layananhukum

Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana

Ilustrasi Paul Tanaka Menjalani Pemeriksaan Peradilan Pidana

 

KUHAP membedakan upaya hukum biasa (gewone rechtsmiddelen) dan upaya hukum luar biasa (buitengewone rechtsmiddelen), upaya hukum biasa diatur dalam BAB XVII KUHAP, sedangkan upaya hukum luar biasa pada BAB XVIII KUHAP.

Pada praktik peradilan, setelah putusan diucapkan, ada suatu keharusan bagi Hakim Ketua Sidang untuk memberitahukan kepada terdakwa tentang segala apa yang menjadi hak terdakwa yang satu di antaranya adalah dilakukannya upaya hukum. (vide Pasal 196 ayat (3) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana) Begitupun hal ini dapat dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum (vide Pasal 1 Angka 12, Pasal 149 ayat (1), Pasal 156 ayat (3), Pasal 233 sampai dengan Pasal 243, dan Pasal 244 sampai dengan Pasal 258 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau “KUHAP” memberikan definisi dari “Upaya Hukum” adalah adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur-dalam undang-undang ini (KUHAP).[1] Menurut Lilik Mulyadi[2] adapun maksud dari upaya hukum itu sendiri pada pokoknya adalah:

a.       Untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi sebelumnya;

b.      Untuk kesatuan dalam peradilan.

Dengan adanya upaya hukum ini, ada jaminan bagi terdakwa ataupun masyarakat bahwa peradilan baik menurut fakta dan hukum adalah benar dan sejauh mungkin seragam. Sedangkan menurut pandangan doktrina, upaya hukum merupakan sarana untuk melaksanakan hukum, yaitu hak terpidana atau jaksa/penuntut umum tidak menerima penetapan atau putusan pengadilan, karena merasa tidak puas dengan penetapan atau putusan tersebut.[3]

Upaya Hukum Biasa (gewone rechtsmiddelen)

Adapun upaya hukum biasa (gewone rechtsmiddelen) baik ditinjau dari KUHAP dan praktiknya sebagai berikut:

Perlawanan (Verzet)

Perlawanan atau “verzet” merupakan satu di antara upaya hukum biasa sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 12, Pasal 149 ayat (1), Pasal 156 ayat (3), dan Pasal 214 KUHAP. Pada dasarnya, Perlawanan atau “verzet” itu hanya dapat dilakukan terhadap pelimpahan perkara dan terhadap putusan Pengadilan Negeri yang belum diperiksa “pokok perkaranya”. Kalau dijabarkan lebih mendalam, formulasi bentuk perlawanan ini dapat diajukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu:

1.        Setelah Jaksa Penuntut Umum melimpahkan perkara tersebut kepada Pengadian Negeri setempat, kemudian Ketua Pengadilan Negeri tempat pelimpahan perkara mengeluarkan “Surat Penetapan” atau “Penetapan” karena berpendapat bahwa perkara tersebut bukan wewenang Pengadilan Negeri yang dipimpinnya, tetapi termasuk wewenang Pengadilan Negeri lain (vide Pasal 148 ayat (1) KUHAP) dan kemudian terhadap “Surat Penetapan” atau “Penetapan” tersebut, apabila Jaksa Penuntut Umum keberatan, dapat mengajukan Perlawanan atau “verzet” kepada Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah “Surat Penetapan” atau “Penetapan” diterima dan Pengadilan Tinggi dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah menerima perkara tersebut dapat menguatkan atau menolak perlawanan tersebut dengan Surat Penetapan. (vide Pasal 149 ayat (1), ayat (2) KUHAP)

2.       Setelah perkara tersebut diperiksa oleh Majelis Hakim, kemudian adanya “keberatan” atau “eksepsi” dari terdakwa dan/atau penasihat hukumnya dibenarkan oleh Majelis Hakim sehingga perkara tersebut diputus dengan bentuk “penetapan” atau “putusan sela” (tussenvonnis).

