Ilustrasi Persidangan Perkara Perdata di Belanda |
Pengertian Upaya Hukum
Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh
undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk hal tertentu guna melawan
putusan hakim sebagai tempat bagi pihak-pihak yang tidak puas dengan
putusan hakim yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang diinginkan,
tidak memenuhi rasa keadilan.
Hal ini dikarenakan hakim juga seorang
manusia yang dapat melakukan kesalahan/kekhilafan, sehingga salah
memutuskan atau memihak salah satu pihak. Sebagaimana diketahui,
bahwa tujuan utama dalam suatu proses di muka Pengadilan yaitu
untuk memperoleh putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Akan
tetapi, setiap putusan yang dijatuhkan secara subjektif, belum
tentu dapat menjamin kebenaran secara yuridis, karena putusan itu
tidak lepas dari kekeliruan dan kekhilafan, bahkan tidak mustahil
bersifat memihak. Agar kekeliruan dan kekhilafan itu dapat diperbaiki,
maka putusan hakim itu dimungkinkan untuk diperiksa ulang, demi
tegaknya kebenaran dan keadilan dengan melakukan upaya hukum yang
dilakukan oleh salah satu pihak yang berperkara.[1]
Bentuk-Bentuk Upaya Hukum
Secara umum, upaya hukum itu dapat dilakukan dalam 2
(dua) bentuk, yaitu
a.
Upaya hukum
biasa, dan
b.
Upaya hukum luar
biasa.
Berikut penjelasannya:
Upaya Hukum Biasa
Merupakan upaya hukum yang digunakan untuk putusan
yang belum berkekuatan hukum tetap. Upaya ini mencakup:
Verzet
Pada dasarnya, verzet merupakan upaya hukum sebagai perlawanan
terhadap putusan verstek. Upaya hukum ini diatur dalam Pasal
125 ayat (3), Pasal 129 ayat (2), Pasal
126 HIR dan Pasal 149 ayat (3), Pasal
153 ayat (2), Pasal 150 RBg. Verzet atau
Perlawanan adalah upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan Pengadilan
Negeri karena tergugat tidak hadir pada persidangan pertama (dalam bentuk
putusan verstek).
Upaya hukum ini disediakan bagi tergugat yang pada
umumnya dikalahkan dalam putusan verstek. Dasar hukum Verzet dapat
dilihat di dalam Pasal 129 HIR. Verzet dapat
dilakukan dalam tenggang waktu 14 hari (termasuk hari libur) setelah
putusan-putusan verstek diberitahukan atau disampaikan kepada tergugat karena
tergugat tidak hadir.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 129 ayat
(1) HIR), Verzet harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
1)
Setelah keluarnya
putusan Verstek;
2)
Adapun jangka
waktu untuk mengajukan perlawanan adalah tidak boleh lewat dari 14 hari, dan
jika ada eksekusi tidak boleh lebih dari 8 hari; dan
3)
Upaya verzet
dimasukkan dan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di wilayah hukum di mana
penggugat mengajukan gugatannya.
Apabila menurut Buku Pedoman Teknis
Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus[2] menyebutkan
bahwa dalam “Perlawanan Terhadap Putusan Verstek” disebutkan:
1.
Sesuai Pasal
129 HIR/Pasal 153 RBg. tergugat/para tergugat yang
dihukum dengan Verstek berhak mengajukan verzet atau
perlawanan dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung setelah tanggal
pemberitahuan putusan verstek itu kepada tergugat semula jika pemberitahuan
tersebut langsung disampaikan sendiri kepada yang bersangkutan. (vide Pasal
391 HIR: dalam menghitung tenggang waktu maka tanggal/hari saat
dimulainya penghitungan waktu tidak dihitung)
2.
Jika putusan itu
tidak langsung diberitahukan kepada tergugat sendiri dan pada waktu aanmaning
tergugat hadir, maka tenggang waktunya sampai pada hari kedelapan sesudah aanmaning (peringatan).
3.
Jika tergugat
tidak hadir pada waktu aanmaning maka tenggang waktunya adalah hari kedelapan
sesudah sita eksekusi dilaksanakan. (vide Pasal 129 ayat (2) jo. Pasal
196 HIR dan Pasal 153 ayat (2) jo. Pasal
207 RBG). Kedua perkara tersebut (perkara verstek dan verzet terhadap
verstek) benda dalam satu nomor perkara.
4.
Perkara verzet sedapat
mungkin dipegang oleh Majelis Hakim yang telah menjatuhkan putusan verstek.
