layananhukum

Bolehkah Perusahaan Memberhentikan Karyawan Perempuan Hamil Dengan Alasan Penurunan Penilaian Kerja?

Ilustrasi Wanita Hamil Sedang Bekerja dari Rumah

Posisi Kasus:

1.        Bahwa saya terhitung bekerja sejak hari selasa tanggal 1 Maret 2022 sampai dengan tanggal 1 Februari 2024, 720 (tujuh ratus dua puluh) hari, ± 2 (dua) tahun, sebagai pekerja/karyawan kontrak pada PT/CV/PD …… dengan status sebagai Guru Bahasa Jepang dan Bahasa Indonesia dengan posisi junior staff sebagaimana Surat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu No………tanggal……;

2.       Bahwa besaran upah/gaji yang saya terima dengan status sebagai Guru Bahasa Jepang dan Bahasa Indonesia dengan posisi junior staff sebagaimana ketentuan Pasal 2 Surat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu No………tanggal…… sebesar….. Rp…. (terbilang) yang terdiri dari gaji/upah pokok dengan tunjangan tetap;

3.      Bahwa jam kerja/waktu kerja dalam 1 (bulan) adalah 168 (seratus enam puluh delapan) jam dan 6 (enam) hari (senin-sabtu), apabila melebihi waktu kerja tidak diberikan upah/uang lembur, melainkan libur di hari berikutnya atau hari yang lain;

4.       Bahwa terdapat bonus yang diberikan (di luar upah/gaji dan tunjangan tetap) berdasarkan penilaian dari perusahaan;

5.       Bahwa apabila saya melakukan pelanggaran dan mendapatkan surat peringatan 3 (tiga) kali berturut-turut maka perusahaan berhak memberikan sanksi kepada saya yang dapat mengakibatkan pemecatan (vide Pasal 4 ayat(2) Surat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu No………tanggal……);

6.      Bahwa apabila saya mengundurkan diri sebelum kontrak selesai maka perusahaan tidak akan membayar gaji saya (vide Pasal 4 ayat(5) Surat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu No………tanggal……);

7.       Bahwa kondisi saya sedang hamil dan masih aktif bekerja sampai dengan tanggal…... Sekira tanggal ……… saya mengalami pendarahan sewaktu bekerja, dan kemudian dirawat beberapa hari dan oleh dokter yang memeriksa saya, beliau mengatakan kondisi saya yang sedang hamil berisiko tidak boleh capek dan stress. Kemudian, saya report semua pernyataan dokter tersebut ke atasan saya, dan atasan saya awalnya tidak mempermasalahkan, akan tetapi beberapa hari yang lalu ada informasi yang saya dengar kalau saya akan dipecat karena tidak bisa kerja secara maksimal (karena kondisi kehamilan saya).

Pertanyaan

Bolehkah perusahaan memecat wanita hamil dengan alasan tidak bisa bekerja secara maksimal? Di samping itu saya sangat butuh pekerjaan ini untuk menghidupi saya dan bayi saya untuk ke depannya. Mohon solusinya, terima kasih.

Jawaban

Pertama-tama….

Status Anda Sebagai Pekerja

Status Anda adalah karyawan kontrak, yang dalam hukum itu disebut dengan pekerja/karyawan PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) atau yang juga disebut dengan pekerja/karyawan bersifat tidak tetap. Yang mana disebutkan bahwa Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (PKWT) didasarkan atas:

1)       Jangka waktu; atau

2)      Selesainya suatu pekerjaan tertentu. (vide Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)

Berdasarkan Surat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu No………tanggal……  yang Anda dan perusahaan Anda sepakati ada menyebutkan mengenai jangka waktunya PKWT Anda, yang dimaksud dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) didasarkan atas jangka waktu tersebut adalah:

“Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.”  (vide Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)

Pencatatan PKWT

Perlu dipahami bahwa PKWT harus dicatatkan oleh Pengusaha pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan secara daring paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak penandatanganan PKWT. Dalam hal pencatatan PKWT secara daring belum tersedia maka pencatatan PKWT dilakukan oleh Pengusaha secara tertulis di dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota,paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak penandatanganan PKWT. (vide Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja)

Artinya, PKWT saudari wajib didaftarkan perusahaan di Disnaker di wilayah perusahaan saudari bekerja, untuk memastikan terjaminnya dan tertib administrasi serta bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap kejelasan status Anda tersebut.