Terhadap hal ini, apabila Jaksa Penuntut Umum berkeberatan, ia dapat mengajukan perlawanan (verzet) kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri yang bersangkutan. (vide Pasal 156 ayat (3) KUHAP)

Banding (Hoger beroep strafzaak)

Banding dilakukan oleh Pengadilan Tinggi yang merupakan peradilan “ulangan” atau “revisi” dari putusan Pengadilan Negeri. Pada intinya, Pengadilan Tinggi memeriksa kembali perkara pidana secara keseluruhannya baik mengenai fakta maupun penerapan hukumnya sehingga peradilan tingkat banding lazim juga disebut dengan istilah “peradilan tingkat dua” dari Judex Facti.

Prosedur dan pemeriksaan dilakukan secara umum, dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri) sepanjang yang diajukan banding memenuhi ketentuan Pasal 67 dan Pasal 233 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa:

Pasal 67:

“Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.”

Pasal 233 ayat (1):

“Permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dapat diajukan ke pengadilan tinggi oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut umum.”

Menurut Sampur Dongan Simamora[4] sistem peradilan di Indonesia hanya mengenal 2 (dua) tingkat peradilan, yaitu Pengadilan Negeri sebagai instansi peradilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi sebagai instansi peradilan tingkat kedua dan terakhir, sedangkan Mahkamah Agung tidak diartikan sebagai instansi tingkat ketiga, tetapi disebutkan bahwa peradilan kasasi yang fungsinya memeriksa kesalahan penerapan hukum bukan terkait dengan fakta hukum, ini yang kemudian disebut dengan Judex Juris.

Hal ini ditegaskan oleh Prof. Mr. J.M van Bemmelen[5] yang menyatakan bahwa banding itu merupakan een toetsing van het vonnis in eerste aanleg op zijn juistheid voor zever herwordt bestreden atau suatu penilaian atas suatu ketepatan putusan peradilan tingkat pertama, yang disangkal kebenarannya. Oleh karenanya lebih lanjut menurut Prof. Mr. J.M van Bemmelen, “banding” merupakan “een geheel nieuwe behandeling der zaak” atau pemeriksaan yang sama sekali baru mengenai (pokok) suatu perkara.

Prosedur Mengajukan Banding

Merujuk pada Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: KMA/032/SK/IV/2007 tentang Memberlakukan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan sebagaimana “Buku II: Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus[6] dibagi menjadi 2 (dua) yaitu pemberkasan Banding yang dilakukan di Pengadilan Negeri dan pemberkasan banding setelah diterima di Pengadilan Tinggi, menyatakan untuk prosedur banding sebagai berikut:

1.        Membuat:

a)       Akta permohonan pikir-pikir bagi terdakwa.

b)      Akta permintaan banding.

c)       Akta terlambat mengajukan permintaan banding.

d)      Akta pencabutan banding.

2.       Permintaan banding yang diajukan, dicatat dalam register induk perkara pidana dan register banding oleh masing-masing petugas register.

3.      Permintaan banding diajukan selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan dijatuhkan, atau 7 (tujuh) hari setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir dalam pengucapan putusan. (vide Pasal 233 ayat (2) KUHAP) Kemudian, disebutkan juga bahwa spabila tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233 ayat (2) telah lewat tanpa diajukan permintaan banding oleh yang bersangkutan, maka yang bersangkutan dianggap menerima putusan. (vide Pasal 234 ayat (1) KUHAP)

4.       Permintaan banding yang diajukan melampaui tenggang waktu tersebut di atas tetap dapat diterima dan dicatat dengan membuat Surat Keterangan Panitera bahwa permintaan banding telah lewat tenggang waktu dan harus dilampirkan dalam berkas perkara.

5.       Dalam hal pemohon tidak datang menghadap, hal ini harus dicatat oleh Panitera dengan disertai alasannya dan catatan tersebut harus dilampirkan dalam berkas perkara.

6.      Panitera wajib memberitahukan permintaan banding dari pihak yang satu kepada pihak yang lain.

7.       Tanggal penerimaan Memori Banding dan Kontra Memori Banding dicatat dalam register dan salinan memori serta kontra memori disampaikan kepada pihak yang lain, dengan relaas pemberitahuan.

8.      Dalam hal pemohon belum mengajukan memori banding sedangkan berkas perkara telah dikirimkan ke Pengadilan Tinggi, pemohon dapat mengajukannya langsung ke Pengadilan Tinggi, sedangkan salinannya disampaikan ke Pengadilan Negeri untuk disampaikan kepada pihak lain.