5.
Hakim yang
melakukan pemeriksaan perkara verzet atas putusan verstek
harus memeriksa gugatan yang telah diputus verstek tersebut secara keseluruhan.
Pemeriksaan perkara verzet dilakukan secara biasa (vide Pasal
129 ayat (3) HIR, Pasal 153 ayat (3) RBg, dan Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 9 Tahun 1964).
6.
Apabila dalam
pemeriksaan verzet pihak penggugat asal (Terlawan) tidak
hadir, maka pemeriksaan dilanjutkan secara contradictoire, akan
tetapi apabila Pelawan yang tidak hadir maka Hakim menjatuhkan putusan verstek
untuk kedua kainya Terhadap putusan verstek yang dijatuhkan kedua kalinya ini
tidak dapat diajukan perlawanan, tetapi bisa diajukan upaya hukum banding (vide Pasal
129 ayat (5) HIR dan Pasal 153 ayat (5) RBg).
7.
Apabila verzet diterima
dan putusan verstek dibatalkan maka amar putusannya berbunyi:
a.
Menyatakan
Pelawan adalah pelawan yang benar;
b.
Membatalkan
putusan verstek;
c.
Mengabulkan
gugatan penggugat atau menolak gugatan pengugat.
8.
Apabila verzet tidak
diterima dan putusan verstek tidak dibatalkan, maka amar putusannya berbunyi:
a.
Menyatakan
pelawan adalah pelawan yang tidak benar.
b.
Menguatkan
putusan verstek tersebut.
9.
Terhadap
putusan verzet tersebut kedua belah pihak berhak mengajukan
banding. Dalam hal diajukan banding, maka berkas perkara verstek dan verzet disatukan
dalam satu berkas dan dikirim ke Pengadilan Tinggi dan hanya ada satu nomor
perkara.
Sedangkan, apabila menurut Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar
Mahkamah Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, menyatakan
bahwa:
a.
Tenggang waktu
mengajukan perlawanan (verzet) terhadap putusan verstek adalah
sebagaimana tercantum dalam Pasal 129 HIR yaitu jika
pemberitahuan putusan kepada Tergugat sendiri, maka tenggang waktu untuk verzet
14 hari setelah pemberitahuan tersebut. Jika pemberitahuan tidak disampaikan
kepada Tergugat sendiri (via Lurah atau Kepala Desa), maka tenggang waktu verzet sampai
hari kedelapan sesudah dilakukan teguran atau aanmanning. Apabila dalam
aanmanning Tergugat tidak hadir, tenggang waktu verzet sampai
hari kedelapan setelah dilaksanakan sita eksekusi (vide Pasal
197 HIR). Dalam hal dijalankannya eksekusi riil, maka berdasarkan Pasal
83 Rv, pada saat eksekusi dijalankan verzet masih
dapat diajukan.
b.
Pada prinsipnya
amar putusan dalam perkara verzet adalah dalam hal menolak
perlawanan (verzet):
-
Menyatakan
Pelawan adalah Pelawan yang tidak benar.
-
Mempertahankan
putusan verstek nomor.......tanggal................ (dimungkinkan adanya
perubahan amar sesuai hasil pemeriksaan pokok perkara, kecuali ..... sehingga
selengkapnya sebagai berikut : ....... ).
c.
Dalam hal
mengabulkan perlawanan (verzet):
-
Menyatakan
Pelawan adalah Pelawan yang benar.
-
Membatalkan
putusan verstek nomor....tanggal......
-
Menolak gugatan
Penggugat/Terlawan untuk seluruhnya atau Menyatakan gugatan Penggugat/Terlawan
tidak dapat diterima.
Banding (Hoger Beroep)
Banding merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan
kepada pengadilan tinggi oleh pihak yang tidak menerima hasil dari
putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan tingkat pertama. Upaya
hukum banding ini diatur dalam Pasal 188-194 HIR (untuk
daerah Jawa dan Madura), dan dalam Pasal 199-205 RBg (untuk
daerah luar Jawa dan Madura). Tetapi dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura, maka Pasal
188-194 HIR yang mengatur acara pemeriksaan banding untuk daerah
Jawa dan Madura tidak berlaku lagi.
Banding adalah upaya hukum biasa melawan putusan
pengadilan tingkat pertama (misalnya pengadilan negeri) oleh
pihak-pihak berperkara perdata yang merasa tidak puas dan tidak
dapat menerima terhadap putusan Pengadilan Negeri. Sementara pengertian
lain “Banding” adalah permohonan agar supaya perkara yang telah
diputus oleh pengadilan tingkat pertama diperiksa ulang oleh
pengadilan yang lebih tinggi (tingkat banding), karena merasa belum
puas dengan keputusan pengadilan tingkat pertama.
