setelah Pasangan Calon ditetapkan sebagai Peserta Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU. Sedangkan, untuk Partai Politik Peserta
Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai dengan
tingkatannya wajib memberikan laporan awal dana Kampanye Pemilu dan rekening
khusus dana Kampanye Pemilu kepada KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota
paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum hari pertama jadwal pelaksanaan
Kampanye Pemilu dalam bentuk rapat umum. (vide Pasal 334 ayat
(1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Untuk Calon anggota DPD Peserta Pemilu wajib
memberikan laporan awal dana Kampanye Pemilu dan rekening khusus dana Kampanye
Pemilu kepada KPU melalui KPU Provinsi paling lambat 14 (empat belas) hari
sebelum hari pertama jadwal pelaksanaan Kampanye Pemilu dalam bentuk rapat
umum. (vide Pasal 334 ayat (3)Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum)
Laporan dana kampanye Pasangan Calon dan tim kampanye yang meliputi penerimaan dan pengeluaran wajib
disampaikan kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh KPU paling lama 15
(lima belas) hari sesudah hari pemungutan suara. Untuk Laporan dana
kampanye Partai Politik Peserta Pemilu yang meliputi penerimaan dan
pengeluaran wajib disampaikan kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh
KPU paling lama 15 (lima belas) hari sesudah hari pemungutan suara.
Sedangkan, Laporan Dana Kampanye Calon Anggota Dpd Peserta Pemilu yang
meliputi penerimaan dan pengeluaran wajib disampaikan kepada kantor akuntan
publik yang ditunjuk oleh KPU paling lama 15 (lima belas) hari sesudah hari
pemungutan suara. (vide Pasal 335 ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Tindak Pidana Peserta Pemilu Memberikan Keterangan Tidak Benar Dalam Laporan Dana Kampanye
Sebagaimana ketentuan Pasal 497 Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan bahwa:
“Setiap
orang yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana
Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).”
Tindak Pidana Majikan/Atasan Tidak Memberikan Kesempatan Pekerja Memberikan Suara
Sebagaimana ketentuan Pasal 498 Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan bahwa:
“Seorang
majikan/atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang pekerja/karyawan
untuk memberikan suaranya pada hari pemungutan suara, kecuali dengan alasan
bahwa pekerjaan tersebut tidak bisa ditinggalkan, dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00
(dua belas juta rupiah).”
Tindak Pidana Anggota KPPS/KPPSLN Tidak Memberikan Surat Suara Pengganti
Sebagaimana ketentuan Pasal 499 Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan bahwa:
“Setiap
anggota KPPS/KPPSLN yang dengan sengaja tidak memberikan surat suara pengganti
hanya 1 (satu) kali kepada Pemilih yang menerima surat suara yang rusak dan
tidak mencatat surat suara yang rusak dalam berita acara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 355 ayat (2) dan Pasal 363 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas
juta rupiah).”
Yang dimaksud dengan KPPS adalah Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara ialah kelompok yang dibentuk oleh PPS untuk
melaksanakan pemungutan suara di tempat pemungutan suara. (vide Pasal
1 Angka 14 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Sedangkan, KPPSLN adalah Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri
ialah kelompok yang dibentuk oleh Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) untuk
melaksanakan pemungutan suara di tempat pemungutan suara luar negeri. (vide Pasal
1 Angka 15 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Mengingat, disebutkan bahwa apabila Pemilih menerima
surat suara yang ternyata rusak, Pemilih dapat meminta surat suara pengganti
kepada KPPS dan KPPS wajib memberikan surat suara pengganti hanya 1 (satu) kali
dan mencatat surat suara yang rusak dalam berita acara. (vide Pasal
355 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Begitupun, Apabila Pemilih menerima surat suara yang
ternyata rusak, Pemilih dapat meminta surat suara pengganti kepada KPPSLN dan
KPPSLN wajib memberikan surat suara pengganti hanya 1 (satu) kali dan mencatat
surat suara yang rusak dalam berita acara. (vide Pasal 363
ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Tindak Pidana Memberitahukan Pilihan Pemilih kepada Orang Lain
Sebagaimana ketentuan Pasal 500 Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan bahwa:
“Setiap
orang yang membantu Pemilih yang dengan sengaja memberitahukan pilihan Pemilih
kepada orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 364 ayat (2) dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan “Pemilih”
di sini adalah Warga Negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 (tujuh belas)
tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin. (vide Pasal
1 Angka 34 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Memang disebutkan bahwa Pemilih disabilitas netra,
disabilitas fisik, dan yang mempunyai halangan fisik lainnya pada saat
memberikan suaranya di TPSLN atau Tempat Pemungutan Suara Luar Negeri yaitu
tempat dilaksanakannya pemungutan suara di luar negeri dapat dibantu oleh orang
lain atas permintaan pemilih. (vide Pasal 364 ayat (1) jo. Pasal
1 Angka 26 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Akan tetapi, orang lain yang membantu Pemilih dalam
memberikan suara sebagaimana dimaksud wajib merahasiakan pilihan Pemilih. (vide Pasal
364 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Tindak Pidana Anggota KPPS Tidak Melaksanakan Keputusan KPU untuk Pemungutan Suara Ulang
Sebagaimana ketentuan Pasal 501 Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan bahwa:
“Setiap
anggota KPPS yang dengan sengaja tidak melaksanakan keputusan KPU
Kabupaten/Kota untuk pemungutan suara ulang di TPS dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00
(dua belas juta rupiah).”
Yang dimaksud dengan TPS adalah Tempat Pemungutan
Suara yang ialah tempat dilaksanakannya pemungutan suara. (vide Pasal
1 Angka 25 Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Tindak Pidana Anggota KPPS Tidak Melaksanakan Ketetapan KPU untuk Pemungutan Suara Ulang
Sebagaimana ketentuan Pasal 502 Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan bahwa:
“Ketua
dan anggota KPPS yang dengan sengaja tidak melaksanakan ketetapan KPU
Kabupaten/Kota untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di TPS, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
Tindak Pidana Anggota KPPS Tidak Membuat dan Menandatangani BA Kegiatan
Sebagaimana ketentuan Pasal 503 Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan bahwa:
“Setiap
anggota KPPS/KPPSLN yang dengan sengaja tidak membuat dan menandatangani berita
acara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 354 ayat (3) dan Pasal 362 ayat
(3) dan/atau tidak menandatangani berita acara pemungutan dan penghitungan
suara serta sertifikat hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 389 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”
Bahwa Ketua KPPS/KPPSLN wajib membuat dan
menandatangani Berita Acara Kegiatan sebagaimana dimaksud sebelum melaksanakan
pemungutan suara dengan:
a.