9.      Selama 7 (tujuh) hari sebelum pengiriman berkas perkara kepada Pengadilan Tinggi, pemohon wajib diberi kesempatan untuk mempelajari berkas perkara tersebut di Pengadilan Negeri.

10.    Jika kesempatan mempelajari berkas diminta oleh pemohon dilakukan di Pengadilan Tinggi, maka pemohon harus mengajukan secara tegas dan tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri.

11.      Berkas perkara banding berupa bundel “A” dan bundel “B” dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak permintaan banding diajukan sesuai dengan Pasal 236 ayat (1) KUHAP, harus sudah dikirim ke Pengadilan Tinggi.

12.     Selama perkara banding belum diputus oleh Pengadilan Tinggi, permohonan banding dapat dicabut sewaktu-waktu, untuk itu Panitera membuat Akta pencabutan banding yang ditandatangani oleh Panitera, pihak yang mencabut dan diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri. Akta tersebut dikirim ke Pengadilan Tinggi.

13.    Salinan putusan Pengadilan Tinggi yang telah diterima olch Pengadilan Negeri, harus diberitahukan kepada terdakwa dan penuntut umum dengan membuat Akta Pemberitahuan Putusan.

14.     Petugas register harus mencatat semua kegiatan yang berkenaan dengan perkara banding, dan pelaksanaan putusan ke dalam buku register terkait.

15.     Pelaksanaan tugas pada Meja Kedua, dilakukan oleh Panitera Muda Pidana dan berada langsung dibawah koordinasi Wakil Panitera.

Penerimaan Berkas Perkara Banding di Pengadilan Tinggi

1.        Petugas menerima berkas perkara banding yang dikirim oleh Pengadilan Negeri berikut relaas pemberitahuan/penyerahan memori atau kontra memori banding.

2.       Berkas perkara dimaksud di atas meliputi pula barang-barang bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, yang sudah dilampirkan dalam berkas perkara. Barang-barang bukti tersebut dicatat dalam buku daftar barang bukti.

3.      Setelah berkas perkara lengkap petugas mencatat dalam buku register dengan mencatat sesuai dengan nomor urut dan tanggal penerimaan.

4.       Dalam hal Pengadilan Tinggi menerima salinan memori atau kontra memori banding, salinan disampaikan oleh petugas kepada terbanding atau pembanding melalui Pengadilan Negeri.

5.       Petugas mencatat dengan cermat dalam register terkait semua kegiatan yang berhubungan dengan perkara yang bersangkutan.

Pemberkasan Banding di Pengadilan Tinggi

1.        Perkara yang telah diputus dalam tingkat banding. Panitera menyiapkan dan mengirimkan kembali bundel A dan salinan putusan kepada Pengadilan Negeri. Bundel A merupakan himpunan surat-surat perkara yang diawali dengan surat penetapan Majelis Hakim dan semua kegiatan / proses persidangan pemeriksaan perkara tersebut.

2.       Bundel B yang berkaitan dengan adanya permohonan banding, yang pada akhirnya menjadi arsip berkas perkara pada Pengadilan Tinggi, merupakan himpunan surat-surat perkara yang terdiri dari:

1)       Surat permohonan banding;

2)      Akta pernyataan banding;

3)      Akta pemberitahuan permohonan banding;

4)      Memori banding;

5)      Akta pemberitahuan dan penyerahan memori banding;

6)      Kontra memori banding;

7)       Akta pemberitahuan dan penyerahan kontra memori banding;

8)      Surat pemberitahuan mempelajari berkas perkara;

9)      Berita acara / akta memeriksa berkas perkara;

10)    Asli putusan;

11)     Surat-surat lainnya.

Mengenai Kewajiban Penyerahan Memori Banding

Menurut M. Yahya Harahap[7], memberikan pengertian Memori Banding yaitu uraian atau risalah yang disusun oleh pemohon banding yang memuat tanggapan terhadap sebagian maupun seluruh pemeriksaan dan putusan yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama. Di dalam tanggapan tersebut pemohon mengemukakan kelemahan dan ketidaktepatan kewenangan mengadili, penerapan, dan penafsiran hukum yang terdapat dalam putusan. Memori banding juga dapat mengemukakan hal-hal baru atau fakta dan pembuktian baru, dan meminta supaya hal-hal atau fakta baru itu diperiksa dalam suatu pemeriksaan tambahan.

