A courtroom sketch of an accused person flanked by two attorneys, drawn in about eight minutes. |
Pertanyaan
Izin bertanya pak, saya seorang terdakwa perkara
pencurian disertai dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, atau tindak pidana
begal, hakim di pengadilan tingkat pertama dan diperkuat dengan putusan
pengadilan tinggi memutuskan menyatakan bahwa saya secara sah dan meyakinkan
bersalah atas tuntutan pidana yang ada, dan dihukum pidana penjara 9 (Sembilan)
bulan, yang mana masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani saya
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan, sekarang Jaksa Penuntut Umum
melakukan Kasasi terhadap perkara saya yang mana proses kasasi tersebut
melebihi masa pidana saya? Bagaimana secara prosedur hukum acara yang mengatur
dan apakah itu tidak melanggar hak asasi manusia? Terima Kasih.
Jawaban
Ahli hukum Belanda terkemuka bernama van
Bemmelen[1] pernah
menyatakan bahwa Lembaga Penahanan bagaikan suatu pedang yang dapat memenggal
kedua belah pihak, yaitu pihak yang mana karena tindakan yang bengis dikenakan
kepada orang-orang yang belum menerima keputusan dari hakim, yang lainnya
memungkinkan juga kepada orang-orang yang tidak bersalah.
Definisi “Penahanan” menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana “KUHAP”, menyebutkan bahwa:
“Penahanan
adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik,
atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam undang- undang ini.”
Kemudian disebutkan bahwa perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana, ini yang kemudian disebut sebagai syarat subjektif penahanan (vide Pasal 21 ayat (1) KUHAP)
Perlu diingat bahwa sejak Selasa, 28 April 2015, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan” “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP.
Selain itu disebutkan bahwa penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
a.
tindak pidana itu
diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b.
tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1),
Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a,
Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, …
Ini yang kemudian disebut sebagai syarat objektif dari penahanan. (vide Pasal 21 ayat (4) KUHAP)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) juga telah mengatur tata cara penahanan mulai dari proses penyidikan sampai dengan upaya hukum tingkat kasasi. KUHAP juga telah menentukan berbagai persyaratan pelaksanaan penahanan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dan penahanan maupun kesalahan dalam melaksanakan penahanan, baik kesalahan dalam prosedur terlebih-lebih kesalahan yang sifatnya “human error” yang akan menimbulkan kerugian moril dan materil baik bagi diri pribadi maupun keluarga terdakwa apalagi bila akhirnya tidak terbukti bersalah atau kesalahannya tidak sepadan dengan penderitaan yang telah dialaminya.
Untuk lebih jelasnya mengenai penahanan tersangka/terdakwa sebagaimana yang diatur dalam “Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana” bahwa yang berhak melakukan penahanan adalah:
1.
Perintah
penahanan yang diberikan oleh penyidik hanya berlaku paling lama 20
(dua puluh) hari, apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang
belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang
berwenang untuk paling lama 40 (empat puluh) hari, artinya di
tingkat penyidikan dengan jumlah total masa tahanan adalah 60 (enam puluh) hari
(vide Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP);
2.
Untuk perintah
penahanan yang diberikan oleh penuntut umum hanya berlaku paling lama
20 (dua puluh) hari. Apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang
belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri
yang berwenang untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari, artinya di
tingkat Penuntut Umum, jumlah total masa penahanan adalah 50 (lima puluh) hari
(vide Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP)
3.
Hakim pengadilan
negeri yang mengadili perkara guna kepentingan pemeriksaan berwenang
mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama 30 (tiga puluh)
hari. Apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum
selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang
bersangkutan untuk paling lama 60 (enam puluh) hari. Di tingkat
Pengadilan dengan jumlah total masa penahanan adalah 90 (Sembilan
puluh) hari (vide Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP)
Jika dijumlahkan semuanya mulai dari penahanan tingkat penyidikan sampai penahanan oleh hakim adalah berjumlah 200 (dua ratus) hari. Perlu diingat bahwa total masa penahanan yang 200 (dua ratus) hari tersebut berlaku hanya pada Pengadilan Tingkat Pertama atau sampai dengan adanya putusan Pengadilan Negeri saja.
Apabila terdakwa melakukan upaya hukum banding maka hakim pengadilan tinggi dapat melakukan penahanan selama 30 (tiga puluh) hari dan dapat diperpanjang untuk 60 (enam puluh) hari selanjutnya, menunggu sampai adanya putusan dari pengadilan tinggi, jadi jumlah total hari penahanan pada tingkat pengadilan tinggi adalah 90 (Sembilan puluh) hari (vide Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP.
