Foto: Ilustrasi Sita Jaminan Fidusia (Mindra Purnomo/tim infografis detikcom) |
Pertanyaan
Izin bertanya pak, perusahaan kami mengadakan
perjanjian pembiayaan kendaraan bermotor dengan debitur (konsumen) dengan
menggunakan jaminan fidusia. Debitur kemudian tidak menjalankan kewajibannya
dan telat bayar. Kemudian, kami memberikan peringatan (SP). Apakah kami harus
mengajukan terlebih dahulu gugatan sederhana ke Pengadilan Negeri setempat?
Mengingat wanprestasi merupakan bukti sebagai syarat parate eksekusi apabila
merujuk pada Putusan MK. Terima kasih.
Jawaban
Pengatar
Sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 2
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, menyebutkan
bahwa:
“Jaminan
Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya
bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap
berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia
terhadap kreditur lainnya.”
Pemberi Fidusia di sini adalah pemilik benda, yang
kemudian disebut debitur adalah pihak yang mempunyai utang karena perjanjian
atau undang-undang.[1] Berdasarkan
ketentuan di atas dapat dikatakan bahwa karakteristik dari jaminan fidusia
adalah kepercayaan[2],
mengingat dengan adanya “perjanjian” tersebut dan saat suatu benda yang diikat
dengan jaminan fidusia, penguasaan benda tersebut tetap berada dalam penguasaan
pemberi fidusia (pemilik benda), akan tetapi benda tersebut sebagai angunan
bagi pelunasan utang yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima
Fidusia yaitu orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang
pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia, yang kemudian disebut juga
sebagai kreditur.[3]
Kemudian lagi yang menjadi ciri khas dari jaminan
fidusia adalah terkait cara eksekusi objek jaminannya yaitu kreditur
bisa melakukan sendiri eksekusi objek jaminan fidusia tanpa melalui Pengadilan
Negeri, hal ini dikenal dengan parate eksekusi. (vide Penjelasan
Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia)
Untuk prosedur parate eksekusi jaminan fidusia
memiliki fitur khusus yang disediakan oleh Undang-Undang agar dapat memastikan
bahwa eksekusi jaminan fidusia bisa dilaksanakan secara cepat, efektif, dan
efisien tanpa perlu melibatkan ranah pengadilan.
Saat membicarakan mengenai parate eksekusi, sejatinya
tidak terlepas pada eksekusi terhadap grosse akta. Sebagaimana
ketentuan Pasal 224 HIR, bahwa eksekusi yang dijalankan
ialah memenuhi isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Pasal tersebut
menjadi dasar memperbolehkan mengeksekusi perjanjian dengan catatan perjanjian
tersebut berbentuk grosse akta. Grosse akta merupakan eksekusi
langsung, artinya eksekusi yang tidak didahului dengan adanya putusan
pengadilan, tetapi didasarkan atas adanya Grosse Akta tersebut.
Sehingga dapat diketahui pula titel eksekutorial bukan
hanya terdapat dalam putusan pengadilan saja, melainkan juga terdapat dalam
akta-akta otentik seperti dalam Pasal 224 HIR/258 RBg (Rechtsreglement
Voor De Buitengewesten), yang sudah kami jelaskan di atas yang dikenal
dengan nama grosse akta tadi dan pada Sertifikat Jaminan
Fidusia melalui Pasal 15 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia.
Berdasarkan Pasal 29 ayat (1) Undang Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang menyatakan bahwa:
“Apabila
debitur atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi
objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara:
a.
Pelaksanaan titel
eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh Penerima
Fidusia;
b.
Penjualan Benda
yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri
melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan;
c.
Penjualan di
bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima
Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang
menguntungkan para pihak.”
Ada 2 (dua) kemungkinan dari hasil pelelangan atau
penjualan barang fidusia, yaitu: (vide Pasal 34 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia)
1.
Hasil eksekusi
melebihi nilai penjaminan, penerima fidusia wajib mengembalikan hasil
kelebihannya tersebut kepada pemberi fidusia; atau
2.
Hasil eksekusi
tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitur atau pemberi fidusia tetap
bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar.
Dilihat dari ketentuan di atas diketahui bahwa
eksekusi objek jaminan fidusia dapat dengan melalui pelaksanaan parate eksekusi
yang mana ketentuan tersebut mempertegas bahwa eksekusi pada jaminan fidusia
dilakukan dengan proses sederhana, mudah, dan cepat, melalui pelaksaanaan
parate eksekusi yang bisa dilakukan kreditur.
