layananhukum

Membedakan Penyitaan Terhadap Barang Bukti dan Barang Bukti yang Dirampas

Ilustrasi Pengadilan yang Memutuskan Perkara Pidana
 

Pertanyaan:

Izin bertanya, bagaimana ketentuannya terhadap barang bukti yang dinyatakan dilakukan penyitaan dan suatu Barang Bukti itu Dirampas, apa konsekuensi hukumnya, terima kasih? 

Jawaban

Menurut Darwan Prinst[1] bahwa pengertian penyitaan terhadap barang bukti sitaan yaitu suatu cara yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang untuk menguasai sementara waktu barang-barang baik yang merupakan milik tersangka/terdakwa ataupun bukan, tetapi berasal dari atau ada hubungannya dengan suatu tindak pidana dan berguna untuk pembuktian.

Sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana “KUHAP” menyebutkan bahwa:

“Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.”

Dapat disimpulkan bahwa dari definisi penyitaan yang KUHAP berikan di atas penyitaan itu dilakukan “pada saat tahapan dimulainya suatu pemeriksaan perkara pidana dari penyidikan, penuntutan, dan pembuktian di peradilan” yang mana tindakan itu dilakukan dengan mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya (yaitu di sini adalah Pejabat Pengelola Barang Bukti yang selanjutnya disingkat PPBB adalah anggota Polri yang mempunyai tugas dan wewenang untuk menerima, menyimpan, mengamankan, merawat, mengeluarkan, dan memusnahkan benda sitaan dari ruang atau tempat khusus penyimpanan barang bukti.)[2] atau di Kejaksaan ada yang disebut dengan Seksi Pengelolaan Barang Bukti dan Barang Rampasan, yang mempunyai tugas melakukan pengelolaan barang bukti dan barang rampasan yang berasal dari tindak pidana umum dan pidana khusus.[3]

Artinya, penyitaan tidak dapat dilakukan sewenang-wenang, dan itu secara limitatif diatur sebagaimana ketentuan Pasal 39 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa:

“Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:

a.       Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;

b.      Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;

c.       Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;

d.      Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;

e.       Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.”

Kemudian, menurut Pasal 38 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa penyitaan harus mendapatkan izin dari “Ketua Pengadilan Negeri setempat” sesuai dengan tempat dimana benda tersebut disita, hal ini diperkuat dengan pendapat “Rumusan Ketua Pengadilan Negeri setempat dimaksudkan adalah tempat dimana barang-barang yang akan disita itu termasuk dalam wilayah hukumnya.”[4] Sedangkan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.[5]

Menurut Yahya Haraharap[6], penilaian keadaan yang sangat perlu dan mendesak, lebih dititik beratkan kepada penilaian subjektif penyidik. Terutama sepanjang yang mengenai pengertian “patut dikhawatirkan” segera melarikan diri atau mengulangi tindak pidana atau benda yang mungkin dapat disita dikhawatirkan segera dimusnahkan atau dipindahkan”.

Barang Bukti Dirampas

KUHAP tidak memberikan definisi secara tekstual mengenai perampasan atau frasa “barang yang dirampas” itu maksudnya apa. Kemudian, berdasarkan Pasal 46 ayat (1) KUHAP, menyebutkan bahwa benda yang dikenakan penyitaan (itu tadi) dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:

a.       Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;

b.      Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;

c.       Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atauyang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.

Sebagaimana Penjelasan Pasal 46 ayat (1) KUHAP, di atas menjelaskan bahwa benda yang dikenakan penyitaan diperlukan bagi pemeriksaan sebagai barang bukti. Selama pemeriksaan berlangsung, dapat diketahui benda itu masih diperlukan atau tidak. Dalam hal penyidik atau penuntut umum berpendapat, benda yang disita itu tidak diperlukan lagi untuk pembuktian, maka benda tersebut dapat dikembalikan kepada yang berkepentingan atau pemiliknya. Dalam pengembalian benda sitaan hendaknya sejauh mungkin diperhatikan segi kemanusiaan, dengan mengutamakan pengembalian benda yang menjadi sumber kehidupan.

