layananhukum

Upaya Hukum Dalam Perkara Perdata

Ilustrasi Persidangan Perkara Perdata di Belanda


Pengertian Upaya Hukum

Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk hal tertentu guna melawan putusan hakim sebagai tempat bagi pihak-pihak yang tidak puas dengan putusan hakim yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, tidak memenuhi rasa keadilan.

Hal ini dikarenakan hakim juga seorang manusia yang dapat melakukan kesalahan/kekhilafan, sehingga salah memutuskan atau memihak salah satu pihak. Sebagaimana diketahui, bahwa tujuan utama dalam suatu proses di muka Pengadilan yaitu untuk memperoleh putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, setiap putusan yang dijatuhkan secara subjektif, belum tentu dapat menjamin kebenaran secara yuridis, karena putusan itu tidak lepas dari kekeliruan dan kekhilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Agar kekeliruan dan kekhilafan itu dapat diperbaiki, maka putusan hakim itu dimungkinkan untuk diperiksa ulang, demi tegaknya kebenaran dan keadilan dengan melakukan upaya hukum yang dilakukan oleh salah satu pihak yang berperkara.[1]

Bentuk-Bentuk Upaya Hukum

Secara umum, upaya hukum itu dapat dilakukan dalam 2 (dua) bentuk, yaitu

a.       Upaya hukum biasa, dan

b.      Upaya hukum luar biasa.

Berikut penjelasannya:

Upaya Hukum Biasa

Merupakan upaya hukum yang digunakan untuk putusan yang belum berkekuatan hukum tetap. Upaya ini mencakup:

Verzet

Pada dasarnya, verzet merupakan upaya hukum sebagai perlawanan terhadap putusan verstek. Upaya hukum ini diatur dalam Pasal 125 ayat (3)Pasal 129 ayat (2)Pasal 126 HIR dan Pasal 149 ayat (3)Pasal 153 ayat (2)Pasal 150 RBgVerzet atau Perlawanan adalah upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan Pengadilan Negeri karena tergugat tidak hadir pada persidangan pertama (dalam bentuk putusan verstek).

Upaya hukum ini disediakan bagi tergugat yang pada umumnya dikalahkan dalam putusan verstek. Dasar hukum Verzet dapat dilihat di dalam Pasal 129 HIRVerzet dapat dilakukan dalam tenggang waktu 14 hari (termasuk hari libur) setelah putusan-putusan verstek diberitahukan atau disampaikan kepada tergugat karena tergugat tidak hadir.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 129 ayat (1) HIR)Verzet harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1)       Setelah keluarnya putusan Verstek;

2)      Adapun jangka waktu untuk mengajukan perlawanan adalah tidak boleh lewat dari 14 hari, dan jika ada eksekusi tidak boleh lebih dari 8 hari; dan

3)      Upaya verzet dimasukkan dan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di wilayah hukum di mana penggugat mengajukan gugatannya.

Apabila menurut Buku Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus[2] menyebutkan bahwa dalam “Perlawanan Terhadap Putusan Verstek” disebutkan:

1.        Sesuai Pasal 129 HIR/Pasal 153 RBg. tergugat/para tergugat yang dihukum dengan Verstek berhak mengajukan verzet atau perlawanan dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung setelah tanggal pemberitahuan putusan verstek itu kepada tergugat semula jika pemberitahuan tersebut langsung disampaikan sendiri kepada yang bersangkutan. (vide Pasal 391 HIR: dalam menghitung tenggang waktu maka tanggal/hari saat dimulainya penghitungan waktu tidak dihitung)

2.       Jika putusan itu tidak langsung diberitahukan kepada tergugat sendiri dan pada waktu aanmaning tergugat hadir, maka tenggang waktunya sampai pada hari kedelapan sesudah aanmaning (peringatan).

3.      Jika tergugat tidak hadir pada waktu aanmaning maka tenggang waktunya adalah hari kedelapan sesudah sita eksekusi dilaksanakan. (vide Pasal 129 ayat (2) jo. Pasal 196 HIR dan Pasal 153 ayat (2) jo. Pasal 207 RBG). Kedua perkara tersebut (perkara verstek dan verzet terhadap verstek) benda dalam satu nomor perkara.