Sebelum mengajukan banding dalam perkara pidana, pembanding harus mengetahui bahwa putusan tersebut boleh untuk diajukan banding. Putusan yang tidak dapat diajukan banding adalah putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat, sebagaimana diatur dalam Pasal 67 KUHAP.  Selain itu, putusan Praperadilan yang dimaksud Pasal 83 ayat (1) KUHAP juga tidak dapat diajukan banding.

Berdasarkan ketentuan Pasal 237 KUHAP ternyata pengajuan Memori Banding tidak bersifat wajib:

“Selama pengadilan tinggi belum mulai memeriksa suatu perkara dalam tingkat banding, baik terdakwa atau kuasanya maupun penuntut umum dapat menyerahkan memori banding atau kontra memori banding kepada pengadilan tinggi.”

Mengenai tenggang waktu pengajuan memori banding dalam perkara pidana Yahya Harahap kembali menjelaskan bahwa[8] dari ketentuan pasal (237 KUHAP) tersebut, batas jangka waktu menyerahkan atau menyampaikan memori dan kontra memori banding, terhitung “sejak tanggal permohonan” banding diajukan, dan selambat-lambatnya “sebelum perkara mulai diperiksa”. Berarti pada tanggal hari pemeriksaan yang ditentukan, masih ada kemungkinan untuk menyerahkan memori atau kontra memori. Batas waktunya, asal perkaranya belum mulai diperiksa. Umpamanya, berdasar penetapan, perkara yang bersangkutan akan diperiksa pada tanggal 30 April jam 9.00. Pada tanggal 30 April jam 8.00 masih terbuka kesempatan bagi pemohon banding untuk menyerahkan memori banding. 

Jadi, pengajuan memori banding dalam perkara pidana, bukan merupakan syarat formil ataupun keharusan. Mengenai tenggang waktu mengajukan memori banding tidak diatur secara tegas, tetapi dalam praktiknya adalah pada saat pengajuan permohonan banding.

Kasasi (Cassatie in strafzaken)

Sebagaimana ketentuan Pasal 88 KUHAP, menyebutkan bahwa:

“Mahkamah Agung berwenang mengadili semua perkara pidana yang dimintakan kasasi.”

Pemeriksaan Kasasi dilakukan terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas. Akan tetapi, sejak Kamis, 28 Maret 2013, frasa “kecuali terhadap putusan bebas” dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012.

Artinya, Mahkamah Konstitusi mendasarkan pertimbangannya bahwa larangan mengajukan kasasi atas putusan bebas oleh Jaksa Penuntut Umum sebagaimana diatur dalam Pasal 244 KUHAP tidak memberikan upaya hukum biasa terhadap putusan bebas, yang berarti fungsi Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh pengadilan yang ada di bawahnya sama sekali ditiadakan.

Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang telah memberikan kepastian hukum atas pengajuan kasasi terhadap putusan bebas oleh Jaksa Penuntut Umum, maka diharapkan putusan ini dapat dimaksimalkan menjadi sarana legal untuk mengoreksi putusan hakim dan apakah penerapan hukum yang dilakukan sudah sebagaimana mestinya sebagai check and balance untuk menghindari adanya melampaui kewenangan juga.

Prosedur Permohonan Kasasi Dalam Perkara Pidana

Permohonan kasasi diajukan oleh pemohon kepada Panitera selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan Pengadilan diberitahukan kepada terdakwa/ Penuntut Umum dan selanjutnya dibuatkan akta permohonan kasasi oleh Panitera. (vide Pasal 245 ayat (1) KUHAP jo. Pasal 46 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung)

Kembali merujuk pada “Buku II: Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus[9] menyebutkan bahwa:

1.        Permohonan kasasi yang melewati tenggang waktu tersebut, tidak dapat diterima, selanjutnya Panitera membuat Akta Terlambat Mengajukan Permohonan Kasasi yang diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri.

2.       Dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan kasasi diajukan, pemohon kasasi harus sudah menyerahkan memori kasasi dan tambahan memori kasasi (jika ada). Untuk itu petugas membuat Akta tanda terima memori/tambahan memori.