Membuka kotak
suara;
b.
Mengeluarkan
seluruh isi kotak suara;
c.
Mengidentifikasi
jenis dokumen dan peralatan;
d.
Menghitung jumlah
setiap jenis dokumen dan peralatan;
e.
Memeriksa keadaan
seluruh surat suara; dan
f.
Menandatangani
surat suara yang akan digunakan oleh Pemilih.
Dan berita acara tersebut ditandatangani paling
sedikit oleh 2 (dua) orang anggota KPPS/KPPSLN dan saksi Peserta Pemilu yang
hadir. (vide Pasal 354 ayat (3) dan 362 ayat (3) Undang Nomor
7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Selanjutnya, bahwa dalam hal terdapat anggota
KPPS/KPPSLN dan saksi Peserta Pemilu yang hadir tidak menandatangani
sebagaimanadimaksud Berita Acara Pemungutan dan Penghitungan Suara
serta Sertifikat Hasil Penghitungan Suara yang merupakan hasil penghitungan
suara di TPS/TPSLN dengan menggunakan format yang diatur dalam Peraturan KPU
tersebut ditandatangani oleh semua anggota KPPS/KPPSLN dan saksi Peserta Pemilu
yang hadir, berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta sertifikat
hasil penghitungan suara wajib ditandatangani oleh anggota KPPS/KPPSLN dan
saksi Peserta Pemilu yang hadir dan bersedia menandatanganinya. (vide Pasal
389 ayat (3) Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Tindak Pidana Menyebabkan Rusak atau Hilang BA Pemungutan dan Penghitungan Suara dan/atau Sertifikat Hasil Penghitungan Suara
Sebagaimana ketentuan Pasal 504 Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan bahwa:
“Setiap
orang yang karena kelalaiannya menyebabkan rusak atau hilangnya berita acara
pemungutan dan penghitungan suara dan/atau sertifikat hasil penghitungan suara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 389 ayat (4) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas
juta rupiah).”
Bahwa Berita acara pemungutan dan penghitungan suara
serta sertifikat hasil penghitungan suara yang telah ditandatangani wajib
disimpan sebagai dokumen negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. (vide Pasal 389 ayat (4) Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Tindak Pidana Anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, dan PPS yang Lalai Mengakibatkan Hilang atau Berubahnya Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara
Sebagaimana ketentuan Pasal 505 Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan bahwa:
“Anggota
KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, dan PPS yang karena kelalaiannya
mengakibatkan hilang atau berubahnya berita acara rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara dan/atau sertifikat rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
Tindak Pidana Anggota KPPS/KPPSLN Tidak Memberikan Salinan Ekseplar Berita Acara Pemungutan dan Penghitungan Suara
Sebagaimana ketentuan Pasal 506 Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan bahwa:
“Setiap
anggota KPPS/KPPSLN yang dengan sengaja tidak memberikan salinan 1 (satu)
eksemplar berita acara pemungutan dan penghitungan suara, serta sertifikat
hasil penghitungan suara kepada saksi Peserta Pemilu, Pengawas TPS/Panwaslu LN,
PPS/PPLN, dan PPK melalui PPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 390 ayat (2) dan
ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda
paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
Bahwa KPPS/KPPSLN wajib memberikan 1 (satu) eksemplar
berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta sertifikat hasil
penghitungan suara kepada saksi Peserta Pemilu, Pengawas TPS, PPS, dan PPK
melalui PPS pada hari yang sama. (vide Pasal 390 ayat (2) dan
ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Tindak Pidana Panwaslu Kelurahan/Desa Tidak Mengawasi Penyerahan Kota Suara Tersegel dari PPS kepada PPK
Sebagaimana ketentuan Pasal 507 ayat (1)
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan bahwa:
“Setiap
Panwaslu Kelurahan/Desa yang tidak mengawasi penyerahan kotak suara tersegel
dari PPS kepada PPK dan tidak melaporkan kepada Panwaslu Kecamatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 390 ayat (6) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
Disebutkan bahwa penyerahan kotak suara tersegel yang
berisi surat suara, berita acara pemungutan dan penghitungan suara, serta
sertifikat hasil penghitungan suara kepada PPS sebagaimana dimaksud KPPS/KPPSLN
wajib menyerahkan kotak suara tersegel yang berisi surat suara, berita acara
pemungutan suara serta sertifikat hasil penghitungan perolehan suara kepada PPS
atau kepada PPLN bagi KPPSLN pada hari yang sama, wajib diawasi oleh Pengawas
TPS beserta Panwaslu Kelurahan/Desa dan wajib dilaporkan kepada Panwaslu
Kecamatan. (vide Pasal 390 ayat (6) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Bahwa yang dimaksud dengan “surat suara” adalah surat
suara terpakai, surat suara tidak terpakai, surat suara rusak, dan sisa surat
suara cadangan yang masing-masing dimasukkan ke dalam amplop terpisah. (vide Penjelasan
Pasal 390 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Tindak Pidana Panwaslu Kecamatan yang Tidak Mengawasi Penyerahan Kotak Suara Tersegel dari PPK kepada KPU
Kemudian, Pasal 507 ayat (2) Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan bahwa:
“Setiap
Panwaslu Kecamatan yang tidak mengawasi penyerahan kotak suara tersegel dari
PPK kepada KPU Kabupaten/Kota dan tidak melaporkan kepada Bawaslu
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 390 ayat (7) dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
Bahwa Penyerahan kotak suara tersegel yang berisi
surat suara, berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta sertifikat
hasil penghitungan suara kepada PPK wajib diawasi oleh Panwaslu Kecamatan dan
wajib dilaporkan kepada Bawaslu Kabupaten/Kota. (vide Pasal
390 ayat (7) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Tindak Pidana Anggota PPS Tidak Mengumumkan Salinan Sertifikat Hasil Penghitungan Suara Dari Seluruh TPS di Wilayah Kerjanya
Sebagaimana ketentuan Pasal 508 Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan bahwa:
“Setiap
anggota PPS yang tidak mengumumkan salinan sertifikat hasil penghitungan suara
dari seluruh TPS di wilayah kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 391,
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
Bahwa PPS wajib mengumumkan salinan sertifikat hasil
penghitungan suara dari seluruh TPS di wilayah kerjanya dengan cara menempelkan
salinan tersebut di tempat umum. (vide Pasal 391
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Tindak Pidana Anggota PPS Tidak Mengumumkan Salinan Sertifikat Hasil Penghitungan Suara Dari Seluruh TPS di Wilayah Kerjanya
Sebagaimana ketentuan Pasal 509 Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan bahwa:
“Setiap
orang yang mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu dalam
Masa Tenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 449 ayat (2), dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
Bahwa Pengumuman hasil survei atau jajak pendapat
tentang Pemilu sebagaimana dimaksud bahwa partisipasi masyarakat dalam bentuk
sosialisasi Pemilu, pendidikan politik bagi Pemilih, survei atau jajak pendapat
tentang Pemilu, serta penghitungan cepat hasil Pemilu wajib mengikuti ketentuan
yang diatur oleh KP, dilarang dilakukan pada Masa Tenang. Yang dimaksud dengan
“pengumuman” adalah termasuk pemberitaan ataupun publikasi. (vide Pasal
449 beserta Penjelasannya ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum)
Tindak Pidana Menyebabkan Orang Lain Kehilangan Hak Pilihnya
Sebagaimana ketentuan Pasal 510
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan
bahwa:
“Setiap
orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling
banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).”
