Ilustrasi Belanja Online dan Perlindungan Konsumen |
Pertanyaan
Saya membeli sebuah iPhone 11 pada tanggal 16 Agustus
2022 yang lalu dan sampai pada tanggal 19 Agustus 2022. Penjual bilang kondisi
hanya Minus Face Id dan White Spot. Saat saya cek
penjual menyembunyikan fakta shadow parah di bawah layar. Saya
komplen dan penjual memaksa segera cepat menerima pesanan atau return.
Saya tidak mau ribut jadi saya terima saja. Saya sedang sibuk hari itu jadi
tidak sempat cek langsung menyeluruh, keesokannya saya menyadari ada yang salah
pada baterainya karena saya tinggal tidur 55% paginya sisa sekitar 8% tanpa
aplikasi berjalan. Hanya baru download ig dan google (belum
aktif). Kemudian saya komplain lagi dan penjual kembali marah dan memblokir
saya di shopee. Saya memberi bintang 1 dan memberikan komentar. Kemudian
penjual kembali marah-marah dan mengancam melaporkan pasal pencemaran dengan UU
ITE. Intinya begitu, saya cukup yakin saya punya beberapa bukti seperti unboxing hp
mati tidak bisa hidup habis baterai sedangkan penjual bilang sudah dicas,
saya juga punya bukti chat pemaksaan cepat minta proses terima atau return,
saya juga punya bukti langsung saat baterai drop saat dimainkan youtube/dipakai
hanya pada home. Tapi saya tidak tahu apakah valid, kira-kira adakah
kemungkinan saya terjerat hukuman? Apakah hukumannya cukup berat? Saya sangat
takut dan berat hati untuk cerita pada ibu tunggal saya, terima kasih.
Jawaban Singkat
Dalam membuat ulasan atau komentar terhadap produk
barang/jasa secara online tentunya tidak dapat serta-merta
dikatakan telah melakukan pencemaran nama baik. Menurut hemat kami, penilaian
Produk adalah kumpulan penilaian dan ulasan dari Pembeli (konsumen) pada suatu
produk tertentu setelah pesanan terhadap barang telah diselesaikan.
Penilaian produk digunakan untuk mengukur tingkat
kepuasan dari pembeli (konsumen) atas pembelian dan pengalaman mereka dalam
berbelanja di toko penjual (seller).
Penilaian Produk itu juga bertujuan untuk memberikan
referensi penting bagi calon Pembeli lainnya yang hendak membeli di toko yang
sama. Penilaian produk dapat berfungsi sebagai patokan bagi calon Pembeli yang
ingin mengetahui apakah produk tersebut memenuhi ekspektasi mereka atau tidak.
Penilaian produk memiliki skala 1 hingga 5 bintang,
dengan 5 bintang sebagai yang terbaik dan bintang 1 sebagai yang terburuk.
Pembeli dapat melihat penilaian produk di halaman hasil pencarian atau halaman
rincian produk.
Artinya, dalam memberikan penilaian terhadap suatu
produk (goods) merupakan hal yang wajar dilakukan oleh penjual
(konsumen) dan juga hal tersebut juga berguna bagi pelaku usaha untuk
meningkatkan kualitas produk dan pelayanannya. Perlu diketahui bahwa untuk
dapat dikatakan mencemarkan nama baik (fitnah) apabila unsur-unsur terkait
“pencemaran nama baik” itu sendiri terpenuhi. Anda dapat membaca tulisan kami
mengenai “Begini
Aturan Pencemaran Nama Baik di Sosial Media” untuk memahami lebih
lanjut mengenai delik pencemaran tersebut.
Yang jelas, titik tekannya di sini adalah “kepuasaan”
dan “pengalaman” dari konsumen atau pembeli terhadap kualitas layanan (services)
dan barang (goods) yang diterima oleh pembeli (konsumen), sebagaimana
ketentuan Pasal 4 Huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa salah satu hak
konsumen adalah hak untuk didengar pendapat dan
keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
Jadi sederhananya menurut kami, kasus Anda di
atas harusnya diselesaikan secara perdata, sebagaimana diketahui
mekanismenya dengan dilakukan komunikasi dan kesepakatan antara Anda dan
penjual lebih lanjut terkait dengan permasalahan yang ada, yang mana penjual (seller)
akan diberikan waktu terlebih dahulu untuk memutuskan apakah ia setuju atau
tidak dengan pengajuan pengembalian barang/dana dari Anda, apabila tempat Anda
membeli barang tersebut masuk dalam klasifikasi Penjual Non-Shopee Mall.
Sedangkan, jika mereka Penjual Shopee Mall maka ia
tidak diharuskan menanggapi pengajuan pengembalian dari Pembeli karena akan
langsung ditinjau oleh tim Shopee. Ini konteksnya kita membahasnya dengan
merujuk pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa yang dimaksud
perlindungan konsumen ialah “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.
Namun, apabila memang tidak ada kesepakatan antara
penjual (seller) dan Anda sebagai pembeli (konsumen), dapat melakukan
pengaduan atau meminta bantuan dari Tim Shopee, yang mana diketahui bahwa untuk
pembeli mengajukan pengembalian produk untuk semua toko selain Shopee Mall,
dana akan tertahan di Shopee ketika Pembeli mengajukan klaim jika menerima
produk dalam kondisi yang berbeda (contoh: produk yang dikirimkan salah, tidak
berfungsi dengan baik/rusak, tidak original, produk berbeda dengan foto atau
deskripsi yang tertera di etalase toko).
