Ilustrasi Paul Tanaka Menjalani Pemeriksaan Peradilan Pidana |
KUHAP membedakan upaya hukum biasa (gewone
rechtsmiddelen) dan upaya hukum luar biasa (buitengewone rechtsmiddelen),
upaya hukum biasa diatur dalam BAB XVII KUHAP, sedangkan upaya hukum luar biasa
pada BAB XVIII KUHAP.
Pada praktik peradilan, setelah putusan diucapkan, ada
suatu keharusan bagi Hakim Ketua Sidang untuk memberitahukan kepada terdakwa
tentang segala apa yang menjadi hak terdakwa yang satu di antaranya adalah
dilakukannya upaya hukum. (vide Pasal 196 ayat (3) huruf d
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana) Begitupun
hal ini dapat dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum (vide Pasal
1 Angka 12, Pasal 149 ayat (1), Pasal 156 ayat (3), Pasal 233 sampai
dengan Pasal 243, dan Pasal 244 sampai
dengan Pasal 258 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana atau “KUHAP” memberikan definisi dari “Upaya Hukum” adalah adalah hak
terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa
perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan
permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur-dalam
undang-undang ini (KUHAP).[1] Menurut
Lilik Mulyadi[2] adapun
maksud dari upaya hukum itu sendiri pada pokoknya adalah:
a.
Untuk memperbaiki
kesalahan yang dibuat oleh instansi sebelumnya;
b.
Untuk kesatuan
dalam peradilan.
Dengan adanya upaya hukum ini, ada jaminan bagi
terdakwa ataupun masyarakat bahwa peradilan baik menurut fakta dan hukum adalah
benar dan sejauh mungkin seragam. Sedangkan menurut pandangan doktrina, upaya
hukum merupakan sarana untuk melaksanakan hukum, yaitu hak terpidana atau
jaksa/penuntut umum tidak menerima penetapan atau putusan pengadilan, karena
merasa tidak puas dengan penetapan atau putusan tersebut.[3]
Upaya Hukum Biasa (gewone rechtsmiddelen)
Adapun upaya hukum biasa (gewone rechtsmiddelen)
baik ditinjau dari KUHAP dan praktiknya sebagai berikut:
Perlawanan (Verzet)
Perlawanan atau “verzet” merupakan satu di
antara upaya hukum biasa sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 12,
Pasal 149 ayat (1), Pasal 156 ayat (3), dan Pasal 214
KUHAP. Pada dasarnya, Perlawanan atau “verzet” itu hanya dapat
dilakukan terhadap pelimpahan perkara dan terhadap putusan Pengadilan Negeri
yang belum diperiksa “pokok perkaranya”. Kalau dijabarkan lebih mendalam,
formulasi bentuk perlawanan ini dapat diajukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu:
1.
Setelah Jaksa
Penuntut Umum melimpahkan perkara tersebut kepada Pengadian Negeri setempat,
kemudian Ketua Pengadilan Negeri tempat pelimpahan perkara mengeluarkan “Surat
Penetapan” atau “Penetapan” karena berpendapat bahwa perkara tersebut bukan
wewenang Pengadilan Negeri yang dipimpinnya, tetapi termasuk wewenang
Pengadilan Negeri lain (vide Pasal 148 ayat (1) KUHAP)
dan kemudian terhadap “Surat Penetapan” atau “Penetapan” tersebut, apabila
Jaksa Penuntut Umum keberatan, dapat mengajukan Perlawanan atau “verzet”
kepada Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah
“Surat Penetapan” atau “Penetapan” diterima dan Pengadilan Tinggi dalam waktu
14 (empat belas) hari setelah menerima perkara tersebut dapat menguatkan atau
menolak perlawanan tersebut dengan Surat Penetapan. (vide Pasal
149 ayat (1), ayat (2) KUHAP)
2.
Setelah perkara
tersebut diperiksa oleh Majelis Hakim, kemudian adanya “keberatan” atau
“eksepsi” dari terdakwa dan/atau penasihat hukumnya dibenarkan oleh Majelis
Hakim sehingga perkara tersebut diputus dengan bentuk “penetapan” atau “putusan
sela” (tussenvonnis).