Tindak Pidana Dengan Kekuasaan yang Ada Padanya Menghalangi Seseorang Untuk Terdaftar
Sebagaimana ketentuan Pasal 511
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
orang yang dengan kekerasan, dengan ancaman kekerasan, atau dengan menggunakan
kekuasaan yang ada padanya pada saat pendaftaran Pemilih menghalangi seseorang
untuk terdaftar sebagai Pemilih dalam Pemilu menurut Undang-Undang ini dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”
Tindak Pidana Anggota KPU Tidak Menindaklanjuti Temuan Bawaslu
Sebagaimana ketentuan Pasal 512
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan
bahwa:
“Setiap
anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan/atau PPLN yang
tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota,
Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, dan/atau Panwaslu LN dalam
melakukan pemutakhiran data Pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih
sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara hasil perbaikan,
penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, daftar pemilih tambahan, daftar
pemilih khusus, dan/atau rekapitulasi daftar pemilih tetap yang merugikan Warga
Negara Indonesia yang memiliki hak pilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220
ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”
Bahwa temuan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu
Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu LN, dan
Pengawas TPS sebagaimana dimaksud dalam hal pengawasan atas pelaksanaan
pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara,
perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara hasil perbaikan, penetapan
dan pengumuman daftar pemilih tetap, daftar pemilih tambahan, dan rekapitulasi
daftar pemilih tetap yang dilaksanakan oleh KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota,
PPK, dan PPS, ditemukan unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU
Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan PPLN yang merugikan Warga Negara
Indonesia yang memiliki hak pilih, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu
Kabupaten/Kota serta Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu LN,
dan Pengawas TPS menyampaikan temuan tersebut kepada KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan PPLN, wajib ditindaklanjuti oleh KPU, KPU
Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan PPLN. (vide Pasal
220 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Tindak Pidana Anggota KPU Tidak Memberikan Salinan Daftar Pemilih Tetap kepada Partai Politik
Sebagaimana ketentuan Pasal 513
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan
bahwa:
“Setiap
anggota KPU Kabupaten/Kota yang sengaja tidak memberikan salinan daftar pemilih
tetap kepada Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208
ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).”
Bahwa KPU Kabupaten/Kota wajib memberikan salinan
daftar pemilih tetap berdasarkan daftar pemilih sementara hasil perbaikan
kepada Partai Politik Peserta Pemilu di tingkat kabupaten/kota dan perwakilan
Partai Politik Peserta Pemilu di tingkat kecamatan. (vide Pasal
208 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Tindak Pidana Anggota KPU Menetapkan Jumlah Surat Suara yang Dicetak Melebihi Jumlah yang Ditentukan
Sebagaimana ketentuan Pasal 514
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang
menyatakan bahwa:
“Ketua
KPU yang dengan sengaja menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi
jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
denda paling banyak Rp240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah).”
Perlu diketahui bahwa jumlah surat suara yang dicetak
sama dengan jumlah Pemilih tetap ditambah dengan 2% (dua persen) dari jumlah
Pemilih tetap sebagai cadangan, yang ditetapkan dengan keputusan KPU. Selain
menetapkan pencetakan surat suara sebagaimana dimaksud KPU juga menetapkan
besarnya jumlah surat suara untuk pelaksanaan pemungutan suara ulang. Jumlah
surat suara sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh KPU untuk setiap daerah
pemilihan sebanyak 1.000 (seribu) surat suara pemungutan suara ulang yang diberi
tanda khusus, masing-masing surat suara untuk Pasangan Calon, anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. (vide Pasal 344 ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum)
Tindak Pidana Pemungutan Suara Menjanjikan atau Memberikan Uang kepada Pemilih
Sebagaimana ketentuan Pasal 515
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang
menyatakan bahwa:
“Setiap
orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak
pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya
dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000,00
(tiga puluh enam juta rupiah).”
Tindak Pidana Memberikan Suara Lebih dari Satu TPS/TPSLN
Sebagaimana ketentuan Pasal 516
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang
menyatakan bahwa:
“Setiap
orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara memberikan suaranya lebih
dari satu kali di satu TPS/TPSLN atau lebih, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling banyak Rp18.000.000,00
(delapan belas juta rupiah).”
Tindak Pidana Memberikan Suara Lebih dari Satu TPS/TPSLN
Sebagaimana ketentuan Pasal 517
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang
menyatakan bahwa:
“Setiap
orang yang dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).”
Tindak Pidana Anggota KPU Tidak Menindaklanjutin Dalam Pelaksanaan Verifikasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu
Sebagaimana ketentuan Pasal 518
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
anggota KPU, KPU Provinsi, dan/atau KPU Kabupaten/Kota yang tidak
menindaklanjuti temuan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan/atau Bawaslu
Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (3) dan/atau pelaksanaan verifikasi
kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 ayat (3) dan Pasal 261 ayat
(3) dan/atau pelaksanaan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon
Presiden dan Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”
Temuan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu
Kabupaten/Kota wajib ditindaklanjuti oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota. (vide Pasal 180 ayat (3) Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum) Dalam hal pengawasan
menemukan unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota berakibat merugikan bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/ kota, maka Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota
menyampaikan temuan dan hasil kajian kepada KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota. (vide Pasal 251 ayat (3) Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum) Untuk Temuan Bawaslu, Bawaslu
Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud mengenai Pengawasan
Atas Verifikasi Kelengkapan Administrasi Bakal Calon Anggota DPDwajib
ditindaklanjuti oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. . (vide Pasal
261 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Tindak Pidana Perbuatan Curang untuk Menyesatkan untuk Memperoleh Dukungan Pencalonan Anggota DPD
Sebagaimana ketentuan Pasal 519
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan
seseorang, dengan memaksa, dengan menjanjikan atau dengan memberikan uang atau
materi lainnya untuk memperoleh dukungan bagi pencalonan anggota DPD dalam
Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh
enam juta rupiah).”
