Ilustrasi Pidana Mati |
Pemidanaan dapat diartikan sebagai tahap penetapan
sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada
umumnya diartikan sebagai “hukum”, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai
“penghukuman”. Doktrin membedakan hukum pidana materiil dan hukum pidana
formil, Jacob Maarten van Bemmelen menjelaskan kedua hal tersebut sebagai
berikut:
“Hukum
pidana materiil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut,
peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidana
yang diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur cara
bagaimana acara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang
harus diperhatikan pada kesempatan itu”.[1]
Sedangkan menurut Mr. Tirtamidjaja menjelaskan hukum
pidana materil dan hukum pidana formil sebagai berikut:
“Hukum
pidana materil adalah kumpulan aturan hukum yang menentukan pelanggaran pidana,
menetapkan syarat-syarat bagi pelanggar pidana untuk dapat dihukum,
menunjukan orang dapat dihukum dan dapat menetapkan hukuman atas
pelanggaran pidana. Sedangkan, hukum pidana formil adalah kumpulan aturan
hukum yang mengatur cara mempertahankan hukum pidana materil terhadap
pelanggaran yang dilakukan orang-orang tertentu, atau dengan kata lain mengatur
cara bagaimana hukum pidana materil diwujudkan sehingga memperoleh keputusan
hakim serta mengatur cara melaksanakan keputusan hakim.[2]
Berdasarkan 2 (dua) pendapat di atas dapat diartikan
bahwa Hukum Pidana merupakan bidang yang memiliki keistimewaan dibandingkan
bidang hukum lain seperti hukum perdata maupun hukum administrasi negara.
Keistimewaan hukum pidana terletak pada sanksinya yang khas. Sanksi pidana
selalu merupakan penderitaan yang bersifat khusus dikenakan terhadap
pelanggarnya.[3] Yang
menurut Soedarto, yang dimaksud dengan pemidanaan adalah penderitaan yang
sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan suatu perbuatan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu. Di dalam hukum pidana modern, pidana juga meliputi apa
yang disebut dengan “tindakan tata tertib” (tuchtmaatregel, massnahme),
bahakan dalam ilmu hukum adat, ter Har memakai istilah (adat) reaksi.[4]
Dalam hukum pidana di Indonesia, sistem pemidanaan
secara garis besar mencakup tiga permasalahan pokok, yaitu:
1.
Jenis pidana (stratfsoort);
2.
Lamanya pidana (strafmaat);
dan
3. Pengenaan dan pelaksanaan pidana (strafmodus).
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana “KUHP” sebagai induk
atau sumber utama hukum pidana telah merinci jenis-jenis pidana,
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP, yang
menyebutkan:
“Pidana
terdiri atas:
a.
pidana
pokok:
1.
pidana mati;
2.
pidana
penjara;
3.
pidana
kurungan;
4.
pidana denda;
5.
pidana
tutupan.
b.
pidana
tambahan:
1.
pencabutan
hak-hak tertentu;
2.
perampasan
barang-barang tertentu;
3.
pengumuman
putusan hakim.”
Sedangkan, untuk di Belanda sendiri, terdapat hukuman
badan (hoofdstraffen) berupa disebutkan ada 4 (empat) hukuman utama
antara lain: hukuman penjara (de gevangenisstraf), hukuman penahanan (de
hechtenis), hukuman pelayanan masyarakat dan denda (de taakstraf en de
geldboete).
Menurut Stelsel KUHP Indonesia, pidana dibedakan
menjadi 2 (dua) kelompok sebagaimana yang tersebut di atas, antara pidana
pokok dengan pidana tambahan. Stelsel pidana
Indonesia mengelompokkan jenis pidana ke dalam pidana pokok dan pidana
tambahan, dikarenakan perbedaan dari keduanya yaitu:[5]
-
Penjatuhan salah
satu jenis pidana pokok bersifat keharusan (imperatif), sedangkan penjatuhan
pidana tambahan bersifat fakultatif.