Terhadap hal ini, apabila Jaksa Penuntut Umum
berkeberatan, ia dapat mengajukan perlawanan (verzet) kepada Pengadilan
Tinggi melalui Pengadilan Negeri yang bersangkutan. (vide Pasal
156 ayat (3) KUHAP)
Banding (Hoger beroep strafzaak)
Banding dilakukan oleh Pengadilan Tinggi yang
merupakan peradilan “ulangan” atau “revisi” dari putusan Pengadilan Negeri.
Pada intinya, Pengadilan Tinggi memeriksa kembali perkara pidana secara
keseluruhannya baik mengenai fakta maupun penerapan hukumnya sehingga peradilan
tingkat banding lazim juga disebut dengan istilah “peradilan tingkat dua”
dari Judex Facti.
Prosedur dan pemeriksaan dilakukan secara umum, dapat
diajukan terhadap semua putusan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri)
sepanjang yang diajukan banding memenuhi ketentuan Pasal 67 dan Pasal
233 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa:
Pasal 67:
“Terdakwa
atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan
tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan
hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan
pengadilan dalam acara cepat.”
Pasal 233 ayat (1):
“Permintaan
banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dapat diajukan ke pengadilan tinggi
oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut umum.”
Menurut Sampur Dongan Simamora[4] sistem
peradilan di Indonesia hanya mengenal 2 (dua) tingkat peradilan, yaitu
Pengadilan Negeri sebagai instansi peradilan tingkat pertama dan Pengadilan
Tinggi sebagai instansi peradilan tingkat kedua dan terakhir, sedangkan
Mahkamah Agung tidak diartikan sebagai instansi tingkat ketiga, tetapi
disebutkan bahwa peradilan kasasi yang fungsinya memeriksa kesalahan penerapan
hukum bukan terkait dengan fakta hukum, ini yang kemudian disebut dengan Judex
Juris.
Hal ini ditegaskan oleh Prof. Mr. J.M van Bemmelen[5] yang
menyatakan bahwa banding itu merupakan een toetsing van het vonnis in
eerste aanleg op zijn juistheid voor zever herwordt bestreden atau
suatu penilaian atas suatu ketepatan putusan peradilan tingkat pertama, yang
disangkal kebenarannya. Oleh karenanya lebih lanjut menurut Prof. Mr. J.M van
Bemmelen, “banding” merupakan “een geheel nieuwe behandeling der
zaak” atau pemeriksaan yang sama sekali baru mengenai (pokok) suatu
perkara.
Prosedur Mengajukan Banding
Merujuk pada Surat Keputusan Ketua Mahkamah
Agung Nomor: KMA/032/SK/IV/2007 tentang Memberlakukan Buku II Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan sebagaimana “Buku
II: Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana
Khusus”[6] dibagi
menjadi 2 (dua) yaitu pemberkasan Banding yang dilakukan di Pengadilan Negeri
dan pemberkasan banding setelah diterima di Pengadilan Tinggi, menyatakan untuk
prosedur banding sebagai berikut:
1.
Membuat:
a)
Akta permohonan
pikir-pikir bagi terdakwa.
b)
Akta permintaan
banding.
c)
Akta terlambat
mengajukan permintaan banding.
d)
Akta pencabutan
banding.
2.
Permintaan
banding yang diajukan, dicatat dalam register induk perkara pidana dan register
banding oleh masing-masing petugas register.
3.
Permintaan
banding diajukan selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan
dijatuhkan, atau 7 (tujuh) hari setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa
yang tidak hadir dalam pengucapan putusan. (vide Pasal 233
ayat (2) KUHAP) Kemudian, disebutkan juga bahwa spabila tenggang waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233 ayat (2) telah lewat tanpa diajukan
permintaan banding oleh yang bersangkutan, maka yang bersangkutan dianggap
menerima putusan. (vide Pasal 234 ayat (1) KUHAP)
4.
Permintaan
banding yang diajukan melampaui tenggang waktu tersebut di atas tetap dapat
diterima dan dicatat dengan membuat Surat Keterangan Panitera bahwa permintaan
banding telah lewat tenggang waktu dan harus dilampirkan dalam berkas perkara.