Bahwa persyaratan dukungan minimal dari Pemilih di
daerah pemilihan DPD, meliputi:
a.
Provinsi dengan
jumlah Penduduk yang termuat di dalam daftar pemilih tetap sampai dengan
1.000.000 (satu juta) orang harus mendapatkan dukungan paling sedikit 1.000
(seribu) Pemilih;
b.
Provinsi dengan
jumlah Penduduk yang termuat di dalam daftar pemilih tetap lebih dari 1.000.000
(satu juta) sampai dengan 5.000.000 (lima juta) orang harus mendapatkan
dukungan paling sedikit 2.000 (dua ribu) Pemilih;
c.
Provinsi dengan
jumlah Penduduk yang termuat di dalam daftar pemilih tetap lebih dari 5.000.000
(lima juta) sampai dengan 10.000.000 (sepuluh juta) orang harus mendapatkan
dukungan paling sedikit 3.000 (tiga ribu) Pemilih;
d.
Provinsi dengan
jumlah Penduduk yang termuat di dalam daftar pemilih tetap lebih dari
10.000.000 (sepuluh juta) sampai dengan 15.000.000 (lima belas juta) orang
harus mendapatkan dukungan paling sedikit 4.000 (empat ribu) Pemilih;
e.
Provinsi dengan
jumlah Penduduk yang termuat di dalam daftar pemilih tetap lebih dari
15.000.000 (lima belas juta) orang harus mendapatkan dukungan paling sedikit
5.000 (lima ribu) Pemilih.
Bahwa dukungan sebagaimana dimaksud tersebar di paling
sedikit 50% (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang
bersangkutan. Persyaratan sebagaimana dimaksud dan dibuktikan dengan daftar
dukungan yang dibubuhi tanda tangan atau cap jempol jari tangan dan dilengkapi
fotokopi kartu tanda penduduk setiap pendukung. Seorang pendukung tidak
dibolehkan memberikan dukungan kepada lebih dari 1 (satu) orang calon anggota
DPD serta melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan seseorang dengan memaksa,
dengan menjanjikan atau dengan memberikan uang atau materi lainnya untuk
memperoleh dukungan bagi pencalonan anggota DPD dalam Pemilu. Dukungan yang
diberikan kepada lebih dari 1 (satu) orang calon anggota DPD sebagaimana
dimaksud dinyatakan batal. Jadwal waktu pendaftaran Peserta Pemilu anggota DPD
ditetapkan oleh KPU. (vide Pasal 183 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Tindak Pidana Membuat Surat atau Dokumen Palsu untuk Bakal Calon Anggota DPR, DPD, DPRD, Calon Presiden dan Wakil Presiden
Sebagaimana ketentuan Pasal 520
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
orang yang dengan sengaja membuat surat atau dokumen palsu dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang memakai, atau setiap orang yang dengan sengaja
memakai surat atau dokumen palsu untuk menjadi bakal calon anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, untuk menjadi Pasangan Calon Presiden dan
Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 dan Pasal 260 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak
Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).”
Bahwa dalam hal ditemukan dugaan telah terjadi
pemalsuan dokumen atau penggunaan dokumen palsu dalam persyaratan administrasi
bakal calon dan/atau calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota,
KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota berkoordinasi dengan Kepolisian
Negara Republik Indonesia untuk menindaklanjutinya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. (vide Pasal 254 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Bahwa untuk persyaratan dukungan minimal Pemilih
Anggota DPD dibuktikan dengan daftar dukungan yang dibubuhi tanda tangan atau
cap jempol jari tangan dan dilengkapi fotokopi kartu tanda penduduk setiap
pendukung. Seorang Pemilih tidak dibolehkan memberikan dukungan kepada lebih
dari 1 (satu) orang bakal calon anggota DPD. Dalam hal ditemukan bukti adanya
data palsu atau data yang sengaja digandakan oleh bakal calon anggota DPD
terkait dengan dokumen persyaratan dukungan minimal pemilih, bakal calon anggota
DPD dikenai pengurangan jumlah dukungan minimal Pemilih sebanyak 50 (lima
puluh) kali temuan bukti data palsu atau data yang digandakan. (vide Pasal
260 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Tindak Pidana Pelaksana, Peserta, dan/atau Tim Kampanye Larangan Kampanye Pemilu
Sebagaimana ketentuan Pasal 521
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar
larangan pelaksanaan Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat
(1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h,
huruf i, atau huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).”
Tindak Pidana Pejabat Negara Ikut Kegiatan Kampanye
Sebagaimana ketentuan Pasal 522
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
Ketua/Wakil Ketua/ketua muda/hakim agung/hakim konstitusi, hakim pada semua
badan peradilan, Ketua/Wakil Ketua dan/atau anggota Badan Pemeriksa Keuangan,
Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan/atau deputi gubernur Bank Indonesia serta
direksi, komisaris, dewan pengawas, dan/atau karyawan badan usaha milik
negara/badan usaha milik daerah yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 280 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).”
Tindak Pidana Pelaksana, Peserta dan/atau Tim Kampanye Menjanjikan atau Memberikan Uang atau Materi Lainnya
Sebagaimana ketentuan Pasal 523 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja
menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada
peserta Kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat
juta rupiah).”
Kemudian, ketentuan Pasal 523 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada Masa
Tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada
Pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal
278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan
denda paling banyak Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah).”
Bahwa Selama Masa Tenang Kampanye Pemilu yang
merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara
bertanggung jawab serta Kampanye Pemilu dilaksanakan secara serentak antara
Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan Kampanye Pemilu anggota DPR,
DPD, dan DPRD. (vide Pasal 267 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum) Kampanye Pemilu tersebut dapat dilakukan
melalui:
a.
