Ilustrasi Keterangan Saksi |
Kuasa Hukum Bharada Richard Eliezer atau Bharada E,
Deolipa Yumara dan Muhammad Burhanuddin mengajukan permohonan resmi Justice
Collaborator untuk kliennya dalam kasus penembakan Brigadir
Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J ke Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK), pada Senin, 8 Agustus 2022.
Sebelum membahas lebih jauh, mengenai Saksi Pelaku
atau Justice Collaborator, kami akan menjelaskan terlebih dahulu
mengenai Keterangan Saksi dalam Hukum Pidana Positif, mengingat bahwa
“Keterangan Saksi” merupakan bagian yang tak terpisahkan untuk
kepentingan Pro Justitia yaitu sidang di pengadilan.
Pengertian Saksi
Saksi dalam bahasa Indonesia merupakan kata benda yang berarti “orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian).”[1] Sedangkan berdasarkan Pasal 1 Angka 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang dimaksud dengan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Akan tetapi, sejak Senin, 8 Agustus 2011, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010, ketentuan ini dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang pengertian saksi tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.
Mahkamah tidak memberikan penjelasan serta batasan
yang cukup jelas mengenai sejauh mana seseorang dan nilai keterangannya dapat
bernilai sebagai Saksi dan Keterangan Saksi. Pertimbangan yang Mahkamah berikan
untuk memutuskan perkara tersebut hanya menjelaskan bahwa “nilai kesaksian
saksi bukanlah terletak apakah dia melihat, mendengar dan mengalami sendiri
suatu peristiwa. Namun, terletak pada sejauh mana relevansi kesaksian yang
diberikan terhadap perkara yang sedang berjalan.”[2]
Sedangkan dalam Pasal 1 Angka 1
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, menyebutkan bahwa:
“Saksi
adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu
tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami
sendiri.”
Syarat-Syarat Menjadi Saksi
Keterangan Saksi adalah satu di antara alat bukti dari
5 (lima) alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
Sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 27 KUHAP menyebutkan
bahwa:
“Keterangan
saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan
dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”
Sedangkan menurut Pasal 185 ayat (1) KUHAP,
memberikan Batasan pengertian “Keterangan Saksi” dalam kapasitasnya sebagai
alat bukti dengan redaksional bahwa:
“Keterangan
saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.”
Selanjutnya,
dalam praktik agar keterangan saksi mempunyai nilai pembuktian pada dasarnya
keterangan saksi tersebut haruslah memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:
a.
Syarat
Formil
Bahwa
keterangan saksi hanya dapat dianggap sah, apabila diberikan memenuhi syarat
formil, yaitu saksi memberikan keterangan di bawah sumpah,[3] apabila
keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang
lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan
keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat
bukti sah yang lain.[4] Jika
berbicara sumpah sebagaimana Pasal 160 ayat (3) KUHAP,
identiknya pasal tersebut adalah keterangan saksi di bawah sumpah yang
diberikan di muka penyidik, kemudian dibaca di depan pengadilan, sehingga
keterangan itu nilainya sama dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang
diberikan di muka persidangan sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Nomor 661
K/Pid/1988 tanggal 19 Juli 1990.[5]
Selain
itu, keterangan seseorang atau satu saksi saja tidak dapat dianggap sah sebagai
alat pembuktian (unus testis nullus testis atau een getuige
is geen getuige)[6] mengingat
bahwa tidaklah cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah karena perbuatan yang
didakwakan kepadanya.[7]
b.
Syarat
Materiil
Perihal
syarat materiil menurut Lilik Mulyadi[8] sebagaimana
ketentuan Pasal 1 Angka 27 KUHAP jo. Pasal
185 ayat (1) KUHAP, yang ditentukan:
“Keterangan
saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang
pengadilan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari
pengetahuannya itu.”
Dengan demikian jelas, bahwa dalam menilai kebenaran
keterangan seorang saksi menurut ketentuan Pasal 185 ayat (6) KUHAP,
hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan aspek-aspek:
a.
Persesuaian
antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b.
Persesuaian
antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c.
Alasan yang
mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;
d.
