layananhukum

Peran dan Fungsi Komnas HAM Dalam Kasus Penembakan Brigadir J

 

Ilustrasi Komnas HAM by Tirto

Pada 12 Juli 2022 yang lalu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membentuk Tim Khusus untuk mengungkap kasus penembakan antara Brigadir J dan Bharada E di rumah Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo. Listyo menjelaskan tim tersebut akan dipimpin oleh Wakapolri Komisaris Jenderal Polisi (Komjen Pol) Gatot Eddy Pramono. Kemudian dibantu oleh Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri Komjen Pol Agung Budi Maryo, Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto, Kabaintelkam Polri Komjen Pol Ahmad Dofiri, dan Asisten Kapolri bidang SDM Irjen Pol Wahyu Widada. Jenderal bintang empat itu memastikan proses penanganan perkara itu akan dilakukan secara objektif, transparan, dan akuntabel. Ia juga mengatakan menggandeng institusi Kompolnas dan Komnas HAM untuk membantu mengusut kasus tersebut.

Sebagaimana pemberitaan yang ada bahwa Komnas HAM mengeklaim bahwa mereka bekerja sendiri dalam proses penyelidikan yang ada, dan tidak mengikuti Tim Khusus yang dibentuk Kapolri. Sekarang pertanyaannya, apa fungsi dan peran Komnas HAM dan seberapa signifikan adanya Komnas HAM dalam proses dugaan pidana tersebut?

Sebelumnya, Anda dapat membaca tulisan kami dan memahami dulu mengenai beberapa hal yang relevan dengan kasus “tembak menembak” dalam kasus matinya Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat di beberapa tulisan kami:

Pengantar

Komponen utama lembaga atau kelembagaan penegakan hukum (Law Enforcement) khususnya di Indonesia itu dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok yaitu, kelompok Pro Justitia, dan kelompok Non-Pro Justitia. Kelompok Pro Justitia dibedakan antara Pro Justitia Murni dan tidak murni. Kelompok Pro Justitia murni terdiri dari lingkungan jabatan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia (Jaksa Penuntut Umum), berdasarkan Pasal 34A Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Pengadilan (Hakim), berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Advokat berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan.

5 (lima) lingkungan ini merupakan kesatuan penegak hukum dalam rangkaian proses peradilan atau yang kemudian disebut dengan Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana. Sedangkan kelompok Pro Justitia tidak murni adalah lembaga peradilan semu “quasi administratie rechpraak”.[1]

Istilah Pro Justitia

Menurut Yan Pramadya Puspa[2]Pro Justitia berarti demi hukum, untuk hukum atau undang-undang. Dalam praktiknya, istilah Pro Justitia dapat ditemui dalam dokumen-dokumen atau surat-surat resmi kepolisian dalam proses penyelidikan dan penyidikan maupun dokumen hukum kejaksaan dalam proses penyidikan atau penuntutan untuk kepentingan proses hukum. Seperti yang sudah kami bahas di tulisan kami mengenai Visum et Repertum, yang wajib mencantumkan Pro Justitia di sebelah kiri atas dokumen.

Istilah Pro Justitia juga terdapat dalam penetapan atau putusan pengadilan. Istilah Pro Justitia dalam penetapan atau putusan disebut dengan frasa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[3] Secara formal administratif, penggunaan frasa “Pro Justitia” menunjukkan bahwa tindakan yang diambil oleh Aparat Penegak Hukum (APH) adalah tindakan hukum yang sah dan memiliki kekuatan hukum mengikat. Secara materiil subtantif, berdasarkan dokumen hukum yang bertuliskan “Pro Justitia”, setiap tindakan hukum yang diambil sebagaimana surat tersebut dilakukan untuk kepentingan penegakan hukum dan keadilan.

Sebagai contoh, Standar Operasional Prosedur Pemeriksaan yang dimiliki oleh Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, mewajibkan tulisan “Pro Justitia” sebagai persyaratan formal pembuatan berita acara pemeriksaan (hal. 5 & 7).

Peran dan Fungsi Komnas HAM Berdasarkan 2 (Dua) Undang-Undang

Penyelidikan a quo atau penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM (khususnya dalam kasus Brigadir J ini) adalah dalam rangka melaksanakan fungsi pemantauannya[4] Komnas HAM berdasarkan Pasal 89 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyebutkan bahwa dalam melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap suatu peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia.

Kemudian, apa yang dimaksud dengan Pelanggaran Hak Asasi Manusia? Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dimaksud adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang HAM, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.[5]

Bahwa perlu diketahui juga “Pelanggaran HAM” sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tidak merujuk pada “pelanggaran HAM yang Berat” dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, melainkan merujuk pada 10 (sepuluh) kelompok hak dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari hak-hak yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Adapun 10 (sepuluh) kelompok hak tersebut sebagai berikut:

1.        Hak untuk hidup (vide Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia);

2.       Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan (vide Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia);

3.      Hak mengembangkan diri (vide Pasal 11 sampai dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia);

4.       Hak memperoleh keadilan (vide Pasal 17 sampai dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia);

5.       Hak atas kebebasan pribadi (vide Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia);

6.      Hak atas rasa aman (vide Pasal 28 sampai dengan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia);

7.       Hak atas kesejahteraan (vide Pasal 36 sampai dengan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia);

8.      Hak turut serta dalam pemerintah (vide Pasal 43 sampai dengan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia);

9.      Hak wanita (vide Pasal 45 sampai dengan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;) dan

10.    hak anak (vide Pasal 52 sampai dengan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia).