Misalnya, pengadilan tingkat pertama adalah Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan, sedangkan yang merupakan Pengadilan Tingkat Banding
adalah Pengadilan Tinggi Jakarta.
Apabila merujuk pada Buku Pedoman Teknis
Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus[3] menyebutkan
bahwa:
1)
Berkas perkara
diserahkan pada Panitera Muda Perdata sebagai petugas pada meja/loket pertama,
yang menerima pendaftaran terhadap permohonan banding.
2)
Permohonan
banding dapat diajukan di kepaniteraan pengadilan negeri dalam waktu 14 (empat
belas) hari kalender terhitung keesokan harinya setelah putusan diucapkan atau
setelah diberitahukan kepada pihak yang tidak hadir dalam pembacaan putusan.
Apabila hari ke 14 (empat belas) jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau Hari Libur,
maka penentuan hari ke 14 (empat belas) jatuh pada hari kerja berikutnya.
3)
Terhadap
permohonan banding yang diajukan melampaui tenggang waktu tersebut di atas
tetap dapat diterima dan dicatat dengan membuat surat keterangan panitera bahwa
permohonan banding telah lampau.
4)
Panjar biaya
banding dituangkan dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dengan peruntukan:
a.
Biaya pencatatan
pernyataan banding.
b.
Biaya banding
yang ditetapkan oleh ketua pengadilan tinggi ditambah biaya pengiriman ke
rekening pengadilan tinggi.
c.
Ongkos pengiriman
berkas.
d.
Biaya
Pemberitahuan (BP):
1)
BP Akta Banding;
2)
BP Memori
Banding;
3)
BP Kontra Memori
Banding;
4)
BP untuk
memeriksa berkas bagi pembanding;
5)
BP Putusan bagi
pembanding;
6)
BP Putusan bagi
terbanding.
7)
SKUM (Surat Kuasa
Untuk Membayar) dibuat 3 (tiga) rangkap:
a)
lembar pertama
untuk pemohon.
b)
lembar kedua
untuk kasir.
c)
lembar ketiga
untuk dilampirkan dalam berkas permohonan.
5)
Menyerahkan
berkas permohonan banding yang dilengkapi dengan SKUM kepada yang pihak
bersangkutan agar membayar uang panjar yang tercantum dalam SKUM kepada
pemegang kas Pengadilan Negeri.
6)
Pemegang kas
setelah menerima pembayaran menandatangani, membubuhkan cap stempel lunas pada
SKUM.
7)
Pemegang kas
kemudian membukukan uang panjar biaya perkara sebagaimana tercantum dalam SKUM
pada buku jurnal keuangan perkara.
8)
Pernyataan
banding dapat diterima apabila panjar biaya perkara banding yang ditentukan
dalam SKUM oleh meja pertama telah dibayar lunas.
9)
Apabila panjar
biaya banding yang telah dibayar lunas maka pengadilan wajib membuat akta
pernyataan banding dan mencatat permohonan banding tersebut dalam register
induk perkara perdata dan register permohonan banding.
10)
Permohonan
banding dalam waktu 7 (tujuh) hari kalender harus telah disampaikan kepada
lawannya, tanpa perlu menunggu diterimanya memori banding.
11)
Tanggal
penerimaan memori dan kontra memori banding harus dicatat dalam buku register
induk perkara perdata dan register permohonan banding, kemudian salinannya
disampaikan kepada masing-masing lawannya dengan membuat relaas
pemberitahuan/penyerahan nya.
12)
Sebelum berkas
perkara dikirim ke pengadilan tinggi harus diberikan kesempatan kepada kedua
belah untuk mempelajari/memeriksa berkas perkara (inzage) dan dituangkan
dalam Relaas.
13)
Dalam waktu 30
(tiga puluh) hari sejak permohonan banding diajukan, berkas banding berupa
berkas A dan B harus sudah dikirim ke Pengadilan Tinggi.
14)
Biaya perkara
banding untuk pengadilan tinggi harus disampaikan melalui Bank pemerintah
kantor pos, dan tanda bukti pengiriman uang harus dikirim bersamaan dengan
pengiriman berkas yang bersangkutan.