Cara hidup dan
kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi
dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
Jenis-jenis Saksi
Adapun jenis-jenis saksi sebagai berikut:
-
Saksi A
Charge (saksi yang memberatkan)
Saksi ini adalah saksi yang telah dipilih dan diajukan
oleh penuntut umum, dengan keterangan atau kesaksian yang diberikan akan
memberatkan terdakwa, (vide Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP)
-
Saksi A
De Charge (Saksi yang Meringankan)
Saksi ini dipilih atau di ajukan oleh penuntut umum
atau terdakwa atau penasihat hukum, yang mana keterangan atau kesaksian yang
diberikan akan meringankan atau menguntungkan terdakwa. (vide Pasal
160 ayat (1) huruf c KUHAP)
-
Saksi
Korban
Korban disebut sebagai saksi karena status korban di
pengadilan adalah sebagai saksi yang kebetulan mendengar sendiri, melihat
sendiri dan yang pasti mengalami sendiri peristiwa tersebut.[9]
-
Saksi de
Auditu (hearsay evidence)
Saksi de Auditu atau di dalam ilmu
hukum acara pidana disebut testimonium de auditu atau sering
di sebut juga dengan saksi hearsay adalah keterangan seorang
saksi yang hanya mendengar dari orang lain atau bisa disebut dengan report,
gosip, atau rumor. Saksi ini merupakan saksi yang keterangannya bukan ia lihat,
ia dengar maupun ia alami sendiri melainkan pengetahuannya tersebut didasarkan
dari orang lain. Saksi ini bukanlah alat bukti yang sah, akan tetapi
keterangannya perlu di dengar oleh hakim untuk memperkuat keyakinannya.
-
Saksi
Pelapor (Whistleblower)
adalah orang yang melihat, mendengar, mengalami, atau
terkait dengan tindak pidana dan melaporkan dugaan tentang terjadinya suatu
tindak pidana kepada peyelidik atau penyidik. Banyak pandangan-pandangan yang
sering mengungkapkan bahwa Whistleblower merupakan saksi
pelapor, atau orang yang melaporkan suatu tindak pidana korupsi atau
permufakatan jahat kepada aparatur penegak hukum atau penyidik. Namun
sebenarnya seseorang disebut Whistleblower, apabila memenuhi
dua kriteria yaitu:[10] pertama, Whistleblower menyampaikan
atau mengungkap laporan kepada otoritas yang berwenang atau kepada media massa
atau publik. Dengan mengungkapkan kepada otoritas yang berwenang atau media
massa diharapkan dugaan suatu kejahatan dapat diungkap dan terbongkar. Kedua,
seorang Whistleblower merupakan orang ‘dalam’ yaitu orang yang
mengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di tempatnya bekerja
atau ia berada.
-
Saksi
Mahkota (Kroongetuige)
Menurut Firman Wijaya[11],
saksi mahkota atau crown witness adalah salah satu seorang
tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana
yang ditarik sebagai saksi kunci untuk mengungkap pelaku-pelaku lain dengan
iming-iming pengurangan ancamaman hukuman.
Bahwa
jaksa penuntut umum diperbolehkan oleh undang-undang untuk mengajukan teman
terdakwa yang ikut serta melakukan pidana tersebut, sebagai saksi di
persidangan pengadilan negeri, dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya
sebagai terdakwa tidak termasuk dalam “satu berkas perkara” dengan terdakwa
yang diberikan kesaksian (gesplit). Teman terdakwa yang diajukan
sebagai saksi terhadap terdakwa lainnya seperti disebutkan di atas dalam ilmu
hukum disebut “Saksi Mahkota” atau “Kroongetuige”.
-
Saksi
Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator)
adalah pelaku yang bekerja sama yaitu orang baik dalam
status saksi, yaitu sebagai pemberi informasi yang memberikan bantuan kepada
penegak hukum misalnya dalam bentuk pemberian informasi penting, bukti-bukti
yang kuat atau keterangan/kesaksian di bawah sumpah, yang dapat mengungkap
suatu tindak pidana, dimana saksi pelaku tersebut terlibat didalam tindak
pidana yang dilaporkannya.[12]
Penjelasan Lebih Lanjut Mengenai Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator)
Singkat mengenai sejarah adanya istilah Justice
Collaborator ini, pada dasarnya, lahirnya undang-undang yang
memfasilitasi kerjasama Saksi Pelaku Yang Bekerja Sama (Justice Collaborator)
dengan penegak hukum pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun
1970-an. Fasilitasi tersebut tak lain untuk menghadapi para mafia, yang sejak
lama telah menerapkan omerta (sumpah tutup mulut sekaligus
merupakan hukum tertua dalam dunia Mafioso Sisilia).[13]
Pengertian Justice Collaborator berdasarkan Counsil
of Europe Committee of Minister, yaitu:[14]
“..collaborator
of justice” means any person who faces criminal charges, or has been convicted
of taking part in a criminal association or other criminal organization of any
kind, or in offenses of organized crime, but who agrees to cooperate with
criminal justice authorities, particularly by giving a testimony about a
criminal association or organisation, or about any offense connected with
organized crime or other serious crimes.
