Ilustrasi Kekerasan Seksual |
Pengantar
Misogyny itu tak lari dari kecurigaan atau prasangka; prejudice. Pransangka tak selalu membuat orang bertindak berdasarkan sikapnya. Saat diri seseorang menaruh prasangka terhadap kelompok tertentu bukan berarti self (diri) tadi dapat dikatakan mendiskriminasikan kelompok tersebut. Prasangka paling tidak mencakup 3 (tiga) komponen sikap (afektif, perilaku dan kognitif), sedangkan ranah diskriminasi hanya melibatkan perilaku self (diri) saja.
Rata-rata bentuk kekerasan terhadap Perempuan itu tidak terlepas dari prejudice secara umum bahwa tubuh dan seksualitas perempuan mengalami pengecilan makna dalam sistem kehidupan kita baik dalam keluarga, masyarakat, dan Negara yang mengutamakan kepentingan laki-laki (ideologi patriarkhi).
Perempuan dalam tatanan kehidupan yang patriarkhis, sering dinilai sebagai objek seksual dan jika menjadi korban kekerasan seksual perempuan sering diminta ‘bertanggungjawab’ atas kekerasan yang dialaminya: “Pantas diperkosa, lihat saja cara berpakaiannya atau tingkah lakunya...”
Lemahnya kedudukan korban di muka umum inilah yang juga menyusup ke dalam kedudukan perempuan di muka hukum seperti ketika hukum itu dirumuskan, para perumusnya tidak memperhitungkan pengalaman dan realitas korban terutama perempuan.
Eka Kurnia Chrislianto Law Office, kami dalam penanganan kasus atau perkara yang berhubungan dengan Perempuan dan Anak, kami membuat kategorisasi kekerasan (terhadap perempuan dana anak) itu berdasarkan ranah pribadi, komunitas, dan negara untuk menggambarkan bagaimana beragam kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi dalam hubungan-hubungan kehidupan perempuan dan anak dengan lingkungannya, baik di ruang pribadi, di ruang kerja atau komunitas, di ruang publik dan negara. Melalui kategorisasi ini dapat menjelaskan ranah mana yang paling berisiko terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan juga anak.
Adapun kami akan membagi
beberapa kategori-kategori kekerasan berdasar lex loci actus atau tempat
terjadinya kekerasan terhadap Perempuan dan Anak sebagai berikut:
1. Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak dalam Ranah Privat: Perkawinan dan Hubungan Pribadi;
2. Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak dalam Ranah Publik atau Komunitas;
3. Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak oleh Negara.
Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak dalam Ranah Privat: Perkawinan dan Hubungan Pribadi
Kami membedakan antara Kekerasan
yang Perempuan Alami dan Anak Perempuan Alami dalam ranah privat, dalam ikatan
perkawinan, dan hubungan pribadi, adapun sebagai berikut:
Kekerasan terhadap Perempuan dalam Ranah Pribadi
Kekerasan terhadap perempuan dalam ranah pribadi yang dimaksud di sini adalah perempuan yang dewasa bukan anak, yang terjadi dalam berbagai bentuk. Saat bicara mengenai kekerasan dalam bangunan Hukum Pidana, terdapat bentuk-bentuk kekerasan dalam hubungan perempuan dengan orang terdekat, dapat menggambarkan kekerasan yang terjadi pada korban perempuan khususnya dalam ranah privat atau ikatan perkawinan atau pun tidak. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut adalah:
1. Kekerasan Terhadap Istri (KTI); dan
2. Kekerasan Dalam Pacaran (KDP).
Kekerasan Terhadap Istri (KTI)
Bahwa kekerasan di lingkup dalam rumah tangga menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau disebut dengan “UU/23/2004”, yang juga disebut dengan kekerasan dalam rumah tangga bentuknya hanya ada 4 (empat) yaitu:
a. Kekerasan Fisik;
b. Kekerasan Psikis;
c. Kekerasan Seksual; atau
d. Penelantaran Rumah Tangga.
Ada beberapa contoh Kasus Kekerasan Terhadap Istri (KTI), seperti Kekerasan Fisik terhadap Istri hingga mengakibatkan istri meninggal dunia. Apa sih Kekerasan Fisik itu? Sebagaimana berdasarkan Pasal 6 UU/23/2004 adalah Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat, contohnya: Seorang suami yang mengaku cemburu kepada istrinya, karena istrinya meminta cerai terhadapnya. Namun ia tidak terima kemudian menghabisi nyawa istrinya dengan cara memukul kepala istrinya. Ia juga membunuh anak perempuan tirinya dengan memukul kepalanya dengan besi yang sama sebanyak 3 (tiga) kali. Kedua korban meninggal seketika, kejadian ini sempat viral di Kota Pontianak; (Ini jelas termasuk dalam Pasal 5 huruf a jo. Pasal 44 ayat (3) UU/23/2004 tentang PKDRT, karena masuk dalam klasifikan Kekerasan Fisik yang mana mengakibatkan korban sampai meninggal dunia dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah).
