Ilustrasi Money Laundering (Tindak Pidana Pencucian Uang) |
Pengantar
Kata Kunci atau Karakteristik dari Tindak Pidana
Pencucian Uang (TPPU) ialah Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) itu sendiri
merupakan kejahatan ganda atau hasil daripada kejahatan atau tindak pidana
lainnya (tidak berdiri sendiri). Kenapa demikian? Karena munculnya Tindak
Pidana Pencucian Uang (TPPU) selalu didahului oleh kejahatan asalnya atau
berasal dari kejahatan lainnya. Sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka
1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang (atau disebut juga “UU TPPU”), yang
menyatakan bahwa:
“Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.”
Dalam Undang-Undang tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang itu sendiri menentukan macam-macam
kejahatan (tindak pidana) yang menjadi sumber harta kekayaan yang kemudian
disamarkan asal-usulnya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU TPPU yakni:
(1)
Hasil tindak
pidana adalah harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana:
a.
Korupsi;
b.
Penyuapan;
c.
Narkotika;
d.
Psikotropika;
e.
Penyelundupan
tenaga kerja;
f.
Penyelundupan
migran;
g.
Di bidang
perbankan;
h.
Di bidang
pasar modal;
i.
Di bidang
perasuransian;
j.
Kepabeanan;
k.
Cukai;
l.
Perdagangan
orang;
m.
Perdagangan
senjata gelap;
n.
Terorisme;
o.
Penculikan;
p.
Pencurian;
q.
Penggelapan;
r.
Penipuan;
s.
Pemalsuan
uang;
t.
Perjudian;
u.
Prostitusi;
v.
Di bidang
perpajakan;
w.
Di bidang
kehutanan;
x.
Di bidang
lingkungan hidup;
y.
Di bidang
kelautan dan perikanan; atau
z.
Tindak pidana
lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang
dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan
tindak pidana menurut hukum Indonesia.
(2)
Harta Kekayaan
yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara
langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau
teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf n.
Instrumen Internasional dan Kedudukan Indonesia Dalam Pemberantasan TPPU
Keterkaitan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan
Narkotika juga dapat dilihat dari ketentuan internasional pertama yang mengatur
mengenai kriminalisasi terhadap tindak pidana pencucian uang, yakni United
Nations Convention Against Illicit in Narcotic Drugs and Psychotropic
Substances (UN Drug Convention) pada tahun 1988
yang ditandatangani oleh 106 negara. Indonesia termasuk negara yang sudah
meratifikasi konvensi ini melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1997
tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in
Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi PBB tentang
Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988). Meski
secara umum konvensi ini membahas mengenai upaya pemberantasan narkotika, akan
tetapi konvensi ini rupanya juga menjadikan kriminalisasi terhadap Money
Laundering sebagai upaya pemberantasan kejahatan narkotika, di mana
negara-negara yang menandatangani konvensi ini diharuskan menindak juga
aset-aset yang berkaitan dengan kejahatan narkotika dengan cara
mengkriminalisasi pencucian uang sebagai bentuk tindak pidana. Sebagai contoh
salah satu isi Konvensi tersebut:
Article 3
1.
Each Party
shall adopt such measures as may be necessary to establish as criminal offences
under its domestic law, when commited intentionally:
i.
The
conversion or transfer of property, knowing that such property is derived from
any offence or offences established in accordance with subparagraph a) of this
paragraph, or from an act of participation in such offence or offences, for the
purpose of concealing or disguising the illicit origin of the property or of
assisting any person who is involved in the commission of such an offence or
offences to evade the legal consequences of his actions;
ii.
The
concealment or disguise of the true nature, source, location, disposition,
movement, rights with respect to, or ownership of property, knowing that such
property is derived from an offence or offences established in accordance with
subparagraph a) of this paragraph or from an act of participation in such an
offence or offences;
Selain UN Drug Convention, perwakilan dari
Bank Sentral dan Badan Pengawas negara-negara industri juga membentuk Basel
Committee on Banking Regulations and Supervisory Practices pada tahun
1988, di mana lahir kebijakan Know Your Customer (KYC
Program). Yang mana KYC Program ini, erat kaitannya dengan
perang melawan pencucian uang, yang pada dasarnya adalah bagian dari Financial
Action Task Force (FATF). Komite Basel terus sangat mendukung adopsi
dan implementasi rekomendasi FATF, terutama yang berkaitan dengan perbankan,
Komite Basel juga menyatakan bahwa prosedur KYC yang baik harus dilihat sebagai
elemen penting dalam pengelolaan risiko perbankan yang efektif dengan
dilakukannya pengamanan KYC melampaui pembukaan rekening sederhana secara
konvensional dan pencatatan yang mengharuskan bank untuk merumuskan kebijakan
penerimaan nasabah dan program identifikasi nasabah berjenjang yang melibatkan
uji tuntas yang lebih luas untuk rekening berisiko tinggi, dan mencakup
pemantauan rekening proaktif untuk kegiatan yang mencurigakan.[1]
Intinya, kebijakan ini merupakan kebijakan yang umum
diterapkan di sektor perbankan dalam rangka mencegah dan memberantas tindak
pidana pencucian uang yang seringkali melibatkan sektor perbankan sebagai
sarana pencucian uang baik secara langsung dan tidak langsung.