5.
Dalam hal pemohon
tidak datang menghadap, hal ini harus dicatat oleh Panitera dengan disertai
alasannya dan catatan tersebut harus dilampirkan dalam berkas perkara.
6.
Panitera wajib
memberitahukan permintaan banding dari pihak yang satu kepada pihak yang lain.
7.
Tanggal
penerimaan Memori Banding dan Kontra Memori Banding dicatat dalam register dan
salinan memori serta kontra memori disampaikan kepada pihak yang lain, dengan
relaas pemberitahuan.
8.
Dalam hal pemohon
belum mengajukan memori banding sedangkan berkas perkara telah dikirimkan ke
Pengadilan Tinggi, pemohon dapat mengajukannya langsung ke Pengadilan Tinggi,
sedangkan salinannya disampaikan ke Pengadilan Negeri untuk disampaikan kepada
pihak lain.
9.
Selama 7 (tujuh)
hari sebelum pengiriman berkas perkara kepada Pengadilan Tinggi, pemohon wajib
diberi kesempatan untuk mempelajari berkas perkara tersebut di Pengadilan
Negeri.
10.
Jika kesempatan
mempelajari berkas diminta oleh pemohon dilakukan di Pengadilan Tinggi, maka
pemohon harus mengajukan secara tegas dan tertulis kepada Ketua Pengadilan
Negeri.
11.
Berkas perkara
banding berupa bundel “A” dan bundel “B” dalam waktu selambat-lambatnya 14
(empat belas) hari sejak permintaan banding diajukan sesuai dengan Pasal
236 ayat (1) KUHAP, harus sudah dikirim ke Pengadilan Tinggi.
12.
Selama perkara
banding belum diputus oleh Pengadilan Tinggi, permohonan banding dapat dicabut
sewaktu-waktu, untuk itu Panitera membuat Akta pencabutan banding yang
ditandatangani oleh Panitera, pihak yang mencabut dan diketahui oleh Ketua
Pengadilan Negeri. Akta tersebut dikirim ke Pengadilan Tinggi.
13.
Salinan putusan
Pengadilan Tinggi yang telah diterima olch Pengadilan Negeri, harus
diberitahukan kepada terdakwa dan penuntut umum dengan membuat Akta
Pemberitahuan Putusan.
14.
Petugas register
harus mencatat semua kegiatan yang berkenaan dengan perkara banding, dan
pelaksanaan putusan ke dalam buku register terkait.
15.
Pelaksanaan tugas
pada Meja Kedua, dilakukan oleh Panitera Muda Pidana dan berada langsung
dibawah koordinasi Wakil Panitera.
Penerimaan Berkas Perkara Banding di Pengadilan Tinggi
1.
Petugas menerima
berkas perkara banding yang dikirim oleh Pengadilan Negeri berikut relaas
pemberitahuan/penyerahan memori atau kontra memori banding.
2.
Berkas perkara
dimaksud di atas meliputi pula barang-barang bukti yang diajukan oleh Jaksa
Penuntut Umum, yang sudah dilampirkan dalam berkas perkara. Barang-barang bukti
tersebut dicatat dalam buku daftar barang bukti.
3.
Setelah berkas
perkara lengkap petugas mencatat dalam buku register dengan mencatat sesuai
dengan nomor urut dan tanggal penerimaan.
4.
Dalam hal
Pengadilan Tinggi menerima salinan memori atau kontra memori banding, salinan
disampaikan oleh petugas kepada terbanding atau pembanding melalui Pengadilan
Negeri.
5.
Petugas mencatat
dengan cermat dalam register terkait semua kegiatan yang berhubungan dengan
perkara yang bersangkutan.
Pemberkasan Banding di Pengadilan Tinggi
1.
Perkara yang
telah diputus dalam tingkat banding. Panitera menyiapkan dan mengirimkan
kembali bundel A dan salinan putusan kepada Pengadilan Negeri. Bundel A
merupakan himpunan surat-surat perkara yang diawali dengan surat penetapan
Majelis Hakim dan semua kegiatan / proses persidangan pemeriksaan perkara
tersebut.