-
Penjatuhan jenis
pidana tidak harus dengan demikian menjatuhkan jenis pidana tambahan (berdiri
sendiri), tetapi menjatuhkan jenis tambahan tidak boleh tanpa dengan
menjatuhkan jenis pidana pokok.
-
Jenis pidana
pokok yang dijatuhkan, bila telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in krach
van gewijsde zaak) diperlukan suatu Tindakan pelaksanaan (executie).
Berikut penjabaran dan Penjelasan Jenis-jenis pidana
pokok yang dikenal yang diatur dalam KUHP yaitu antara lain:
Pidana Mati
Sejak jaman dahulu telah dikenal adanya hukuman mati,
baik pada jaman hukuman Romawi, Yunani dan Jerman. Dimana pelaksanaan hukuman
mati pada waktu tersebut sangat kejam, terutama pada saat jaman kaisar Romawi.
Yang cukup terkenal adalah zaman Nero yang ketika itu banyak dijatuhkan pidana
mati pada orang-orang Kristen dengan cara mengikatnya pada suatu tiang yang
dibakar sampai mati.[6]
Pidana mati di Indonesia bukanlah termasuk hukuman
yang popular, karena hukuman ini jarang sekali diterapkan oleh hakim dalam
memutus suatu perkara pidana dibandingkan dengan pidana penjara, pidana
kurungan, dan pidana lainnya. Hukuman mati di Indonesia sebenarnya telah ada
sejak masa kerajaan. Pada saat itu hukuman mati diberlakukan oleh para raja
untuk menjamin terciptanya keamanan dan kedamaian masyarakat yang berada di
wilayah kerajaannya. Hukuman mati dilakukan dalam berbagai cara, seperti
dipancung, dibakar, dan diseret dengan kuda.
Sejarah pelaksanaan hukuman mati di Indonesia, telah
terjadi penyimpangan terhadap asas korkodansi, karena KUHP yang diberlakukan di
Indonesia seharusnya concordant atau overeenstemming ataupun
sesuai dengan WvS (Wetboek van Straafrecht) yang berlaku di Negara
Belanda.
Pada tahun 1818, di Belanda sudah tidak mengenal pidana mati, karena lembaga pidana mati telah dihapuskan melalui Undang-Undang tanggal 17 September dengan Staatsblad 1870 Nomor 162 mengenai Keputusan Menteri Modderman yang sangat mengejutkan dalam sejarah KUHP Belanda dan sudah diperbincangkan sejak tahun 1846, dengan alasan bahwa pelaksanaan pidana mati di Negara Belanda sudah jarang dilaksanakan karena pidana mati hamper selalu mendapat grasi atau pengampunan dari Raja. Penerapan hukuman mati di Indonesia merupakan warisan hukum Belanda, melalui ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa segala peraturan perundang-undangan yang ada masih berlaku sebelum diadakan yang baru menurut perundang-undangan di Indonesia, dan dikuatkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang pemberlakukan Wetboek van Straafrecht (WvS) menjadi KUHP.
Berikut beberapa ketentuan undang-undang yang memiliki
ancaman hukuman mati, antara lain:
1.
Pasal 104, Pasal
111 ayat (2), Pasal 124 ayat (3), Pasal 140 ayat (3), Pasal 340, Pasal 365 ayat
(4), Pasal 444, Pasal 479 k ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana “KUHP”, Staatsblad Tahun
1915 Nomor 732 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918 jo. Undang-Undang
Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1946 Republik Indonesia Tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah
Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana jo. Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1976 tentang tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bertalian Dengan Perluasan Berlakunya
Ketentuan Perundang-Undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan
Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan;
2.
Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api;
3.
Pasal 2 Penetapan
Presiden Nomor 5 Tahun 1959 tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung
Dan Tentang Memperberat Ancaman Hukuman Terhadap Tindak Pidana Yang
Membahayakan Pelaksanaan Perlengkapan Sandang-Pangan;
4.