Demikian juga halnya dengan upaya hukum tingkat kasasi dapat melakukan penahanan terhadap terdakwa selama 30 (tiga puluh) hari, dan dapat diperpanjang untuk 60 (enam puluh) hari sampai adanya putusan pengadilan tingkat kasasi. (vide Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP)
Catatan Penting yang harap diperhatikan ialah perlu kita ketahui Bersama bahwa kewenangan hakim dalam melakukan penahanan mulai dari hakim Pengadilan Negeri sampai dengan hakim Mahkamah Agung berinduk kepada institusi Mahkamah Agung, jadi segala hal yang berkenaan dengan adminstrasi penahanan semuanya diketahui dan menjadi tanggung jawab Mahkamah Agung selaku institusi yang menaungi semua institusi pengadilan.
Sedangkan lembaga pemasyaratan atau rumah tahanan tempat dimana tersangka atau terdakwa ditahan berdasarkan KUHAP sebagaimana tersebut di atas, berinduk kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang membawahi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Kemudian menyambung pertanyaan Anda, apabila Anda dilakukan penahanan di Lapas, maka berdasarkan Surat Edaran Bersama Ketua Muda Mahkamah Agung dan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Depertemen Kehakiman Nomor MA/PAN/368/XI/1983 Tahun 1983 tentang Kesatuan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 (“SE Bersama”) disebutkan dalam angka 4 bahwa:
“Dalam
hal lamanya tahanan yang dijalani oleh terdakwa sudah sama dengan lamanya
pidana penjara yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri, sedangkan perkaranya
masih dalam pemeriksaan tingkat kasasi maka Kepala Lembaga
Pemasyarakatan/Kepala Rumah Tahanan Negara tidak dibenarkan untuk
mengeluarkan terdakwa demi hukum, akan tetapi harus menanyakan terlebih
dahulu masalahnya kepada Mahkamah Agung.”
Mengingat salah satu fungsi yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan adalah perumusan dan pelaksanaan di bidang registrasi, pelayananan tahanan, dan pembinaan narapidana, dan dalam rangka menjamin kepastian dan perlindungan hukum, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia, maka Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk menjawab kejadiaan yang berkenaan dengan kekosongan hukum dalam hal penahanan telah menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-24.PK.01.01.01 Tahun 2011 tentang Pengeluaran Tahanan Demi Hukum tanggal 27 Desember 2011.
Sebagaimana ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-24.PK.01.01.01 Tahun 2011 tentang Pengeluaran Tahanan Demi Hukum menyatakan bahwa penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kepala RUTAN maupun Kepala LAPAS bertanggung jawab atas penerimaan dan pengeluaran tahanan, oleh karena itu untuk melakukan penahanan di RUTAN atau LAPAS harus memenuhi syarat sebagai mana diatur dalam Pasal 5 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-24.PK.01.01.01 Tahun 2011 tentang Pengeluaran Tahanan Demi Hukum, yaitu:
1.
Penahanan harus
disertai surat perintah penahanan dan/atau surat penetapan penahanan dari
pejabat yang berwenang.
2.
Jika tidak
disertai dengan surat perintah penahanan dan/atau surat penetapan penahanan,
kepala RUTAN atau kepala LAPAS berwenang menolak tahanan.
3.
Jika penahanan
disertai dengan surat perintah penahanan dan/atau surat penetapan penahanan,
kepala RUTAN atau kepala LAPAS menerima tahanan untuk diproses sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kewajiban Kepala RUTAN atau Kepala LAPAS (vide Pasal
6 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-24.PK.01.01.01 Tahun
2011 tentang Pengeluaran Tahanan Demi Hukum) adalah sebagai berikut:
1.
Memberitahukan
secara tertulis kepada pejabat yang berwenang menahan mengenai tahanan yang
akan habis masa penahanan atau habis masa perpanjangan penahanan, disampaikan
paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum berakhirnya masa penahanan.
2.
Wajib
mengeluarkan tahanan demi hukum bagi tahanan yang telah habis masa penahanan
atau masa perpanjangan penahanan, dapat dikecualikan untuk tetap dilakukan
penahanan karena melakukan tindak pidana narkotika dan psikotropika, terorisme,
korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, dan kejahatan hak asasi manusia
yang berat serta perkara yang menarik perhatian masyarakat yang sebelumnya
harus dikoordinasikan terlebih dahulu kepada pengadilan tinggi.
Selanjutnya, diatur dalam Pasal 9 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-24.PK.01.01.01 Tahun 2011 tentang Pengeluaran Tahanan Demi Hukum,menyatakan bahwa dalam hal pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan terhadap Tahanan telah sama dengan Masa Penahanan yang telah dijalankan, Kepala Rutan atau Kepala Lapas mengeluarkan Tahanan demi hukum pada hari ditetapkannya putusan pengadilan terhadap Tahanan yang bersangkutan.
Kemudian, Pasal 10 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-24.PK.01.01.01 Tahun 2011 tentang Pengeluaran Tahanan Demi Hukum, menyatakan bahwa Kepala RUTAN atau Kepala LAPAS yang tidak mengeluarkan tahanan demi hukum dikenakan sanski administrative sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Demikian juga halnya dengan petugas RUTAN atau petugas LAPAS dikenakan sanksi administratif jika tidak mengeluarkan tahanan demi hukum.