Kekerasan Psikis, berdasarkan Pasal 7 UU/23/2004 tentang PKDRT, menyebutkan Kekerasan Psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Disebutkan untuk ketentuan pidananya sebagaimana Pasal 45 ayat (1) UU/23/2004 tentang PKDRT, yaitu setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,- (sembilan juta rupiah). Perlu diketahui bahwa Tindak Pidana Kekerasan Psikis ini, merupakan delik aduan. (vide Pasal 52 UU/23/2004 tentang PKDRT)
Kekerasan Seksual itu sendiri sebagaimana yang dirumuskan dalam Undang-Undang tentang PKDRT berdasarkan Pasal 8 UU/23/2004 tentang PKDRT terdapat 2 (dua) jenis kekerasan seksual yaitu:
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Pasal ini dapat diberlaku bagi istrinya menjadi Korban Kekerasan Seksual dalam lingkup rumah tangga, kalau anak Perempuan (yang inses) tentu diberlakukan Undang-Undang tentang Perlindungan Anak (lex specialis). Ancaman pidana terhadap Pasal 8 huruf a di atas pun dapat dilihat dari Pasal 46 UU/23/2004 tentang PKDRT:
“Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).”
Perlu diketahui juga bahwa Tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan. (vide Pasal 53 UU/23/2004 tentang PKDRT) Pemaksaan di sini tentu kembali lagi ke soal consent dalam struktur teori Marital Rape atau perkosaan dalam perkawinan itu sendiri terdapat 3 (tiga) jenis teori umum ntara lain:
- Battering Rape: Dalam “Battering Rape” perempuan mengalami kekerasan fisik dan seksual (sekaligus) dalam hubungannya dan mereka mengalami kekerasan ini dengan berbagai cara. Ada beberapa dipukuli selama kekerasan seksual dilakukan, atau pemerkosaan mungkin terjadi setelah dilakukannya kekerasan secara fisik, contohnya, di mana seorang suami ingin berbaikan dengan istrinya kemudian memaksa istrinya untuk berhubungan seks di luar keinginannya (paksaan). Mayoritas korban marital rape masuk dalam kategori ini.[1]
- Force-only rape: dimana suami hanya menggunakan sejumlah kekuatan yang diperlukan untuk memaksa istri mereka untuk melakukan hubungan seksual dengan mereka; pemukulan mungkin bukan karakteristik utama dalam klasifikasi ini. Paksaan atau “force” yang dimaksudkan tersebut biasanya terjadi setelah istri tersebut menolak untuk melakukan hubungan seksual (perbedaan dengan yang pertama yaitu tanpa ada pertengkaran, tanpa intensi ingin melakukan kekerasan fisik).[2]
- Obsessive Rape: Pemaksaan atau perkosaan jenis ini melibatkan penyiksaan dan/atau tindakan seksual “sesat” dilakukan dan yang seringkali terjadi dan dominan justru kekerasan fisik terhadap istri, perkosaan hanya mengikuti untuk dilakukan. Di Amerika Serikat sendiri, di beberapa negara bagian mewajibkan perkosaan dalam ikatan perkawinan dituntut dengan cara yang sama tanpa ada membedakan klasifikasi-klasifikasi di atas yaitu marital rape offence, sementara yang lain menjadikannya sebagai Tindak Pidana yang berdiri tersendiri.[3]
Sedangkan di Indonesia, Marital Rape itu dikenal melalui Pasal 8 di atas tadi, yang dimana ia masuk dalam klasifikasi Kekerasan Seksual (dalam lingkup rumah tangga).
Kemudian, untuk Penelantaran Rumah Tangga, sebagaimana Pasal 9 ayat (1) UU/23/2004 tentang PKDRT, menyatakan:
“Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.”
Bahwa penelantaran sebagaimana dimaksud juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. (vide Pasal 9 ayat (2) UU/23/2004 tentang PKDRT)
Kemudian disebutkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah), setiap orang yang menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2). (vide Pasal 49 UU/23/2004 tentang PKDRT)
Dalam ranah perdatanya, penelantaran rumah tangga dalam konteks ini, biasanya terjadi pada istri yang oleh suami tidak diberi hak nafkah selama dalam perkawinannya. Sebagaimana Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU/1/1974”) menyatakan:
“Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.”