Pasal 1 ayat (2)
Perpu Nomor 21 Tahun 1959 tentang Memperberat Ancaman Hukuman Terhadap Tindak
Pidana Ekonomi;
5.
Pasal 59 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
6.
Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
7.
Pasal 36, Pasal
37, Pasal 41, Pasal 42 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia;
8.
Pasal 113 ayat
(2), Pasal 114 ayat (2), Pasal 116 ayat (2), Pasal 118 ayat (2), Pasal 119 ayat
(2), Pasal 121 ayat (2), Pasal 133 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika;
9.
Pasal 6, Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.
Tambahan: Pembatasan
mengenai Pidana Mati dengan berlakunya Pasal 5 ayat (1) butir 2 KUHP, apabila
menurut perundang-undangan negara di mana perbuatan dilakukan, terhadapnya
tidak diancamkan pidana mati. (vide Pasal 6 KUHP).
Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati
Cara pelaksanaan pidana mati tersebut dalam ketentuan Pasal 11 KUHP yang menyatakan bahwa pidana mati dijalankan oleh algojo ditempat penggantungan, dengan menggunakan sebuah jerat dileher terpidana dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri.
Perlu diketahui bahwa ketentuan Pasal 11 KUHP telah
diubah oleh Undang-Undang Nomor 02/Pnps/1964 jo. Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1969 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan
oleh Pengadilan di Lingkungan Pengadilan Umum dan Militer. Sebagaimana Pasal 1
Undang-Undang Nomor 02/Pnps/1964 jo. Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1969 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh
Pengadilan di Lingkungan Pengadilan Umum dan Militer dinyatakan bahwa
pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan Peradilan
Umum atau Peradilan Militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati.
Ketentuan ini, selanjutnya telah disempurnakan dengan
diberlakukannya Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor
12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
Kemudian, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 21/PUU-VI/2008, tanggal 15 Oktober 2008, juga pernah
menyatakan bahwa cara pelaksanaan pidana mati dengan ditembak sampai mati
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 02/Pnps/1964 tidak bertentangan
dengan UUD NRI 1945, yang dengan demikian dapat diartikan bahwa pelaksanaan
pidana mati dengan ditembak sampai mati tidak melanggar HAM khususnya hak untuk
tidak disiksa sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945.
Pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak, memang menimbulkan rasa sakit,
namun rasa sakit yang dialami oleh terpidana tidak dapat dikatakan sebagai
suatu bentuk penyiksaan terhadap terpidana. Rasa sakit dalam pelaksanaan pidana
mati akan tetap dirasakan oleh terpidana.
Pidana Penjara
Pidana penjara merupakan salah satu bentuk pidana
perampasan kemerdekaan. Terdapat beberapa system dalam
pidana penjara, yaitu:[7]
-
pennsylvanian
system, yaitu terpidana menurut system ini
dimasukkan dalam sel-sel tersendiri, ia tidak diperbolehkan menerima tamu baik
dari luar maupun sesama narapidana. Seluruh pekerjaannya dilakukan di dalam
sel, sistem ini juga dikenal dengan William Penn's Great Law.
-
auburn system, adalah pengganti dari sistem pennsylvanian
system, yang mana pada waktu malam terpidana dimasukan pada sel secara
sendiri-sendiri, pada waktu siang diwajibkan bekerja dengan narapidana lain,
namun tidak boleh saling berbicara di antara mereka, selama tahun 1820-an di
Penjara Auburn di Auburn, NY, sebagai alternatif dan modifikasi dari sistem
kurungan isolasi Pennsylvania, yang secara bertahap diganti di Amerika Serikat.
Inovasi selanjutnyadi Auburn adalah langkah kunci (berbaris dalam satu barisan,
meletakkan tangan kanan di bahu narapidana di depan, dan menghadap ke arah
penjaga), setelan bergaris, perpanjangan dua kaki dari dinding di antara sel,
dan pengaturan tempat duduk khusus saat makan —semua dirancang untuk memastikan
keheningan yang ketat.