15)
Pencabutan
permohonan banding diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang ditandatangani
oleh pembanding (harus diketahui oleh prinsipal apabila permohonan banding
diajukan oleh kuasanya) dengan menyertakan akta panitera.
16)
Pencabutan
permohonan banding harus segera dikirim oleh Panitera ke Pengadilan Tinggi
disertai akta pencabutan yang ditandatangani oleh Panitera.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura, permohonan
banding harus diajukan kepada panitera pengadilan tingkat pertama
yang menjatuhkan putusan. Di mana menurut Pasal 26 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal
9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa
dan Madura mencabut ketentuan Pasal 188-194 HIR,
urutan banding yaitu:
1)
Ada pernyataan
ingin banding;
2)
Panitera membuat
akta banding;
3)
Dicatat dalam
register induk perkara;
4)
Pernyataan
banding harus sudah diterima oleh terbanding paling lama 14 (empat belas) hari
sesudah pernyataan banding tersebut dibuat;
5)
Pembanding dapat
membuat memori banding, terbanding dapat mengajukan kontra memori banding.
Adapun yang merupakan syarat-syarat dari upaya
banding, yaitu:
1)
Diajukan oleh
pihak-pihak dalam perkara;
2)
Diajukan dalam
masa tenggang waktu banding:
3)
Putusan tersebut
menurut hukum boleh dimintakan banding;
4)
Membayar panjar
biaya banding, kecuali dalam hal prodeo;
5)
Menghadap di
kepaniteraan pengadilan yang putusannya dimohonkan banding.
Intinya, kembali pada Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura,
yang menyatakan bahwa pemeriksaan tingkat banding dapat dimintakan oleh
pihak-pihak yang berperkara. Pihak lain di luar yang berperkara tidak berhak
mengajukan banding, kecuali kuasa hukumnya. Untuk masa tenggang waktu pengajuan
banding bagi pihak yang bertempat tinggal di daerah hukum pengadilan negeri
yang putusannya dimohonkan banding tersebut, maka bandingnya 14 (empat belas)
hari terhitung mulai hari berikutnya dari hari pengumuman putusan kepada yang
bersangkutan.
Adapun bagi pihak yang bertempat tinggal di luar hukum
pengadilan yang putusannya dimohonkan banding tersebut maka masa bandingnya
adalah 30 (tiga puluh) hari terhitung mulai hari berikutnya dari hari
pengumuman putusan kepada yang bersangkutan. Untuk penyelesaian perkara pada
tingkat banding paling lambat dalam waktu 3 (tiga) bulan.[4]
Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan:
“Putusan
pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi
oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.”
Yang dimaksud dengan pengecualian itu ditujukan pada
perkara perdata yang tidak perlu dimintakan banding, tetapi langsung kasasi ke
MA, misalnya putusan Pengadilan Niaga dalam Perkara Hak Kekayaan Intelektual
(HaKI), Putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), dan Perkara Kepailitan.
Hakim tingkat pertama dan banding adalah hakim fakta (judex facti)
sehingga Hakim banding memeriksa seluruh berkas perkara dimaksud.
Memori Banding dan Kontra Memori Banding
Walau tidak diharuskan Pembanding berhak mengajukan
Memori Banding sedangkan Terbanding berhak mengajukan Kontra Memori Banding,
dan tidak ada jangka waktu pengajuannya sepanjang perkara belum diputus oleh
Pengadilan Tinggi masih diperkenankan. (vide Putusan Mahkamah
Agung Nomor 39 K/Sip/1973, tanggal 11 September 1975).
Untuk pengertian Memori Banding sendiri tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Menurut M. Yahya Harahap[5] menyatakan
bahwa Memori Banding adalah risalah mengenai penjelasaan keberatan (memorie
van grieven) atau memory of objection terhadap
pertimbangan dan kesimpulan putusan Pengadilan Negeri berdasarkan fakta-fakta
dan dasar hukum yang sebenarnya.
Di dalam Memori Banding, pemohon juga dapat meminta
agar Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding melakukan pemeriksaan terhadap
saksi-saksi atau ahli baik pemeriksaan terhadap saksi atau ahli baru yang belum
pernah diajukan, maupun pemeriksaan ulang oleh Pengadilan Tinggi terhadap saksi
atau ahli yang sudah diperiksa oleh Pengadilan Negeri pada tingkat pertama.[6]
Yahya Harahap juga menyertakan Putusan Kasasi mengenai
pengajuan Memori Banding yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 663
K/Sip/1971 yang menyatakan Memori Banding bukan syarat formil
permohonan banding karena undang-undang tidak mewajibkan pembanding mengajukan
memori atau risalah banding. Putusan Mahkamah Agung Nomor 3135
K/Pdt/1983 juga menyatakan tanpa memori atau Kontra Memori
Banding, permohonan banding sah dan dapat diterima, oleh karena itu perkara
tetap diperiksa ulang secara keseluruhan.
