layananhukum

Penerapan Pasal 55 dan 56 KUHP Dalam Perkara Pidana

Ilustrasi Polisi Mengamankan TKP

Melansir CNN, Kepala Bareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto mengatakan pihaknya masih mendalami soal dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.

Hal ini, kata Agus, menjadi salah satu pertimbangan pihaknya belum menerapkan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana terhadap Bharada E selaku tersangka dalam kasus ini.

“Artinya bahwa kenapa tidak diterapkan (Pasal) 340 karena ini masih rangkaian proses pendalaman dari temuan-temuan selama pemeriksaan oleh timsus,” kata Agus kepada wartawan, Kamis (4/8) malam.

Sebagai informasi, dalam kasus penembakan ini Bharada E dijerat Pasal 338 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 56 KUHP. Mengenai dugaan tindak pidana pembunuhan dan ada dugaan adanya pelaku lain, berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap 25 Personel Anggota Polri yang sudah diperiksa yang masih didalami penyidik.

Terkait 25 Personel Anggota Polri tersebut, beberapa sudah ada yang dimutasi dari jabatan sebelumnya, Anda dapat membaca di sini. Kedua puluh lima anggota tersebut juga masih belum dapat dipastikan sampai dengan tulisan ini dibuat penulis apakah termasuk sebagaimana yang disangkakan yaitu Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.

Apa itu Pasal 55 KUHPidana dan Pasal 56 KUHPidana

Pasal 55 dan Pasal 56 KUHPidana, merupakan bagian dari BAB V Turut Serta Melakukan Perbuatan yang Dapat Dihukum Dalam KUHPidana, adapun bunyi dari Pasal 55 KUHPidana, sebagai berikut:

(1)      Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

1.        Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;

2.       Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

(2)     Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Kemudian, Pasal 56 KUHPidana, sebagai berikut:

Dipidana sebagai pembantu kejahatan:

1.        Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;

2.       Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Kedua Pasal tersebut di ataslah yang kemudian dalam teori hukum pidananya, disebut juga untuk menentukan daderschap dan deelneming yang kemudian disebut juga dengan teori penyertaan dalam hukum pidana.

Apa itu deelneming?

Dapat dikatakan bahwa deelneming pada suatu tindak pidana atau delik terdapat apabila dalam suatu tindak pidana atau delik tersangkut atau terdapat beberapa orang atau lebih dari satu orang.

Dalam hal ini harus dipahami bagaimana “hubungan” antara setiap “peserta” atau “pelaku” itu terhadap tindak pidana yang dimaksud, karena itu menurut Prof Satochid[1] ada beberapa macam hubungan dapat berbentuk:

-        Beberapa orang Bersama-sama melakukan satu delik atau satu tindak pidana;

-        Mungkin hanya seorang saja yang mempunyai “kehendak” dan “merencanakan” delik, akan tetapi delik tersebut tidak dilakukan sendiri, tetapi ia menggunakan orang lain untuk melaksanakan delik tersebut;

-        Dapat juga terjadi bahwa seorang saja yang melakukan delik, sedang yang lainnya “membantu” orang itu dalam melaksanakan delik tersebut.

Karena hubungan daripada setiap peserta terhadap delik itu dapat mempunyai berbagai bentuk sebagaimana yang sudah dijelaskan, maka ajaran atau pengertian deelneming ini berpokok pada “menentukan pertanggung jawaban daripada setiap peserta terhadap delik atau tindak pidana yang ada.”

Lebih lanjut Prof Satochid, menjelaskan bahwa deelneming menurut sifatnya dapat dibagi ke dalam 2 (dua) bentuk antara lain:

1.        Bentuk-Bentuk deelneming yang berdiri sendiri (zelfstandige deelneming);

2.       Bentuk-Bentuk deelneming yang tidak berdiri sendiri (onzelfstandige deelneming).[2]

Dalam hal deelneming yang berdiri sendiri maka pertanggung jawabannya dari pada setiap peserta “dihargai sendiri-sendiri,” sedangkan dalam hal deelneming yang tidak berdiri sendiri atau disebut juga dengan accessoire deelneming yang mana pertanggung jawaban dari pada peserta yang satu digantungkan pada perbuatan peserta lain. Artinya, satu peserta melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, maka peserta yang lain juga dikenakan sama. Akan tetapi, lebih lanjut menurut Prof Satochid[3] bahwa dalam KUHPidana tidak mengakan perbedaan antara deelneming yang berdiri sendiri dan deelneming yang tidak berdiri sendiri, akan tetapi KUHPidana mengadakan perincian antara:

