layananhukum

Apakah Boleh Melakukan Penangkapan Tanpa Surat Perintah Penangkapan?

Ilustrasi Surat Penangkapan

Pertanyaan

Pak, apakah boleh polisi melakukan penangkapan tanpa diserta terlebih dahulu oleh Surat Penangkapan?

Jawaban

Penangkapan dilakukan terhadap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup, sehingga proses penangkapan harus didasarkan pada alasan yang jelas dan kuat, sekurang-kurangnya dengan 2 (dua) alat bukti. Misalnya, adanya keterangan saksi korban dan keterangan satu orang saksi lainnya ditambah dengan keterangan ahli yang dihadirkan penyidik, atau bahkan dapat dari keterangan tersangka.

Pada saat melakukan penangkapan, petugas harus memperlihatkan surat tugas yang menandakan bahwa dirinya sedang menjalankan tugas yang sah dan surat perintah penangkapan sebagai dasar tindakan penangkapan yang dilakukan. Kemudian, harus disebutkan alasan yang menjadi dasar dalam proses penangkapan tersebut dilakukan dan dituangkan dalam surat perintah penangkapan kemudian disampaikan kepada pihak tersangka ketika dilakukan penangkapan.

Jadi, penangkapan pada prinsipnya dilakukan dengan Surat Perintah yang sah dari penyidik berdasarkan laporan adanya dugaan tindak pidana dan sekurang-kurangnya telah didapatkan 2 (dua) alat bukti permulaan yang cukup bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana. (vide Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut dengan “KUHAP” jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014)

Dalam praktiknya, penangkapan juga dapat dilakukan jika setelah dipanggil secara patut, tersangka tidak memenuhi pemanggilan tanpa alasan yang sah atau adanya kekhawatiran tersangka akan melarikan diri, sehingga diperlukan tindakan penangkapan untuk membatasi pergerakan tersangka agar tidak mempersulit proses pemeriksaan sebelum dilanjutkan dengan penahanan.

Tembusan surat perintah penangkapan harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan. Segera di sini tidak lebih dari 7 (tujuh) hari sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XI/2013. Persoalan lainnya adalah jika tersangka tidak membawa identitas apapun dan tidak mau menyampaikan dimana keberadaan keluarganya? Dalam kondisi seperti itu penyidik harus membuat berita acara yang menerangkan bahwa tersangka tidak mau menyampaikan keberadaan keluarganya, sehingga tidak menghambat proses penyidikan selanjutnya, meskipun tidak dilakukan penyampaian tembusan surat perintah penangkapan tersebut kepada keluarganya.

Setelah dilakukan penangkapan penyidik harus membuat Berita Acara Penangkapan sebagai bukti bahwa telah dilakukan penangkapan dengan menyebutkan identitas tersangka dan petugas yang melakukan penangkapan, waktu dan tempat dilakukan penangkapan, dasar dan alasan dilakukan penangkapan serta saksi-saksi yang menyaksikan pada saat dilakukan penangkapan. Berita acara penangkapan ditandatangani oleh petugas yang melakukan penangkapan, tersangka yang ditangkap dan saksi-saksi. Dalam hal tersangka tidak mau menandatangani berita acara penangkapan, penyidik menyebutkan dalam berita acara penangkapan tentang alasan tersangka tidak mau membubuhkan tanda tangan.

Catatan: tindakan penangkapan dilakukan oleh penyidik sendiri atau oleh penyelidik yang diberikan tugas dan kewenangan untuk melakukan penangkapan berdasarkan surat perintah dari penyidik. Dalam hal penangkapan dilakukan oleh penyelidik, maka surat perintah dikeluarkan oleh penyidik karena terhadap tindakan penangkapan, penggeledahan dan penyitaan, penyelidik tidak dapat melakukannya sendiri. (vide Pasal 5 ayat (1) huruf b KUHAP).

Penangkapan Tanpa Surat Perintah Penangkapan

Kadang muncul suatu pertanyaan apakah boleh seseorang ditangkap tanpa surat perintah penangkapan? Sebagaimana ketentuan Pasal 18 ayat (2) KUHAP, menyebutkan bahwa:

“Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.”

Kemudian timbul lagi pertanyaan apakah orang yang tertangkap tangan sebagaimana ketentuan di atas perlu ditetapkan lagi menjadi tersangka? Untuk menjawab pertanyaan kedua tersebut, maka pertama kita harus menyamakan persepsi terlebih dahulu bahwa tertangkap tangan dalam konteks KUHAP, sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 19 KUHAP, menyebutkan bahwa:

“Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau apabila sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.”