Pertemuan
terbatas;
b.
Pertemuan tatap
muka;
c.
Penyebaran bahan
Kampanye Pemilu kepada umum;
d.
Pemasangan alat
peraga di tempat umum;
e.
Media sosial;
f.
Iklan media massa
cetak, media massa elektronik, dan internet;
g.
Rapat umum;
h.
Debat Pasangan
Calon tentang materi Kampanye Pasangan Calon; dan
i.
Kegiatan lain
yang tidak melanggar larangan Kampanye Pemilu dan ketentuan peraturan
perundang-undangan. (vide Pasal 275 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Kemudian, Kampanye Pemilu sebagaimana huruf a, huruf
b, huruf c, dan huruf d di atas dilaksanakan sejak 3 (tiga) hari setelah
ditetapkan Daftar Calon Tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota untuk Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pasangan Calon
untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sampai dengan dimulainya Masa
Tenang. (vide Pasal 276 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Sedangkan Kampanye huruf f dan huruf g dilaksanakan
selama 21 (dua puluh satu) hari dan berakhir sampai dengan dimulainya Masa
Tenang. (vide Pasal 276 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum)
Dan Selama Masa Tenang tersebut, pelaksana, peserta,
dan/atau tim Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilarang menjanjikan
atau memberikan imbalan kepada Pemilih untuk:
a.
Tidak menggunakan
hak pilihnya;
b.
Memilih Pasangan
Calon;
c.
Memilih Partai
Politik Peserta Pemilu tertentu;
d.
Memilih calon
anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota tertentu; dan/atau
e.
Memilih calon
anggota DPD tertentu. (vide Pasal 278 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Kemudian, ketentuan Pasal 523 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak
pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh
enam juta rupiah)”
Tindak Pidana Anggota KPU yang Terbukti dengan Sengaja Melakukan Tindak Pidana Pemilu dalam Pelaksanaan Kampanye Pemilu
Sebagaimana ketentuan Pasal 524 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Anggota
KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai
Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU Provinsi, pegawai sekretariat KPU
Provinsi, sekretaris KPU Kabupaten/Kota, dan/atau pegawai sekretariat KPU
Kabupaten/ Kota yang terbukti dengan sengaja melakukan tindak pidana Pemilu
dalam pelaksanaan Kampanye Pemilu dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta
rupiah).”
Kemudian, ketentuan Pasal 524 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Anggota
KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai
Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU Provinsi, pegawai sekretariat KPU
Provinsi, sekretaris KPU Kabupaten/Kota, dan/atau pegawai sekretariat KPU
Kabupaten/Kota yang terbukti karena kelalaiannya melakukan tindak pidana Pemilu
dalam pelaksanaan Kampanye Pemilu dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan
belas juta rupiah).”
Tindak Pidana Perseorangan atau Badan Usaha Memberikan Dana Kampanye Pemilu Presiden/Wakil Presiden, DPR, DPRD Melebihi Batas yang Ditentukan
Sebagaimana ketentuan Pasal 525 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
orang, kelompok, perusahan, dan/atau badan usaha non pemerintah yang memberikan
dana Kampanye Pemilu melebihi batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 327 ayat (1) dan Pasal 331 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).”
Bahwa Dana Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
menjadi tanggung jawab Pasangan Calon. (vide Pasal 325 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum) Kemudian,
Dana Kampanye sebagaimana dimaksud dapat diperoleh dari sumbangan yang sah
menurut hukum dari pihak lain. (vide Pasal 325 ayat (2) huruf
c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Bahwa Dana Kampanye yang berasal dari pihak lain
berupa sumbangan yang sah menurut hukum dan bersifat tidak mengikat dan dapat
berasal dari perseorangan, kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha
non-pemerintah. (vide Pasal 326 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum) Dana Kampanye yang berasal dari
perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 326 tidak boleh melebihi
Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah). (vide Pasal
327 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Sedangkan, Dana Kampanye Pemilu anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang berasal dari sumbangan pihak lain
perseorangan tidak melebihi Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus
juta rupiah). (vide Pasal 331 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Kemudian, ketentuan Pasal 525 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
Peserta Pemilu yang menggunakan kelebihan sumbangan, tidak melaporkan kelebihan
sumbangan kepada KPU, dan/atau tidak menyerahkan kelebihan sumbangan kepada kas
negara paling lambat 14 (empat belas) hari setelah masa Kampanye Pemilu
berakhir dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Tindak Pidana Perseorangan atau Badan Usaha Memberikan Dana Kampanye Pemilu DPD Melebihi Batas yang Ditentukan
Sebagaimana ketentuan Pasal 526 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
orang, kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha nonpemerintah yang memberikan
dana Kampanye Pemilu melebihi batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 333 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Bahwa Dana Kampanye Pemilu calon anggota DPD yang
berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan tidak melebihi Rp 750.000.000,00
(tujuh ratus lima puluh juta rupiah). (vide Pasal 333
ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Kemudian, ketentuan Pasal 526 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
Peserta Pemilu yang menggunakan kelebihan sumbangan, tidak melaporkan kelebihan
sumbangan kepadaKPU, dan/atau tidak menyerahkan kelebihan sumbangan kepada kas
negara paling lambat 14 (empat belas) hari setelah masa Kampanye Pemilu
berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 333 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).”
Bahwa Dana Kampanye Pemilu calon anggota DPD yang
berasal dari sumbangan pihak lain kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha
nonpemerintah Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
(vide Pasal 333 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum)
Tindak Pidana Peserta Pemilu Menerima Sumbangan Dana Kampanye Pemilu dari Pihak Asing Penyumbang Tidak Jelas Identitasnya, Hasil Tindak Pidana, dari Pemerintah, dsb
Sebagaimana ketentuan Pasal 527
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Peserta
Pemilu yang terbukti menerima sumbangan dana Kampanye Pemilu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 339 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta
rupiah).”
Bahwa Peserta Pemilu, pelaksana kampanye, dan tim
kampanye dilarang menerima sumbangan dana Kampanye Pemilu yang berasal dari:
a.
Pihak asing;
b.
Penyumbang yang
tidak jelas identitasnya;
c.
Hasil tindak
pidana yang telah terbukti berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dan/atau bertujuan menyembunyikan atau menyamarkan hasil
tindak pidana;
d.
Pemerintah,
pemerintah daerah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah; atau
e.