Di Indonesia itu sendiri, Pidana Penjara itu dibagi menjadi 2 (dua), antara lain: Seumur Hidup atau Selama Waktu Tertentu (vide Pasal 12 ayat (1) KUHP). KUHP memang tidak menjelaskan secara gamblang apa yang dimaksud dengan “Pidana Penjara Seumur Hidup” atau disebut juga dengan life imprisonment[8] , akan tetapi disebutkan bahwa Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek 1 (satu) hari dan paling lama 15 (lima belas) tahun berturut- turut. Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk 20 (dua puluh) tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas 15 (lima belas) tahun dilampaui sebab tambahan pidana karena perbarengan, pengulangan atau karena ditentukan Pasal 52 KUHP. Selanjutnya, Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi 20 (dua puluh) tahun.
Selain itu, KUHP menyebutkan bahwa Pidana Penjara
Seumur hidup tertutup kemungkinan mendapatkan pembebasan bersyarat (vide Pasal
15 KUHP) karena 2/3 itu ditentukan lamanya seseorang menjalani
pidananya artinya itu hanya berlaku pidana penjara selama
waktu tertentu. Batas waktu “Pidana Penjara Seumur Hidup” juga tidak
diketahui oleh karenanya biasanya Pidana Penjara Seumur ini “jarang” dijatuhkan
kecuali, untuk Pidana yang berkualifikasi berat dan alternative pemidanaan
dari Penjatuhan Hukuman Mati.
Oleh karenanya itu yang dikritik oleh Barda Nawawi[9] yang
mempertanyakan apa yang sebenarnya alasan atau latar belakang tetap dianutnya
“Pidana Penjara Seumur Hidup” bahkan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (RUU KUHP). Sistem maksimum seumur hidup ini, berkaitan dengan fungsi
simbolis perumusan ancaman pidana. Diancamnya suatu delik dengan pidana penjara
seumur hidup, menunjukkan tingkat pencelaan masyarakat yang tinggi terhadap
delik yang bersangkutan. Namun hal ini bukan satu-satunya cara. Cara lain untuk
menunjukkan tingkat pencelaan masyarakat yang tinggi ialah dengan menetapkan
maksimum pidana yang cukup tinggi dalam waktu tertentu, misalnya 20-40 tahun.
Cara kedua inilah yang ditempuh oleh KUHP Polandia, yaitu dengan menetapkan
maksimum pidana penjara 25 tahun untuk delik delik tertentu atau sebagai
pengganti untuk delik-delik yang diancam dengan pidana mati. (Article 30
paragraf 3).
Di banyak negara, termasuk Indonesia, pidana penjara
seumur hidup berhubungan pula dengan fungsi subsider, yaitu sebagai pengganti
untuk delik-delik yang diancam dengan maksimum pidana mati.
Dikaitkan dengan fungsi subsidiary,
sebagai pidana pengganti, tampaknya kita dihadapkan kepada dua pilihan
sederhana sekali dalam menentukan pengganti pidana mati. Pertama,
dengan menetapkan pidana penjara seumur hidup atau kedua, dengan
menetapkan maksimum pidana penjara tertentu yang tinggi. Dalam menghadapi dua
pilihan yang demikian, kita tidak dapat melepaskan diri dari pemikiran filsafat
mengenai tujuan diadakannya pidana penjara. Dilihat dari konsepsi
“pemasyarakatan”, pada hakikatnya perampasan kemerdekaan seseorang itu hanya
bersifat “sementara” (untuk waktu tertentu) sebagai sarana untuk memulihkan
integritas terpidana agar ia mampu melakukan readaptasi sosial.[10]
Pidana Kurungan
Pidana kurungan juga termasuk dalam pidana perampasan
kemerdekaan, perbedaan pidana penjara dan kurungan adalah dalam beberapa hal
pidana kurungan lebih ringannya. Ketentuan pidana kurungan dijatuhkan paling
singkat 1 hari dan paling lama 1 tahun. (vide Pasal 14a ayat
(1) KUHP)
Pidana Denda
Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang
terdapat dalam Pasal 10 KUHP yang masuk dalam kualifikasi pidana
pokok. Pidana denda merupakan salah satu sanksi bagi pelaku tindak
pidana tanpa merampas kemerdekaan si pelaku. Pidana
denda dapat diartikan sebagai hukuman berupa kewajiban seseorang
untuk mengembalikan keseimbangan hukum atau menebus dosanya dengan
pembayaran sejumlah uang tertentu.