Hal tersebut dipertegas oleh ketentuan Pasal 80 ayat (2) dan ayat (4) Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menyatakan:
“Suami
wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah
tangga sesuai dengan kemampuannya. Sesuai dengan penghasilannya, suami
menanggung:
a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi
istri;
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan
biaya pengobatan bagi istri dan anak.
c. biaya pendidikan bagi anak”.
Istri dapat mengajukan gugatan atas hal tersebut dengan mengajukan gugatan perceraian sekaligus mengenai hak-haknya yang Anda dapat baca pada tulisan kami yang berjudul “Aturan Perceraian yang Wajib Anda Pahami”.
Kemudian, sebagaimana ketentuan Pasal 10 UU/23/2004 tentang PKDRT korban memiliki hak-hak sebagai berikut:
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. Pelayanan bimbingan rohani.
Kekerasan Dalam Pacaran (KDP)
Untuk kekerasan ini tidak dapat menggunakan ketentuan sebagaimana Undang-Undang tentang PKDRT, akan tetapi menggunakan ketentuan hukum yang relevan seperti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan lain sebagainya. Yang mana ini ada keterkaitannya juga dengan Kekerasan terhadap Perempuan dalam ranah public dan komunitas.
Yaitu Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas: (vide Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual)
a. Pelecehan seksual nonfisik;
b. Pelecehan seksual fisik;
c. Pemaksaan kontrasepsi;
d. Pemaksaan sterilisasi;
e. Pemaksaan perkawinan;
f. Penyiksaan seksual;
g. Eksploitasi seksual;
h. Perbudakan seksual; dan
i. Kekerasan seksual berbasis elektronik.
Selain Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga meliputi:
a. perkosaan;
b. perbuatan cabul;
c. persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/ atau eksploitasi seksual terhadap Anak;
d. perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak Korban;
e. pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual;
f. pemaksaan pelacuran;
g. tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual;
h. kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga;
i. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan
j. tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kekerasan terhadap Anak dalam Ranah Pribadi
Kekerasan ini banyak sekali dan sering terjadi di lingkungan keluarga yang juga yang melakukannya adalah orang-orang terdekat dari Anak (perempuan), bentuk-bentuknya berdasarkan peraturan perundang-undangan terdapat dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak seperti:
1. Diskriminasi Terhadap Anak (DTA);
2. Aborsi Anak;
3. Pembiaran dan Penelantaran Anak;
4. Penganiayaan dan Kekerasan Terhadap Anak;
5. Eksploitasi Anak.
Perlakuan diskriminasi, misalnya perlakuan yang membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental. Untuk kasus aborsi anak sendiri, itu berdasarkan Pasal 77A jo. Pasal 45 A Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mana menurut ketentuannya “setiap orang dilarang melakukan aborsi terhadap Anak yang masih dalam kandungan, kecuali dengan alasan dan tata cara yang dibenarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Ini pernah dilakukan oleh seorang ibu rumah tangga terhadap anak perempuan yang mana pihak keluarga menganggap itu merupakan aib keluarga dan janin tersebut harus digugurkan.
Selanjutnya, Perlakuan penelantaran, misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya. Penganiayaan dan Kekerasan Terhadap Anak perbuatan melukai dan/atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial. Eksploitasi Anak, itu dibagi menjadi 2 (dua) yaitu eksploitasi anak secara ekonomi dan eksploitasi anak secara seksual (vide Pasal 59 ayat (2) huruf d jo. Pasal 66 UU/35/2014 tentang Perlindungan Anak).
Ekspolitasi anak secara ekonomi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan Anak yang menjadi korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan Anak oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan materiil.
Sedangkan, eksploitasi anak secara seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari Anak untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan.
Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Ranah Publik atau Komunitas Kekerasan Seksual dan Fisik
Eka Kurnia
Chrislianto Law Office mengklasifikan bentuk dan jenis kekerasan seksual
dan fisik terhadap perempuan di ranah komunitas dibagi sebagai berikut:
1. Kekerasan di lingkungan kerja;
2. Kekerasan dalam bermasyarakat, bertetangga, ataupun lembaga pendidikan atau sekolah; dan
3. Human Trafficking atau perdagangan manusia.
Perlu diketahui juga, ada istilah yang dikenal dengan sextortion juga sering dikenal dengan pemerasan seksual. Kasus-kasus yang tidak terungkap menjadi buah stigma sosial dan lemahnya mekanisme pelaporan. Akarnya terletak pada pemikiran masyarakat yang masih patriarkis. Korban kekerasan seksual termasuk sextortion dibungkam oleh budaya victim blaming, bahkan reviktimisasi. Menurut Avery Elizabeth Hurt[4] korban harus berani melawan dan tidak mengikuti apa yang pelaku minta terhadapnya misalnya memberikan foto bugil, video, dan lain sebagainya, penegakan hukum dapat berjalan baik apabila bukan hanya korban yang berani berbicara akan tetapi juga mekanisme berbasis korban terpadu yang dapat mengakomodasi kepentingan korban dan hukum.