Pada Juli 1989, beberapa negara yang terlibat
dalam Pertemuan
G-7 di Paris mendirikan The Financial Action Task Force on
Money Laundering (FATF). Badan antar pemerintah ini didirikan dengan
tujuan memberantas Money Laundering yang sudah menjadi
perhatian dari negara-negara tersebut. Saat ini, focus FATF tidak hanya pada
pencucian uang, tapi juga berkembang pada Terrorist
Financing. Pada tahun 1990 FATF menerbitkan Forty
Recommendations sebagai pedoman untuk melawan penyalahgunaan sistem
finansial oleh para pihak yang melakukan pencucian uang bagi negara-negara
peserta. Negara-negara yang belum memenuhi rekomendasi tersebut akan dimasukkan
dalam daftar hitam FATF, di mana pada rezim presiden Soeharto Indonesia sempat
masuk dalam daftar tersebut.[2] Akan
tetapi, saat ini Indonesia sudah dikeluarkan dari daftar tersebut. Walaupun
belum tergabung sebagai anggota FATF, Indonesia
sudah tergabung dalam Task Force Anti Money Laundering lainnya,
yakni The Asia/Pacific Group on Money Laundering (APG) yang
didirikan pada tahun 1997 di Bangkok melalui pertemuan The Fourth
Asia/Pacific Money Laundering Symposium sebagai badan regional anti
pencucian uang yang otonom.
APG sendiri dapat dikatakan sebagai perpanjangan tangan FATF And Associate Member FATF supaya pemenuhan terhadap FATF Forty Recommendations dan Eight Special Recommendations dapat tercapai di Kawasan Asia/Pasifik, serta mempermudah kerja sama antar pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang melalui kriminalisasi terhadap tindak pidana pencucian uang (proceeds of crime), bantuan hukum timbal balik atau Mutual Legal Assistance (MLA), perampasan (Confiscation), penyitaan (Forfeiture), dan ekstradisi Keterlibatan Indonesia dalam task force ini semakin menunjukkan komitmen Indonesia di komunitas internasional akan pemberantasan terhadap pencucian uang.
Dari berbagai macam berbagai bentuk kejahatan, salah
satunya adalah tindak pidana korupsi. Keterkaitan tersebut dapat dilihat
dalam pengaturan United
Nation Covention Againts Corruption atau UNCAC yang dibentuk
pada tahun 2004 di mana pengaturan Money Laundering disebut
berkali-kali. Sebagai contoh dalam Article 14 UNCAC atau Pasal
14 UNCAC yang mengatur mengenai langkah langkah pencegahan TPPU.
Bahkan dalam Article 23 atau Pasal 23 secara
gamblang disebutkan mengenai keharusan negara-negara peserta untuk melakukan
kriminalisasi terhadap TPPU. Keterkaitan TPPU dengan Tindak Pidana Korupsi ini
dikarenakan seringkali modus pencucian uang digunakan oleh koruptor sebagai
upaya mengamankan aset yang diperoleh dari kejahatan korupsi yang mereka
lakukan.
Hal ini dapat dilihat dalam beberapa kasus di
Indonesia di mana koruptor mengalihkan hasil korupsinya dalam berbagai bentuk
aset, investasi, serta kegiatan usaha. Dalam kasus korupsi simulator SIM yang
melibatkan Inspektur Jenderal Polisi (Irjen Pol) Djoko Susilo, mantan Kakor
Lantas POLRI divonis atas korupsi dan TPPU. Adapun aset-aset yang dia putar
tersebut diduga kuat berkaitan dengan korupsi penyalahgunaan wewenang yang
dimilikinya pada saat menjabat sebagai pejabat Kakor Lantas POLRI. (vide Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 20/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Jkt.Pst tanggal
3 September 2013, jo. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta
Nomor 36/Pid/TPK/2013/PT.DKI tanggal 18 Desember 2013, jo. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 537 K/Pid.Sus/2014 tanggal 4 Juni 2014, jo. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 97 PK/Pid.Sus/2021 tanggal 6 Mei 2021)
Upaya untuk mengkombinasikan penggunaan instrument
TPPU dalam pemberantasan korupsi di Indonesia sebagaimana diamanahkan oleh
UNCAC semakin terlihat pada kewenangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang
tidak hanya berwenang untuk mengadili perkara korupsi saja, melainkan juga
untuk mengadili perkara TPPU dengan predicate crime tindak
pidana korupsi. Hal ini secara spesifik diatur dalam Pasal 6
Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi yang menyatakan bahwa:
Pasal 6
“Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 berwenang memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara:
a.