2.
Bundel B yang
berkaitan dengan adanya permohonan banding, yang pada akhirnya menjadi arsip
berkas perkara pada Pengadilan Tinggi, merupakan himpunan surat-surat perkara
yang terdiri dari:
1)
Surat permohonan
banding;
2)
Akta pernyataan
banding;
3)
Akta
pemberitahuan permohonan banding;
4)
Memori banding;
5)
Akta
pemberitahuan dan penyerahan memori banding;
6)
Kontra memori
banding;
7)
Akta
pemberitahuan dan penyerahan kontra memori banding;
8)
Surat
pemberitahuan mempelajari berkas perkara;
9)
Berita acara /
akta memeriksa berkas perkara;
10)
Asli putusan;
11)
Surat-surat
lainnya.
Mengenai Kewajiban Penyerahan Memori Banding
Menurut M. Yahya Harahap[7],
memberikan pengertian Memori Banding yaitu uraian atau risalah yang disusun
oleh pemohon banding yang memuat tanggapan terhadap sebagian maupun seluruh
pemeriksaan dan putusan yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama. Di dalam
tanggapan tersebut pemohon mengemukakan kelemahan dan ketidaktepatan kewenangan
mengadili, penerapan, dan penafsiran hukum yang terdapat dalam putusan. Memori
banding juga dapat mengemukakan hal-hal baru atau fakta dan pembuktian baru,
dan meminta supaya hal-hal atau fakta baru itu diperiksa dalam suatu
pemeriksaan tambahan.
Sebelum mengajukan banding dalam perkara pidana,
pembanding harus mengetahui bahwa putusan tersebut boleh untuk diajukan
banding. Putusan yang tidak dapat diajukan banding
adalah putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut
masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara
cepat, sebagaimana diatur dalam Pasal 67 KUHAP.
Selain itu, putusan Praperadilan yang dimaksud Pasal 83 ayat
(1) KUHAP juga tidak dapat diajukan banding.
Berdasarkan ketentuan Pasal 237 KUHAP ternyata pengajuan
Memori Banding tidak bersifat wajib:
“Selama
pengadilan tinggi belum mulai memeriksa suatu perkara dalam tingkat banding,
baik terdakwa atau kuasanya maupun penuntut umum dapat menyerahkan memori
banding atau kontra memori banding kepada pengadilan tinggi.”
Mengenai tenggang waktu pengajuan memori banding dalam
perkara pidana Yahya Harahap kembali menjelaskan bahwa[8] dari
ketentuan pasal (237 KUHAP) tersebut, batas jangka waktu menyerahkan atau
menyampaikan memori dan kontra memori banding, terhitung “sejak tanggal
permohonan” banding diajukan, dan selambat-lambatnya “sebelum perkara mulai
diperiksa”. Berarti pada tanggal hari pemeriksaan yang ditentukan, masih ada
kemungkinan untuk menyerahkan memori atau kontra memori. Batas waktunya, asal
perkaranya belum mulai diperiksa. Umpamanya, berdasar penetapan, perkara yang
bersangkutan akan diperiksa pada tanggal 30 April jam 9.00. Pada tanggal 30
April jam 8.00 masih terbuka kesempatan bagi pemohon banding untuk menyerahkan
memori banding.
Jadi, pengajuan memori banding dalam perkara pidana,
bukan merupakan syarat formil ataupun keharusan. Mengenai tenggang waktu
mengajukan memori banding tidak diatur secara tegas, tetapi dalam praktiknya
adalah pada saat pengajuan permohonan banding.
Kasasi (Cassatie in strafzaken)
Sebagaimana ketentuan Pasal 88 KUHAP,
menyebutkan bahwa:
“Mahkamah
Agung berwenang mengadili semua perkara pidana yang dimintakan kasasi.”
Pemeriksaan Kasasi dilakukan terhadap putusan perkara
pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain
daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan
permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan
bebas. Akan tetapi, sejak Kamis, 28 Maret 2013, frasa “kecuali terhadap putusan
bebas” dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012.