Jadi, dalam proses eksekusi benda yang menjadi objek
jaminan fidusia berdasarkan Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1.
Berdasarkan
Sertifikat Jaminan Fidusia yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kreditur
atas kekuasaannya sendiri dapat menjual benda yang menjadi objek jaminan
fidusia kepada pihak ketiga. Penjualan tersebut dapat dilakukan sendiri oleh
kreditur tanpa bantuan kantor lelang;
2.
Kreditur dapat
melakukan penjualan terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia melalui
pelelangan umum dan hasil penjualan melalui lelang tersebut digunakan untuk
melunasi utang debitur;
3.
Berdasarkan
kesepakatan kreditur dan debtur atau pemilik benda yang menjadi objek jaminan
fidusia, dapat menjual benda yang menjadi objek jaminan jika dengan cara ini
akan diperoleh harga tinggi yang menguntungkan kreditur dan debitur.
Pelaksanaan eksekusi dengan cara ini harus diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua)
surat kabar yang tersebar di daerah yang bersangkutan dan diberitahukan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan.
Eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang
bertentangan dengan cara-cara tersebut di atas dinyatakan batal demi hukum, dan
dalam rangka eksekusi atau penjualan benda yang menjadi jaminan fidusia maka
pemberi fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia
kepada kreditur penerima fidusia.
Dalam hal debitur melakukan penolakan untuk dilakukan
eksekusi karena debitur telah memenuhi kewajibannya maka debitur dapat
melakukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan ke pengadilan.
Seiring dengan perkembangannya, irah-irah putusan yang
terdapat pada Sertifikat Jaminan Fidusia seolah memicu terjadinya permasalahan.
Eksekusi sepihak dari kreditur dianggap sebagai bentuk pemaksaan kreditur
terhadap debitur. Kreditur melakukan tindakan sewenang-wenang, manarik
kendaraan sebagai objek jaminan fidusia secara paksa dengan mengunakan
jasa debt collector yang mengarah perbuatan pidana. Debitur
yang wanprestasi berhadapan dengan debt collector yang harus
menyerahkan kendaraannya secara paksa kepada debt collector.
Debitur yang berada pada posisi yang lemah tidak seimbang dengan kreditur pada
posisi yang kuat secara ekonomi berhadapan dengan dengan debt collector yang
disewa jasanya oleh perusahaan leasing.
Respon dari persoalan ini adalah adanya pengujian
kepada Mahkamah Konstitusi tentang ketentuan dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor
42 Tahun 1999 telah di uji ke Mahkamah Konstitusi, yang melahirkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.
Sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019,
menyatakan bahwa Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia kemudian ditafsirkan:
1.
Sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap
jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi)
dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan
fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi
Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan
eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;
2.
Menyatakan Pasal
15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sepanjang
frasa “cidera janji” bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cidera janji
tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan
antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan
telah terjadinya cidera janji.”
3.
Menyatakan bahwa
Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” bertentangan
dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap
jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur
keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka
segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat
Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”
Berdasarkan penjelasan di atas Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 telah menyebabkan
perubahan pada eksekusi jaminan fidusia yang semula bisa selesai dengan cepat
menjadi melalui proses pengadilan melemahkan posisi kreditur dan menimbulkan
potensi ketidaksepakatan yang terjadi antara debitur dan kreditur.
Sehingga akibat hukum yang ditimbulkan Penentuan
cidera janji (wanprestasi), didasarkan pada 2 (dua) cara, yaitu:
1)
Adanya
kesepakatan atau debitur mengakui telah cidera janji (wanprestasi); dan
2)
Apabila tidak ada
kesepakatan antara debitur dan kreditur tentang adanya cidera janji
(wanpretasi), maka yang menentukan adalah pengadilan negeri. Di sini artinya,
menegaskan bahwa eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui pengadilan negeri
hanya sebuah alternatif.
Alternatif yang dimaksud adalah pilihan apabila
kesepakatan wanprestasi tidak dicapai dan tidak ada penyerahan sukarela objek
jaminan fidusia oleh debitur, maka pilihan eksekusinya tidak boleh dilakukan
sendiri oleh kreditur, tapi minta bantuan pengadilan negeri untuk melakukan
eksekusi karena hak Kreditur untuk melakukan parate eksekusi masih dibatasi.