4.       Perkara verzet sedapat mungkin dipegang oleh Majelis Hakim yang telah menjatuhkan putusan verstek.

5.       Hakim yang melakukan pemeriksaan perkara verzet atas putusan verstek harus memeriksa gugatan yang telah diputus verstek tersebut secara keseluruhan. Pemeriksaan perkara verzet dilakukan secara biasa (vide Pasal 129 ayat (3) HIRPasal 153 ayat (3) RBg, dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 9 Tahun 1964).

6.      Apabila dalam pemeriksaan verzet pihak penggugat asal (Terlawan) tidak hadir, maka pemeriksaan dilanjutkan secara contradictoire, akan tetapi apabila Pelawan yang tidak hadir maka Hakim menjatuhkan putusan verstek untuk kedua kainya Terhadap putusan verstek yang dijatuhkan kedua kalinya ini tidak dapat diajukan perlawanan, tetapi bisa diajukan upaya hukum banding (vide Pasal 129 ayat (5) HIR dan Pasal 153 ayat (5) RBg).

7.       Apabila verzet diterima dan putusan verstek dibatalkan maka amar putusannya berbunyi:

a.       Menyatakan Pelawan adalah pelawan yang benar;

b.       Membatalkan putusan verstek;

c.       Mengabulkan gugatan penggugat atau menolak gugatan pengugat.

8.      Apabila verzet tidak diterima dan putusan verstek tidak dibatalkan, maka amar putusannya berbunyi:

a.       Menyatakan pelawan adalah pelawan yang tidak benar.

b.       Menguatkan putusan verstek tersebut.

9.      Terhadap putusan verzet tersebut kedua belah pihak berhak mengajukan banding. Dalam hal diajukan banding, maka berkas perkara verstek dan verzet disatukan dalam satu berkas dan dikirim ke Pengadilan Tinggi dan hanya ada satu nomor perkara.

Sedangkan, apabila menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, menyatakan bahwa:

a.       Tenggang waktu mengajukan perlawanan (verzet) terhadap putusan verstek adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 129 HIR yaitu jika pemberitahuan putusan kepada Tergugat sendiri, maka tenggang waktu untuk verzet 14 hari setelah pemberitahuan tersebut. Jika pemberitahuan tidak disampaikan kepada Tergugat sendiri (via Lurah atau Kepala Desa), maka tenggang waktu verzet sampai hari kedelapan sesudah dilakukan teguran atau aanmanning.  Apabila dalam aanmanning Tergugat tidak hadir, tenggang waktu verzet sampai hari kedelapan setelah dilaksanakan sita eksekusi (vide Pasal 197 HIR). Dalam hal dijalankannya eksekusi riil, maka berdasarkan Pasal 83 Rv, pada saat eksekusi dijalankan verzet masih dapat diajukan.

b.      Pada prinsipnya amar putusan dalam perkara verzet adalah dalam hal menolak perlawanan (verzet):

-        Menyatakan Pelawan adalah Pelawan yang tidak benar.

-        Mempertahankan putusan verstek nomor.......tanggal................ (dimungkinkan adanya perubahan amar sesuai hasil pemeriksaan pokok perkara, kecuali ..... sehingga selengkapnya sebagai berikut : ....... ).

c.       Dalam hal mengabulkan perlawanan (verzet):

-        Menyatakan Pelawan adalah Pelawan yang benar.

-        Membatalkan putusan verstek nomor....tanggal......

-        Menolak gugatan Penggugat/Terlawan untuk seluruhnya atau Menyatakan gugatan Penggugat/Terlawan tidak dapat diterima.

Banding (Hoger Beroep)

Banding merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan kepada pengadilan tinggi oleh pihak yang tidak menerima hasil dari putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan tingkat pertama. Upaya hukum banding ini diatur dalam Pasal 188-194 HIR (untuk daerah Jawa dan Madura), dan dalam Pasal 199-205 RBg (untuk daerah luar Jawa dan Madura). Tetapi dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura, maka Pasal 188-194 HIR yang mengatur acara pemeriksaan banding untuk daerah Jawa dan Madura tidak berlaku lagi.