Artinya, Mahkamah Konstitusi mendasarkan
pertimbangannya bahwa larangan mengajukan kasasi atas putusan bebas oleh Jaksa
Penuntut Umum sebagaimana diatur dalam Pasal 244 KUHAP tidak memberikan upaya
hukum biasa terhadap putusan bebas, yang berarti fungsi Mahkamah Agung sebagai
pengadilan kasasi terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh pengadilan yang
ada di bawahnya sama sekali ditiadakan.
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang telah
memberikan kepastian hukum atas pengajuan kasasi terhadap putusan bebas oleh
Jaksa Penuntut Umum, maka diharapkan putusan ini dapat dimaksimalkan menjadi
sarana legal untuk mengoreksi putusan hakim dan apakah penerapan hukum yang
dilakukan sudah sebagaimana mestinya sebagai check and balance untuk
menghindari adanya melampaui kewenangan juga.
Prosedur Permohonan Kasasi Dalam Perkara Pidana
Permohonan kasasi diajukan oleh pemohon kepada
Panitera selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan
Pengadilan diberitahukan kepada terdakwa/ Penuntut Umum dan selanjutnya
dibuatkan akta permohonan kasasi oleh Panitera. (vide Pasal
245 ayat (1) KUHAP jo. Pasal 46 Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung)
Kembali merujuk pada “Buku II: Pedoman Teknis
Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus”[9] menyebutkan
bahwa:
1.
Permohonan kasasi
yang melewati tenggang waktu tersebut, tidak dapat diterima, selanjutnya
Panitera membuat Akta Terlambat Mengajukan Permohonan Kasasi yang diketahui
oleh Ketua Pengadilan Negeri.
2.
Dalam tenggang
waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan kasasi diajukan, pemohon kasasi
harus sudah menyerahkan memori kasasi dan tambahan memori kasasi (jika ada).
Untuk itu petugas membuat Akta tanda terima memori/tambahan memori.
3.
Dalam hal pemohon
kasasi adalah terdakwa yang kurang memahami hukum, Panitera pada waktu menerima
permohonan kasasi wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permohonan
tersebut dan untuk itu Panitera membuatkan memori kasasinya.
4.
Panitera
memberitahukan dan menyerahkan tembusan memori kasasi/ tambahan memori kasasi
kepada pihak lain, untuk itu petugas membuat tanda terima.
5.
Termohon Kasasi
dapat mengajukan kontra memori kasasi, untuk itu Panitera memberikan Surat
Tanda Terima.
6.
Dalam hal pemohon
kasasi tidak menyerahkan memori kasasi dan atau terlambat menyerahkan memori
kasasi, untuk itu Panitera membuat akta.
7.
Apabila pemohon
tidak menyerahkan dan/atau terlambat menyerahkan memori kasasi, berkas perkara
tidak dikirim ke Mahkamah Agung, untuk itu Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan
Surat Keterangan yang disampaikan kepada pemohon kasasi dan Mahkamah Agung (vide SEMA
Nomor 7 Tahun 2005).
8.
Terhadap perkara
pidana yang diancam pidana paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda, putusan
praperadilan tidak dapat diajukan kasasi.
9.
Permohonan kasasi
yang telah memenuhi syarat formal selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat
belas) hari setelah tenggang waktu mengajukan memori kasasi berakhir, berkas
perkara kasasi harus sudah dikirim ke Mahkamah Agung.
10.
Dalam hal
permohonan kasasi diajukan sedangkan terdakwa masih dalam tahanan, Pengadilan
Negeri paling lambat 3 (tiga) hari sejak diterimanya permohonan kasasi tersebut
segera melaporkan kepada Mahkamah Agung melalui surat atau dengan sarana-sarana
elektronik.
11.
Selama perkara
kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan kasasi dapat dicabut oleh
pemohon. Dalam hal pencabutan dilakukan oleh kuasa hukum terdakwa, harus
mendapat persetujuan terlebih dahulu dari terdakwa.
12.
Atas pencabutan
tersebut, Panitera membuat akta pencabutan kasasi yang ditandatangani oleh
Panitera, pihak yang mencabut dan diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri.
