Ilustrasi Perkumpulan |
Secara umum ketentuan-ketentuan tentang perkumpulan
dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku pada hukum positif di
Indonesia hingga saat ini masih memiliki beberapa kelemahan dan kekurangan
dalam pengaturannya. Kelemahan-kelemahan yang menonjol dalam peraturan
perundang-undangan tersebut adalah belum adanya definisi yang jelas dan tegas
mengenai “perkumpulan” itu sendiri sehingga menyebabkan interpretasi mengenai
bentuk dan tujuan pembentukannya.
Dalam pengertiannya, perkumpulan memiliki dua arti,
yaitu perkumpulan dalam arti luas dan arti sempit.
Menurut Wirjono Prodjodikoro[1] berpendapat,
bahwa perkumpulan dalam arti luas adalah berkumpulnya orang perserorangan atau
orang-orang yang merasa mempunyai kepentingan, yang hanya atau mungkin dapat
lebih memuaskan apabila mereka berkumpul dan bekerja sama satu dengan yang lain.
Sedangkan Menurut Chidir Ali[2],
kata perkumpulan atau perhimpunan ini berasal dari kata ‘vereniging’
yang merupakan bahasa Belanda. Dalam perkumpulan atau perhimpunan ini beberapa
orang yang hendak mencapai suatu tujuan dalam bidang non-ekonomis (nirlaba)
bersepakat mengadakan suatu kerja sama yang bentuk dan caranya diletakkan dalam
“anggaran dasar” atau “reglemen” atau ”statuten”.
Dikenal ada 4 (empat) macam perkumpulan yang bertujuan
mengejar keuntungan, yakni Perseroan Perdata (maatschap), Perseroan
Firma (Vennootschap onder firma), Perseroan Komanditer (Commanditaire
Vennootschap) dan Perseroan Terbatas (Naamlooze Vennootschap).[3]
Jikalau persamaan sifat dan keadaan dari para anggota
adalah mengejar suatu keahlian, olahraga atau hobby tertentu, serta tujuan
mereka tidaklah mencari keuntungan, melainkan untuk memperkembangkan keahlian
masing-masing, baik untuk keperluan sendiri maupun untuk keperluan umum, maka
untuk bentuk inilah dikenal sebagai perkumpulan dalam arti sempit. Bentuk
perkumpulan ini juga lazim menggunakan istilah “Perhimpunan” atau “Ikatan” atau
“Persatuan” atau mungkin menggunakan istilah lainnya.[4]
Ketentuan mengenai Perkumpulan (dalam arti sempit) sebagaimana yang diatur dalam Buku III, Bab IX Pasal 1653 sampai dengan Pasal 1665 KUHPerdata, dan kemudian diatur lebih lanjut dalam Staatsblad 1870 Nomor 64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtspersoonlijkheid van Verenigingen) dan dalam Staatsblad 1939 Nomor 570 tentang Perkumpulan Indonesia (Inlandsche Vereniging) yang pada awalnya hanya berlaku untuk daerah Jawa Madura saja. Kemudian berdasarkan Staatsblad 1942 Nomor 13 jo. Nomor 14 ketentuan Staatsblad 1939 Nomor 570 diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia. Untuk memperoleh status sebagai badan hukum, Perkumpulan Indonesia harus mengajukan permohonan terlebih dahulu baik lisan atau tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat di mana perkumpulan itu berada.
Kedudukan badan hukum diperoleh setelah diadakan
pendaftaran penandatanganan anggaran dasar (vide Pasal 16
Staatsblad 1942 Nomor 13 jo. Nomor 14)
dan setelah anggaran dasar memenuhi prosedur yang disyaratkan dalam Pasal
13, Pasal 14, Pasal 16 Staatsblad 1942
Nomor 13 jo. Nomor 14.
Perkumpulan Indonesia yang sudah berbadan hukum harus
didaftarkan dalam suatu register khusus pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan
diumumkan dalam Berita Negara (vide Pasal 18, Pasal 19
Staatsblad 1942 Nomor 13 jo. Nomor 14).
Pengakuan sebagai badan hukum ditolak jika ternyata tujuannya bertentangan
dengan ketertiban umum, kesusilaan atau Undang-Undang (vide Pasal
8 ayat (6) Staatsblad 1942 Nomor 13 jo. Nomor 14).
Bahwa sebagaimana dalam Buku III BAB IX tentang
Perkumpulan yang merupakan terjemahan dari van zedelijke lichamen dianggap
seolah-olah orang selaku pembawa hak dan kewajiban dalam masyarakat, merupakan
badan hukum[5],
demikian pula halnya dengan Staatsblad 1870 Nomor 64 tentang
Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtspersoonlijkheid
van Verenigingen). Dalam pertimbangan Staatsblad tersebut dinyatakan, bahwa
agar sesuai dengan ketentuan umum dari Pasal 75 Reglement op
het Beleid der Regering van Ned-Indië mengubah dan
menambah Pasal 1653 KUHPerdata yang kemudian disebutkan
adanya disamping perseroan yang sejati (eigenlijke maatschap) diakui
pula empat perhimpunan-perhimpunan orang (verenigingen van personen)
sebagai perkumpulan-perkumpulan (zedelijke lichamen):
1.
Perkumpulan
yang didirikan oleh kekuasaan umum (op
openbaar gezag ingesteld), didirikan oleh Pemerintah seperti Propinsi,
Kota/Kabupaten);
2.
Perkumpulan
yang diakui (erkend,
misalnya badan keagamaan Kristen atau Kerkgenootschappen);
3.