Pemberian Uang Kompensasi PKWT

Pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada Pekerja/Buruh yang hubungan kerjanya berdasarkan PKWT. Untuk pemberian uang kompensasi tersebut dilaksanakan pada saat berakhirnya PKWT, yang mana uang kompensasi sebagaimana dimaksud diberikan kepada Pekerja/Buruh yang telah mempunyai masa kerja paling sedikit 1 (satu) bulan secara terus menerus. Apabila PKWT tersebut diperpanjang, uang kompensasi diberikan saat selesainya jangka waktu PKWT sebelum perpanjangan dan terhadap jangka waktu perpanjangan PKWT, uang kompensasi berikutnya diberikan setelah perpanjangan jangka waktu PKWT berakhir atau selesai. Namun, pemberian uang kompensasi tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang dipekerjakan oleh pemberi kerja dalam Hubungan Kerja berdasarkan PKWT.(vide Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja)

Berakhirnya PKWT dan Besaran Uang Kompensasi

Perjanjian kerja berakhir apabila:

a.       Pekerja/buruh meninggal dunia;

b.      Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;

c.       Selesainya suatu pekerjaan tertentu;

d.      Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau

e.       Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja Bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.” (Pasal 81 Angka 16 sebagaimana dengan perubahan Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja)

Jadi tidak ada ya, aturan yang mengatakan bahwa apabila Anda melakukan pelanggaran dan mendapatkan surat peringatan 3 (tiga) kali berturut-turut maka perusahaan berhak memberikan sanksi kepada Anda yang dapat mengakibatkan pemecatan. Itu sangat keliru dan melanggar ketentuan ketenagakerjaan! Dengan catatan, apabila perusahaan tidak membayarkan ganti rugi sisa dari kontrak, atau paling tidak dengan dilakukan upaya perselisihan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang memutuskan dan para pihak dapat menempuh terlebih dahulu agar terjaminnya keadilan bagi pekerja tersebut.

Apalagi sebagaimana ketentuan Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyatakan bahwa:

“Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda.”

Kemudian disebutkan bahwa pemerintah yang mengatur mengenai pengenaan denda kepada pekerja/buruh, dalam pembayaran upah. (vide Pasal 95 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)

Kemudian, berdasarkan Pasal 63 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 35 tentang Pengupahan, menyebutkan bahwa Pemotongan Upah oleh Pengusaha dapat dilakukan untuk pembayaran:

a.       Denda;

b.      Ganti rugi;

c.       Uang muka Upah;

d.      Sewa rumah dan/atau sewa barang milik Perusahaan yang disewakan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh;

e.       Utang atau cicilan utang Pekerja/Buruh; dan/atau

f.        Kelebihan pembayaran Upah.

Pemotongan Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c (di atas) dilakukan sesuai dengan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Pemotongan upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf keharus dilakukan berdasarkan kesepakatan tertulis atau perjanjian tertulis. Sedangkan, Pemotongan Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dilakukan tanpa persetujuan Pekerja/Buruh. (vide Pasal 63 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat  (4) Peraturan Pemerintah Nomor 35 tentang Pengupahan)

Artinya, melakukan pelanggaran secara sengaja, Anda akan dikenakan denda dan denda atas pelanggaran hanya dapat diberikan apabila hal itu diatur secara tegas dalam suatu perjanjian tertulis atau peraturan perusahaan. Jadi, sangat tidak tepat apabila jatuhnya pemecatan, itu yang kami sebut dengan sangat keliru dan melanggar ketentuan ketenagakerjaan!

