Sexual Violence in Conflict: Youth Speak Out, Source: UN. |
Berikut beberapa tips dari Eka Kurnia
Chrislianto Law Office, dalam tahapan pencegahan Kekerasan Seksual
terjadi Dalam Hubungan Pacaran, sebagai berikut:
1.
Dalam hubungan
pacaran, sebelum menerima seorang pria menjadi pacar Anda kenalilah terlebih
dahulu siapa dirinya dengan menggali informasi dari berbagai pihak tanpa
merugikan pihak manapun dan tidak melanggar hukum;
2.
Hindari menuruti
kemauan pacar Anda atau putuskan pacar Anda jika ada tanda-tanda dalam hubungan
yang menunjukkan atau berpotensi itu akan merugikan Anda terutama jika itu
mengarah pada soal seksual;
3.
Berani
menyampaikan penolakan dan katakan “tidak” kepadanya agar Anda punya posisi
menolak secara konsisten terhadap pacar Anda, dan berikan alasan argumentatif
atas pertimbangan Anda tersebut;
4.
Sering berdiskusi
dan berbagi nilai-nilai dan aturan hukum yang berbasis keadilan gender kepada
teman siswi dan mahasiswi Anda, serta pentingnya mengetahui apa sih consent itu
atau akan lebih baiknya lakukanlah seks secara aman dan dilakukan dengan adanya
pertanggungjawaban secara hukum;
5.
Berikan
pengenalan dan pendidikan reproduksi dan kesehatan seksual sejak dini untuk
orang-orang terdekat Anda, karena Anda pun dapat membantu mereka agar tidak
menjadi korban Kekerasan Seksual;
6.
Membuka diri dan
mengadukan pada orang yang dipercaya untuk bercerita seperti kepada teman,
keluarga, guru BP/BK, dosen, atau tenaga pendidik lainnya atau dapat
menghubungi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terkait atau instansi pemerintah
terkait seperti UPT Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak
(P2TP2A), KPPAD Wilayah Kalbar atau mencari Bantuan Hukum jika tanda-tanda
kekerasan seksual dialami;
7.
Ajaklah teman
atau orang terdekat jika sudah merasakan tanda-tanda mengarah kepada kekerasan
seksual apabila diminta menemui pelaku, artinya jangan biarkan diri Anda
sendirian;
8.
Kemanapun Anda
pergi bawalah selalu kartu identitas, entah KTP, entah Kartu Indonesia Sehat,
BPJS, dan lain sebagainya;
9.
Beranikanlah diri
merespon dengan menjauh atau katakan TIDAK jika sudah mulai merasakan adanya
tindakan-tindakan yang membuat kenyamanan dan merasa diri direndahkan;
10.
Untuk pencegahan
dan berjaga diri, bolehlah memulai belajar ilmu beladiri sederhana atau siapkan
dalam tas Anda seprotan merica, cabai, cuka, atau parfum, atau Tindakan lain
untuk mencegah keberlanjutan tindak kekerasan seksual tersebut.
Kalau saya sudah mengalami Kekerasan Seksual dan
menjadi Korban atau Penyintas Kekerasan Seksual, apa yang harus saya lakukan
saya takut dan tidak percaya siapapun..?
1.
Anda Kuat!
Janganlah menyerah, janganlah sesekali menyalahkan diri Anda atas kekerasan
seksual yang Anda alami tetapi yakinkan diri bahwa pelakulah yang bersalah.
2.
Segera minta
pertolongan kepada orang terdekat di sekitar Anda.
3.
Hubungi dosen,
keluarga, teman, ataupun orang yang Anda dapat percayai.
4.
Mintalah bantuan
Pihak lain untuk mengantar anda segera ke kantor kepolisian terdekat (untuk
membuat laporan) dan Rumah Sakit (Pemeriksaan medis) untuk melakukan Visum
et Repertum (VeR). Biasanya VeR dapat dilakukan dengan surat pengantar
dari Kepolisian setelah dilakukannya pengaduan/pelaporan, sedangkan jika tanpa
pengaduan/pelaporan terlebih dahulu ke Kepolisian, maka korban hanya berhak
mendapat rekam medis. Dalam pemeriksaan medis korban harus dapat menceritakan
dengan jujur dan menunjukkan bagian-bagian yang dirasa sakit, agar semua dapat
tercatat dalam VeR secara sempurna.
5.
Mintalah bantuan
pada lembaga pengada layanan, LSM terkait, instansi pemerintah seperti UPT
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) atau Lembaga
Bantuan Hukum yang Anda ketahui untuk membantu Anda dalam penyelesaian
permalahan yang Anda hadapi segera.
6.
Mengumpulkan
bukti-bukti dan saksi yang dapat dijadikan petunjuk untuk diajukan jika kasus
akan diproses secara hukum.
7.
Melakukan
pemeriksaan psikologis. Pemeriksaan tersebut dapat bermanfaat untuk memperkuat
pembuktian jika proses hukum akan ditempuh korban.
