layananhukum

Mencantumkan Ketentuan Pidana Dalam Perjanjian Utang Piutang

Ilustrasi Perjanjian yang Bermasalah
 

Pertanyaan

Apabila dalam klausul perjanjian utang piutang yang mana karena tidak mampu membayar utang tersebut maka dipidana dan sudah ditanda tangani dengan bermaterai yang cukup, apakah betul dapat dipidana berdasarkan Surat Perjanjian Utang Piutang tersebut? Mohon pencerahannya.

Jawaban Singkat

Memahami Apa itu Utang Piutang Terlebih Dahulu

Utang dan piutang merupakan 2 (dua) kata yang kontradiktif akan tetapi erat kaitannya satu sama lain, yang mana secara pengertian utang piutang sebagaimana yang dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, utang ialah uang yang dipinjam dari orang lain.[1] Piutang adalah uang yang dipinjamkan (yang dapat ditagih dari seseorang); Utang piutang adalah uang yang dipinjamkan yang dapat ditagih dari seseorang.[2]

Apabila merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) utang piutang ini disebut dengan Perjanjian Pinjam Habis Pakai atau ada yang menyebutnya “Perjanjian Pinjam Meminjam” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1754 KUHPerdata yang menyatakan bahwa:

“Pinjam pakai habis adalah suatu perjanjian, yang menentukan pihak pertama menyerahkan sejumlah barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama.”

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) terjemahan Prof Subekti dan R.Tjitrosudibyo[3] menyebutkan ketentuan Pasal 1754 KUHPerdata, berbunyi:

“Pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah barang-barang tertentu dan habis karena pemakaian dengan syarat bahwa yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam keadaan yang sama.”

Jadi, pada intinya utang piutang diawali dengan suatu perjanjian antara dua subjek hukum (orang atau badan hukum: baca juga tulisan kami yang berjudul “Subjek Hukum: Hukum tentang Orang dan Badan Hukum”) yang disebut dengan debitur dan kreditur, kemudian (kecenderungan) diikuti dengan perjanjian penyerahan benda (entah bergerak atau tidak bergerak; sesuai kesepakatan) sebagai jaminan.

Jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajibannya (suatu saat nanti dalam berjalannya perjanjian yang telah disepakati tersebut) yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.[4] Setiap kreditur yang melakukan perjanjian dengan debitur selalu mengharapkan adanya jaminan yang diberikan debitur. Benda tersebut biasanya diserahkan debitur kepada kreditur adalah benda milik sendiri atau milik orang lain dengan syarat izin orang yang memiliki benda tersebut. Benda yang diserahkan debitur tersebut sebagai jaminan merupakan hak kreditur untuk menjualnya apabila debitur kemudian wanprestasi. Pada umumnya, benda yang dapat dijadikan jaminan harus memenuhi syarat di antaranya:

1.        Memiliki nilai ekonomis dan dapat dipindah tangankan; serta

2.       Proses eksekusinya mudah dan cepat.

Perjanjian Merupakan Satu di antara Sumber Lahirnya Perikatan

Sebagaimana ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata, menyatakan bahwa:

“Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, maupun karena undang-undang.”

Menurut Prof. Dr. Ahmadi Miru dan Sakka Pati[5], Perjanjian sebagai sumber perikatan ini, apabila dilihat dari bentuknya, dapat berupa perjanjian tertulis maupun secara tidak tertulis (lisan). Sementara undang-undang sebagai sumber perikatan dapat dilihat ketentuan Pasal 1352 KUHPerdata, yakni dapat dibagi atas:

1.        Undang-Undang saja; maupun

2.       Undang-Undang karena adanya perbuatan manusia.

Sumber perikatan yang bersumber dari undang-undang karena adanya perbuatan manusia sebagaimana dimaksud itu sebagaimana ketentuan Pasal 1353 KUHPerdata, yaitu dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:

1.        Perbuatan manusia yang sesuai hukum/halal; dan

2.       Perbuatan manusia yang melanggar hukum.

Setelah mengetahui bentuknya tadi, entah itu tertulis atau lisan, perikatan yang bersumber dari perjanjian tersebut tadi harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

1.        Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2.       Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3.      Suatu hal tertentu;

4.       Suatu sebab yang halal.

Yang tak kalah penting juga bahwa perikatan yang bersumber dari perjanjian tersebut di atas juga harus didasari dengan itikad baik yang disebutkan oleh Pasal 1338 KUH Perdata, yakni:

“Semua perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.

Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Mencantumkan Ketentuan Pidana Dalam Perjanjian Utang Piutang

Sebelumnya, Anda dapat membaca tulisan kami yang berjudul “Kodifikasi,  Unifikasi, dan Pembedaan Hukum” untuk memahami dasar, bahwa adanya perbedaan antar “hukum yang bersifat publik” dan “hukum yang bersifat privat”, yang secara konseptual tidak dapat seenaknya Anda ubah sesuka Anda yang mana sebagai dasarnya ada adagium yang menyatakan “cum duo inter se pugnantia reperiuntur in testamento ultimum ratum est.” yang artinya, apabila terdapat perbedaan antara suatu hakikat, maka terlihat jelas adanya 2 (dua) persepsi yang berbeda.

Pisahkan terlebih dahulu mana yang hakikatnya persoalan “pidana” dan yang mana hakikatnya persoalan “perdata”, mengingat bahwa secara konseptual, TIDAK BOLEH MENCANTUMKAN KETENTUAN PIDANA DALAM SUATU RUMUSAN PERJANJIAN! Sebagaimana ketentuan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa:

“Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.”