Banding adalah upaya hukum biasa melawan putusan pengadilan tingkat pertama (misalnya pengadilan negeri) oleh pihak-pihak berperkara perdata yang merasa tidak puas dan tidak dapat menerima terhadap putusan Pengadilan Negeri. Sementara pengertian lain “Banding” adalah permohonan agar supaya perkara yang telah diputus oleh pengadilan tingkat pertama diperiksa ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi (tingkat banding), karena merasa belum puas dengan keputusan pengadilan tingkat pertama.

Misalnya, pengadilan tingkat pertama adalah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sedangkan yang merupakan Pengadilan Tingkat Banding adalah Pengadilan Tinggi Jakarta.

Apabila merujuk pada Buku Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus[3] menyebutkan bahwa:

1)       Berkas perkara diserahkan pada Panitera Muda Perdata sebagai petugas pada meja/loket pertama, yang menerima pendaftaran terhadap permohonan banding.

2)      Permohonan banding dapat diajukan di kepaniteraan pengadilan negeri dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender terhitung keesokan harinya setelah putusan diucapkan atau setelah diberitahukan kepada pihak yang tidak hadir dalam pembacaan putusan. Apabila hari ke 14 (empat belas) jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau Hari Libur, maka penentuan hari ke 14 (empat belas) jatuh pada hari kerja berikutnya.

3)      Terhadap permohonan banding yang diajukan melampaui tenggang waktu tersebut di atas tetap dapat diterima dan dicatat dengan membuat surat keterangan panitera bahwa permohonan banding telah lampau.

4)      Panjar biaya banding dituangkan dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dengan peruntukan:

a.       Biaya pencatatan pernyataan banding.

b.       Biaya banding yang ditetapkan oleh ketua pengadilan tinggi ditambah biaya pengiriman ke rekening pengadilan tinggi.

c.       Ongkos pengiriman berkas.

d.      Biaya Pemberitahuan (BP):

1)       BP Akta Banding;

2)      BP Memori Banding;

3)      BP Kontra Memori Banding;

4)      BP untuk memeriksa berkas bagi pembanding;

5)      BP Putusan bagi pembanding;

6)      BP Putusan bagi terbanding.

7)       SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) dibuat 3 (tiga) rangkap:

a)       lembar pertama untuk pemohon.

b)      lembar kedua untuk kasir.

c)       lembar ketiga untuk dilampirkan dalam berkas permohonan.

5)      Menyerahkan berkas permohonan banding yang dilengkapi dengan SKUM kepada yang pihak bersangkutan agar membayar uang panjar yang tercantum dalam SKUM kepada pemegang kas Pengadilan Negeri.

6)      Pemegang kas setelah menerima pembayaran menandatangani, membubuhkan cap stempel lunas pada SKUM.

7)       Pemegang kas kemudian membukukan uang panjar biaya perkara sebagaimana tercantum dalam SKUM pada buku jurnal keuangan perkara.

8)      Pernyataan banding dapat diterima apabila panjar biaya perkara banding yang ditentukan dalam SKUM oleh meja pertama telah dibayar lunas.

9)      Apabila panjar biaya banding yang telah dibayar lunas maka pengadilan wajib membuat akta pernyataan banding dan mencatat permohonan banding tersebut dalam register induk perkara perdata dan register permohonan banding.

10)    Permohonan banding dalam waktu 7 (tujuh) hari kalender harus telah disampaikan kepada lawannya, tanpa perlu menunggu diterimanya memori banding.

11)     Tanggal penerimaan memori dan kontra memori banding harus dicatat dalam buku register induk perkara perdata dan register permohonan banding, kemudian salinannya disampaikan kepada masing-masing lawannya dengan membuat relaas pemberitahuan/penyerahan nya.

12)    Sebelum berkas perkara dikirim ke pengadilan tinggi harus diberikan kesempatan kepada kedua belah untuk mempelajari/memeriksa berkas perkara (inzage) dan dituangkan dalam Relaas.

13)    Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan banding diajukan, berkas banding berupa berkas A dan B harus sudah dikirim ke Pengadilan Tinggi.

14)    Biaya perkara banding untuk pengadilan tinggi harus disampaikan melalui Bank pemerintah kantor pos, dan tanda bukti pengiriman uang harus dikirim bersamaan dengan pengiriman berkas yang bersangkutan.