Kemudian, perlu dipahami bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf b dan huruf c tersebut di atas, Pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada pekerja/buruh. Uang kompensasi sebagaimana dimaksud diberikan kepada pekerja/buruh sesuai dengan masa kerja pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan. Ketentuan lebih lanjut mengenai uang kompensasi diatur dalam Peraturan Pemerintah. (vide Pasal 81 Angka 17 Penambahan Pasal 61A ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja)

Kemudian, mengenai besaran uang kompensasi diberikan sesuai dengan ketentuan sebagai berikut:


Catatan tambahan:

-        Upah sebagaimana dimaksud digunakan sebagai dasar perhitungan pembayaran uang kompensasi terdiri atas Upah pokok dan tunjangan tetap. Yaitu upah pokok Anda perbulan Rp. 3.700.000,- (tiga juta tujuh ratus ribu rupiah) dan tempat tinggal (kos) Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah)

-        Dalam hal Upah di Perusahaan tidak menggunakan komponen Upah pokok dan tunjangan tetap maka dasar perhitungan pembayaran uang kompensasi yaitu Upah tanpa tunjangan.

-        Dalam hal Upah di perusahaan terdiri atas Upah pokok dan tunjangan tidak tetap maka dasar perhitungan uang kompensasi yaitu Upah pokok.

-        Dalam hal PKWT berdasarkan selesainya suatu pekerjaan lebih cepat penyelesaiannya dari lamanya waktu yang diperjanjikan maka uang kompensasi dihitung sampai dengan saat selesainya pekerjaan.

Besaran uang kompensasi untuk Pekerja/Buruh pada usaha mikro dan usaha kecil diberikan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh. Dalam hal salah satu pihak mengakhiri Hubungan Kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam PKWT, Pengusaha wajib memberikan uang kompensasi besarannya dihitung berdasarkan Jangka waktu PKWT yang telah dilaksanakan oleh Pekerja/Buruh. (vide Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021, ini hanya berlaku bagi pengusaha sebagaimana ketentuan Pasal 61A)

Namun perlu diketahui juga, apabila salah satu pihak dalam hal ini perusahaan mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaanpihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangkawaktu perjanjian kerja. (vide Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)

Ini berlaku bagi para pihak yang mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan.

Contoh, bekerja dari tanggal 1 Maret 2022 sampai dengan 25 Agustus 2022 dan sisa bulan sampai dengan 1 Februari 2024 adalah± 16 (enam belas) bulan. Artinya sisa upah ± 16 (enam belas) bulan, wajib dibayarkan pihak perusahaan berdasarkan ketentuan yang sudah kami jabarkan.

Berarti, Rp. 4.700.000,- x 16 (enam belas) bulan = Rp 75.200.000,- (tujuh puluh lima juta dua ratus ribu rupiah), ini dapat Anda hitung lagi saja, apabila kami keliru terkait sisa bulan dari kontrak Anda.

Mengenai Peraturan Perusahaan

Peraturan Perusahaan adalah Peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat syarat kerja dan tata tertib perusahaan. Sebagaimana Pasal 108 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Namun, kewajiban membuat peraturan perusahaan tidak berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Ini pun diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 28 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.

Artinya, wajib bagi perusahaan Anda menunjukkan pada Anda Peraturan Perusahaan tersebut, agar dapat juga memahami dengan baik bahwa secara administrasi perusahaan Anda telah tertib dan dengan adanya Peraturan Perusahaan tersebut perusahaan telah memenuhi tanggung jawab serta kewajibannya. (vide Pasal 5 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 28 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama)

Ketentuan Waktu Kerja

Berdasarkan perjanjian kerja Anda, jam kerja/waktu kerja dalam 1 (bulan) adalah 168 (seratus enam puluh delapan) jam dan 6 (enam) hari (senin-sabtu), apabila melebihi waktu kerja tidak diberikan upah/uang lembur, melainkan libur di hari berikutnya atau hari yang lain.