Tindak pidana
korupsi;
b.
Tindak pidana
pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi;
dan/atau
c.
Tindak pidana
yang secara tegas dalam Undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana
korupsi.
Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pencucian Uang
Adapun dalam Undang-Undang tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tersebut mengatur mengenai
bentuk-bentuk tindak pidana atau yang masuk klasifikan sebagai Tindak Pidana
Pencucian uang sebagai berikut:
1.
Setiap orang yang
menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan,
menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan
dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan
yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian
Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
banyak Rp10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah). (vide Pasal
3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang)
2.
Setiap Orang yang
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan,
pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang
dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). (vide Pasal 4
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang)
3.
Setiap Orang yang
menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah,
sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). (vide Pasal
5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang)
4.
Dalam hal tindak
pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5
dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau
Personil Pengendali Korporasi. Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila
tindak pidana Pencucian Uang:
a.
Dilakukan atau
diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi;
b.
Dilakukan dalam
rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi;
c.
Dilakukan sesuai
dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan
d.
Dilakukan dengan
maksud memberikan manfaat bagi Korporasi. (vide Pasal 6
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang)
Mengenai pidana pokok yang dijatuhkan terhadap
Korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,- (seratus miliar
rupiah). Selain pidana denda sebagaimana dimaksud terhadap Korporasi juga dapat
dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a.
Pengumuman
putusan hakim;
b.
Pembekuan
sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi;
c.
Pencabutan izin
usaha;
d.
Pembubaran
dan/atau pelarangan Korporasi;
e.
Perampasan aset
Korporasi untuk negara; dan/atau
f.
Pengambilalihan
Korporasi oleh negara.
Dalam hal harta terpidana tidak cukup untuk membayar
pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, pidana
denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4
(empat) bulan. (vide Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang)
Sedangkan, dalam hal Korporasi tidak mampu membayar
pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda tersebut
diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik Korporasi atau Personil
Pengendali Korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang
dijatuhkan dan dalam hal penjualan Harta Kekayaan milik Korporasi yang dirampas
sebagaimana dimaksud tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda
dijatuhkan terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan denda
yang telah dibayar. (vide Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang)
Sedangkan, untuk setiap orang yang berada di dalam
atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang turut serta
melakukan percobaan, pembantuan, atau Permufakatan Jahat untuk melakukan tindak
pidana Pencucian Uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5. (vide Pasal 10
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang)
Kemudian, ada tindak pidana lain yang berkaitan dengan
tindak pidana pencucian uang, antara lain seperti:
1.
Kewajiban Menjaga
Kerahasiaan Dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan TPPU; (vide Pasal
11 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang)
2.
Larangan
memberitahukan kepada Pengguna Jasa atau pihak lain, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dengan cara apa pun mengenai laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan; (vide Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang)
3.
Larangan
memberitahukan kepada Pengguna Jasa atau pihak lain, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dengan cara apa pun mengenai laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan oleh Pejabat atau pegawai PPATK atau Lembaga Pengawas dan
Pengatur; (vide Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang)
4.
Tidak mampu
membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang; (vide Pasal 13 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang)
5.
Melakukan campur
tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK; (vide Pasal
14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang)
6.
Pejabat atau
pegawai PPATK yang melanggar kewajiban menolak dan/atau mengabaikan segala
bentuk campur tangan dari pihak mana pun dalam rangka pelaksanaan tugas dan
kewenangannya; (vide Pasal 15 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang)
7.
Dalam hal pejabat
atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim, yang menangani perkara
tindak pidana Pencucian Uang yang sedang diperiksa, tidak merahasiakan Pihak
Pelapor dan pelapor atau saat perkara sedang dalam pemeriksaan menyebutkan nama
atau alamat pelapor atau hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya
identitas pelapor. (vide Pasal 16 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang)
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia
yang ada di sini. Terima
Kasih.