15)    Pencabutan permohonan banding diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang ditandatangani oleh pembanding (harus diketahui oleh prinsipal apabila permohonan banding diajukan oleh kuasanya) dengan menyertakan akta panitera.

16)    Pencabutan permohonan banding harus segera dikirim oleh Panitera ke Pengadilan Tinggi disertai akta pencabutan yang ditandatangani oleh Panitera.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura, permohonan banding harus diajukan kepada panitera pengadilan tingkat pertama yang menjatuhkan putusan. Di mana menurut Pasal 26 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman joPasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura mencabut ketentuan Pasal 188-194 HIR, urutan banding yaitu:

1)       Ada pernyataan ingin banding;

2)      Panitera membuat akta banding;

3)      Dicatat dalam register induk perkara;

4)      Pernyataan banding harus sudah diterima oleh terbanding paling lama 14 (empat belas) hari sesudah pernyataan banding tersebut dibuat;

5)      Pembanding dapat membuat memori banding, terbanding dapat mengajukan kontra memori banding.

Adapun yang merupakan syarat-syarat dari upaya banding, yaitu:

1)       Diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara;

2)      Diajukan dalam masa tenggang waktu banding:

3)      Putusan tersebut menurut hukum boleh dimintakan banding;

4)      Membayar panjar biaya banding, kecuali dalam hal prodeo;

5)      Menghadap di kepaniteraan pengadilan yang putusannya dimohonkan banding.

Intinya, kembali pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura, yang menyatakan bahwa pemeriksaan tingkat banding dapat dimintakan oleh pihak-pihak yang berperkara. Pihak lain di luar yang berperkara tidak berhak mengajukan banding, kecuali kuasa hukumnya. Untuk masa tenggang waktu pengajuan banding bagi pihak yang bertempat tinggal di daerah hukum pengadilan negeri yang putusannya dimohonkan banding tersebut, maka bandingnya 14 (empat belas) hari terhitung mulai hari berikutnya dari hari pengumuman putusan kepada yang bersangkutan.

Adapun bagi pihak yang bertempat tinggal di luar hukum pengadilan yang putusannya dimohonkan banding tersebut maka masa bandingnya adalah 30 (tiga puluh) hari terhitung mulai hari berikutnya dari hari pengumuman putusan kepada yang bersangkutan. Untuk penyelesaian perkara pada tingkat banding paling lambat dalam waktu 3 (tiga) bulan.[4]

Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan:

“Putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.”

Yang dimaksud dengan pengecualian itu ditujukan pada perkara perdata yang tidak perlu dimintakan banding, tetapi langsung kasasi ke MA, misalnya putusan Pengadilan Niaga dalam Perkara Hak Kekayaan Intelektual (HaKI), Putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), dan Perkara Kepailitan. Hakim tingkat pertama dan banding adalah hakim fakta (judex facti) sehingga Hakim banding memeriksa seluruh berkas perkara dimaksud.

Memori Banding dan Kontra Memori Banding

Walau tidak diharuskan Pembanding berhak mengajukan Memori Banding sedangkan Terbanding berhak mengajukan Kontra Memori Banding, dan tidak ada jangka waktu pengajuannya sepanjang perkara belum diputus oleh Pengadilan Tinggi masih diperkenankan. (vide Putusan Mahkamah Agung Nomor 39 K/Sip/1973, tanggal 11 September 1975).

Untuk pengertian Memori Banding sendiri tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Menurut M. Yahya Harahap[5] menyatakan bahwa Memori Banding adalah risalah mengenai penjelasaan keberatan (memorie van grieven) atau memory of objection terhadap pertimbangan dan kesimpulan putusan Pengadilan Negeri berdasarkan fakta-fakta dan dasar hukum yang sebenarnya.