Berdasarkan ketentuan di atas tertangkap tangan prosesnya dilakukan secara spontan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu, artinya sebagai berikut:

1.        Bersamaan dengan tindak pidana itu berlangsung; atau

2.       Sesaat setelah tindak pidana dilakukan; atau

3.      Sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya; atau

4.       Sesaat kemudian padanya ditemukan barang yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana.

Maka ia berbeda dengan proses penangkapan biasa yang sebelumnya telah didahului oleh proses penyelidikan dan penyidikan.  

Meskipun telah dilakukan penangkapan, penyidik tetap harus melengkapi persyaratan-persyaratan formil untuk sahnya seseorang tersebut ditetapkan menjadi tersangka, antara lain harus adanya bukti permulaan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti dan dugaan kuat bahwa ia sebagai pelaku tindak pidana. Setelah penangkapan dilakukan, penyidik harus melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang mengetahui kejadian tindak pidana sekaligus melakukan pemeriksaan terhadap orang yang ditangkap, sehingga pada hari yang sama, penyidik melakukan pemeriksaan dan menetapkan tersangka, jika telah memenuhi persyaratan untuk jadi tersangka.

Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata orang yang ditangkap ternyata bukan pelaku tindak pidana, maka pada hari itu juga harus dibebaskan kembali. Berdasarkan apa diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa meskipun seseorang telah ditangkap (tertangkap tangan) tidak secara otomatis langsung menjadi tersangka, namun tetap harus melalui proses pemeriksaan sampai mendapatkan bukti permulaan untuk menjadi dasar dalam menetapkan tersangka.

Kondisi tertangkap tangan sifatnya khusus, sehingga petugas dapat melakukan tindakan paksa terlebih dahulu baru kemudian persyaratan formil administrasi dilakukan menyusul, hal ini dimaksudkan untuk melumpuhkan dan menghentikan terlebih dahulu tindakan si pelaku agar dampak dan akibat dari perbuatan tersebut tidak terlalu besar bagi orang-orang yang ada di lokasi tersebut, selain itu penangkapan dalam kondisi sedang atau sesaat setelah terjadinya tindak pidana merupakan tindakan darurat agar si pelaku tidak melarikan diri.[1]

Dalam kasus tertangkap tangan, proses penangkapan dilakukan tanpa menggunakan surat perintah. Ketentuan tersebut memberikan dasar kepada petugas atau siapa saja yang mengetahui terjadinya tidak pidana untuk melakukan penangkapan kepada si pelaku, meskipun tanpa dibekali oleh surat perintah. Kondisi yang digambarkan oleh ketentuan Pasal 18 ayat (2) KUHAP bersifat eksepsionil atau khusus karena dalam kondisi si pelaku sedang melakukan tindak pidana tidak mungkin petugas mempersiapkan surat perintah penangkapan terlebih dahulu untuk melakukan penangkapan, sehingga dalam kondisi darurat, yaitu saat terjadinya tindak pidana, maka siapa saja boleh melakukan penangkapan sepanjang kondisinya memungkinkan.

Bagi petugas kepolisian atau petugas keamanan wajib melakukan penangkapan jika terjadi adanya tindak pidana karena melekat dengan tugas dan jabatannya, sedangkan bagi masyarakat pada umumnya boleh melakukan tindakan penangkapan, jika dipandang tidak membahayakan dirinya, namun tidak menjadi sebuah kewajiban.

Dalam hal penangkapan dilakukan bukan oleh petugas kepolisian, pihak atau orang yang melakukan penangkapan harus segera menyerahkan kepada pihak kepolisian untuk dilakukan pemeriksaan selanjutnya.

Orang yang melakukan penangkapan tidak boleh main hakim sendiri dan dilarang melakukan tindakan kekerasan karena orang yang ditangkap tetap harus diperlakukan sebagai orang yang belum tentu bersalah sampai dengan adanya keputusan hakim yang telah menyatakan ia bersalah dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Meskipun penangkapan dalam situasi tertangkap tangan tidak memerlukan surat perintah, namun setelah penangkapan itu dilakukan penyidik tetap wajib membuat berita acara penangkapan dan berita acara penangkapan tersebut harus disampaikan kepada pihak keluarga tersangka sebagai pengganti surat perintah penangkapan.

Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dapat dilakukan sekaligus dengan penggeledahan badan, penggeledahan pakaian maupun penggeledahan rumah untuk mencari dan mengamankan barang-barang yang diduga digunakan untuk melakukan tindak disembunyikannya barang-barang yang dapat menjadi barang bukti dalam perkara tindak pidana tersebut. (vide Pasal 40 KUHAP)

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


[1] D.Y Witanto, “Hukum Acara Praperadilan Dalam Teori dan Praktik”, (Depok: Imaji Cipta Karya, 2019), 66.

Formulir Isian