Contoh Letter C |
Pertanyaan
Izin bertanya pak, apakah kekuatan pembuktian dari
Tanah Girik itu kalau dibawa ke Pengadilan itu kuat? Kalau tidak kuat,
bagaimana dengan prosedur pembuatan sertifikatnya agar diakui oleh negara dan
sah? Dan Berapa Biaya yang Diperlukan untuk Mensertifikatkan Tanah Bekas Hak
Milik Adat? Terima kasih.
Jawaban Singkat
Sebelum kami membahas mengenai tata cara pembuatan sertifikat yang berasal dari tanah girik, perlu rasanya kami menjelaskan terlebih dahulu, apa itu tanah girik? Secara awam, tanah girik adalah istilah populer dari tanah-tanah yang belum bersertifikat, biasanya dibuktikan dengan Kutipan Buku Letter C (yang masih dikenal hingga saat ini) dianggap dapat digunakan sebagai alat bukti kepemilikan hak atas tanah ketika tanah atau objek yang bersangkutan belum pernah disertifikatkan. Sederhananya, tanah girik berbentuk tanah bekas hak milik adat atau tanah-tanah hak lain (seperti Eigendom, Verponding, dan lain sebagainya) yang belum dikonversi menjadi salah satu tanah hak tertentu (seperti: Hak milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Guna Usaha) yang dikenal dalam ketentuan pokok-pokok agraria.
Oleh karenanya, wajib dipahami bahwa ada 2 (dua)
pengertian tanah adat yang berbeda, yaitu antara:
1.
Tanah “Bekas Hak
Milik Adat” yang menurut istilah populernya adalah Tanah Girik,
berasal dari tanah adat atau tanah-tanah lain yang belum dikonversi menjadi
salah satu tanah dengan hak tertentu (Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai
atau Hak Guna Usaha) dan belum didaftarkan atau disertifikatkan pada Kantor
Pertanahan setempat. Sebutannya bisa bermacam-macam: girik, petok, rincik,
ketitir dan lain sebagainya; dan
2.
Tanah Milik
Masyarakat Ulayat Hukum Adat, yang bentuknya seperti: tanah titian, tanah
pengairan, tanah kas desa, tanah bengkok, dan lain sebagainya. Untuk jenis
tanah milik masyarakat hukum adat ini tidak bisa disertifikatkan begitu saja.
Kalau pun ada, tanah milik masyarakat hukum adat dapat dilepaskan dengan cara
tukar guling (ruislag) atau melalui pelepasan hak atas tanah tersebut
terlebih dahulu oleh kepala adat. (vide Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria)
Jadi wajib dibedakan, antara keduanya. Berhubung
terdapat begitu banyaknya jenis hak atas tanah yang belum bersertifikat, dengan
metode pendaftaran (pembuatan sertifikat) yang berbeda-beda, maka perlu kami
buat disclaimer di sini, bahwa dalam pembahasan kami kali ini
adalah:
1.
Harus membedakan
2 (dua) jenis sebutan “Tanah Adat” yang sudah kami jabarkan di atas; dan
2.
Pembahasan kali
ini adalah mengenai metode pendaftaran/pembuatan sertifikat atas tanah girik
yang merupakan tanah bekas hak milik adat.
Mengingat bahwa dalam praktik jenis hak tanah inilah
yang paling banyak terjadi di lapangan. Pembuatan sertifikat untuk tanah-tanah
jenis hak lainnya maupun permohonan konversi atas tanah-tanah hak barat akan
kami bahas kemudian secara tersendiri.
Pada dasarnya, Tanah bekas hak milik adat yang belum
didaftarkan atau disertifikatkan pada Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN)
setempat di lingkungan masyarakat sebutannya bisa bermacam-macam, antara lain:
girik, petok D, rincik, ketitir, dan lain sebagainya. Selain tanah bekas hak
milik adat, masih terdapat beberapa jenis tanah lainnya, yaitu: tanah garapan,
tanah verdedaal (milik tuan tanah), tanah hak sewa zaman
belanda, serta tanah-tanah verponding lainnya.