3.      Dalam hal pemohon kasasi adalah terdakwa yang kurang memahami hukum, Panitera pada waktu menerima permohonan kasasi wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permohonan tersebut dan untuk itu Panitera membuatkan memori kasasinya.

4.       Panitera memberitahukan dan menyerahkan tembusan memori kasasi/ tambahan memori kasasi kepada pihak lain, untuk itu petugas membuat tanda terima.

5.       Termohon Kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi, untuk itu Panitera memberikan Surat Tanda Terima.

6.      Dalam hal pemohon kasasi tidak menyerahkan memori kasasi dan atau terlambat menyerahkan memori kasasi, untuk itu Panitera membuat akta.

7.       Apabila pemohon tidak menyerahkan dan/atau terlambat menyerahkan memori kasasi, berkas perkara tidak dikirim ke Mahkamah Agung, untuk itu Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan Surat Keterangan yang disampaikan kepada pemohon kasasi dan Mahkamah Agung (vide SEMA Nomor 7 Tahun 2005).

8.      Terhadap perkara pidana yang diancam pidana paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda, putusan praperadilan tidak dapat diajukan kasasi.

9.      Permohonan kasasi yang telah memenuhi syarat formal selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah tenggang waktu mengajukan memori kasasi berakhir, berkas perkara kasasi harus sudah dikirim ke Mahkamah Agung.

10.    Dalam hal permohonan kasasi diajukan sedangkan terdakwa masih dalam tahanan, Pengadilan Negeri paling lambat 3 (tiga) hari sejak diterimanya permohonan kasasi tersebut segera melaporkan kepada Mahkamah Agung melalui surat atau dengan sarana-sarana elektronik.

11.      Selama perkara kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan kasasi dapat dicabut oleh pemohon. Dalam hal pencabutan dilakukan oleh kuasa hukum terdakwa, harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari terdakwa.

12.     Atas pencabutan tersebut, Panitera membuat akta pencabutan kasasi yang ditandatangani oleh Panitera, pihak yang mencabut dan diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri. Selanjutnya akta tersebut dikirim ke Mahkamah Agung.

13.    Untuk perkara kasasi yang terdakwanya ditahan, Panitera Pengadilan Negeri wajib melampirkan penetapan penahanan dimaksud dalam berkas perkara.

14.     Dalam hal perkara telah diputus oleh Mahkamah Agung, salinan putusan dikirim kepada Pengadilan Negeri untuk diberitahukan kepada terdakwa dan Penuntut Umum, yang untuk itu Panitera membuat akta pemberitahuan putusan.

15.     Fotocopy relaas pemberitahuan putusan Mahkamah Agung, segera dikirim ke Mahkamah Agung.

16.    Petugas buku register harus mencatat dengan cermat dalam register terkait semua kegiatan yang berkenaan dengan perkara kasasi dan pelaksanaan putusan.

Legal Standing Pemohon Kasasi (vide Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Agung)

Permohonan kasasi  diajukan pihak yang berperkara atau kuasanya kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu.diberitahukan kepada terdakwa. (vide Pasal 245 ayat (1) KUHAP jo. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung) Permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding kecuali ditentukan lain oleh Undang- undang. Permohonan kasasi dapat diajukan hanya 1 (satu) kali. (vide Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung)

Alasan Permohonan Kasasi

Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena:

a.       Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;

b.      Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;

c.       Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. (vide Pasal 30 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung)

Kewajiban Memori Kasasi dan Prosedur Penyampaian Tambahan Memori Kasasi

Disebutkan bahwa Pemohon kasasi wajib mengajukan Memori Kasasi yang memuat alasan permohonan kasasinya dan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah mengajukan permohonan tersebut, harus sudah menyerahkannya kepada panitera yang untuk itu ia memberikan surat tanda terima. (vide Pasal 248 ayat (1) KUHAP) Kemudian, dalam hal pemohon kasasi adalah terdakwa yang kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima permohonan kasasi wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permohonan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan memori kasasinya.

Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 46Pasal 47, Pasal 70Pasal 71, dan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, terkait prosedur pengajuan permohonan kasasi/peninjauan kembali, penyampaian memori dan kontra memori kasasi harus disampaikan kepada pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara yang diajukan upaya hukum dalam tenggang waktu yang telah ditentukan. Ketentuan tersebut juga secara analogis diberlakukan bagi tambahan memori/kontra memori. Bahwa apabila dokumen tambahan memori/kontra memori tersebut disampaikan langsung ke Mahkamah Agung, maka akan dokumen tersebut akan dikembalikan ke pengadilan tingkat pertama yang terkait. Bahwa, kemudian terhadap dokumen tambahan memori kasasi/PK yang disampaikan melewati ketentuan jangka waktu yang ditetapkan oleh Undang-Undang hal tersebut hanya bersifat informasi biasa (ad informandum) bukan menjadi bahan  pertimbangan majelis hakim. (vide SEMA Nomor 20 Tahun 1983)

“Tambahan Memori Kasasi yang disampaikan di luar tenggang waktu 14 (empat belas) hari, maka tambahan tersebut hanya berlaku sebagai bahan ad informandum bagi Mahkamah Agung dan tidak dipertimbangkan sebagai alasan kasasi yang membatalkan  putusan”

Pencabutan Permohonan Kasasi (vide Pasal 49 Undang-Undang tentang Mahkamah Agung)

 Sebelum permohonan kasasi diputus oleh Mahkamah Agung, maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pemohon, dan apabila telah dicabut, pemohon tidak dapat lagi mengajukan permohonan kasasi dalam perkara itu meskipun tenggang waktu kasasi belum lampau. Apabila  pencabutan  kembali  sebagaimana  dimaksudkan dilakukan sebelum berkas perkaranya dikirimkan kepada Mahkamah Agung, maka berkas perkara itu tidak diteruskan kepada Mahkamah Agung.

Bahwa permohonan pencabutan oleh Pemohon Kasasi  yang perkaranya sudah diregister di Mahkamah Agung, harus disampaikan melalui pengadilan tingkat pertama dan dibuatkan akta pencabutan oleh Panitera Pengadilan, selanjutnya dikirim oleh pengadilan kepada Panitera Mahkamah Agung.

Upaya Hukum Luar Biasa (buitengewone rechtsmiddelen)

Apabila merujuk pada KUHAP Upaya Hukum Luar biasa dalam perkara pidana itu terbagi menjadi 2 (dua), antara lain:

1.        Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum;

2.       Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap.

Disebutkan bahwa demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung. (vide Pasal 259 ayat (1) KUHAP) Permohonan kasasi demi kepentingan hukum tersebut disampaikan secara tertulis oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung melalui panitera pengadilan yang telah memutus perkara dalam tingkat pertama, disertai risalah yang memuat alasan permintaan itu. Salinan risalah tersebut oleh panitera segera disampaikan kepada pihak yang berkepentingan. Ketua pengadilan yang bersangkutan segera meneruskan permintaan itu kepada Mahkamah Agung. (vide Pasal 260 KUHAP)

Sedangkan, Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap, terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Akan tetapi, sejak Kamis, 12 Mei 2016, berdasarkan Putusan Mahkamah Kosntitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016, dinyatakan bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo. Artinyanya, yang hanya boleh menempuh upaya hukum luar biasa ini adalah terpidana (itu sendiri) atau ahli warisnya.

Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:

a.       Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;

b.      Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;

c.       Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. (vide Pasal 263 ayat (2) KUHAP)

Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.

Prosedur Mengajukan Peninjauan Kembali (PK)

Kembali merujuk pada “Buku II: Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus[10] menyebutkan bahwa:

1.        Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang merupakan putusan pemidanaan, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali, dan dapat dikuasakan kepada penasihat hukumnya.

2.       Permohonan peninjauan kembali diajukan kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya.

3.      Permohonan peninjauan kembali tidak dibatasi jangka waktu.

4.       Petugas menerima berkas perkara pidana permohonan peninjauan kembali, lengkap dengan surat-surat yang berhubungan dengan perkara tersebut, dan memberikan tanda terima.

5.       Permohonan peninjauan kembali dari terpidana atau ahli warisnya atau penasihat hukumnya beserta alasan-alasannya, diterima oleh Panitera dan ditulis dalam suatu surat keterangan yang ditandatangani oleh Panitera dan pemohon.