1.        Pelaku (daders);

2.       Membantu Melakukan (medeplichters).

Perincian yang mana dapat diketahui dari ketentuan Pasal 55 KUHPidana dan Pasal 56 KUHPidana. Bahwa yang diatur dalam Pasal 55 KUHP adalah siapa yang dianggap sebagai “pelaku” dan dalam KUHPidana mengenal 4 (empat) macam pelaku antara lain:

1.        Yang Melakukan (pleger);

2.       Yang Turut Serta Melakukan (medepleger);

3.      Yang Menyuruh Melakukan (doen plegen);

4.       Yang Membujuk Melakukan (uitlokker).

Sedangkan, berdasarkan Pasal 56 KUHPidana yang dianggap “membantu melakukan” atau “pembantu” yaitu:

1.        Yang membantu pada waktu kejahatan dilakukan;

2.       Yang membantu memberikan kesempatan sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan atau disebut juga yang membantu pada waktu sebelum kejahatan dilakukan.

Orang yang Melakukan (pleger)

Yang Melakukan (pleger), maksud dari kalimat tersebut adalah “barang siapa yang melakukan “sendiri” suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang,” atau “barang siapa yang melakukan “sendiri” sesuatu perbuatan yang sesuatu menimbulkan akibat, yang dilarang oleh undang-undang,”.[4]

Pelaku (pleger) adalah orang yang melakukan seluruh isi delik. Sebagai contoh, sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Garut Nomor 25/Pid.Sus/2015/PN Grt, tanggal 5 Maret 2015 yang dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim menilai bahwa apabila ketentuan Pasal 55 Ayat (1) KUHPidana ini dihubungkan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, maka peranan yang tepat bagi terdakwa adalah sebagai orang yang melakukan (pleger), sebagaimana bahwa terdakwa melakukan perbuatan tanpa hak atau melawan hukum membeli, menerima, Narkotika Golongan I 1(satu) paket kecil daun ganja kering, dengan berat 0, 79 gram. Sederhananya, Pelaku (pleger) dikategorikan sebagai peserta hal ini karena pelaku tersebut dipandang sebagai salah seorang yang terlibat dalam peristiwa tindak pidana dimana terdapat beberapa orang peserta yang mana suatu perbuatan tersebut yang dilarang oleh undang-undang atau perbuatan tersebut sesuatu menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang.

Orang yang Turut Serta Melakukan (medepleger)

Sebagaimana sudah kami jelaskan terkait pleger di atas, bahwa apabila 2 (dua) orang secara bersama-sama melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, sedangkan apabila tiap-tiap pelaku sendiri-sendiri tidak menghasilkan kejahatan itu, dapat terjadi “turut serta melakukan”.[5]  Dalam hal terdapat suatu “turut serta melakukan”, jika kerja sama para pelaku adalah sedemikian lengkapnya, sehingga perbuatan seorang dari mereka tidak berbentuk suatu badan.  

Turut serta melakukan dalam arti kata “bersama-sama melakukan”. Makanya sedikit-dikitnya harus ada 2 (dua) orang, orang yang melakukan itu tadi ya disebut (pleger) sedangkan yang turut serta melakukan (medepleger). Di sini, diminta bahwa kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, yang melakukan anasir atau elemen dari peristiwa pidana itu.

Syarat adanya medepleger, antara lain :

-        Adanya kerja sama secara sadar, kerja sama dilakukan secara sengaja untuk kerja sama dan ditujukan kepada hal yang dilarang undang-undang;

-        Adanya pelaksanaan bersama secara fisik, yang menimbulkan selesainya delik yang bersangkutan.

Contohnya: Seperti Perkara yang sudah diputus dalam Putusan Pengadilan Negeri Kotabumi Nomor 13/Pid.Sus.Anak/2017/PN.Kbu, tanggal 16 Mei 2017 yang menyatakan A merupakan adik dari B, A dan B secara bersama-sama melakukan pemukulan terhadap C, setelah B memukul C dengan keras, A langsung menusukkan senjata tajam jenis pisau berukuran 30 (tiga puluh) cm ke arah belakang C, B pun langsung kembali memukul C dengan menggunakan sebatang kayu yang berukuran 1 (satu) meter dan mengenai pinggang C, hingga C tidak berdaya coba merangkul saksi yang lainnya yang ada di tempat kejadian perkara.

Orang yang Menyuruh Melakukan (doen plegen)

doen plegen adalah orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain, sedangkan perantara itu hanya digunakan sebagai alat. Dengan demikian ada 2 (dua) pihak, yaitu pembuat langsung atau yang disuruh (manus ministra/auctor physicus/ onmiddelijk dader/materiele dader), dan pembuat tidak langsung atau yang menyuruh (manus domina/auctor intellectualis/ middelijk dader).