Di dalam Memori Banding, pemohon juga dapat meminta agar Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi atau ahli baik pemeriksaan terhadap saksi atau ahli baru yang belum pernah diajukan, maupun pemeriksaan ulang oleh Pengadilan Tinggi terhadap saksi atau ahli yang sudah diperiksa oleh Pengadilan Negeri pada tingkat pertama.[6]

Yahya Harahap juga menyertakan Putusan Kasasi mengenai pengajuan Memori Banding yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 663 K/Sip/1971 yang menyatakan Memori Banding bukan syarat formil permohonan banding karena undang-undang tidak mewajibkan pembanding mengajukan memori atau risalah banding. Putusan Mahkamah Agung Nomor 3135 K/Pdt/1983 juga menyatakan tanpa memori atau Kontra Memori Banding, permohonan banding sah dan dapat diterima, oleh karena itu perkara tetap diperiksa ulang secara keseluruhan.

Kemudian mengenai tenggat waktu pengajuan Memori Banding, menurut Yahya Harahap,[7] oleh karena Memori Banding bukan merupakan syarat formil pengajuan banding maka tidak ada peraturan yang mengatur tenggat waktu apabila pembanding ingin mengajukan. Dia berpendapat bahwa penyampaian Memori Banding yang dianggap paling tepat, dilakukan bersamaan dengan permohonan banding. Dengan cara yang demikian, pada saat pemberitahuan banding kepada terbanding, juru sita tidak mengalami kendala untuk sekaligus menyerahkan salinan Memori Banding kepada terbanding.

Pencabutan permohonan banding tidak diatur dalam undang-undang sepanjang belum diputuskan oleh Pengadilan Tinggi pencabutan permohonan banding masih diperbolehkan.

Kasasi (Cassatieberoep)

Adapun alasan-alasan mengajukan Kasasi sebagaimana ketentuan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, menyebutkan bahwa:

“Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena:

a.       tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;

b.      salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;

c.       lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.”

Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang. Tidak berwenang yang dimaksud berkaitan dengan kompetensi relatif dan absolut pengadilan, sedang melampaui batas wewenang bisa terjadi bila pengadilan mengabulkan gugatan melebihi yang diminta dalam surat gugatan.

Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. Yang dimaksud di sini adalah kesalahan menerapkan hukum baik hukum formil maupun hukum materil, sedangkan melanggar hukum adalah penerapan hukum yang dilakukan oleh Judex Facti salah atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku atau dapat juga diinterprestasikan penerapan hukum tersebut tidak tepat dilakukan oleh Judex Facti.

Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Contohnya dalam suatu putusan tidak terdapat irah-irah.

Kemudian, dalam memeriksa perkara, Mahkamah Agung berkewajiban menggali, mengikuti, dan memahami rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.[8]

Prosedur dan Tengang Waktu Mengajukan Permohonan Kasasi

1)       Berkas perkara diserahkan pada Panitera Muda Perdata sebagai petugas pada meja/loket pertama, yang menerima pendaftaran terhadap permohonan kasasi.

2)      Permohonan kasasi dapat diajukan di kepaniteraan pengadilan negeri dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender terhitung keesokan harinya setelah putusan pengadilan tinggi diberitahukan kepada para pihak. Apabila hari ke 14 (empat belas) jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau Hari Libur, maka penentuan hari ke 14 (empat belas)  jatuh pada hari kerja berikutnya. (vide Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung)

3)      Permohonan kasasi yang melampaui tenggang waktu tersebut di atas tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak dikirimkan ke Mahkamah Agung dengan Penetapan Ketua Pengadilan (vide Pasal 45 A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung ).

4)      Ketua Pengadilan Negeri menetapkan panjar biaya kasasi yang dituangkan dalam SKUM, yang diperuntukkan:

a)       Biaya pencatatan pemyataan kasasi.

b)      Besamya biaya kasasi yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung ditambah biaya pengiriman melalui bank ke rekening Mahkamah Agung.

c)       Biaya pengiriman berkas perkara ke Mahkamah Agung.

d)      Biaya Pemberitahuan (BP:

(1)      Pernyataan Kasasi;

(2)     BP memori Kasasi;

(3)    BP Kontra Memori Kasasi;

(4)     BP untuk memeriksa kelengkapan berkas (inzage) bagi pemohon;

(5)     BP untuk memeriksa kelengkapan berkas (inzage) bagi termohon;

(6)    BP amar Putusan Kasasi kepada pemohon;

(7)     BP amar putusan kasasi kepada termohon.