Sebagaimana ketentuan Pasal 81 Angka 22 Sebagaimana Perubahan Ketentuan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja:

“Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat:

a.       ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan

b.      waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling lama 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu.”

Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud di atas wajib membayar upah kerja lembur. Ketentuan Waktu Kerja Lembur sebagaimana dimaksud juga tidak termasuk kerja lembur yang dilakukan pada waktu istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi.

Untuk melaksanakan Waktu Kerja Lembur harus ada perintah dari Pengusaha dan persetujuan dari Anda secara tertulis dan/atau melalui media digital. Perintah dan persetujuan sebagaimana dimaksud dapat dibuat dalam bentuk daftar Pekerja/Buruh yang bersedia bekerja lembur yang ditandatangani oleh Pekerja/Buruh yang bersangkutan dan Pengusaha. Kemudian, pengusaha sebagaimana dimaksud harus membuat daftar pelaksanaan kerja lembur yang memuat nama Pekerja/Buruh yang bekerja lembur dan lamanya Waktu Kerja Lembur. (vide Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja) Intinya, perusahaan wajib membayar lembur Anda!

Aturan Mengenai Pekerja Perempuan yang Hamil

Disebutkan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. (vide Pasal 76 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)

Kemudian, disebutkan bahwa barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dikenai sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (vide Pasal 81 Angka 65 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja)

Ada beberapa catatan bila mengacu pada ketentuan di atas:

1.        Dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya;

2.       Apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00;

Kemudian mengenai waktu, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 27 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan definisi siang hari adalah waktu antara pukul 06.00 – 18.00, maka, menurut hemat kami, malam hari dihitung setelah pukul 18.00. Hanya saja apabila merujuk pada Undang-Undang tersebut ada kekosongan hukum antara jam 18.00 sampai dengan jam 23.00.

Mengingat bahwa ada keterbatasan pengaturan, bagaimana dengan kondisi perempuan yang tengah hamil akan tetapi tidak dimungkinkan bekerja padahal sudah ada keterangan dokter yang mengeluarkan itu secara resmi?

Ada beberapa ketentuan sebagai berikut yang mengatur, antara lain:

Kewajiban Memenuhi Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Sebagaimana ketentuan Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa:

“Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:

a.       Keselamatan dan kesehatan kerja;

b.      Moral dan kesusilaan; dan

c.       Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.”

Upaya keselamatan dan kesehatan kerja dimaksudkan untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja/buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi. (vide Penjelasan Pasal 86 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Artinya, setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan. (vide Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)

Yang dimaksud dengan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, pelaksanaan, tanggung jawab, prosedur, proses, dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif. (vide Penjelasan Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)

Jadi, apabila sampai terbukti bahwa pengusaha mengabaikan keselamatan dan kesehatan kerja Anda yang patut diketahui dengan dilakukannya dapat mengganggu kesehatan ibu dan/atau janinnya, bahkan menyebabkan keguguran, maka perusahaan telah melanggar ketentuan Pasal 86 dan Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dan mengenai hal tersebut dapat dikenakan sanksi administrasi terhadap perusahaan tersebut. (vide Pasal 81 Angka 67 Perubahan Pasal 190 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja)