Anda dapat juga membaca tulisan kami yang berjudul “Melihat Sampai ke Akar Permasalahan Wanprestasi dan Penipuan” yang mana ada perbedaan mendasar antara keduanya.

Jadi, prinsipnya, masalah “perjanjian pinjam meminjam” adalah termasuk lingkup hukum perdata! Sehingga tidak bisa dibawa ke ranah pidana. Sebagaimana terdapat dalam beberapa Putusan Pengadilan (dalam hal ini sudah sampai Mahkamah Agung yang memutuskan) dan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), yang secara praktik sudah menegaskan bahwa, antara lain Putusan Mahkamah Agung Nomor 93K/Kr/1969, tertanggal 11 Maret 1970 menyatakan sengketa utang-piutang adalah merupakan sengketa perdata. Kemudian, Putusan Mahkamah Agung Nomor 325K/Pid/1985, tertanggal 8 Oktober 1986 menyatakan sengketa perdata tidak dapat dipidanakan!

Katakanlah, apabila Anda tetap membuat klausul dalam perjanjian utang piutang atau pinjam meminjam tersebut, bahwa debitur tidak dapat membayar utang maka dapat dipidana, menurut hemat kami ya, itu hak Anda, akan tetapi ingat bahwa ending atau akhir dari laporan polisi tersebut ya pasti ke Pengadilan! Artinya, perlu adanya pembuktian mengenai hal tersebut.

Apabila Anda merasa dengan telah mencantumkan ketentuan pidana dalam perjanjian Anda, maka Anda dapat melaporkan pihak yang tadi tidak membayar utang ke kepolisian, sebenarnya itu adalah 2 (dua) hal yang berbeda. Mengapa demikian?

1.        Mencantumkan ketentuan pidana dalam perjanjian tidak ada konsekuensi hukum yang berarti atau itu menjadi syarat mutlak untuk Anda baru dapat melapor pihak tersebut ke pihak kepolisian;

2.       Sah-sah saja bagi Anda untuk melaporkan pihak yang tidak membayar utang tersebut ke pihak kepolisian. Mengingat bahwa walau pun ada ketentuan dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang sudah kami jabarkan di atas tidak serta merta membuat laporan atau aduan Anda tidak diproses oleh penyidik kepolisian. Karena dalam membuat laporan atau pengaduan ke polisi adalah hak semua orang, hanya saja sekali lagi, belum tentu kasus tersebut dapat naik proses berperkara pidana di peradilan.

Mengingat bahwa dasar dari “perjanjian” itu ada pada itikad baik atau tidaknya, Anda dapat saja mendalilkan dengan bukti-bukti yang cukup dalam pemeriksaan tingkat penyelidikan dan penyidikan tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 1328 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa:

“Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut.

Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.”

Ada 2 (dua) substansi dari ketentuan di atas yaitu:

1.        Alasan pembatalan tersebut harus adanya putusan pidananya terlebih dahulu, bahwa orang yang menyetujui untuk membuat perjanjian tersebut karena ditipu dapat meminta pembatalan perjanjian (secara perdata), yang mana apabila orang itu tidak akan membuat perjanjian seandainya dia tidak ditipu. Hal ini dapat dilakukan jika memang penipuan tersebut terbukti secara hukum (pidana);

2.       Cara yang paling tepat untuk membuktikan adanya penipuan tersebut adalah adanya putusan pengadilan dalam perkara pidana yang menghukum pihak yang dinyatakan menipu tersebut.

Sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Nomor 1036 K/Pid/1989, tanggal 31 Agustus 1992, yang menyatakan bahwa karena sejak semula terdakwa telah dengan sadar mengetahui, bahwa cek-cek yang diberikan kepada saksi korban TIDAK ADA DANANYA atau dikenal dengan cek kosong, tuduhan “penipuan” harus dianggap terbukti.

Kemudian, Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 4/Yur/Pid/2018 yang mana pada intinya menyatakan bahwa:

Para pihak yang tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian yang dibuat secara sah bukan penipuan, namun wanprestasi yang masuk dalam ranah keperdataan, KECUALI JIKA PERJANJIAN TERSEBUT DIDASARI DENGAN ITIKAD BURUK/TIDAK BAIK.”

Jadi, upaya paling masuk akal yang harusnya Anda lakukan adalah mengajukan gugatan wanprestasi atau ingkar janji ke Pengadilan. Mau Anda mencantumkan atau tidak klausul “dipidana yang tidak dapat atau mampu membayar utang” BUKAN MENJADI PERTIMBANGAN HUKUM TERUTAMA BAGI HAKIM UNTUK MEMUTUSKAN ITU DIPIDANA ATAU TIDAK. Menurut hemat kami, klausul semacam itu TIDAK PERLU DICANTUMKAN DALAM PERJANJIAN DAN SANGAT KELIRU DICANTUMKAN.

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


[1] Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hasil pencarian - Kbbi daring. (n.d.). Retrieved August 29, 2022, from https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/utang

[2] Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hasil pencarian - Kbbi daring. (n.d.). Retrieved August 29, 2022, from https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/piutang

[3] R.subekti dan R.Tjitrosudibyo, “Kitab Undang Undang Hukum Perdata”, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1992), 451.

[4] Hartono Hadisoeprapto, “Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan”, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1984), 50.

[5] Prof. Dr. Ahmad Miru dan Sakka Pati, “Hukum Perikatan”, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 3-4.

Formulir Isian