Pembeli (Anda) harus memperlihatkan bukti foto
dan/atau video yang menunjukkan dengan jelas alasan pengembalian (diambil pada
saat melakukan unboxing). Permasalahan tersebut akan
ditindaklanjuti jika Penjual tidak setuju atau melakukan penolakan dan
mengajukan bantuan ke Shopee. Tim Shopee akan mengumpulkan bukti yang
diperlukan dari Pembeli, yang mencakup dokumen berikut:
-
Foto dan/atau
video yang menunjukkan kesalahan atau kerusakan produk.
-
Foto kemasan
produk dengan resi yang menempel di kemasan.
Artinya, nanti tinggal penjual juga menyiapkan
bukti-bukti terkait untuk memperkuat dugaan mereka bahwa barang yang mereka
jual sudah sesuai sebagaimana yang diinformakan dan tinggal dibuktikan saja.
Hak Konsumen Menerima Ganti Rugi
Lebih lanjut, merujuk pada Pasal 4 huruf
(h) Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa
salah satu hak konsumen adalah “hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi
dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya”.
Sejalan dengan pengaturan tersebut, dalam
ketentuan Pasal 7 huruf (f) dan (g) Undang-Undang tentang
Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa kewajiban pelaku usaha
adalah “memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan” serta “memberi kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian
apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai
dengan perjanjian”.
Pengaturan mengenai ganti rugi tersebut kemudian
diatur lebih lanjut dalam ketentuan mengenai tanggung jawab pelaku usaha yang
diatur dalam Pasal 19 s/d Pasal 28 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam Pasal 19 tentang Undang-Undang
Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa:
(1)
Pelaku usaha
bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau
kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
(2)
Ganti rugi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau
penggantian barang dan/ atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/ atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang- undangan yang berlaku.
(3)
Pemberian ganti
rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal
transaksi.
(4)
Pemberian ganti
rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan
kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai
adanya unsur kesalahan.
(5)
Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku
usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Merujuk pada ketentuan Pasal 19 ayat (2) tersebut
terlihat bahwa dalam ganti rugi dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia
dapat berupa empat bentuk yakni:
1.
Pengembalian
uang;
2.
Penggantian
barang dan/atau jasa sejenis atau setara;
3.
Perawatan
kesehatan, dan/atau
4.
Pemberian
santunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lebih lanjut, berkaitan dengan pembahasan konstruksi
hukum ganti rugi dalam perlindungan konsumen, perlu diperhatikan adanya
ketentuan Pasal 19 ayat (5) Undang-Undang tentang Perlindungan
Konsumen yang mengatur bahwa tanggung jawab ganti rugi pelaku
usaha tidak berlaku apabila pelaku usaha mampu membuktikan bahwa kesalahan yang
ada merupakan kesalahan konsumen. Ketentuan Pasal 28
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen kemudian menyatakan
bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan tersebut merupakan beban
dan tanggung jawab pelaku usaha. Dalam hal ini, pihak pelaku usaha hanya dapat
dibebaskan dari tanggung gugat atas kerugian yang diderita konsumen apabila
pelaku usaha berhasil membuktikan hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 27
Undang-Undang tersebut.
Sebagai catatan, pengaturan mengenai beban pembuktian
terbalik dalam Undang-Undang Perlinduangan Konsumen pada awalnya dinilai
sebagai kemajuan yang baik. Hal ini karena berdasarkan prinsip tersebut, baik
pihak pelaku usaha dan konsumen diberikan beban yang proporsional, yakni dimana
konsumen membuktikan kerugian yang dialaminya akibat mengonsumsi produk dari
pelaku usaha. Sementara, pelaku usaha dibebani pembuktian ada tidaknya
kesalahan pelaku usaha yang menyebabkan kerugian konsumen.[1]
Akan tetapi, dalam perkembangannya, pengaturan beban
pembuktian terbalik dalam Undang-Undang PerlindunganKonsumen tersebut dinilai
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) sering dimanfaatkan oleh produsen
atau pelaku usaha sehingga tidak menguntungkan kedudukan konsumen. Oleh karena
itu, banyak pihak yang mendorong agar Undang-Undang Perlindungan Konsumen
menganut prinsip strict liability atau tanggung jawab mutlak. Secara
umum, strict liability dipahami sebagi prinsip tanggung jawab
yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Meskipun hal
ini, terdapat pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk bebas dari
tanggung jawab seperti oleh karena adanya force majeur. Dalam hal
ini, ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dianggap tidak relevan dengan
tanggung gugat berdasarkan strict liability. Mengingat terhadap
kerugian atas barang yang dibeli, konsumen berhak untuk mengajukan tuntutan
atas adanya kewajiban produsen untuk menjamin kulitas produk.[2]
Menggugat Perkara Perlindungan Konsumen
Sebagaimana ketentuan pada Pasal 23
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen sejatinya telah
mengatur bahwa pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan
dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (3) dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan
konsumen. Adapun dalam Pasal 60 Undang-Undang tentang Perlindungan
Konsumen, kemudian diterangkan bahwa BPSK berwenang menjatuhkan sanksi
administrative berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,- (dua
ratus juta rupiah) terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (3)
tersebut.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia
yang ada di sini. Terima
Kasih.