Pemerintah desa
dan badan usaha milik desa. (vide Pasal 339 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Yang dimaksud dengan “pihak asing” adalah warga negara
asing, pemerintah asing, perusahaan asing, perusahaan di Indonesia yang
mayoritas sahamnya dimiliki asing, lembaga swadaya masyarakat asing, organisasi
kemasyarakatan asing, dan warga negara asing. (vide Penjelasan
Pasal 339 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum) Sedangkan, Yang dimaksud dengan “penyumbang yang tidak jelas
identitasnya” dalam ketentuan ini meliputi:
1.
Penyumbang yang
menggunakan identitas orang lain; dan
2.
Penyumbang yang
menurut kewajaran dan kepatutan tidak memiliki kemampuan untuk memberikan
sumbangan sebesar yang diterima oleh pelaksana kampanye. (vide Penjelasan
Pasal 339 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum)
Dan, Tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam
ketentuan pada Pasal 339 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sesuai dengan ketentuan dalam
undang-undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang serta tindak pidana lain seperti judi dan perdagangan narkotika.
(vide Penjelasan Pasal 339 ayat (1) huruf c Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Tindak Pidana Peserta Pemilu Menerima Sumbangan Dana Kampanye Tidak Melaporkan kepada KPU dan/atau Tidak Menyetorkan ke Kas Negara
Sebagaimana ketentuan Pasal 528 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Peserta
Pemilu yang menerima sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 ayat (2)
dan tidak melaporkan kepada KPU dan/atau tidak menyetorkan ke kas negara,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda sebanyak 3
(tiga) kali dari jumlah sumbangan yang diterima.”
Bahwa, Peserta Pemilu, pelaksana kampanye, dan tim
kampanye yang menerima sumbangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
339 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dilarang
menggunakan dana tersebut dan wajib melaporkannya kepada KPU dan menyerahkan
sumbangan tersebut kepada kas negara paling lambat 14 (empat belas) hari
setelah masa Kampanye Pemilu berakhir. (vide Pasal 339 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Kemudian, ketentuan Pasal 528 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Pelaksana
dan tim kampanye yang menggunakan dana dari sumbangan yang dilarang dan/atau
tidak melaporkan dan/atau tidak menyetorkan ke kas negara sesuai batas waktu
yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda sebanyak 3 (tiga) kali dari
jumlah sumbangan yang diterima.”
Tindak Pidana Perusahaan Pencetak Surat Suara Mencetak Surat Suara Melebihi Jumlah yang Ditetapkan KPU
Sebagaimana ketentuan Pasal 529
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
perusahaan pencetak surat suara yang dengan sengaja mencetak surat suara
melebihi jumlah yang ditetapkan oleh KPU untuk kepentingan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 345 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”
Bahwa untuk kepentingan tertentu, perusahaan pencetak
surat suara dilarang mencetak surat suara lebih dari jumlah yang ditetapkan
oleh KPU. Yang dimaksud dengan “kepentingan tertentu” adalah kepentingan yang
dapat memengaruhi jumlah perolehan suara. Kelebihan cetakan surat suara dari
jumlah yang ditetapkan oleh KPU wajib dimusnahkan dengan disertai berita acara
pemusnahan yang disaksikan oleh KPU, Bawaslu, dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia. (vide Pasal 345 ayat (1) beserta Penjelasannya
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Tindak Pidana Perusahaan Pencetak Surat Suara Tidak Menjaga Kerahasiaan, Keamanan, dan Keutuhan Surat Suara
Sebagaimana ketentuan Pasal 530
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
perusahaan pencetak surat suara yang tidak menjaga kerahasiaan, keamanan, dan
keutuhan surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 345 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”
Bahwa perusahaan pencetak surat suara wajib menjaga
kerahasiaan, keamanan, dan keutuhan surat suara. (vide Pasal
345 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Tindak Pidana Menggangu Ketertiban Pelaksanaan Pemungutan Suara
Sebagaimana ketentuan Pasal 531
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan, dan/atau menghalangi seseorang
yang akan melakukan haknya untuk memilih, melakukan kegiatan yang menimbulkan
gangguan ketertiban dan ketenteraman pelaksanaan pemungutan suara, atau
menggagalkan pemungutan suara dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta
rupiah).”
Tindak Pidana Perbuatan Menyebabkan Suara Seorang Pemilih Tidak Bernilai atau Menyebabkan Peserta Pemilu Tidak Mendapatkan Tambahan Suara
Sebagaimana ketentuan Pasal 532
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seorang
Pemilih menjadi tidak bernilai atau menyebabkan Peserta Pemilu tertentu
mendapat tambahan suara atau perolehan suara Peserta Pemilu menjadi berkurang
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling
banyak Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah).”
Tindak Pidana Mengaku Dirinya Sebagai Orang lain Memberikan Suara Lebih dari 1 (satu) Kali di TPS
Sebagaimana ketentuan Pasal 533
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara mengaku dirinya sebagai
orang lain dan/atau memberikan suaranya lebih dari 1 (satu) kali di 1 (satu)
TPS atau lebih dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6
(enam) bulan dan denda paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta
rupiah).
Tindak Pidana Merusak atau Menghilangkan Hasil Pemungutan Suara yang Sudah Disegel
Sebagaimana ketentuan Pasal 534
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
orang yang dengan sengaja merusak atau menghilangkan hasil pemungutan suara
yang sudah disegel dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”
Tindak Pidana Mengubah, Merusak, dan/atau Menghilangkan Berita Acara Pemungutan dan Penghitungan Suara dan/atau Sertifikat Hasil Penghitungan Suara
Sebagaimana ketentuan Pasal 535
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
orang yang dengan sengaja mengubah, merusak, dan/ atau menghilangkan berita
acara pemungutan dan penghitungan suara dan/atau sertifikat hasil penghitungan
suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 398 ayat (4) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00
(tiga puluh enam juta rupiah).”
Bahwa KPU Kabupaten/Kota mengumumkan rekapitulasi
hasil penghitungan perolehan suara Peserta Pemilu dengan membuat berita acara
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi
hasil penghitungan perolehan suara Peserta Pemilu. (vide Pasal
398 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Tindak Pidana Merusak, Menganggu, atau Mendistorsi Sistem Informasi Penghitungan Suara Hasil Pemilu
Sebagaimana ketentuan Pasal 536
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
orang yang dengan sengaja merusak, mengganggu, atau mendistorsi sistem
informasi penghitungan suara hasil Pemilu dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam
juta rupiah).”