8.
Melakukan
konseling untuk penguatan dan pemulihan psikologis.
9. Jika Anda mendapat ancaman dan intimidasi carilah segera Lembaga penyedia Rumah Aman yang dapat memberikan perlindungan bagi korban. Dapat juga meminta perlindungan dari kepolisian.
Penting dicatat juga, jika mengalami kekerasan
seksual, korban disarankan jangan mandi atau membersihkan diri terlebih dahulu
sebelum Anda melakukan Pelaporan ke Kepolisian dan pemeriksaan di Rumah Sakit
(dengan pertimbangan apabila Anda membersihkan diri, maka sebagian bukti yang
ditinggalkan pelaku akan hilang, seperti: air mani atau sperma Pelaku),
menyimpan pakaian yang digunakan pada saat kejadian (tanpa dibersihkan/dicuci),
memfoto luka-luka yang diakibatkan oleh kekerasan yang dilakukan Pelaku.
Walaupun sebagaimana ketentuan Pasal 24
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, menyebutkan
bahwa alat bukti yang sah dalam pembuktian Tindak Pidana Kekerasan Seksual
terdiri atas:
a.
alat bukti
sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana;
b.
alat bukti lain
berupa informasi elektronik dan / atau dokumen elektronik sebagaimana diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
c.
barang bukti yang
digunakan untuk melakukan tindak pidana atau sebagai hasil Tindak Pidana
Kekerasan Seksual dan/ atau benda atau barang yang berhubungan dengan tindak
pidana tersebut.
Kemudian disebutkan juga bahwa termasuk alat bukti
keterangan Saksi yaitu hasil pemeriksaan terhadap Saksi dan/ atau Korban pada
tahap penyidikan melalui perekaman elektronik. Untuk alat bukti surat yaitu:
a.
surat keterangan
psikolog klinis dan/ atau psikiater/dokter spesialis kedokteran jiwa;
b.
rekam medis;
c.
hasil pemeriksaan
forensik; d,an/atau
d.
hasil pemeriksaan
rekening bank.
Perlu diingat bahwa untuk menyusun kronologi kejadian
kekerasan seksual, yang berisi apa yang terjadi, dimana terjadinya, kapan
waktunya, siapa pelakunya bagaimana kejadiannya dan akibat perbuatan pelaku apa
saja dampaknya. Saran di bawah ini perlu diperhatikan apabila mengetahui,
mendengar, atau melihat seseorang mengalami kekerasan seksual:
1.
Jangan tinggal
diam lagi jika mengetahui, medengar atau melihat terjadinya kekerasan seksual
segera lakukan upaya-upaya sesuai batas kemampuan Anda, misal laporkan pada
pihak yang berwajib, beri dukungan pada korban, dan lainnya;
2.
Bagi orangtua
atau guru/dosen penting mengenali perubahan perilaku pada anak didik;
3.
Bagi orang
terdekat penting juga mengenali perubahan pada diri teman atau sahabat;
4.
Jadilah pendengar
yang baik, ketika korban bercerita
5.
Berikan penguatan
dan dukungan kepada korban dalam menghadapi permasalahannya;
6.
Laporkan ke
Kantor Kepolisian setingkat Polres yang telah memiliki Unit khusus Pelayanan
Perempuan dan Anak (Unit PPA);
7.
Mendatangi
Lembaga layanan yang dapat memberikan pendampingan hukum dan psikologis bagi
korban, atau Pengacara untuk meminta bantuan.
Standar Pendampingan Hukum terhadap Korban atau Penyintas Kekerasan Seksual
Pendamping terhadap korban atau penyintas kekerasan seksual adalah orang atau beberapa orang baik perempuan atau laki-laki yang memiliki empati kepada korban yang terpanggil untuk mendampingi dan membantu korban dalam berbagai proses.
Pendamping dapat berperan menjadi teman yang mendampingi, mendengarkan,
menguatkan, memberdayakan dan membantu korban mencarikan alternatif
(pilihan) jalan keluar dari permasalahan yang sedang dihadapi korban. Upaya
yang dilakukan pendamping termasuk mendampingi korban bertemu dengan berbagai
pihak dalam rangka penyelesaian permasalahan/kasus yang sedang dihadapi
korban. Dalam konsep pemberdayaan hukum bagi korban, maka peran
pendamping harus melibatkan korban dalam pengambilan segala
keputusan dan setiap yang akan dijalani korban. Pendamping dapat
memberikan beberapa altenatif jalan keluar dan ajaklah korban
membuat keputusan yang terbaik dan bertanggung jawab untuk dirinya
sendiri. Pendampingan dapat dilakukan oleh siapa saja laki-laki
atau perempuan dengan latar belakang yang berbeda, seperti:
Pendamping hukum, psikologi, dan sosial.