Kemudian mengenai tenggat waktu pengajuan Memori
Banding, menurut Yahya Harahap,[7] oleh
karena Memori Banding bukan merupakan syarat formil pengajuan banding maka
tidak ada peraturan yang mengatur tenggat waktu apabila pembanding ingin
mengajukan. Dia berpendapat bahwa penyampaian Memori Banding yang dianggap
paling tepat, dilakukan bersamaan dengan permohonan banding. Dengan cara yang
demikian, pada saat pemberitahuan banding kepada terbanding, juru sita tidak
mengalami kendala untuk sekaligus menyerahkan salinan Memori Banding kepada
terbanding.
Pencabutan permohonan banding tidak diatur dalam
undang-undang sepanjang belum diputuskan oleh Pengadilan Tinggi pencabutan
permohonan banding masih diperbolehkan.
Kasasi (Cassatieberoep)
Adapun alasan-alasan mengajukan Kasasi sebagaimana
ketentuan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
menyebutkan bahwa:
“Mahkamah
Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan
pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena:
a.
tidak
berwenang atau melampaui batas wewenang;
b.
salah
menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c.
lalai memenuhi
syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam
kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.”
Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang. Tidak
berwenang yang dimaksud berkaitan dengan kompetensi relatif dan absolut
pengadilan, sedang melampaui batas wewenang bisa terjadi bila pengadilan
mengabulkan gugatan melebihi yang diminta dalam surat gugatan.
Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
Yang dimaksud di sini adalah kesalahan menerapkan hukum baik hukum formil
maupun hukum materil, sedangkan melanggar hukum adalah penerapan hukum
yang dilakukan oleh Judex Facti salah atau bertentangan
dengan ketentuan hukum yang berlaku atau dapat juga diinterprestasikan
penerapan hukum tersebut tidak tepat dilakukan oleh Judex Facti.
Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya
putusan yang bersangkutan. Contohnya dalam suatu putusan tidak terdapat
irah-irah.
Kemudian, dalam memeriksa perkara, Mahkamah Agung
berkewajiban menggali, mengikuti, dan memahami rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.[8]
Prosedur dan Tengang Waktu Mengajukan Permohonan Kasasi
1)
Berkas perkara
diserahkan pada Panitera Muda Perdata sebagai petugas pada meja/loket pertama,
yang menerima pendaftaran terhadap permohonan kasasi.
2)
Permohonan kasasi
dapat diajukan di kepaniteraan pengadilan negeri dalam waktu 14 (empat belas)
hari kalender terhitung keesokan harinya setelah putusan pengadilan tinggi
diberitahukan kepada para pihak. Apabila hari ke 14 (empat belas) jatuh pada
hari Sabtu, Minggu atau Hari Libur, maka penentuan hari ke 14 (empat
belas) jatuh pada hari kerja berikutnya. (vide Pasal 46
ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung)
3)
Permohonan kasasi
yang melampaui tenggang waktu tersebut di atas tidak dapat diterima dan berkas
perkaranya tidak dikirimkan ke Mahkamah Agung dengan Penetapan Ketua Pengadilan
(vide Pasal 45 A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung ).
4)
Ketua Pengadilan
Negeri menetapkan panjar biaya kasasi yang dituangkan dalam SKUM, yang
diperuntukkan:
a)
Biaya pencatatan
pemyataan kasasi.
b)
Besamya biaya
kasasi yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung ditambah biaya pengiriman
melalui bank ke rekening Mahkamah Agung.
c)
Biaya pengiriman
berkas perkara ke Mahkamah Agung.
d)
Biaya
Pemberitahuan (BP:
(1)
Pernyataan
Kasasi;
(2)
BP memori Kasasi;
(3)
BP Kontra Memori
Kasasi;
(4)
BP untuk
memeriksa kelengkapan berkas (inzage) bagi pemohon;
(5)
BP untuk
memeriksa kelengkapan berkas (inzage) bagi termohon;
(6)
BP amar Putusan
Kasasi kepada pemohon;
(7)
BP amar putusan
kasasi kepada termohon.