Tindak Pidana Anggota KPPS/KPPSLN Tidak Menjaga, Mengamankan Keutuhan Kota Suara, dan Menyerahkan Kotak Suara Tersegel
Sebagaimana ketentuan Pasal 537
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
anggota KPPS/KPPSLN yang tidak menjaga, mengamankan keutuhan kotak suara, dan
menyerahkan kotak suara tersegel yang berisi surat suara, berita acara
pemungutan suara, dan sertifikat hasil penghitungan suara kepada PPS atau
kepada PPLN bagi KPPSLN pada hari yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal
390 ayat (4) dan ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp 18.000.000,00 (delapan belas
juta rupiah).”
Tindak Pidana PPS Tidak Menyerahkan Kotak Suara Tersegel
Sebagaimana ketentuan Pasal 538
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“PPS
yang tidak menyerahkan kotak suara tersegel, berita acara rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara, dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara Peserta Pemilu di tingkat PPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
393 kepada PPK dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).”
Bahwa mengenai Rekapitulasi Penghitungan Perolehan
Suara di Kecamatan, disebutkan PPK membuat berita acara penerimaan kotak hasil
penghitungan perolehan suara Peserta Pemilu dari PPS. Kemudian, PPK melakukan
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Peserta Pemilu sebagaimana
dimaksud dalam rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu dan Panwaslu Kecamatan.
Rekapitulasi penghitungan suara dilakukan dengan membuka kotak suara tersegel
untuk mengambil sampul yang berisi berita acara pemungutan suara dan sertifikat
hasil penghitungan suara, kemudian kotak ditutup dan disegel kembali. Setelah
itu, PPK membuat berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara
Peserta Pemilu dan membuat sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara. Dan, PPK mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara
Peserta Pemilu di tempat umum. PPK menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara Peserta Pemilu dan sertifikat rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara tersebut kepada saksi Peserta Pemilu, Panwaslu
Kecamatan, dan KPU Kabupaten/Kota. (vide Pasal 393
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Tindak Pidana PPK Tidak Menyerahkan Kotak Suara Tersegel kepada KPU
Sebagaimana ketentuan Pasal 539
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“PPK
yang tidak menyerahkan kotak suara tersegel, berita acara rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara, dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara Peserta Pemilu di tingkat PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal
396 kepada KPU Kabupaten/Kota dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta
rupiah).”
Disebutkan bahwa PPK wajib menyerahkan kepada KPU
Kabupaten/Kota surat suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu
anggota DPR, DPD, dan DPRD dari TPS dalam kotak suara tersegel serta berita
acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Peserta Pemilu di tingkat PPK
yang dilampiri berita acara pemungutan suara dan sertifikat hasil penghitungan
suara dari TPS. (vide Pasal 396 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum)
Tindak Pidana Kegiatan Penghitungan Cepat Tidak Memberitahukan Prakiraan Hasil Penghitungan Cepat Bukan Merupakan Hasil Resmi Pemilu
Sebagaimana ketentuan Pasal 540 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Pelaksana
kegiatan penghitungan cepat yang melakukan penghitungan cepat yang tidak
memberitahukan bahwa prakiraan hasil penghitungan cepat bukan merupakan hasil
resmi Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 449 ayat (4) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling
banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).”
Bahwa Pelaksana kegiatan penghitungan cepat wajib
memberitahukan sumber dana, metodologi yang digunakan, dan
hasil penghitungan cepat yang dilakukannya bukan merupakan hasil resmi
Penyelenggara Pemilu. (vide Pasal 449 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Kemudian, ketentuan Pasal 540 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Pelaksana
kegiatan penghitungan cepat yang mengumumkan prakiraan hasil penghitungan cepat
sebelum 2 (dua) jam setelah selesainya pemungutan suara di wilayah Indonesia
bagian barat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 449 ayat (5) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling
banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).”
Bahwa Pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat
Pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 (dua) jam setelah selesai
pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat. (vide Pasal
449 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Tindak Pidana Anggota KPU Tidak Melaksanakan Putusan Pengadilan terhadap Kasus Tindak Pidana Pemilu
Sebagaimana ketentuan Pasal 541
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
anggota KPU, KPU Provinsi, dan/atau KPU Kabupaten/Kota yang tidak melaksanakan
putusan pengadilan terhadap kasus tindak pidana Pemilu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 484 ayat (2) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).”
Bahwa KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota wajib
menindaklanjuti putusan pengadilan terhadap kasus tindak pidana Pemilu
yang menurut Undang-Undang ini dapat memengaruhi perolehan suara Peserta Pemilu
harus sudah selesai paling lama 5 (lima) hari sebelum KPU menetapkan hasil
Pemilu secara nasional. (vide Pasal 484 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum) Yang
dimaksud dengan “putusan pengadilan” adalah putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. (vide Penjelasan Pasal 484
ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Tindak Pidana KPU Tidak Menetapkan Perolehan Hasil Pemilu Secara Nasional
Sebagaimana ketentuan Pasal 542
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Dalam
hal KPU tidak menetapkan perolehan hasil Pemilu secara nasional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 411 ayat (3), anggota KPU dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh
juta rupiah).”
Bahwa KPU wajib menetapkan secara nasional hasil
Pemilu anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan hasil Pemilu anggota
DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. (vide Pasal 411 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Tindak Pidana Anggota Bawaslu Tidak Sengaja Tidak Menindaklanjuti Temuan dan/atau Laporan Pelanggaran Pemilu yang Dilakukan oleh Anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/ Kota, PPK, PPS/PPLN, dan/atau KPPS/KPPSLN dalam Setiap Tahapan Penyelenggaraan Pemilu
Sebagaimana ketentuan Pasal 543
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
anggota Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/ Kota, Panwaslu Kecamatan,
dan/atau Panwaslu Kelurahan/Desa/Panwaslu LN/Pengawas TPS yang dengan sengaja
tidak menindaklanjuti temuan dan/atau laporan pelanggaran Pemilu yang dilakukan
oleh anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/ Kota, PPK, PPS/PPLN, dan/atau
KPPS/KPPSLN dalam setiap tahapan Penyelenggaraan Pemilu dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua
puluh empat juta rupiah).”
Tindak Pidana Melakukan Perbuatan Melawan Hukum Memalsukan Data dan Daftar Pemilih
Sebagaimana ketentuan Pasal 544
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum memalsukan data dan
daftar pemilih, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan
denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).”