Adanya pendampingan secara hukum paling tidak dapat
dilakukan oleh Advokat berdasarkan Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yaitu memberikan konsultasi
hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili,
mendampingi, membela, dan melakukan Tindakan
hukum lain untuk kepentingan hukum klien. Atau
berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011
tentang Bantuan Hukum, yaitu Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang
diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-Cuma kepada
Penerima Bantuan Hukum.
Atau yang tidak harus selalu Sarjana Hukum namun memiliki pengetahuan
soal hukum dan proses hukum dari pelatihan yang diikutinya disebut ‘paralegal’.
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Hukum dan HAM
Nomor 3 Tahun 2021 tentang Paralegal Dalam Pemberian Bantuan Hukum disebutkan setiap
orang yang berasal dari komunitas, masyarakat, atau Pemberi Bantuan Hukum yang
telah mengikuti pelatihan Paralegal, tidak berprofesi sebagai advokat, dan
tidak secara mandiri mendampingi Penerima Bantuan Hukum di
pengadilan.
Jika pendamping adalah seorang laki-laki, untuk kasus
kekerasan seksual yang sangat penting diperhatikan adalah
kenyamanan korban, maka ada baiknya bertanya terlebih dahulu
sebelum mendampingi korban ‘apakah korban nyaman didampingi oleh
pendamping laki-laki atau tidak?’.
Kebanyakan dari korban kekerasan seksual adalah perempuan dimana pelakunya adalah laki-laki, sehingga jangan sampai pendamping laki-laki justru akan menambah rasa trauma dan ketidaknyamanan bagi korban. Sebagai antisipasi harus memiliki rekan Advokat atau pengacara yang akan memberikan pendampingan tersebut terhadap Pendamping Perempuan namun jika pun yang mendampingi laki-laki tetap diperlukan pendamping yang perempuan dihadirkan untuk aktif mendampingi dan melakukan penanganan terhadap korban secara serius, efektif, dan efisien.
Etika pendampingan yang harus diperhatikan
dalam mendampingi korban atau penyintas Kekerasan Seksual antara lain:
1.
Berkewajiban
memberikan informasi secara jujur dan benar sesuai dengan pengetahuan dan
keilmuan yang dimilikinya. Dalam memberikan konsultasi hukum, berikan informasi
dengan memberikan dasar/acuan informasi, misal: peraturan perundang-undangan,
buku, atau pendapat Ahli.
2.
Berkewajiban
tidak bertendensi atau cenderung, atau langsung menyalahkan korban atau
memojokkan korban, karena bagi korban kekerasan seksual yang berani bicara
dengan Anda saja sudah merupakan keberanian luar biasa, sehingga dukungan yang
diberikan sangat mempengaruhi dan bermaanfaat sebagai salah satu upaya
pemulihan kondisi psikis (trauma) korban.
3.
Berkewajiban
Menjaga kerahasiaan korban. Tidak mempublikasikan korban tanpa persetujuan dan
kesiapan korban, karena ini akan mempengaruhi kondisi psikologis korban. Jika
ingin meminta pendapat atau dukungan dari pihak lain gunakan nama samaran dan
langsung pada substansi permasalahan yang dihadapi. Dan apabila ingin mencari
dukungan media hendaknya atas persetujuan korban dan tunggu sampai korban siap
dan berdaya berhadapan dengan publik.
4.
Berkewajiban
membangun hubungan yang baik dan setara antara Pendamping dengan Korban.
tujuannya supaya korban merasa nyaman dan tidak ada ketimpangan relasi,
sehingga korban juga merasa dihargai dan dapat mengambil keputusan yang terbaik
untuk permasalahannya secara bebas dan aktif.
5.
Berkewajiban
memberikan pandangan secara objektif untuk mengarahkan korban untuk mengambil
keputusannya sendiri. Pendamping berperan untuk memberikan opsi-opsi pilihan
dalam penyelesaian kasus yang dialami korban beserta konsekuensi yang
kemungkinan akan dialami, bukan untuk mengambil keputusan. keputusan langkah
yang ditempuh korban ditentukan dan diputuskan oleh korban sendiri.
6.
Berkewajiban
menjalin komunikasi yang baik dengan selalu memberikan perkembangan
pendampingan yang dilakukan kepada korban dan/atau keluarganya.
7.
Tidak menjanjikan
suatu keberhasilan atau kemenangan kepada korban. Yakinkan pada korban apapun
hasilnya ini adalah bagian dari perjuangan mendapatkan keadilan.
8.
Melakukan
intervensi kritis. Pastikan keadaan korban pada waktu kejadian, jika korban
mengalami luka-luka segera bawa ke Rumah Sakit, jika korban mengalami shock dan
trauma segera bawa ke psikolog, jika korban dalam keadaan takut dan tidak aman
carikan rumah aman dan minta perlindungan kepada Kepolisian atau lembaga
terkait (misalnya: LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban)) atau UPT Pusat
Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), sebelum korban
mendapatkan penanganan yang lebih intensif.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.