5)
SKUM (Surat Kuasa
Untuk Membayar) dibuat dalam rangkap tiga:
a)
lembar pertama
untuk pemohon.
b)
lembar kedua
untuk kasir.
c)
lembar ketiga
untuk dilampirkan dalam berkas perkara.
6)
Menyerahkan SKUM
kepada pihak yang bersangkutan agar membayar uang panjar yang tercantum dalam
SKUM kepada pemegang kas Pengadilan Negeri.
7)
Pemegang kas
setelah menerima pembayaran menandatangani dan membubuhkan cap stemple tunas
pada SKUM.
8)
Pernyataan kasasi
dapat diterima apabila panjar biaya perkara kasasi yang ditentukan dalam SKUM
telah dibayar lunas.
9)
Pemegang kas
kemudian membukukan uang panjar biaya perkara sebagaimana tercantum dalam SKUM
pada buku jurnal keuangan perkara.
10)
Apabila panjar
biaya kasasi telah dibayar lunas maka pengadilan pada hari itu juga wajib
membuat akta pernyataan kasasi yang dilampirkan pada berkas perkara dan
mencatat permohonan kasasi tersebut dalam register induk perkara perdata dan
register permohonan kasasi.
11)
Permohonan kasasi
dalam waktu 7 (tujuh) hari kalender harus telah disampaikan kepada pihak lawan.
12)
Memori kasasi
harus telah diterima di kepaniteraan pengadilan negeri selambat-lambatnya 14
(empat belas) hari kalender terhitung sejak keesokan hari setelah pernyataan
kasasi. Apabila hari ke 14 (empat belas) jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau
Hari Libur, maka penentuan hari ke 14 (empat belas) jatuh pada hari kerja
berikutnya.
13)
Panitera wajib
memberikan tanda terima atas penerimaan memori kasasi dan dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kalender Salinan memori kasasi tersebut
disampaikan kepada pihak lawan.
14)
Kontra memori
kasasi harus telah diterima di kepaniteraan pengadilan negeri
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kalender sesudah disampaikannya memori
kasasi.
15)
Sebelum berkas
perkara dikirim ke Mahkamah Agung harus diberikan kesempatan kepada kedua belah
untuk mempelajari/memeriksa kelengkapan berkas perkara (inzage) dan
dituangkan dalam akta.
16)
Dalam waktu 65
(enam puluh lima) hari sejak permohonan kasasi diajukan, berkas kasasi berupa
bundel A dan B harus sudah dikirim ke Mahkamah Agung.
17)
Biaya perrnohonan
kasasi untuk Mahkamah Agung harus dikirim oleh pemegang kas melalui Bank BRI
Cabang Veteran - JI. Veteran Raya No. 8 Jakarta Pusat; Rekening Nomor
31.46.0370.0 dan bukti pengirimannya dilampirkan dalam berkas perkara yang
bersangkutan.
18)
Tanggal
penerimaan memori dan kontra memori kasasi harus dicatat dalam buku register
induk perkara perdata dan register permohonan kasasi.
19)
Fotocopy relaas
pemberitahuan putusan Mahkamah Agung wajib dikirim ke Mahkamah Agung.
20)
Pencabutan
permohonan kasasi diajukan kepada Ketua Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan
Negeri yang ditandatangani oleh pemohon kasasi. Apabila pencabutan permohonan
kasasi diajukan oleh kuasanya maka harus diketahui oleh prinsipal.
21)
Pencabutan
permohonan kasasi hams segera dikirim oleh Panitera ke Mahkamah Agung disertai
akta pencabutan permohonan kasasi yang ditandatangani oleh Panitera.
Berdasarkan prosedur yang sudah kami jelaskan di atas,
jadi tahapan kasasi tersebut sederhananya dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu
tahapan dan jangka waktu di tingkat Pengadilan Negeri (PN) dan proses di
tingkat pemeriksaan kasasi pada Mahkamah Agung (MA).
Tahapan di Pengadilan Negeri
Prosedur penanganan permohonan kasasi di PN diatur
secara khusus dalam Keputusan Ketua MA Nomor: KMA/032/SK/IV/2007
tentang Pemberlakuan Buku-Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Pengadilan, yang dikenal dengan Buku Pedoman Teknis
Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus (Buku II).
Sesuai dengan ketentuan Buku II tersebut, setelah memori kasasi diterima oleh
Panitera Muda Perdata pada PN, dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari, salinan memori kasasi harus disampaikan kepada pihak lawan. Seterusnya,
pihak lawan akan menyusun Kontra Memori Kasasi dan dikirimkan ke PN dalam waktu
maksimal 14 (empat belas) hari.