Selanjutnya akta tersebut dikirim ke Mahkamah Agung.
13.
Untuk perkara
kasasi yang terdakwanya ditahan, Panitera Pengadilan Negeri wajib melampirkan
penetapan penahanan dimaksud dalam berkas perkara.
14.
Dalam hal perkara
telah diputus oleh Mahkamah Agung, salinan putusan dikirim kepada Pengadilan
Negeri untuk diberitahukan kepada terdakwa dan Penuntut Umum, yang untuk itu
Panitera membuat akta pemberitahuan putusan.
15.
Fotocopy relaas
pemberitahuan putusan Mahkamah Agung, segera dikirim ke Mahkamah Agung.
16.
Petugas buku
register harus mencatat dengan cermat dalam register terkait semua kegiatan
yang berkenaan dengan perkara kasasi dan pelaksanaan putusan.
Legal Standing Pemohon Kasasi (vide Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Agung)
Permohonan kasasi diajukan pihak yang berperkara
atau kuasanya kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam
tingkat pertama, dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan pengadilan
yang dimintakan kasasi itu.diberitahukan kepada terdakwa. (vide Pasal
245 ayat (1) KUHAP jo. Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung) Permohonan
kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan
upaya hukum banding kecuali ditentukan lain oleh Undang- undang. Permohonan
kasasi dapat diajukan hanya 1 (satu) kali. (vide Pasal 43
ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung)
Alasan Permohonan Kasasi
Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan
putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan
karena:
a.
Tidak berwenang
atau melampaui batas wewenang;
b.
Salah menerapkan
atau melanggar hukum yang berlaku;
c.
Lalai memenuhi
syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam
kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. (vide Pasal
30 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung)
Kewajiban Memori Kasasi dan Prosedur Penyampaian Tambahan Memori Kasasi
Disebutkan bahwa Pemohon kasasi wajib mengajukan
Memori Kasasi yang memuat alasan permohonan kasasinya dan dalam waktu 14 (empat
belas) hari setelah mengajukan permohonan tersebut, harus sudah menyerahkannya
kepada panitera yang untuk itu ia memberikan surat tanda terima. (vide Pasal
248 ayat (1) KUHAP) Kemudian, dalam hal pemohon kasasi adalah terdakwa
yang kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima permohonan kasasi
wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permohonan tersebut dan untuk itu
panitera membuatkan memori kasasinya.
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 46, Pasal
47, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal
72 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, terkait
prosedur pengajuan permohonan kasasi/peninjauan kembali, penyampaian memori dan
kontra memori kasasi harus disampaikan kepada pengadilan tingkat pertama yang
memutus perkara yang diajukan upaya hukum dalam tenggang waktu yang telah
ditentukan. Ketentuan tersebut juga secara analogis diberlakukan bagi tambahan
memori/kontra memori. Bahwa apabila dokumen tambahan memori/kontra memori
tersebut disampaikan langsung ke Mahkamah Agung, maka akan dokumen tersebut
akan dikembalikan ke pengadilan tingkat pertama yang terkait. Bahwa, kemudian
terhadap dokumen tambahan memori kasasi/PK yang disampaikan melewati ketentuan
jangka waktu yang ditetapkan oleh Undang-Undang hal tersebut hanya bersifat
informasi biasa (ad informandum) bukan menjadi bahan
pertimbangan majelis hakim. (vide SEMA Nomor 20 Tahun
1983)
“Tambahan
Memori Kasasi yang disampaikan di luar tenggang waktu 14 (empat belas)
hari, maka tambahan tersebut hanya berlaku sebagai bahan ad informandum
bagi Mahkamah Agung dan tidak dipertimbangkan sebagai alasan kasasi yang
membatalkan putusan”
Pencabutan Permohonan Kasasi (vide Pasal 49 Undang-Undang tentang Mahkamah Agung)
Sebelum permohonan kasasi diputus oleh Mahkamah
Agung, maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pemohon, dan apabila
telah dicabut, pemohon tidak dapat lagi mengajukan permohonan kasasi dalam
perkara itu meskipun tenggang waktu kasasi belum lampau. Apabila
pencabutan kembali sebagaimana dimaksudkan dilakukan
sebelum berkas perkaranya dikirimkan kepada Mahkamah Agung, maka berkas perkara
itu tidak diteruskan kepada Mahkamah Agung.