Minimum pidana denda adalah Rp. 0,25 (dua
puluh lima sen) x 15, meskipun tidak ditentukan secara umum
melainkan dalam pasal-pasal tindak pidana yang bersangkutan dalam
buku I dan buku II KUHP. Jika terpidana tidak mampu membayar pidana
denda yang dijatuhkan kepadanya, maka dapat diganti dengan pidana
kurungan. Pidana ini kemudian disebut sebagai pidana kurungan
penggati, maksimum pidana kurungan pengganti adalah 6 (enam) bulan, atau boleh
menjadi 8 (delapan) bulan dalam hal terjadi pengulangan, perbarengan
atau penerapan Pasal 52 atau Pasal 52 a KUHP.[11]
Pidana Tutupan
Pidana tutupan sebagai pidana pokok muncul
melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan,
dalam ketentuan tersebut ditambahkan pidana tutupan untuk KUHP dan
KUHPM. Pidana ini dapat dijatuhkan kepada si pelaku yang telah
melakukan tindak pidana, akan tetapi terdorong oleh maksud yang
patut dihormati. Meliputi system pengancaman pidana
tutupan ini, jelas tidak dianut dalam KUHP. Sistem seperti ini
dapat ditemukan dalam KUHPM yaitu kebolehan hakim militer
menjatuhkan pidana kurungan walaupun pidana yang diancam atau
sebaliknya, akan tetapi dalam hal-hal tertentu saja.[12]
Selain pidana pokok seperti yang dijelaskan di atas, sistem pemidanaan di Indonesia mengenal jenis pidana tambahan. Pidana tambahan sendiri memiliki sifat fakultatif, di mana pidana ini dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang namun bukan suatu keharusan. Sifat fakultatif yang melekat pada pidana tambahan memberi ketentuan bahwa jenis pidana ini tidak dapat dijatuhkan sendiri, yang berarti bahwa pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan di samping pidana pokok.
Menurut Roeslan Saleh[13] penjatuhan
pidana tambahan pada dasarnya adalah fakultatif, sehingga pidana
ini dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan oleh
undang-undang, tapi tidaklah satu keharusan, apabila undang-undang memungkinkan
dijatuhkannya pidana tambahan, maka hakim selalu harus
mempertimbangkan, apakah dalam perkara yang dihadapinya itu perlu dan
sebaliknya dijatuhkan pidana tambahan tersebut. Tentu dengan beberapa pengecualian
yaitu dimana pidana tambahan ini imperatif.[14]
Adapun Pidana tambahan yang dikenal di
dalam sistem pemidanaan di Indonesia adalah sebagai berikut:
Pencabutan Hak-Hak Tertentu
Tentang pencabuatan hak-hak tertentu, sebetulnya tidak
semua hak dapat dicabut. Hak-hak pidana yang dapat dicabut dengan
keputusan hakim adalah sebagaimana yang ditentukan dala Pasal 35
KUHP, yaitu hak menjabat segala jabatan pada umumnya atau jabatan
tertentu, hak mengabdi pada Angkatan bersenjata, hak memilih dan
dipilih dalam suatu pemilihan yang dilakukan menurut
perundang-undangan, hak menjadi wali, pengampu atau pengampu
pengawas atas orang lain yang bukan anaknya sendiri, hak untuk
menjalankan kekuasaan bapak, kekuasaan wali dan pengampuan atas anak
sendiri, dan hak melakukan pekerjaan yang tertentu berdasarkan kekuasaan
undang-undang.[15]
Perampasan Barang-Barang Tertentu