6.      Dalam hal terpidana selaku pemohon peninjauan kembali kurang memahami hukum, Panitera wajib menanyakan dan meneatat alasan-alasan secara jelas dengan membuatkan Surat Permohonan Peninjauan Kembali.

7.       Dalam hal Pengadilan Negeri menerima permohonan peninjauan kembali, wajib memberitahukan permintaan permohonan peninjauan kembali tersebut kepada Jaksa.

8.      Dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan peninjauan kembali diterima Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan menunjuk Majelis Hakim yang tidak memeriksa perkara semula, untuk memeriksa dan memberikan pendapat apakah alasan permohonan peninjauan kembali telah sesuai dengan ketentuan Undang-undang.

9.      Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam butir 8 (di atas), terpidana atau ahli warisnya dapat didampingi oleh penasehat hukum dan Jaksa yang dalam hal ini bukan dalam kapasitasnya sebagai Penuntut Umum ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya.

10.    Dalam hal permohonan peninjauan kembali diajukan oleh terpidana yang sedang menjalani pidananya, Hakim menerbitkan penetapan yang memerintahkan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan dimana terpidana menjalani pidana untuk menghadirkan terpidana ke persidangan Pengadilan Negeri.

11.      Panitera wajib membuat berita acara pemeriksaan peninjauan kembali yang ditandatangani oleh Hakim, Jaksa, pemohon dan Panitera. Berdasarkan berita acara pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pendapat yang ditanda tangani oleh Majelis Hakim dan Panitera.

12.     Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan putusan.

13.    Permohonan peninjauan kembali yang terpidananya berada di luar wilayah Pengadilan yang telah memutus dalam tingkat pertama:

1)       Diajukan kepada Pengadilan yang memutus dalam tingkat pertama;

2)      Hakim dari Pengadilan yang memutus dalam tingkat pertama dengan penetapan dapat meminta bantuan pemeriksaan kepada Pengadilan Negeri tempat pemohon peninjauan kembali berada;

3)      Berita Acara pemeriksaan dikirim ke Pengadilan yang meminta bantuan pemeriksaan;

4)      Berita Acara Pendapat dibuat oleh Pengadilan yang telah memutus pada tingkat pertama.

14.     Dalam pemeriksaan persidangan dapat diajukan surat-surat dan saksi saksi yang sebelumnya tidak pernah diajukan pada persidangan Pengadilan di tingkat pertama.

15.     Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, setelah pemeriksaan persidangan selesai, panitera harus segera mengirimkan berkas tersebut ke Mahkamah Agung. Tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan jaksa.

16.    Dalam hal suatu perkara yang dimintakan peninjauan kembali adalah putusan Pengadilan Banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri tembusan berita acara pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaikan kepada Pengadilan Banding yang bersangkutan.

17.     Fotocopy relaas pemberitahuan putusan Mahkamah Agung yang telah disahkan oleh Panitera dikirimkan ke Mahkamah Agung.

18.    Permohonan peninjauan kembali hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali saja (vide Pasal 268 ayat (3) KUHAP).

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


[1] vide Pasal 1 Angka 12 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

[2] Lilik Mulyadi, “Hukum Acara Pidana: Normatif, Teoretis, Praktik, dan Permasalahannya”, (Bandung: Penerbit PT Alumni, 2007), 241.

[3] Andi Hamzah dan Irdan Dahlan, “Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana”, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1987), 3.

[4] Sampur Dongan Simamora dan Firman Muntaco, “Hukum Acara Pidana Dalam Bagan Dilengkapi Pengantar Secara Komprehensif”, (Pontianak: FH Untan Press, 2013), 267.

[5] Prof Mr. J.M. van Bemmelen, “Ons Strafrecht I, Algemeen deel. Het materiele strafrecht”, (Groninggen: H.D Tjeenk Willink, 1971), 390, 403, & 423.

[6] Mahkamah Agung RI, “Buku II: Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus”, (Jakarta: Mahkamah Agung, 2008), 3-4.

[7] M. Yahya Harahap, “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali” (Jakarta: Sinar Grafika, 2022), 485.

[8] Ibid, 487.

[9] Mahkamah Agung RI, “Buku II: Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus”, op.cit., 5-8.

[10] Ibid, 8-11.

Formulir Isian