Bahwa permohonan pencabutan oleh Pemohon Kasasi
yang perkaranya sudah diregister di Mahkamah Agung, harus disampaikan
melalui pengadilan tingkat pertama dan dibuatkan akta pencabutan oleh Panitera
Pengadilan, selanjutnya dikirim oleh pengadilan kepada Panitera Mahkamah Agung.
Upaya Hukum Luar Biasa (buitengewone rechtsmiddelen)
Apabila merujuk pada KUHAP Upaya Hukum Luar biasa
dalam perkara pidana itu terbagi menjadi 2 (dua), antara lain:
1.
Pemeriksaan
Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum;
2.
Peninjauan
Kembali Putusan Pengadilan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap.
Disebutkan bahwa demi kepentingan hukum terhadap semua
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain
daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh Jaksa
Agung. (vide Pasal 259 ayat (1) KUHAP) Permohonan
kasasi demi kepentingan hukum tersebut disampaikan secara tertulis oleh Jaksa
Agung kepada Mahkamah Agung melalui panitera pengadilan yang telah memutus
perkara dalam tingkat pertama, disertai risalah yang memuat alasan permintaan
itu. Salinan risalah tersebut oleh panitera segera disampaikan kepada pihak
yang berkepentingan. Ketua pengadilan yang bersangkutan segera meneruskan
permintaan itu kepada Mahkamah Agung. (vide Pasal 260 KUHAP)
Sedangkan, Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang
Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap, terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Akan tetapi, sejak Kamis, 12 Mei
2016, berdasarkan Putusan Mahkamah Kosntitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016,
dinyatakan bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, yaitu sepanjang
dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo.
Artinyanya, yang hanya boleh menempuh upaya hukum luar biasa ini adalah
terpidana (itu sendiri) atau ahli warisnya.
Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:
a.
Apabila terdapat
keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah
diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan
bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum
tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang
lebih ringan;
b.
Apabila dalam
pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi
hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah
terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c.
Apabila putusan
itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan
yang nyata. (vide Pasal 263 ayat (2) KUHAP)
Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut
terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu
perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti
oleh suatu pemidanaan.
Prosedur Mengajukan Peninjauan Kembali (PK)
Kembali merujuk pada “Buku II: Pedoman Teknis
Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus”[10] menyebutkan
bahwa:
1.
Terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang merupakan putusan
pemidanaan, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permohonan peninjauan
kembali, dan dapat dikuasakan kepada penasihat hukumnya.
2.
Permohonan
peninjauan kembali diajukan kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus
perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya.
3.
Permohonan
peninjauan kembali tidak dibatasi jangka waktu.
4.
Petugas menerima
berkas perkara pidana permohonan peninjauan kembali, lengkap dengan surat-surat
yang berhubungan dengan perkara tersebut, dan memberikan tanda terima.
5.
Permohonan
peninjauan kembali dari terpidana atau ahli warisnya atau penasihat hukumnya
beserta alasan-alasannya, diterima oleh Panitera dan ditulis dalam suatu surat
keterangan yang ditandatangani oleh Panitera dan pemohon.
6.
Dalam hal
terpidana selaku pemohon peninjauan kembali kurang memahami hukum, Panitera
wajib menanyakan dan meneatat alasan-alasan secara jelas dengan membuatkan
Surat Permohonan Peninjauan Kembali.
7.
Dalam hal
Pengadilan Negeri menerima permohonan peninjauan kembali, wajib memberitahukan
permintaan permohonan peninjauan kembali tersebut kepada Jaksa.
8.
Dalam tenggang
waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan peninjauan kembali diterima
Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan menunjuk Majelis Hakim yang tidak memeriksa
perkara semula, untuk memeriksa dan memberikan pendapat apakah alasan
permohonan peninjauan kembali telah sesuai dengan ketentuan Undang-undang.