Syarat-syarat agar terpenuhinya unsur-unsur pada doen plegen adalah:

1.        Alat yang dipakai adalah manusia;

2.       Alat yang dipakai berbuat suatu delik;

3.      Alat yang dipakai tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.

Sedangkan yang dimaksudkan dengan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah:

1.        Apabila ia tidak sempurna pertumbuhan jiwanya, contohnya orang gila (vide Pasal 44 KUHPidana);

2.       Apabila jika seseorang belum dewasa (vide Pasal 45 KUHPidana);

3.      Apabila ia berbuat karena daya paksa - overmacht (vide Pasal 48 KUHPidana);

4.       Apabila ia mempertahankan diri atau melampaui batas pertahanan (vide Pasal 49 KUHPidana);

5.       Apabila ia berbuat oleh karena menjalankan peraturan perundang-undangan (vide Pasal 50 KUHPidana);

6.      Apabila ia berbuat karena perintah jabatan yang sah (vide Pasal 51 ayat (1) KUHPidana).

Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas KUHPidana memang tidak tegas mengatur mengenai kemampuan pertanggung jawabab pidana, akan tetapi pengaturan mengenai ketidakmampuan bertanggung jawab sebagaimana yang sudah kami jabar di atas itu tertulis secara gamblang. 

Bahwa pertanggung jawaban dari “alat yang dipakai (manus ministra)” itu tadi mengenal 2 (dua) jenis pertanggung jawaban pidana, yang pertama pertanggung jawaban secara bersama-sama, kedua, pertanggung jawaban masing-masing pihak. Tanggung jawab dari orang yang menyuruh (doen plegen) itu sama dengan tanggung jawab pidana dari pembujuk (uitlokker). 

Contoh, untuk “orang menyuruh melakukan” (doen plegen) ini terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Cilacap Nomor 226/Pid.B/2019/PN Clp, tanggal 28 Agustus 2019 yang menyatakan dalam pertimbangan majelis hakim bahwa:

“Menimbang, bahwa Para Saksi Anak yakni Saksi Anak Dimas Dwi Nugroho dan Saksi Anak Ahmad Yani telah beberapa kali disuruh oleh Terdakwa untuk melakukan perbuatan mengambil barang milik orang lain tanpa izin dan sepengetahuan dari pemiliknya, dan Terdakwa dalam persidangan mengungkapkan bahwa dalam memberikan perintah atau menyuruh kepada Para Saksi Anak tersebut dilakukan dengan cara mengancam agar dipatuhi dan dilaksanakan oleh Para Saksi Anak tersebut, sehingga dalam hal ini secara sadar dan jelas maksud Terdakwa dalam menyuruh para saksi anak adalah guna terwujudnya perbuatan materiil berupa mengambil barang milik orang tanpa izin dan sepengetahuan pemiliknya, dengan demikian unsur “dipidana sebagai pelaku tindak pidana mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut serta melakukan perbuatan” telah terpenuhi.”

Orang yang Membujuk Melakukan (uitlokker)

Pembujukan yang sudah dirumuskan dengan jelas secara limitatif pada Pasal 55 ayat (1) angka 2 KUHPidana yaitu mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

Kembali mengutip Prof Satochid[6], bahwa seorang yang menyuruh orang lain untuk melakukan delik tersebut, orang lain itu harus seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan menurut KUHPidana. Itulah yang membedakan antara “Orang yang Membujuk Melakukan (uitlokker)” dengan “Orang yang Menyuruh Melakukan (doen plegen)”

Contohnya: sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor 364/Pid.Sus/2018/PN Ptk, tanggal 19 Juli 2018 yang menyatakan:

“A tertarik melihat kecantikan dan kemolekan tubuh B (yang masih anak-anak berumur 13 (tiga belas tahun)) kemudian timbul niat A untuk menyetubuhi B, namun A tidak berani mengetahui jika A merupakan suami C. A tertarik pada B maka A membujuk C, oleh karena itu C memberi kesempatan kepada A untuk bersetubuh dengan B dengan harapan A mau memberikan uang dan membayar hutang-hutang C (ibu dari B) yang selanjutnya sebelum bersetubuh maka A mengajak B bersetubuh dengan mengatakan kepada B “B mau kan main sama ayah...ndak terpaksa kan?”pada saat itu B yang masih anak-anak hanya pasrah, setelah persetubuhan terjadi A memberikan uang sebesar Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah), B mau disetubuhi oleh A dari Juni 2014 hingga tahun Januari 2018,”

Contoh di atas termasuk ke dalam Hukum Pidana Khusus yang diatur di luar KUHPidana, akan tetapi tetap esensi dari pembujukan itu tetap sama hanya saja bersifat kasuistis.