5)      SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) dibuat dalam rangkap tiga:

a)       lembar pertama untuk pemohon.

b)      lembar kedua untuk kasir.

c)       lembar ketiga untuk dilampirkan dalam berkas perkara.

6)      Menyerahkan SKUM kepada pihak yang bersangkutan agar membayar uang panjar yang tercantum dalam SKUM kepada pemegang kas Pengadilan Negeri.

7)       Pemegang kas setelah menerima pembayaran menandatangani dan membubuhkan cap stemple tunas pada SKUM.

8)      Pernyataan kasasi dapat diterima apabila panjar biaya perkara kasasi yang ditentukan dalam SKUM telah dibayar lunas.

9)      Pemegang kas kemudian membukukan uang panjar biaya perkara sebagaimana tercantum dalam SKUM pada buku jurnal keuangan perkara.

10)    Apabila panjar biaya kasasi telah dibayar lunas maka pengadilan pada hari itu juga wajib membuat akta pernyataan kasasi yang dilampirkan pada berkas perkara dan mencatat permohonan kasasi tersebut dalam register induk perkara perdata dan register permohonan kasasi.

11)     Permohonan kasasi dalam waktu 7 (tujuh) hari kalender harus telah disampaikan kepada pihak lawan.

12)    Memori kasasi harus telah diterima di kepaniteraan pengadilan negeri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak keesokan hari setelah pernyataan kasasi. Apabila hari ke 14 (empat belas) jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau Hari Libur, maka penentuan hari ke 14 (empat belas) jatuh pada hari kerja berikutnya.

13)    Panitera wajib memberikan tanda terima atas penerimaan memori kasasi dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kalender Salinan memori kasasi tersebut disampaikan kepada pihak lawan.

14)    Kontra memori kasasi harus telah diterima di kepaniteraan pengadilan negeri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kalender sesudah disampaikannya memori kasasi.

15)    Sebelum berkas perkara dikirim ke Mahkamah Agung harus diberikan kesempatan kepada kedua belah untuk mempelajari/memeriksa kelengkapan berkas perkara (inzage) dan dituangkan dalam akta.

16)    Dalam waktu 65 (enam puluh lima) hari sejak permohonan kasasi diajukan, berkas kasasi berupa bundel A dan B harus sudah dikirim ke Mahkamah Agung.

17)     Biaya perrnohonan kasasi untuk Mahkamah Agung harus dikirim oleh pemegang kas melalui Bank BRI Cabang Veteran - JI. Veteran Raya No. 8 Jakarta Pusat; Rekening Nomor 31.46.0370.0 dan bukti pengirimannya dilampirkan dalam berkas perkara yang bersangkutan.

18)    Tanggal penerimaan memori dan kontra memori kasasi harus dicatat dalam buku register induk perkara perdata dan register permohonan kasasi.

19)    Fotocopy relaas pemberitahuan putusan Mahkamah Agung wajib dikirim ke Mahkamah Agung.

20)   Pencabutan permohonan kasasi diajukan kepada Ketua Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang ditandatangani oleh pemohon kasasi. Apabila pencabutan permohonan kasasi diajukan oleh kuasanya maka harus diketahui oleh prinsipal.

21)    Pencabutan permohonan kasasi hams segera dikirim oleh Panitera ke Mahkamah Agung disertai akta pencabutan permohonan kasasi yang ditandatangani oleh Panitera.

Berdasarkan prosedur yang sudah kami jelaskan di atas, jadi tahapan kasasi tersebut sederhananya dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu tahapan dan jangka waktu di tingkat Pengadilan Negeri (PN) dan proses di tingkat pemeriksaan kasasi pada Mahkamah Agung (MA).

Tahapan di Pengadilan Negeri

Prosedur penanganan permohonan kasasi di PN diatur secara khusus dalam Keputusan Ketua MA Nomor: KMA/032/SK/IV/2007 tentang Pemberlakuan Buku-Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, yang dikenal dengan Buku Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus (Buku II). Sesuai dengan ketentuan Buku II tersebut, setelah memori kasasi diterima oleh Panitera Muda Perdata pada PN, dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari, salinan memori kasasi harus disampaikan kepada pihak lawan. Seterusnya, pihak lawan akan menyusun Kontra Memori Kasasi dan dikirimkan ke PN dalam waktu maksimal 14 (empat belas) hari.