9.
Dalam pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam butir 8 (di atas), terpidana atau ahli warisnya
dapat didampingi oleh penasehat hukum dan Jaksa yang dalam hal ini bukan dalam
kapasitasnya sebagai Penuntut Umum ikut hadir dan dapat menyampaikan
pendapatnya.
10.
Dalam hal
permohonan peninjauan kembali diajukan oleh terpidana yang sedang menjalani
pidananya, Hakim menerbitkan penetapan yang memerintahkan kepada Kepala Lembaga
Pemasyarakatan dimana terpidana menjalani pidana untuk menghadirkan terpidana
ke persidangan Pengadilan Negeri.
11.
Panitera wajib
membuat berita acara pemeriksaan peninjauan kembali yang ditandatangani oleh
Hakim, Jaksa, pemohon dan Panitera. Berdasarkan berita acara pemeriksaan
tersebut dibuat berita acara pendapat yang ditanda tangani oleh Majelis Hakim
dan Panitera.
12.
Permohonan
peninjauan kembali tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan putusan.
13.
Permohonan
peninjauan kembali yang terpidananya berada di luar wilayah Pengadilan yang
telah memutus dalam tingkat pertama:
1)
Diajukan kepada
Pengadilan yang memutus dalam tingkat pertama;
2)
Hakim dari
Pengadilan yang memutus dalam tingkat pertama dengan penetapan dapat meminta
bantuan pemeriksaan kepada Pengadilan Negeri tempat pemohon peninjauan kembali
berada;
3)
Berita Acara
pemeriksaan dikirim ke Pengadilan yang meminta bantuan pemeriksaan;
4)
Berita Acara
Pendapat dibuat oleh Pengadilan yang telah memutus pada tingkat pertama.
14.
Dalam pemeriksaan
persidangan dapat diajukan surat-surat dan saksi saksi yang sebelumnya tidak
pernah diajukan pada persidangan Pengadilan di tingkat pertama.
15.
Dalam waktu 30
(tiga puluh) hari, setelah pemeriksaan persidangan selesai, panitera harus
segera mengirimkan berkas tersebut ke Mahkamah Agung. Tembusan surat
pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan jaksa.
16.
Dalam hal suatu
perkara yang dimintakan peninjauan kembali adalah putusan Pengadilan Banding,
maka tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri tembusan berita acara
pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaikan kepada Pengadilan
Banding yang bersangkutan.
17.
Fotocopy relaas
pemberitahuan putusan Mahkamah Agung yang telah disahkan oleh Panitera
dikirimkan ke Mahkamah Agung.
18.
Permohonan
peninjauan kembali hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali saja (vide Pasal
268 ayat (3) KUHAP).
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia
yang ada di sini. Terima
Kasih.
[1] vide Pasal
1 Angka 12 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
[2] Lilik Mulyadi, “Hukum Acara Pidana:
Normatif, Teoretis, Praktik, dan Permasalahannya”, (Bandung: Penerbit PT
Alumni, 2007), 241.
[3] Andi Hamzah dan Irdan Dahlan, “Upaya
Hukum Dalam Perkara Pidana”, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1987), 3.
[4] Sampur Dongan Simamora dan Firman
Muntaco, “Hukum Acara Pidana Dalam Bagan Dilengkapi Pengantar Secara
Komprehensif”, (Pontianak: FH Untan Press, 2013), 267.
[5] Prof Mr. J.M. van Bemmelen, “Ons
Strafrecht I, Algemeen deel. Het materiele strafrecht”, (Groninggen: H.D Tjeenk
Willink, 1971), 390, 403, & 423.
[6] Mahkamah Agung
RI, “Buku II: Pedoman
Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus”, (Jakarta:
Mahkamah Agung, 2008), 3-4.
[7] M. Yahya Harahap, “Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding,
Kasasi, dan Peninjauan Kembali” (Jakarta: Sinar Grafika, 2022), 485.
[8] Ibid, 487.
[9] Mahkamah
Agung RI, “Buku II:
Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus”,
op.cit., 5-8.
[10] Ibid, 8-11.