Apabila mengacu pada Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus, Buku II Edisi 2007 oleh Mahkamah Agung, konteksnya dengan pertanyaan Anda, bahwa apabila masa penahanan telah sama dengan pidana penjara yang diputuskan oleh pengadilan, maka terdakwa dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Apabila lamanya terdakwa ditahan telah sesuai dengan pidana penjara yang diputuskan oleh Pengadilan Tinggi, maka Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintahkan terdakwa dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Surat perintah tersebut tembusannya dikirim ke Mahkamah Agung dan Jaksa kalua perkaranya kasasi.
Apabila dalam tingkat banding, maka lamanya penahanan telah sama dengan pidana yang dijatuhkan Pengadilan Negeri, maka Ketua Pengadilan Negeri dapat mengeluarkan tahanan atas izin Ketua Pengadilan Tinggi. Paling lambat 10 hari sebelum masa penahanan berakhir Pengadilan Negeri wajib menanyakan tentang status penahanan terdakwa kepada Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung sesuai dengan tingkat pemeriksaan perkara pidana.[2]
Dalam hal permohonan kasasi diajukan sedangkan terdakwa masih dalam tahanan, Pengadilan Negeri paling lambat 3 (tiga) hari sejak diterimanya permohonan kasasi tersebut segera melaporkan kepada Mahkamah Agung melalui surat atau dengan sarana-sarana elektronik. Untuk perkara kasasi yang terdakwanya ditahan, Panitera Pengadilan Negeri wajib melampirkan penetapan penahanan dimaksud dalam berkas perkara.[3]
Permasalahan lainnya yang Kerap Juga Terjadi
Permasalahan pertama yang akan muncul mengingat pengelompokan dan jumlah hari adalah pada saat dilakukan penahanan berkenaan dengan masa perpanjangan penahanan hakim pengadilan pada tingkat pertama akan habis atau sudah habis sementara pemeriksaan perkara masih belum selesai, sehingga antara putusan hakim dan perpanjangan penahanan yang dimohonkan kepada pengadilan tinggi rentang waktunya singkat. Mengingat terdakwa juga mungkin akan melakukan upaya hukum banding, yang besar kemungkinan bahwa terdakwa masih tetap ditahan walaupun masa perpanjangan penahanan sudah habis.
Hal tersebut di atas dapat terjadi akibat singkatnya rentang waktu antara putusan hakim pengadilan negeri dan terbitnya perpanjangan penahanan oleh hakim pengadilan tinggi yang dimohonkan oleh hakim pengadilan negeri, sementara terhadap terdakwa masih dilakukan penahanan. Akibatnya terhadap masa penahanan dan terbitnya perpanjangan dari hakim pengadilan tinggi lewat waktu dikarenakan terdakwa melakukan upaya hukum banding. Di sinilah biasanya terjadi kekosongan hukum mengenai status penahanan terhadap terdakwa.
Permasalahan kedua juga tidak berbeda dengan permasalah pertama, perbedaannya hanya pada kewenangan penahanan saja. Kalau pada permasalahan pertama prosesnya perubahan status penahanan dari pengadilan negeri kepada pengadilan tinggi, pada permasahan kedua perubahanan status penahanan dari tingkat pengadilan tinggi kepada Mahkamah Agung dalam melakukan upaya hukum kasasi. Pokok permasalahannya tetap sama yaitu, rentang waktu masa penahanan oleh pengadilan tinggi sudah akan habis, sementara putusan pengadilan tinggi ditetapkan berdekatan waktunya dengan habisnya masa penahanan, sedangkan perpanjangan penahanan dari Mahkamah Agung belum ada. Kembali dapat terjadi kekosongan hukum dalam penahanan.
Terakhir, terkait dengan hingga saat ini Anda masih berada di dalam tahanan menurut kami, dapat saja penuntut umum atau hakim menggunakan ketentuan Pasal 193 KUHAP, yang menyatakan bahwa:
“Jika
pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Pengadilan dalam
menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya
terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat
alasan, cukup untuk itu. Sedangkan, dalam hal terdakwa ditahan,
pengadilan dalam menjatuhkan putusannya, dapat menetapkan terdakwa tetap ada
dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alasan cukup untuk itu.”
Apabila merujuk pada Pasal 19 Ayat (7)
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana, yang memberikan kewenangan kepada
Kepala RUTAN dengan persyaratan harus dilakukan pemberitahuan kepada pejabat
penahanan paling lama 10 (sepuluh) hari menjelang habis masa penahanan dari
terdakwa. Selain untuk menjalankan prosedur hukum acara yang berdasarkan due
process of law juga tetap dengan mengedepankan hak asasi manusia dari
terdakwa yang dijamin oleh konstitusi dan hukum itu sendiri.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.