“Tanah Girik” yang merupakan tanah bekas hak milik
adat, berbeda dengan tanah-tanah hak barat seperti Verponding Indonesia, Eigendom
Verponding, erfpacht, opstaal, vruchtgebruik, dan lain
sebagainya. Tanah-tanah hak barat tersebut seharusnya pada tahun 1960 pada saat
lakukannya unifikasi Hukum Pertanahan yang kemudian disebut dengan
Undang-Undang Pokok Agraria (“UUPA”), maka seluruh tanah-tanah hak barat dan
tanah adat wajib dilakukan konversi secara serentak. (penyesuaian)
Namun, praktik di lapangan masih banyak masyarakat
karena ketidakpahamannya atau pun ada yang mengetahui cenderung beralasan tidak
memiliki biaya atau pun karena tidak pernah merasa ada yang menganggu dan
aman-aman saja, akhirnya mereka belum mengajukan permohonan konversi hak atas
tanah yang dimilikinya tersebut.
Bahwa peralihan hak atas tanah girik tersebut biasanya
dilakukan dari tangan ke tangan, dimana semula bisa berbentuk tanah yang sangat
luas, dan kemudian di bagi-bagi atau dipecah-pecah menjadi beberapa bidang
tanah yang lebih kecil. Peralihan hak atas tanah girik tersebut biasanya
dilakukan di hadapan Lurah atau Kepala Desa. Namun demikian, banyak juga yang
hanya dilakukan berdasarkan kepercayaan dari para pihak saja, sehingga tidak
ada surat-surat apapun yang dapat digunakan untuk menelusuri kepemilikannya.
Kemudian, dalam pembuatan sertifikat tanah girik tersebut dalam istilah Hukum Agraria disebut sebagai Pendaftaran Tanah Pertama Kali.
Adapun tahapan prosedur yang harus dilalui dalam
pendaftaran tanah pertama kali yang berlaku untuk tanah-tanah bekas hak milik
adat di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat adalah sebagai berikut:
1.
Pengumpulan
Data Fisik
Untuk memperoleh data fisik atas bidang tanah yang
didaftarkan maka langkah-langkah yang harus dilakukan adalah:
-
Mendatangi lokasi
tanahnya;
-
Menetapkan
batas-batas tanah berdasarkan persetujuan dari para pemegang hak yang
berbatasan bidang tanahnya (Contradiction Delimitation);
-
Menyelesaikan
perselisihan jika ada dan jika perselisihan yang ada tidak terselesaikan akan
dibuat batas-batas tanah berdasarkan penetapan batas sementara;
-
Membuat
tanda-tanda batas;
-
Melakukan
pengukuran;
-
Pembuatan peta
bidang tanah yang didaftar dan surat ukur.
2.
Pengumpulan
Data Yuridis
Data yuridis diperoleh dari pembuktian hak atas tanah
dengan mengumpulkan dan meneliti kebenaran alat-alat bukti yang diajukan dan
menuangkan hasil penelitian tersebut ke dalam daftar isian berupa Risalah
Penelitian Data Yuridis dan Penetapan Batas.
3.
Pengumuman
Pengumuman atas Daftar Isian yang berisi data fisik
dan data yuridis beserta peta bidang tanah yang akan didaftar di Kantor
Pertanahan setempat dan Kantor Kepala Desa/Lurah setempat selama 30 hari (jika
dilakukan pendaftaran tanah yang bersifat sistematik) atau 60 hari (jika
pendaftaran dilakukan secara sporadik). Pengumuman ini dimaksudkan dapat
memberikan kesempatan bagi pihak lain yang berkepentingan untuk mengajukan
keberatan.
4.
Penyelesaian
Keberatan
Apabila muncul keberatan dari pihak lain maka
keberatan tersebut akan diupayakan penyelesaiannya secara musyawarah mufakat
yang akan dituangkan ke dalam Berita Acara Penyelesaian. Namun jika
penyelesaian tidak tercapai pada tahap ini maka Kepala Kantor Pertanahan akan
menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada pihak yang mengajukan keberatan itu
agar melanjutkan proses itu ke pengadilan dalam tenggang waktu 90 (sembilan
puluh) hari terhitung sejak disampaikannya pemberitahuan tersebut.
5.
Pengesahan
Data Fisik dan Data Yuridis
Pengesahan terhadap data fisik dan data yuridis
dilakukan dengan membuat Berita Acara Pengesahan Data Fisik dan Data Yuridis.
6.
Penegasan
Konversi Hak atas Tanah
Penegasan konversi dilakukan oleh Kepala Kantor
Pertanahan dengan menambahkan catatan di dalam Risalah Hasil Penelitian dan
Penetapan Batas tentang penegasan konversi hak atas tanah tersebut menjadi Hak
Milik dengan mencantumkan nama pemohon sebagai pemegang hak.