Sebelum PN mengirimkan berkas perkara ke MA, kedua belah pihak diberikan kesempatan untuk mempelajari dan memeriksa kembali kelengkapan berkas perkara, yang kemudian dimuat dalam akta permohonan kasasi. Akta tersebut beserta berkas perkara lainnya harus dikirim oleh PN ke MA dalam waktu 65 (enam puluh) hari sejak permohonan kasasi diajukan ke PN. Para pihak akan dikirimkan surat pemberitahuan (relaas) pengiriman berkas ke MA.

Tahapan di Mahkamah Agung

Sama halnya dengan PN, prosedur dan jangka waktu penanganan perkara kasasi oleh MA saat ini diatur secara spesifik dalam ketentuan internal MA, yaitu Keputusan Ketua MA No. 039/SK/X/1994 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi pada Mahkamah Agung yang terakhir disempurnakan pada tahun 2007 dan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 214/KMA/SK/XII/2014 mengenai Jangka Waktu Penanganan Perkara pada Mahkamah Agung, bahwa disebutkan bahwa penanganan perkara kasasi di MA melewati 9 (Sembilan) tahapan, dengan jangka waktu maksimal adalah 250 (dua ratus lima puluh) hari sejak berkas perkara diterima oleh MA hingga pengiriman salinan putusan ke PN pengaju. Secara singkat akan dijelaskan dalam point berikut ini:

1.        Penerimaan Berkas Perkara, menerima, mengagendakan dan memilah berkas perkara yang masuk. Kemudian, melakukan input data pada sistem informasi. Penerimaan berkas perkara kasasi dari PN oleh Biro Umum MA. Jangka waktu maksimal berkas perkara ada pada Biro Umum adalah 5 (lima) hari. Setelah itu, akan dilakukan distribusi berkas perkara kepada Unit Kerja Penelaah Berkas.

2.       Penelaahan Berkas Perkara, meneliti kelengkapan dan kesesuain berkas perkara (termasuk dokumen elektroniknya) berkas perkara tersebut disampaikan oleh Biro Umum kepada Direktorat Pranata dan Tata Laksana, dalam hal ini adalah Sub Direktorat Kasasi Perkara Perdata, untuk ditelaah kelengkapannya. Jangka waktu maksimal penelaahan berkas, termasuk meminta kelengkapan berkas ke PN pengaju jika ditemukan ketidaklengkapan berkas perkara, adalah 14 (empat belas) hari.

3.      Registrasi Berkas Perkara, berkas perkara yang sudah dinyatakan lengkap diteruskan kepada Panitera Muda Perkara Perdata Umum untuk diregistrasi dan diteruskan kepada Ketua Kamar Perdata. Di tahap ini, perkara kasasi sudah mendapat no register perkara dan pemberitahuan (relaas) nomor register tersebut disampaikan ke PN pengaju dan juga diinput dalam situs info perkara Kepaniteraan MA RI (http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/perkara/), agar para pihak bisa mengetahui register perkara dan memantau secara online status penyelesaian perkara mereka. Jangka waktu maksimal di tahapan ini adalah 13 (tiga belas) hari.

4.       Penetapan Kamar, Penetapan Majelis, dan Distribusi Berkas Perkara,

Menetapkan kamar yang mengadili perkara dan disposisi ke Ketua Kamar oleh Ketua Mahkamah Agung dengan jangka waktu maksimal 2 (dua) hari. Kemudian, menetapkan Majelis Hakim yang akan mengadili perkara oleh Ketua Kamar dalam jangka waktu 2 (dua) hari. Dilakukan penyampaian Surat Penetapan Majelis dokumen elektronik bundel B serta lembar pendapat (adviesblad) kepada Majelis. Berkas perkara bundel A dan bundel B disampaikan kepada Ketua Majelis untuk disimpan dilakukan oleh Kepaniteraan Muda dalam jangka waktu 3 (tiga) hari.

5.       Penetapan Hari Musyawarah dan Ucapan, selanjutnya, Ketua Kamar menetapkan majelis Hakim Agung yang akan memeriksa perkara, dan majelis tersebut memeriksa perkara maksimal selama 90 (sembilan puluh) hari. Untuk seterusnya diputus (yang disebut juga dengan proses musyawarah dan ucapan).