Kemudian timbul Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU- XIX/2021 yang
merupakan penegasan saja dan tidak ada perbedaan dengan putusan Mahkamah
Konstitusi sebelumnya (Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019).
Kemudian dengan mengutip Putusan Pengadilan
Negeri Jombang Nomor 3/Pdt.G.S/2021/PN.Jbg tanggal 22 Maret 2021,
dalam pertimbangan hukum hakim tunggal yang memeriksa sebagai berikut:
“bahwa
kedudukan kreditur sebagai penerima fidusia yang memegang hak milik atas obyek
jaminan hanya sebagai jaminan menunjukkan bahwa kreditur tersebut bukan pemilik
objek jaminan, perjanjian jaminan sebagai perjanjian accesoir atas perjanjian
kredit maka keberadaannya tergantung pada perjanjian pokoknya tersebut, dalam
hal debitur tidak memenuhi kewajibannya pada perjanjian pokok, maka debitur
tersebut dapat dikatakan wanprestasi dan dalam keadaan debitur wanprestasi maka
kreditur baru dapat melaksanakan haknya untuk mengeksekusi obyek jaminan karena
obyek jaminan tersebut sebagai jaminan pelunasan utang debitur, karena
kreditur memegang hak milik atas objek jaminan hanya sebagai benda jaminan,
maka kreditur tidak dapat secara otomatis memiliki objek jaminan tersebut
apabila debitur wanprestasi dan berdasarkan Pasal 33 UU Fidusia
menyebutkan bahwa setiap janji yang memberikan kewenangan penerima fidusia
untuk memiliki objek jaminan adalah batal demi hukum, dimana guna pelunasan
utang debitur maka dapat dilakukan eksekusi menurut ketentuan Pasal 29
Undang-Undang Fidusia.”
Berdasarkan pertimbangan di atas dapat dikatakan bahwa
terjadinya ketidaksepakatan antara debitur dan kreditur kemudian, kreditur
melakukan gugatan ke Pengadilan, yang mana dari ketidaksepakatan itu
menyebabkan kerugian kepada kreditur yang mana bentuk kerugian kreditur bisa
dilihat dari posisi benda yang tidak dapat dieksekusi dan otomatis berada di
tangan debitur dan keadaan ini pun sekaligus menghambat pertumbuhan ekonomi
dari kreditur.
Akhir kata, bahwa Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 telah menyebabkan pengurangan
perlindungan hak kepada kreditur. Pengurangan hak tersebut dapat diketahui
karena makna cidera janji atau wanprestasi telah berubah, kemudian proses
eksekusi yang tidak bisa serta merta lagi dilakukan oleh kreditur menyebabkan
laju perputaran roda ekonomi kreditur menjadi terganggu karena posisi objek
jaminan fidusia akan berada ditangan debitur dan membuka peluang terjadinya
ketidaksepakatan antara debitur dan kreditur. Kemudian, Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 tidak memberikan
kepastian hukum bagi kreditur terkait tata cara eksekusi jaminan fidusia dan
membuat kreditur kesulitan dalam mengeksekusi jaminan fidusia. Ditambah tidak
jelasnya mengenai penentuan cidera janji khususnya dalam Jaminan Fidusia (secara
khusus) seperti apa yang dimaksudkan “Ketidaksepakatan” tersebut sehingga
memperlambat proses eksekusi objek jaminan fidusia yang ada.
Sehingga, Kreditur (Anda) baru dapat mengeksekusi jika
sudah memenuhi 2 (dua) syarat secara kumulatif, yaitu pertama adanya
kesepakatan tentang telah terjadinya cidera janji (wanprestasi) dan kedua yaitu
Pemberi Fidusia (debitur) dengan sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia
dalam rangka eksekusi.
Putusan MK tersebut memang tidak serta merta
menghilangkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
eksekusi jaminan fidusia. Putusan tersebut hanya memberikan pemaknaan jika
terdapat perselisihan (ketidaksepakatan), maka proses eksekusi dilakukan dengan
mengajukan eksekusi ke pengadilan bukan gugatan ataupun meminta putusan ke
pengadilan. Artinya, dari sisi kreditur (Anda) tata cara eksekusi objek jaminan
fidusia berdasarkan pada ketentuan Pasal 196 HIR atau Pasal
208 RBg memiliki inti, yaitu dengan mengajukan permohonan
penetapan eksekusi ke pengadilan.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia
yang ada di sini. Terima
Kasih.