7.
Pembukuan
Hak
Pembukuan Hak dilakukan dengan membuat buku tanah
(mencatat dalam buku tanah) Hak Milik atas nama pemohon dengan nomor sendiri
dan mencatatkan hak itu pada surat ukur dan daftar umum lainnya.
8.
Penerbitan
Sertipikat Atas Nama Pemohon
Sertifikat akan diterbitkan jika di dalam buku tanah
tidak ada catatan mengenai kekuranglengkapan data, ada sengketa yang terjadi
atas tanah tersebut.
Kemudian, dalam praktiknya proses pendaftaran tanah
untuk pertama kalinya untuk tanah bekas hak milik adat dan tanah garapan, yang
wajib dipersiapkan oleh Anda yang hendak mendaftarkan dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
1.
Dengan
mendapatkan surat rekomendasi dari Camat/Lurah/Kepala Desa perihal tanah yang
bersangkutan, yang menyatakan bahwa atas tanah tersebut belum pernah
disertifikatkan serta riwayat pemilikan tanah dimaksud yang dilampirkan dengan
Surat Riwayat Tanah;
2.
Membuat surat
yang menyatakan bahwa tanah tersebut tidak dalam keadaan sengketa dari
RT/RW/Lurah/Kepala Desa;
3.
Melakukan
peninjauan lokasi dan pengukuran tanah oleh Petugas Ukur dari Kantor Badan
Pertanahan Nasional (BPN);
4.
Penerbitan Gambar
Situasi atau Surat Ukur, yang dilanjutkan dengan pengesahannya;
5.
Melakukan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sesuai dengan luas yang tercantum
dalam Gambar Situasi atau Surat Ukur. Pembayaran BPHTB tersebut dilakukan
apabila tanah yang dimohon berasal dari Tanah Negara atau Tanah Garapan atau
dalam hal pada waktu proses pelaksanaan Akta Jual Beli (AJB) terdahulu, BPHTB
tersebut belum dibayarkan. Jika berasal dari tanah bekas hak milik adat, tidak
ada biaya BPHTB tersebut;
6.
Proses
pertimbangan ada pada Panitia Pemeriksaan Tanah A atau Panitia A Kantor Badan
Pertanahan Nasional (BPN) setempat;
7.
Pengumuman
selanjutnya ada pada Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat dan Kantor
Kecamatan/Kelurahan/Desa dimana letak tanah setempat selama lebih kurang 2
(dua) bulan;
8.
Pengesahan
pengumuman; dan
9.
Penerbitan
Sertipikat Tanah.
Perlu diingat bahwa untuk proses pembuatan sertifikat
tanah tersebut hanya dapat dilakukan jika pada waktu pengecekan di kantor
kelurahan/desa setempat dan kantor pertanahan terbukti bahwa tanah tersebut
memang belum pernah disertifikatkan dan selama proses tersebut tidak ada
pihak-pihak yang mengajukan keberatan (perihal pemilikan tanah tersebut).
Berapa Biaya yang Diperlukan untuk Mensertifikatkan Tanah Bekas Hak Milik Adat tersebut?
Hal ini sangat variatif, tergantung dari 3 (tiga) hal,
yaitu:
1.
Lokasi Tanah;
2.
Nilai Jual Objek
Pajak (NJOP); dan
3.
Luas Tanah.
Mengenai hal ini Anda dapat meminta konfirmasi dari
Notaris/PPAT setempat ataupun Kantor Pertanahan setempat. Jika di lokasi
sekitar Anda ada program PRONA atau Pendaftaran Tanah
Secara Sistematik atau Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL)
secara serentak, ataupun melalui Program LARASITA (vide Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Larasita Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia), sebaiknya Anda ikuti dan cari
informasi lebih lanjut. Mengingat bahwa itu merupakan program dari pemerintah,
sehingga tentunya biaya akan menjadi jauh lebih ringan dan prosesnya akan
menjadi lebih mudah dibandingkan jika anda mendaftarkan/mensertifikatkan tanah
tersebut dengan inisiatif sendiri.
Berapa Lama Prosesnya?
Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi, dan tidak
ada keberatan dari pihak-pihak tertentu, maka proses pembuatan sertifikat atas
Tanah Girik tersebut dapat ditempuh dalam waktu sekitar 6 (enam) bulan sampai
dengan 1 (satu) tahun. Namun, jika terjadi suatu kendala di lapangan, seperti
pemekaran wilayah, tuntutan dari pihak yang merasa berhak, atau sengketa,
proses tersebut bisa memakan waktu lebih lama dari yang diperkirakan. Bahkan
hal-hal yang tidak berhubungan juga bisa menghambat proses tersebut, misalnya
karena pergantian kepala kantor pertanahan, kesalahan penunjukan batas atau
gambar atau human error lainnya, juga bisa menghambat proses
tersebut di lapangan.
Pihak yang Berhak Mengajukan
Tentu saja yang berhak adalah pemilik yang sah ataupun
ahli waris yang sah dari tanah dimaksud ataupun kuasa dari mereka. Sehingga,
jika kepemilikan tanah tersebut masih terdaftar atas nama nenek dari pihak yang
akan mengajukan permohonan, harus diurus dulu surat-surat waris (keterangan
waris) yang menunjukkan bahwa pemohon adalah ahli waris yang sah dari orang
yang bersangkutan. Jika pemohon adalah pembeli akhir dari tanah dimaksud, maka
pemohon harus membuktikannya dengan melampirkan asli Akta Jual Beli (AJB) tanah
yang berkenaan.
Mengapa Setelah Terbit Sertifikat Tanahnya, Asli Akta Jual Beli dan Asli Surat-Surat Tidak Dikembalikan Ke Kami?
Surat-surat tanah yang asli beserta akta jual beli
tersebut digunakan sebagai bukti pendaftaran tanah, dan juga dasar penerbitan
sertifikat tanah yang Anda terima. Hal ini juga mencegah agar asli surat-surat
tanah dan Akta Jual Beli (AJB) tersebut tidak beredar lagi di masyarakat untuk
diperjual belikan. Sehingga tidak terjadi potensi konflik di kemudian hari.
Kekuatan Pembuktian Tanah Girik yang Belum Bersertifikat
Dalam kaitan pembuktian hak kepemilikan atas tanah,
Girik hanya diakomodasi sebagai salah satu bukti untuk melakukan pendaftaran
atas tanahnya dalam hal memperoleh sertifikat hak. Hal ini selaras dengan
ketentuan yang terdapat pada Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang menyatakan bahwa:
“Untuk
pendaftaran hak-hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama
dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa
bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan
yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara
sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara
sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak
lain yang membebaninya.”
Satu di antara bukti tertulis yang disebut oleh Penjelasan
Pasal 24 ayat (1) Huruf k Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah di atas adalah Petuk Pajak Bumi/Landrente,
Girik, Pipil, Kekitir, dan Verponding Indonesia untuk hal
sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran
Tanah. Jadi, Girik bukan bukti hak atas tanah, tetapi dapat menjadi
bukti tertulis untuk melakukan pendaftaran atas tanah yang berasal dari tanah
hak adat. Secara langsung atau tidak langsung, sebenarnya pendaftaran tanah
dari tanah bekas hak adat berkaitan dengan konversi hak atas tanah tersebut,
yang memang sejak keluarnya UUPA, tanah hak adat dan hak Barat harus dikonversi
atau disesuaikan atau diubah dari peraturan hukum tanah Indonesia lama menjadi
peraturan yang baru.
Jadi lengkapnya Girik tidak dapat menjadi bukti
kepemilikan hak atas tanah. Girik juga tidak kuat dalam melakukan pembuktian
dalam kasus sengketa di Pengadilan, kecuali untuk melakukan penggugatan atas
bukti lain yang tidak sah, di mana Girik masih harus didampingi oleh penguatan
alat bukti lain, seperti surat keterangan Kepala Desa dan atau tentang sejarah
kepemilikan tanah tersebut yang benar dan kuat.
Girik juga tidak dapat menjadi jaminan untuk
memperoleh pinjaman dari lembaga perbankan, berbeda halnya dengan Sertifikat
hak. Dari keberadaan Girik yang justru sering mengundang sengketa dan juga
pemahaman yang salah dari masyarakat itulah, maka melalui Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-15/PJ.6/1993, tanggal 27 Maret
1993, yang kemudian dilakukan penegasan ulang melalui Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak No. SE-44/PJ.6/1998, tanggal 11 November 1998,
dinyatakan bahwa Girik/Petuk D/Kekitir/Keterangan Objek Pajak (KP PBB. 41)
sejak dikeluarkannya surat edaran tersebut dilarang untuk diterbitkan lagi di
wilayah Indonesia.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia
yang ada di sini. Terima
Kasih.