Sebelum PN mengirimkan berkas perkara ke MA, kedua
belah pihak diberikan kesempatan untuk mempelajari dan memeriksa kembali
kelengkapan berkas perkara, yang kemudian dimuat dalam akta permohonan kasasi.
Akta tersebut beserta berkas perkara lainnya harus dikirim oleh PN ke MA dalam
waktu 65 (enam puluh) hari sejak permohonan kasasi diajukan ke PN. Para pihak
akan dikirimkan surat pemberitahuan (relaas) pengiriman berkas ke MA.
Tahapan di Mahkamah Agung
Sama halnya dengan PN, prosedur dan jangka waktu
penanganan perkara kasasi oleh MA saat ini diatur secara spesifik dalam
ketentuan internal MA, yaitu Keputusan Ketua MA No. 039/SK/X/1994
tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi pada Mahkamah Agung yang
terakhir disempurnakan pada tahun 2007 dan Surat Keputusan Ketua
Mahkamah Agung Nomor 214/KMA/SK/XII/2014 mengenai Jangka Waktu Penanganan
Perkara pada Mahkamah Agung, bahwa disebutkan bahwa penanganan perkara
kasasi di MA melewati 9 (Sembilan) tahapan, dengan jangka waktu maksimal
adalah 250 (dua ratus lima puluh) hari sejak berkas perkara diterima oleh MA
hingga pengiriman salinan putusan ke PN pengaju. Secara singkat akan
dijelaskan dalam point berikut ini:
1.
Penerimaan
Berkas Perkara, menerima,
mengagendakan dan memilah berkas perkara yang masuk. Kemudian, melakukan input
data pada sistem informasi. Penerimaan berkas perkara kasasi dari PN oleh Biro
Umum MA. Jangka waktu maksimal berkas perkara ada pada Biro Umum adalah 5
(lima) hari. Setelah itu, akan dilakukan distribusi berkas perkara kepada Unit
Kerja Penelaah Berkas.
2.
Penelaahan
Berkas Perkara, meneliti
kelengkapan dan kesesuain berkas perkara (termasuk dokumen elektroniknya)
berkas perkara tersebut disampaikan oleh Biro Umum kepada Direktorat Pranata
dan Tata Laksana, dalam hal ini adalah Sub Direktorat Kasasi Perkara Perdata,
untuk ditelaah kelengkapannya. Jangka waktu maksimal penelaahan berkas,
termasuk meminta kelengkapan berkas ke PN pengaju jika ditemukan
ketidaklengkapan berkas perkara, adalah 14 (empat belas) hari.
3.
Registrasi
Berkas Perkara, berkas perkara
yang sudah dinyatakan lengkap diteruskan kepada Panitera Muda Perkara Perdata
Umum untuk diregistrasi dan diteruskan kepada Ketua Kamar Perdata. Di tahap
ini, perkara kasasi sudah mendapat no register perkara dan pemberitahuan
(relaas) nomor register tersebut disampaikan ke PN pengaju dan juga
diinput dalam situs info perkara Kepaniteraan MA RI (http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/perkara/),
agar para pihak bisa mengetahui register perkara dan memantau secara online
status penyelesaian perkara mereka. Jangka waktu maksimal di tahapan ini adalah
13 (tiga belas) hari.
4.
Penetapan
Kamar, Penetapan Majelis, dan Distribusi Berkas Perkara,
Menetapkan kamar yang mengadili perkara dan disposisi
ke Ketua Kamar oleh Ketua Mahkamah Agung dengan jangka waktu maksimal 2 (dua)
hari. Kemudian, menetapkan Majelis Hakim yang akan mengadili perkara oleh Ketua
Kamar dalam jangka waktu 2 (dua) hari. Dilakukan penyampaian Surat Penetapan
Majelis dokumen elektronik bundel B serta lembar pendapat (adviesblad)
kepada Majelis. Berkas perkara bundel A dan bundel B disampaikan kepada Ketua
Majelis untuk disimpan dilakukan oleh Kepaniteraan Muda dalam jangka waktu 3
(tiga) hari.
5.
Penetapan
Hari Musyawarah dan Ucapan,
selanjutnya, Ketua Kamar menetapkan majelis Hakim Agung yang akan memeriksa
perkara, dan majelis tersebut memeriksa perkara maksimal selama 90 (sembilan
puluh) hari. Untuk seterusnya diputus (yang disebut juga dengan proses
musyawarah dan ucapan).