Inti dari Pembujukan atau penganjuran suatu perbuatan pidana tidak dapat melaksanakan sendiri unsur-unsur delik tersebut, melainkan dilaksanakan dan dilakukan perbuatan tersebut oleh orang lain karena atau disebabkan anjuran atau bujukan dari penganjur tersebut. Dalam hal ini si pembujuk menggunakan salah satu dari sarana-sarana pembujukan (pemberian-pemberian, janji-janji, penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan, ancaman, tipu daya, kesempatan atau sarana lainnya).

Syarat-Syarat uitlokker

-        Harus ada orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu delict;

-        Dalam hal ini harus digunakan upaya (ikhtiar) seperti yang ditentukan dalam Pasal 55 KUHPidana;

-        Harus terdapat orang lain yang juga dapat digerakkan dengan upaya tadi;

-        Orang itu harus melakukan delict yang mana ia digerakkan.

Membantu Melakukan (Medeplichtigheid) atau disebut Pembantuan

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56 KUHPidana, Membantu Melakukan (Medeplichtigheid) atau pembantuan ada 2 (dua) jenis, antara lain:

1.        Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Mengenai bagaimana cara pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHPidana. Ini mirip dengan medepleger (Turut Serta Melakukan), namun perbedaannya terletak pada:

a.       Pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantu/menunjang, sedangkan pada turut serta melakukan merupakan perbuatan pelaksanaan.

b.       Pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa disyaratkan harus kerjasama dan tidak bertujuan/berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta melakukan, orang yang turut serta melakukan sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan sendiri.

c.       Pembantuan dalam melakukan pelanggaran tidak dipidana (vide Pasal 60 KUHPidana jo. Pasal 54 KUHPidana), sedangkan turut serta melakukan dalam pelanggaran tetap dipidana.

d.       Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi sepertiga, sedangkan turut serta melakukan dipidana sama (vide Pasal 57 KUHPidana).

Contohnya:

Seorang Anggota Polri bersenjata lengkap (red: oknum) yang bertugas menjaga sebuah bank, dia berdiam diri saja ketika seorang perampok menodong dengan pisau kepada seorang nasabah yang baru saja mengambil uang dari loket kasir, dengan maksud memberikan peluang pada perampok itu untuk melaksanakan kejahatan pencurian dengan kekerasan.

2.       Pembatuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Ini mirip dengan penganjuran (uitlokker). Perbedaanya pada niat/kehendak, pada pembantuan kehendak jahat pembuat materiel sudah ada sejak semula/tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam penganjuran, kehendak melakuakn kejahatan pada pembuat materiel ditimbulkan oleh si penganjur.

Contohnya: 

berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Kediri Nomor 212/Pid.B/2017/PN Gpr, tanggal 5 Oktober 2017 yang menjelaskan:

“bahwa berdasarkan fakta persidangan, bahwa perencanaan untuk menangkap dan menggerebek A (pemerkosa B) pada saat akan melakukan aksinya kembali kepada B di rumah C (orang tua dari D) di Ds. Blimbing Kec. Gurah Kab. Kediri, yang mana perbuatan B masuk ke rumahnya dan menata bantal yang diselimuti dengan maksud supaya dikira oleh A bahwa itu adalah B. Sedangkan C sudah siap sambil membawa skop untuk jaga-jaga dan pada saat itu di luar juga sudah siap D, E, F, dan G sambil masing-masing yang telah menyiapkan barang berupa sebuah batang besi, Kayu menjalin dalam posisinya masing-masing yang tidak saling berdekatan menunggu A yang masuk ke dalam rumah B. Atas informasi yang diberikan B bahwa biasanya A melakukan perbuatan untuk memperkosa B pada jam antara 22.00wib- 23.00 wib saat D, tidak berselang lama, A pun datang, kemudian B menghubungi Terdakwa F dan E dengan telepon pada saat A telah masuk ke dalam rumah B, di situ A dieksekusi dan mati, majelis hakim berpendapat bahwa itu adalah bentuk dari pembantuan yang dilakukan oleh B baik itu berupa kesempatan, sarana, dan keterangan oleh karena itu unsur ini telah terpenuhi secara sah menurut hukum.”

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


[1] Prof. Satochid Kartanegara, “Hukum Pidana Bagian Satu”, (Balai Lektur Mahasiswa), 418.

[2] Ibid, 419.

[3] Ibid.

[4] Ibid, 421.

[5] Soenarto Soerodibroto, “KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad”, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), 52.

[6] Prof. Satochid Kartanegara, loc.cit, 422.

Formulir Isian