Tindak Pidana Anggota KPU, PPK, PPS, PPLN Menambah atau Mengurangi Daftar Pemilih Dalam Pemilu yang Sudah Ditetapkannya DPT
Sebagaimana ketentuan Pasal 545
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan/atau PPLN yang
dengan sengaja menambah atau mengurangi daftar pemilih dalam Pemilu setelah
ditetapkannya Daftar Pemilih Tetap, dipidana dengan pidana penjara paling lama
3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta
rupiah).”
Tindak Pidana Anggota KPU, PPK, PPS, dan/atau PPLN Membuat Keputusan dan/atau Melakukan Tindakan yang Menguntungkan atau Merugikan Salah Satu Peserta Pemilu Dalam Masa Kampanye
Sebagaimana ketentuan Pasal 546
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan/atau PPLN yang
dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan
atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”
Tindak Pidana Pejabat Negara Membuat Keputusan dan/atau Melakukan Tindakan yang Menguntungkan atau Merugikan Salah Satu Peserta Pemilu Dalam Masa Kampanye
Sebagaimana ketentuan Pasal 547
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
pejabat negara yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan
tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa
Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”
Tindak Pidana Menggunakan Anggaran Pemerintah Untuk Disumbangkan atau Diberikan kepada Pelaksana Kampanye
Sebagaimana ketentuan Pasal 548
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
orang yang menggunakan anggaran pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah (BUMD), Pemerintah Desa atau sebutan
lain dan badan usaha milik desa untuk disumbangkan atau diberikan kepada
pelaksana kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 ayat (4), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”
Tindak Pidana KPU Kabupaten/Kota Tidak Menetapkan Pemungutan Suara Ulang di TPS
Sebagaimana ketentuan Pasal 549
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Dalam
hal KPU kabupaten/kota tidak menetapkan pemungutan suara ulang di TPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 373 ayat (3) sementara persyaratan dalam
Undang-Undang ini telah terpenuhi, anggota KPU kabupaten/kota dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).”
Bahwa Pemungutan suara ulang di TPS dilaksanakan
paling lama 10 (sepuluh) hari setelah hari pemungutan suara berdasarkan
keputusan KPU Kabupaten/Kota. (vide Pasal 373 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Tindak Pidana Pelaksana atau Peserta Kampanye Sengaja atau Lalai Mengakibatkan Terganggunya Tahapan Penyelenggaraan Pemilu
Sebagaimana ketentuan Pasal 550
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
pelaksana atau peserta kampanye yang terbukti dengan sengaja atau lalai yang
mengakibatkan terganggunya tahapan Penyelenggaraan Pemilu, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua
puluh empat juta rupiah).”
Tahapan Penyelenggaraan Pemilu yang dimaksud di sini
adalah meliputi:
a.
Perencanaan
program dan anggaran serta penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan
Pemilu;
b.
Pemutakhiran data
Pemilih dan penyusunan daftar Pemilih;
c.
Pendaftaran dan
verifikasi Peserta Pemilu;
d.
Penetapan Peserta
Pemilu;
e.
Penetapan jumlah
kursi dan penetapan daerah pemilihan;
f.
Pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota;
g.
Masa Kampanye
Pemilu;
h.
Masa Tenang;
i.
Pemungutan dan
penghitungan suara;
j.
Penetapan hasil
Pemilu; dan
k.
Pengucapan
sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota. (vide Pasal 3 Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahap dan Jadwal Penyelenggaraan
Pemilihan Umum Tahun 2024)
Tindak Pidana Anggota KPU, PPK atau PPS Sengaja Menghilangkan atau Berubahnya Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara
Sebagaimana ketentuan Pasal 551
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Anggota
KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, dan/atau PPS yang karena
kesengajaannya mengakibatkan hilang atau berubahnya berita acara rekapitulasi
hasil penghitungan perolehan suara dan/atau sertifikat rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta
rupiah).”
Tindak Pidana Calon Presiden atau Wakil Presiden Mengundurkan Diri Setelah Calon Presiden dan Wakil Presiden sampai dengan Pelaksanaan Pemungutan Suara Putaran Pertama
Sebagaimana ketentuan Pasal 552 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
calon Presiden atau Wakil Presiden yang dengan sengaja mengundurkan diri
setelah penetapan calon Presiden dan Wakil Presiden sampai dengan pelaksanaan
pemungutan suara putaran pertama, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah).”
Tindak Pidana Pimpinan Partai Politik atau Gabungan Pimpinan Parpol Menarik Calonnya sampai dengan Pelaksanaan Pemungutan Suara Putaran Pertama
Kemudian, ketentuan Pasal 552 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Pimpinan
Partai Politik atau gabungan pimpinan Partai Politik yang dengan sengaja
menarik calonnya dan/atau Pasangan Calon yang telah ditetapkan oleh KPU sampai
dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran pertama, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000.000,00
(lima puluh miliar rupiah).”
Tindak Pidana Calon Presiden Mengundurkan Diri Setelah Pemungutan Suara Putara Pertama
Sebagaimana ketentuan Pasal 553 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Setiap
calon Presiden atau Wakil Presiden yang dengan sengaja mengundurkan diri
setelah pemungutan suara putaran pertama sampai dengan pelaksanaan pemungutan
suara putaran kedua, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).”
Tindak Pidana Pimpinan Partai Politik atau Gabungan Pimpinan Parpol Menarik Calonnya Setelah Pemungutan Suara Putara Pertama
Kemudian, ketentuan Pasal 553 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Pimpinan
Partai Politik atau gabungan pimpinan Partai Politik yang dengan sengaja
menarik calonnya dan/atau Pasangan Calon yang telah ditetapkan oleh KPU sampai
dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran kedua, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah).”
Tindak Pidana Penyelenggara Pemilu Melakukan Tindak Pidana Pemilu Ditambah 1/3 Hukuman
Sebagaimana ketentuan Pasal 554
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyatakan
bahwa:
“Dalam hal Penyelenggara Pemilu melakukan tindak pidana Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 488, Pasal 491, Pasal 492, Pasal 500, Pasal 504, Pasal 509, Pasal 510, Pasal 511, Pasal 518, Pasal 520, Pasal 523, Pasal 525 ayat (1), Pasal 526 ayat (1), Pasal 531, Pasal 532, Pasal 533, Pasal 534, Pasal 535, dan Pasal 536, pidana bagi yang bersangkutan ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ketentuan pidana yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.”
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.