Tentang perampasan barang-barang tertentu, perampasan
harus mengenai barang-barang tertentu, sehingga tidak mungkin merampas terhadap
seluruh kekayaan, perampasan itu ditujukan sebagai pidana. Buku II KUHP,
terutama dalam pelaksanaannya sering terjadi suatu pidana juga tindakan
kepolisian bahkan sering tampak adalah politioneelnya. Dalam Pasal
39 KUHP menentukan dalam hal-hal apakah dapat diadakan perampasan
terhadap barang-barang yang dapat dikarenakan kejahatan dan barang-barang yang
dengan sengaja digunakan melakukan kejahatan, dapat dirampas, dengan syarat
bahwa barang-barang haruslah kepunyaan terpidana kecuali bila undang-undang
menentukan lain.[16]
Pengumuman Putusan Hakim
Pengumuman putusan hakim seyogyanya tiap-tiap keputusan hakim diumumkan dengan pintu terbuka dan secara umum, tetapi kadang-kadang pembentukan undang-undang merasa perlu supaya putusan itu sampai luas diketahui oleh umum, hal ini dilihat dari sifat perbuatan pidananya, hal inilah penting pidana tersebut.[17]
Akhir kata, terkait dengan hal di atas, beberapa
pidana pokok seringkali secara alternative diancamkan
pada perbuatan pidana yang sama. Oleh karena itu, hakim hanya dapat
menjatuhkan satu diantara pidana yang diancamkan itu. Hal ini
diartikan bahwa hakim bebas dalam memilih ancaman pidana. Sedangkan mengenai
lamanya atau jumlah ancaman yang ditentukan hanya maksimum dan minimum ancaman.
Dalam batas-batas maksimum dan minimum ini hakim bebas untuk
menentukan pidana yang tepat untuk suatu perkara.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia
yang ada di sini. Terima
Kasih.
[1] Mr Jacob Maarten van Bemmelen, “Hukum
Pidana 1”, (Bandung: Bina Cipta, 1987), 2-3.
[2] Mr.
Tirtaamidjaja, “Pokok-Pokok Hukum Pidana”, (Jakarta: Fasco, 1995), 14.
[3] M. Ali Zaidin, “Kebijakan Kriminal”, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2016), 217.
[4] Ibid, 218.
[5] Adami Chazawi, “Pelajaran Hukum
Pidana Bagian 1 (Stelse Pidana, Tindak Pidana Teori-teori pemidanaan dan Batas
berlakunya)”, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 26-27.
[6] Prof Teguh Prasetyo, “Hukum Pidana”,(Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2011), 117-118.
[7] Adami Chazawi, “Pelajaran Hukum
Pidana Bagian 1 (Stelse Pidana, Tindak Pidana Teori-teori pemidanaan dan Batas
berlakunya)”, op.cit., 120-121.
[8] Alan M.
Stevens, “A Comprehensive Indonesian-English Dictionary”, (Athens: Ohio
University Press, 2004), 750.
[9] Prof Barda Nawawi Arief, “Bunga Rampai
Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan dan Penyusunan KUHP Baru”, (Jakarta: PT
Fajar Interpratama Mandiri, 2017), 186.
[10] Ibid.
[11] Teguh Prastyo, “Hukum Pidana Materil”,
Jilid I, (Yogyakarta : Kurnia Kalam, 2005), 35.
[12] Ibid, 139.
[13] Syaiful Bakhri, “Perkembangan Stelse
Pidana Di Indonesia”, (Yogyakarta :Total Media, 2009), 216.
[14] Roeslin Salah, “Stelse Pidana
Indonesia”, (Jakarta, Aksara Bru, 1983), 25-26.
[15] Syaiful Bakhri, “Perkembangan Stelse
Pidana Di Indonesia”, loc.cit.
[16] Ibid, 117.
[17] Ibid, 118.