Perkumpulan
yang diizinkan sebagai diperbolehkan (geoorloofd
toegelaten);
4.
Perkumpulan yang
didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak berlawanan dengan
undang-undang atau kesusilaan (perkumpulan didirikan oleh swasta).
Dari kalimat pertama Pasal 8 Staatsblad
1870 Nomor 64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtspersoonlijkheid
van Verenigingen) dapat diketahui adanya perkumpulan yang tidak berbadan
hukum.[6]
Jadi, secara umum, perkumpulan dibentuk karena adanya
sekumpulan orang yang memiliki kesamaan baik kepentingan maupun tujuan.
Kumpulan orang tersebut kemudian membuat sebuah perkumpulan sebagai wadah untuk
mewujudkan tercapainya sebuah tujuan tersebut. Dalam ketentuan Permenkumham di
atas, “tujuan” yang dimaksud tersebut dibatas (limitative) di bidang
sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang mana dalam pelaksanaannya bersifat
nirlaba atau tidak adanya pembagian keuntungan. Menurut bentuknya perkumpulan
terdiri atas dua bentuk; yaitu berbadan hukum dan tidak berbadan hukum.
Perkumpulan berbadan hukum adalah perkumpulan yang
memiliki status persona in judictio, yang diartikan bahwa
perkumpulan dipandang sebagai sebuah subjek hukum tersendiri yang memiliki hak
dan kewajiban. Dampak dari perkumpulan yang berbadan hukum adalah dapat
melakukan perbuatan keperdataan seperti membuat sebuah perjanjian sehingga
perjanjian yang dibuat mengikat pada sebuah perkumpulan bukan pada
perseorangan. Sedangkan perkumpulan yang tidak berbadan hukum berdampak pada
perkumpulan yang tidak dapat melakukan perbuatan keperdataan. Segala macam
perbuatan keperdataan yang dilakukan perkumpulan tidak berbadan hukum merupakan
atas nama dari setiap anggota bukan perkumpulan sebagai sebuah subjek hukum.
Kembali mengingat bahwa Pasal 1 ayat 2 dan
3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
NRI Tahun 1945) telah menjadi dasar pernyataan Indonesia sebagai negara hukum
dan demokrasi. Salah satu prinsip negara hukum yang demokratis menurut Jimly
Asshiddiqie adalah adanya jaminan hak-hak asasi manusia yang dituangkan dalam
konstitusi dan peraturan perundang-undangan.[7]
Satu di antara Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah
dijamin dalam UUD NRI Tahun 1945 adalah hak untuk berserikat dan berkumpul.
Jaminan tersebut termuat dalam Pasal 28 dan Pasal 28 E ayat (3) UUD NRI Tahun
1945.”
Oleh karenannya untuk menghindari ketidak pastian
hukum mengingat belum ada aturan di level peraturan perundang-undangan yang
ada, kiranya perlu membentuk suatu fondasi dan konstruksi hukum tentang
“Perkumpulan” tersebut dengan memerhatikan beberapa aspek yaitu dapat dilihat
perbedaan unsur-unsur atau ciri-ciri dari perkumpulan sebagai berikut:
Perkumpulan memuat unsur atau ciri-ciri:
-
Kumpulan orang
sebagai subjek hukum termasuk badan hukum;
-
Berbadan hukum
atau setidaknya memenuhi persyaratan badan hukum;
-
Tujuan yang
bersifat idiil, bukan komersiil;
-
Tidak membagikan
keuntungan kepada para anggotanya.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.
[1] Wirjono Prodjodikoro, “Hukum
Perkumpulan, Perseroan dan Koperasi di Indonesia”, (Jakarta: Dian Rakyat,
1969), 1-2.
[2] Chidir Ali, “Badan Hukum”, (Bandung:
Alumni, 2005), 119.
[3] Ejaan Belanda lama;ejaan sekarang Naamloze
Vennootschap.
[4] Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., 2.
[5] “Ons BW, zoals dit in 1838 (1848 KUHPerd) in werking trad, beschouwde de vereniging als rechtspersoon.(Bw kita, yang berlaku pada tahun 1838 (1848 KUHPerdata), menganggap perkumpulan sebagai badan hukum)”, C.Asser-W.C.L. van der Grinten, “Vertegenwoordiging en Rechtspersoon”, (Zwolle: W.E.J.Tjeenk-Willink, 1976), 152.
[6] “Verenigingen, niet als regtspersonen bij algemene verordening ingesteld of niet erkend volgens deze verordening, kunnen als zoodanig geene burgerlijke handelingen aangaan” (Perkumpulan-perkumpulan, yang tidak didirikan sebagai badan hukum menurut peraturan umum atau tidak diakui menurut peraturan ini dengan demikian tidak dapat melakukan tindakan-tindakan perdata.”, W.A.Engelbrecht bewerkt door E.M.L.Engelbrecht, “De Wetboeken Wetten en Verordeningen benevens de Grondwet van 1945 van de Republik Indonesie, Les Edition A. Manteau S.A.-Bruxelles, A.W. Sijthof’s Uitgeversmaatschappij N.V., Leiden, Importe Par” (Djakarta: P.T. Soeroengan, 1960), 861.
[7] Jimly Asshiddiqie, “Demokrasi dan
Nomokrasi: Prasyarat Menuju Indonesia Baru, Kapita Selekta Teori Hukum
(Kumpulan Tulisan Tersebar)”, (Jakarta: FH-UI, 2000), 141–144.