Sedangkan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam rangka menentukan ada atau tidaknya “dugaan pelanggaran HAM yang Berat” yang meliputi adanya:

-        Genosida;

-        Kejahatan Terhadap Kemanusiaan.[6]

Kemudian, penyelidikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sangat terbatas bahkan tak lengkap. Kenapa terbatas bahkan tak lengkap? Bahwa menurut ketentuan Undang-Undang tersebut, Komnas HAM hanya diberi wewenang antara lain melakukan:

-        Pemanggilan saksi untuk diminta didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan;

-        Peninjauan di tempat kejadian dan tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu;

-        Pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan;

-        Pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan; dan

-        Pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.[7]

Tidak ada satu Pasal atau satu ayat pun dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa ketentuan hukum yang digunakan merujuk pada hukum acara pidana yang mana merupakan mekanisme yang sah dan endingnya jelas yaitu Pengadilan, yang nanti tempat memutuskan secara sah dan meyakinkan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, seperti halnya yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam rangka Pelanggaran HAM Berat (penyelidikan Pro Justitia) sebagaimana ketentuan Pasal 18 sampai dengan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Penyelidikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tergolong ke dalam rezim Hukum Acara Pidana, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia:

“Dalam hal tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana.”

Oleh karenanya dalam proses hukum (Pro Justitia) sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia merujuk pada hukum acara yang berlaku pada rezim Hukum Acara Pidana yaitu: penangkapan, penahanan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sumpah, alat bukti, dan pemeriksaan di Sidang Pengadilannya.

Bahwa dalam rangka pelaksanaan fungsi pemantauannya berdasarkan Pasal 89 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sebagaimana yang sudah kami jelaskan, Komnas HAM memang dapat merujuk pada Pasal 140 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 141 ayat (1) Reglemen Indonesia yang diperbarui (RIB) yang dahulu disebut HIR atau Pasal 167 ayat (1) Reglemen Luar Jawa dan Madura (RBG), tetapi ketentuan tersebut tidak serta-merta dapat diterapkan bila ketentuan dalam Pasal 89 ayat (3) huruf f dan huruf g tidak dipenuhi, yaitu mengenai keharusan adanya “persetujuan Ketua Pengadilan”.

Kemudian yang jadi masalah juga adalah bentuk hukum dari hasil penyelidikan Komnas HAM yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tidak diatur dalam Pasal 89 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Oleh karenanya, dengan menggunakan metode penafsiran sistematis suatu ketentuan perundang-undangan, maka merujuk pada ketentuan Pasal 89 ayat (4) huruf d Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa Komnas HAM dapat menyampaikan “rekomendasi”, penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia itu ditujukan kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya. Pemerintah sebagaimana yang dimaksud di sini adalah Laporan Penyelidikan tersebut akan di sampaikan kepada “Presiden” dan “Menkopolhukam”.

Bentuk hukum dari hasil penyelidikan dalam kasus a quo tersebut hanya sebatas “rekomendasi”, sehingga tergolong non-legally binding (tidak mengikat secara hukum). Bila Pemerintah c.q. Instansi terkait menilai bahwa rekomendasi Komnas HAM layak untuk ditindaklanjuti, maka mereka secara sukarela dapat menindaklanjutinya. Sebaliknya, bila dinilai tidak layak, maka tidak perlu ditindaklanjuti.

Apabila Laporan atau “Rekomendasi” dari Komnas HAM tersebut tidak perlu ditindaklanjuti, Komnas HAM tidak memiliki kewenangan apapun untuk mencampuri perihal tindak lanjut rekomendasinya, kecuali pihak Pengadu dan/atau Teradu dan/atau Pihak Terkait menempuh upaya hukum melalui Pengadilan yang berwenang.[8]

Bila upaya hukum dilakukan oleh para pihak tersebut, maka Komnas HAM dapat memberi pendapatnya berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara yang sedang dalam proses peradilan bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran HAM dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak. Berbeda dengan hasil penyelidikan Komnas HAM terhadap “Pelanggaran HAM Berat” dapat diserahkan kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti ke tingkat Penyidikan dan/atau Penuntutan.[9]

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


[1] Bagir Manan, “Kedudukan Penegak Hukum dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, (Varia Peradilan ke XXI No.243 Februari 2006), 5.

[2] Yan Pramadya Puspa, “Kamus Hukum: Edisi Lengkap Bahasa: Belanda-Indonesia-Inggris”, (Semarang: Aneka Ilmu, 1977), 456.

[3] vide Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo.Pasal 197 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

[4] vide Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

[5] vide Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

[6] vide Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

[7] vide Pasal 89 ayat (3) huruf d, e, f, g, dan h Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

[8] vide Pasal 89 ayat (4) huruf c Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

[9] vide Pasal 21 ayat (1) huruf d, e, f, g, dan h Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Formulir Isian