Kemudian, disebutkan dalam Pasal 46 ayat (2) KUHAP, bahwa apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebutkecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau, jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain. Kemudian, Pasal 273 ayat (3) KUHAP, menjelaskan bahwa jika putusan pengadilan juga menetapkan bahwa barang bukti dirampas untuk negara, selain pengecualian sebagaimana tersebut pada Pasal 46, jaksa menguasakan benda tersebut kepada kantor lelang negara dan dalam waktu 3 (tiga) bulan untuk dijual lelang, yang hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa, yang mana jangka waktu tersebut dapat diperpanjang 1 (satu) bulan. Perpanjangan waktu sebagaimana tersebut tetap dijaga agar pelaksanaan lelang itu tidak tertunda. Terkait dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan yang dimaksudkan untuk memperhatikan hal yang tidak mungkin diatasi pengaturannya dalam waktu singkat, artinya 3 (tiga) bulan itu jangka waktu paling singkat terkait dengan menjual barang yang dirampas tadi melalui lelang.

Dari ketentuan di atas, maka dapat disimpulkan terhadap “barang bukti yang tadinya dilakukan penyitaan atau disita” setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan hasil benda sitaan dinyatakan dirampas untuk negara melalui lelang yaitu penjualan Barang Rampasan Negara dan barang Gratifikasi yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/ atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan pengumuman lelang. (vide Pasal 1 Angka 30 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.06/2021 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi)

Singkatnya, konsekuensi dilakukannya penyitaan adalah tindakan pengambil alihan dan/atau penyimpanan di bawah penguasaan (penyidik: kepolisian atau kejaksaan) baik terhadap benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Sedangkan perampasan adalah barang bukti yang tadinya dilakukan penyitaan atau disita setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan hasil benda sitaan dinyatakan dirampas untuk negara kemudian dilelang.

Contohnya, sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang Nomor 1/Pid.Sus-LH/2017/PN.Bek tanggal 21 Februari 2017, yang mana dalam amar putusannya sebagai berikut:

MENGADILI

1.        Menyatakan Terdakwa EKO SANJAYA ANAK BUKU terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama-sama surat keterangan sahnya hasil hutan”;

2.       Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sejumlah Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak di bayar diganti dengan kurungan selama 1 (satu) bulan;

3.      Menetapkan lamanya terdakwa ditangkap dan ditahan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4.       Menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan;

5.       Menetapkan barang bukti berupa;

-        1 (satu) unit mobil truck KB 9079 CA warna kuning merek MITSUBISHI berserta kunci kontak dirampas untuk Negara;

-        83 (delapan puluh tiga) batang kayu ukuran lebar 8 x 16 panjang 4 meter dirampas untuk Negara;

-        5 (lima) batang kayu 3x4 cm panjang 4 meter dirampas untuk Negara;

6.      Menetapkan agar terdakwa di bebani untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah)

Yang mana, dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim menilai bahwa barang bukti berupa 1 (satu) unit mobil truck KB 9079 CA warna kuning merek MITSUBISHI berserta kunci kontak, 83 (delapan puluh tiga) batang kayu ukuran lebar 8 x 16 panjang 4 meter, 5 (lima) batang kayu 3x4 cm panjang 4 meter yang telah dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau merupakan hasil dari kejahatan serta mempunyai nilai ekonomis, maka perlu ditetapkan agar barang bukti tersebut dirampas untuk negara.

Kemudian, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3096 K/Pid.Sus/2018 tanggal 31 Januari 2019, yang menyatakan dalam pertimbangan hukumnya Bahwa sebagaimana fakta dipersidangan barang-barang bukti tersebut merupakan hasil kejahatan yang dilakukan oleh para Terdakwa dan disita dari para Terdakwa yang telah terbukti selain melakukan tindak pidana “Penipuan” juga terbukti melakukan tindak pidana “Pencucian Uang” oleh karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 39 KUHP juncto Pasal 46 KUHAP barang-barang bukti tersebut dirampas untuk Negara.

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


[1] Darwan Prinst, “Hukum Acara Pidana Dalam Praktik”, (Jakarta: Djambatan,  1998), 69.

[2] vide Pasal 1 Angka 8 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia

[3] vide Pasal 956 huruf g jo. Pasal 979 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER-006/A/JA/07/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.

[4] Leden Marpaung, “Proses Penanganan Perkara Pidana Penyelidikan dan Penyidikan”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 3.

[5] vide Pasal 38 ayat (2) KUHAP.

[6] Yahya Harahap, “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2021,) 255.

Formulir Isian