Lagi-lagi kasus semacam ini menjebak korban dalam tekanan psikologis dan krisis kepercayaan terhadap lingkungan sekitar. Ini terkait dengan kekerasan seksual di dunia pendidikan terutama kampus, ada sejumlah kasus dosen predator, yang mana mengiming-imingi kelulusan mahasiswanya dengan syarat melakukan hubungan seksual dengannya. Sebagai mahasiswa/i dengan tuntutan lulus cepat dan nilai baik dari orang sekitarnya, juga karena tekanan ekonomi, tentu tidak ada pilihan lain. We have to pay double price. Sudah bayar uang perkuliahan, ditambah lagi terjebak pemerasan seksual. Jelas hal ini terjadi karena dosen merasa berkuasa atas mahasiswanya.
Kekerasan Non-Fisik dan Pelanggaran di Bidang Ketenagakerjaan
Namun kasus kekerasan tidak melulu identik dengan seksual, adapun kekerasan non-seksual dan soal pemenuhan hak-hak pekerja perempuan yang lalai dipenuhi di ruang publik, seperti kasus Aminah, perempuan Desa Tanjung Bunga, Teluk Pakedai, Kubu Raya yang berprofesi sebagai buruh harian perkebunan sawit.
Kerja paling berat adalah pemupukan dan penyemprotan hama, harus memikul karung pupuk yang berat, tambah lagi dengan menyemprot insektisida. Usai menyemprot, biasa tangan Aminah gatal-gatal, meski sudah pakai sarung tangan. Perusahaan tak menanggung biaya penyakit Aminah, karena buruh harian lepas padahal wajib Perusahaan untuk mendaftarkan BPJS Ketenagakerjaan dan Hak-Hak Normatif lainnya yang semestinya diterima oleh Aminah.
Aminah bekerja tanpa kontrak (perjanjian tertulis), tanpa jaminan keselamatan. Pekerjaan kasaryang dilakukannya, tetap mereka kerjakan semata-mata untuk menambah penghasilan keluarga. Mengutip LinkAr Borneo yang menggambarkan bahwa perempuan yang jadi buruh perkebunan sawit disebut sebagai invisible worker atau buruh siluman, bahkan mungkin tidak terdaftar di instansi pemerintah alias tidak terdata sama sekali. Padahal buruh perempuan ini, seperti Aminah tadi contohnya mengerjakan sebagian besar pekerjaan berat di perkebunan, dalam setiap tahapan produksi di perkebunan sawit (pekerjaan inti).
Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak oleh Negara
Kasus kasus di ranah Negara terbagi menjadi dua yaitu Act of Commission (pelanggaran terhadap kewajiban negara yang lahir dari instrumen-instrumen HAM yang dilakukan dengan perbuatannya sendiri). Negara menjadi pelaku langsung, seperti kriminalisasi kebebasan berpendapat satu di antaranya kasus pelaporan terhadap anak SMA oleh Gubernur Kalimantan Barat beberapa waktu yang lalu yang dijerat dengan Pasal 207 (KUHP) barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan tulisan ataupun lisan melakukan penghinaan terhadap penguasa dan dugaan kasus cabul terhadap anak di bawah umur oleh oknum Satlantas Polresta Pontianak denga modus menilang.
Lalu yang kedua adalah Act
of Ommission (pembiaran-tindakan untuk tidak melakukan apapun) yang
berarti pelanggaran terhadap kewajiban negara yang lahir dari
instrumen-instrumen HAM yang dilakukan oleh karena kelalaian dari suatu negara.
Contohnya, kasus antara lain pelanggaran hak dasar, kesulitan mengakses hak
Kesehatan berkaitan dengan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan, dan
pelanggaran hak administrasi kependudukan terhadap perempuan dan anak.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalaan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.
[1] Carol J.
Adams, “Woman Battering”, (Minneapolis: Fortress Press, 1994), 17.
[2] Julie A. Allison and Lawrence S.
Wrightsman, “Rape: The Misunderstood Crime: The Misunderstood Crime”,
(London: Sage Publications, 1993), 94.
[3] Ibid.
[4] Avery Elizabeth Hurt, “Everything
You Need to Know About Sextortion” (New York: The Rosen Publishing Group,
Inc, 2018), 30-31.