6.      Pembacaan Berkas Perkara, penyusunan konsep putusan Input data pada templat putusan berdasarkan dokumen elektronik yang tersedia. Dapat dimulai sejak dokumen elektronik diterima, khususnya bagi perkara khusus, sehingga konsep putusan sudah tersedia ketika hari musyawarah ucapan. Kemudian, mengidentifikasi berkas perkara untuk melihat kemungkinan konflik kepentingan sesuai diatur dalam UU, dan menyatakan menolak untuk memeriksa berkas perkara dan mengembalikan berkas ke Ketua Kamar (melalui Ketua Majelis), dilakukan dengan jangka waktu 7 (tujuh) hari. Setelah itu membaca dan dan memeriksa berkas perkara dan memberikan pendapat dalam lembar pendapat (adviesblad) dengan jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari.           

7.       Setelah musyawarah, amar putusan dimuat pada situs info perkara tersebut, tetapi salinan putusan belum bisa diterima oleh PN pengaju dan para pihak karena harus diminutasi (pemberkasan) terlebih dahulu.

8.      Secara sederhana, minutasi merupakan proses penyusunan naskah dan salinan putusan, yang terdiri dari: pengetikan draf putusan, koreksi draf oleh Hakim Agung dan Panitera Pengganti, serta otentifikasi dokumen oleh Panitera Muda Perkara. Secara keseluruhan, proses minutasi memakan waktu yang cukup lama yaitu maksimal 98 (sembilan puluh delapan) hari.

9.      Setelah proses tersebut selesai, barulah dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari, Panitera Muda Perkara mengirimkan salinan putusan beserta berkas perkara lainnya ke PN Pengaju, untuk diteruskan ke para pihak.

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa jangka waktu maksimal penanganan perkara menurut ketentuan internal MA, sejak pengajuan permohonan kasasi ke PN sampai dengan pengiriman salinan putusan ke PN Pengaju adalah 315 (tiga ratus lima) hari.

Pada praktiknya, penanganan perkara kasasi bisa lebih lama dari jangka waktu yang sudah ditetapkan sendiri oleh MA. Berkaitan dengan itu, Para Pihak disarankan memantau status penyelesaian perkaranya, melalui laman info perkara pada situs Kepaniteraan MA, sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya.

Jika Para Pihak mendapati jangka waktu penanganan perkara yang melampaui jangka waktu yang ditetapkan sendiri oleh MA dalam peraturan-peraturannya yang disebutkan di bagian sebelumnya, maka Para Pihak dapat menanyakannya kepada Kepaniteraan MA baik melalui surat ataupun mendatangi langsung meja informasi di MA.

Upaya Hukum Luar Biasa Perkara Perdata

Upaya hukum luar biasa, adalah suatu upaya hukum dilakukan atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inracht van gewijsde) dan upaya hukum ini dalam asasnya tidaklah menangguhkan pelaksanaan eksekusi. Upaya hukum luar biasa terdiri dari:

-        Perlawanan pihak ketiga (denden verzetterhadap sita eksekutorial (vide Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 306 K/ Sip/ 1962 tanggal 21 Oktober 1962;

-        Peninjauan Kembali (request civil), diatur dalam Pasal 66, Pasal 67, Pasal 71, Pasal 72 UU Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1982 tentang Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 yang Disempurnakan.

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


[1] Endang Hadrian dan Lukman Hakim, “Hukum Acara Perdata di Indonesia: Permasalahan Eksekusi dan Mediasi”, (Yoyakarta: Penerbit Deepublish Publisher, 2020), 55.

[2] Mahkamah Agung RI, “Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus”, (Jakarta: Mahkamah Agung RI Edisi 2007, Buku II, 2008), 56-57.

[3] Ibid, 4-7.

[4] vide Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada 4 (empat) Lingkungan Peradilan.

[5] M. Yahya Harahap, “Kekuasaan Pengadilan Tinggi dan Proses Pemeriksaan Perkara Perdata dalam Tingkat Banding” (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 72.

[6] Ibid, 74.

[7] Ibid, 75.

[8] vide Penjelasan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Formulir Isian