Mengenai Cuti Hamil atau Melahirkan

Jika kita berbicara mengenai aturan di level internasional, sebagaimana Pasal 11 ayat (2) Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) sebagaimana yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimanation Against Women), menyebutkan bahwa dalam rangka mencegah diskriminasi terhadap perempuan berdasarkan perkawinan atau kehamilan, dan untuk memastikan agar hak ini bekerja dengan baik, Negara-negara Pihak harus melakukan upaya-upaya yang tepat:

a.       Untuk melarang pemecatan atas dasar kehamilan atau cuti hamil, dan diskriminasi dalam pemecatan berdasarkan status perkawinan, dan larangan ini ditunjang dengan sanksi-sanksi;

b.      Untuk memberlakukan cuti hamil yang dibayar atau dengan tunjanagan sosial yang seimbang tanpa kehilangan pekerjaan yang ada, senioritas atau tunjangan sosial;

c.       Untuk mendorong ketentuan tentang dukungan pelayanan sosial yang dibutuhkan guna memungkinkan orangtua mengkombinasikan kewajiban keluarga dengan tanggungjawab pekerjaan dan partisipasi dalam kehidupan masyarakat, terutama melalui pendirian dan pengembangan jaringan kerja untuk fasilitas penitipan anak;

d.      Untuk memberikan perlindungan khusus bagi perempuan selama hamil terhadap bentuk pekerjaan yang terbukti membahayakan mereka.

Kemudian, Pasal 3 K103 Konvensi tentang Perlindungan Wanita Hamil (Disempurnakan tahun 1952), yang menyatakan bahwa:

1.        Wanita untuk siapa Konvensi berlaku, setelah menunjukkan keterangan medis yang menyatakan perkiraan tanggal melahirkannya, berhak untuk mendapatkan cuti hamil.

2.       Masa cuti hamil harus sekurang-kurangnya duabelah minggu, dan harus meliputi masa cuti wajib setelah melahirkan.

3.      Masa cuti wajib setelah melahirkan akan ditentukan oleh peraturan perundang-undangan negara, tetapi selalu tidak boleh kurang dari enam minggu; sisa seluruh masa cuti hamil dapat diberikan sebelum tanggal melahirkan yang diperkirakan atau setelah berakhirnya masa cuti wajib atau sebagian sebelum tanggal melahirkan yang diperkirakan dan sebagian lagi setelah berakhirnya masa cuti wajib sebagaimana dapat ditentukan oleh peraturan perundang-undangan negara.

4.       Cuti sebelum tanggl melahirkan yang diperkirakan harus diperpanjang selama masa antara tanggal melahirkan yang diperkirakan dan tanggal melahirkan yang sebenarnya dan masa cuti wajib yang dijalani setelah melahirkan tidak boleh dikurangi karena adanya perbaedaan ini.

5.       Dalam hal sakit yang secara medis diterangkan sebagai timbul karena kehamilan, maka peraturan perundang-undangan negara harus menentukan cuti tambahan sebelum melahirkan, yang masa maksimumnya dapat ditetapkan oleh pihak yang berwenang.

Disebutkan juga bahwa selama ketidak-hadiran dalam pekerjaan dalm cuti hamil sesuai dengan Pasal 3, wanita yang bersangkutan berhak untuk menerima jaminan dalam bentuk uang dan tunjangan lainnya. (vide Pasal 3 K103 Konvensi tentang Perlindungan Wanita Hamil (Disempurnakan tahun 1952))

Untuk terkhususnya di Indonesia, mengenai cuti hamil/melahirkan itu diatur dalam Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyebutkan bahwa Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Untuk lamanya istirahat dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan dokter kandungan atau bidan, baik sebelum maupun setelah melahirkan. (vide Penjelasan Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)

Perlu dicatat bahwa “Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor  39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyebutkan bahwa perempuan berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi perempuan.

Selain itu, sebagaimana ketentuan Pasal 40 ayat (2) huruf c dan ayat (5) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, menyebutkan bahwa pengusaha tetap diwajibkan membayar upah jika Pekerja/Buruh menjalankan hak waktu istirahat sebelum dan sesudah melahirkan dan pengusaha wajib membayar Upah kepada Pekerja/Buruh yang tidak masuk bekerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena menjalankan hak waktu istirahat atau cutinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5), sebesar Upah yang biasa diterima oleh Pekerja/Buruh. (vide Pasal 46 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan)

Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 46 diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. (vide Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan)

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.

Formulir Isian