6.
Pembacaan
Berkas Perkara, penyusunan
konsep putusan Input data pada templat putusan berdasarkan dokumen elektronik
yang tersedia. Dapat dimulai sejak dokumen elektronik diterima, khususnya bagi
perkara khusus, sehingga konsep putusan sudah tersedia ketika hari musyawarah
ucapan. Kemudian, mengidentifikasi berkas perkara untuk melihat kemungkinan
konflik kepentingan sesuai diatur dalam UU, dan menyatakan menolak untuk
memeriksa berkas perkara dan mengembalikan berkas ke Ketua Kamar (melalui Ketua
Majelis), dilakukan dengan jangka waktu 7 (tujuh) hari. Setelah itu membaca dan
dan memeriksa berkas perkara dan memberikan pendapat dalam lembar pendapat (adviesblad)
dengan jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh)
hari.
7.
Setelah
musyawarah, amar putusan dimuat pada situs info perkara tersebut, tetapi
salinan putusan belum bisa diterima oleh PN pengaju dan para pihak karena harus
diminutasi (pemberkasan) terlebih dahulu.
8.
Secara sederhana,
minutasi merupakan proses penyusunan naskah dan salinan putusan, yang terdiri
dari: pengetikan draf putusan, koreksi draf oleh Hakim Agung dan Panitera
Pengganti, serta otentifikasi dokumen oleh Panitera Muda Perkara. Secara
keseluruhan, proses minutasi memakan waktu yang cukup lama yaitu maksimal 98
(sembilan puluh delapan) hari.
9.
Setelah proses
tersebut selesai, barulah dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari,
Panitera Muda Perkara mengirimkan salinan putusan beserta berkas perkara
lainnya ke PN Pengaju, untuk diteruskan ke para pihak.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa jangka
waktu maksimal penanganan perkara menurut ketentuan internal MA, sejak
pengajuan permohonan kasasi ke PN sampai dengan pengiriman salinan putusan ke
PN Pengaju adalah 315 (tiga ratus lima) hari.
Pada praktiknya, penanganan perkara kasasi bisa lebih
lama dari jangka waktu yang sudah ditetapkan sendiri oleh MA. Berkaitan dengan
itu, Para Pihak disarankan memantau status penyelesaian perkaranya,
melalui laman info perkara pada situs Kepaniteraan MA,
sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya.
Jika Para Pihak mendapati jangka waktu penanganan
perkara yang melampaui jangka waktu yang ditetapkan sendiri oleh MA dalam
peraturan-peraturannya yang disebutkan di bagian sebelumnya, maka Para Pihak
dapat menanyakannya kepada Kepaniteraan MA baik melalui surat ataupun
mendatangi langsung meja informasi di MA.
Upaya Hukum Luar Biasa Perkara Perdata
Upaya hukum luar biasa, adalah suatu upaya hukum
dilakukan atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inracht van
gewijsde) dan upaya hukum ini dalam asasnya tidaklah menangguhkan
pelaksanaan eksekusi. Upaya hukum luar biasa terdiri dari:
-
Perlawanan
pihak ketiga (denden verzet) terhadap sita eksekutorial (vide Yurisprudensi Putusan
Mahkamah Agung Nomor 306 K/ Sip/ 1962 tanggal 21 Oktober 1962;
-
Peninjauan
Kembali (request civil),
diatur dalam Pasal 66, Pasal 67, Pasal 71, Pasal 72 UU Nomor 14 tahun 1985
tentang Mahkamah Agung jo. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun
1982 tentang Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 yang Disempurnakan.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia
yang ada di sini. Terima
Kasih.
[1] Endang Hadrian
dan Lukman Hakim, “Hukum Acara Perdata di Indonesia: Permasalahan Eksekusi dan
Mediasi”, (Yoyakarta: Penerbit Deepublish Publisher, 2020), 55.
[2] Mahkamah Agung RI, “Pedoman Teknis
Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus”, (Jakarta:
Mahkamah Agung RI Edisi 2007, Buku II, 2008), 56-57.
[3] Ibid, 4-7.
[4] vide Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat
Pertama dan Tingkat Banding pada 4 (empat) Lingkungan Peradilan.
[5] M. Yahya Harahap, “Kekuasaan
Pengadilan Tinggi dan Proses Pemeriksaan Perkara Perdata dalam Tingkat Banding”
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 72.
[6] Ibid, 74.
[7] Ibid, 75.
[8] vide Penjelasan Pasal 30 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.