Pada intinya Collaborator of Justice menurut Counsil
of Europe Committee of Minister yaitu setiap orang yang berperan
sebagai pelaku tindak pidana atau diyakini merupakan bagian dari
tindak pidana dilakukan secara bersama-sama atau kejahatan terorganisasi,
tetapi bersedia untuk bekerja sama dengan penegak hukum dengan cara memberikan
kesaksian mengenai bentuk-bentuk tindak pidana menyangkut kejahatan
terorganisasi atau kejahatan serius lainnya.
Secara tersurat, penyebutan Justice
Collaborator belum ada diatur dalam KUHAP, akan tetapi dalam
perkembangan melalui Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun
2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi
Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak
Pidana Tertentu menjelaskan bahwa seorang pelaku yang bekerjasama
(Justice Collaborator) merupakan salah satu pelaku tindak
pidana tertentu, mengenai kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku
utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai
saksi di dalam proses peradilan.[15] Kemudian,
sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, menyatakan:
“Saksi
Pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan
penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama.”
Sebagaimana ketentuan di atas, menyebutkan istilah “Saksi Pelaku”, artinya memilki kesamaan dengan definisi istilah Justice Collaborator yang merupakan istilah yang digunakan terhadap seseorang yang menjadi saksi namun juga berperan bersma-sama sebagai pelaku kejahatan.
Di Indonesia sendiri saksi yang juga sekaligus sebagai pelaku ini di kenal dengan beberapa istilah antara lain: Saksi Pelaku (sebagaimana yang sudah disebutkan), Saksi Pelaku yang Bekerja Sama / Justice Collaborator, dan Saksi Mahkota.
Menurut Lilik Mulyadi, ketentuan mengenai Saksi Pelaku
(sebagaimana yang sudah disebutkan), Saksi Pelaku yang Bekerja Sama / Justice
Collaborator, dan Saksi Mahkota, sepintas diatur dalam ketentuan Pasal
142 KUHAP, yang menyebutkan:
“Dalam
hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak
pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalm
ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap
masing-masing terdakwa secara terpisah.”
Dalam praktik peradilan, eksistensi jenis saksi ini
tampak apabila terdakwa yang sama-sama sebagai pelaku tindak pidana kemudian
perkaranya dipisahkan menjadi berkas perkara sendiri (splitsling perkara)
yang kedua-duanya satu sama lain saling menjadi saksi. Konkretnya, status
mereka masing-masing adalah sebagai terdakwa sekaligus juga sebagai saksi
terhadap perkara lainnya.[16]
Akan tetapi antara Saksi Pelaku yang Bekerja Sama
/ Justice Collaborator dan Saksi Mahkota memiliki perbedaan
yang signifikan, dengan mengutip pendapat dari Adithiya Diar[17] pengaturan
mengenai Justice Collaborator atau Saksi Pelaku yang Bekerja
Sama merupakan suatu hal yang baru, yaitu diambil dari ide Justice
Collaborator yang sebenarnya bertitik tolak dari ketentuan Pasal
37 ayat (2) UNCAC Tahun 2003.
Akan tetapi banyak pakar yang berpendapat bahwa
sebelum adanya istilah Justice Collaborator dalam sistem
pembuktian hukum pidana Indonesia, terdapat istilah “saksi mahkota” atau crown
witness yakni salah satu pelaku tindak pidana ditarik sebagai saksi
kunci untuk mengungkap pelaku-pelaku yang lain dengan iming-iming pengurangan
ancaman hukuman. Sehingga menyamakan antara Justice Collaborator dan
saksi mahkota.
Atas pendapat tersebut, ada syarat-syarat yang tidak
berkesesuaian dalam penerapan Justice Collaborator dan saksi
mahkota. Dalam Justice Collaborator memiliki 3 (tiga) syarat
yang harus dipenuhi, yaitu:
-
Mengakui
kejahatan yang dilakukannya;
-
Bukan pelaku
utama dalam kejahatan tersebut; dan
-
Memberikan
keterangan saksi dalam proses pengadilan.
Sebagaimana berdasarkan Pasal 4 Peraturan
Bersama Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung
Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi
Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi Dan
Korban Republik Indonesia Nomor: M.Hh 11.Hm.03.02.Th.2011, Nomor :
Per-045/A/Ja/12/2011, Nomor : 1 Tahun 2011, Nomor : Kepb-02/01-55/12/2011,
Nomor : 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor Dan Saksi
Pelaku Yang Bekerjasama, menyebutkan (secara spesifik), bahwa syarat
untuk mendapatkan perlindungan sebagai Saksi Pelaku yang Bekerja Sama adalah
sebagai berikut:
a.
tindak pidana
yang akan diungkap merupakan tindak pidana serius dan/atau terorganisir;
b.
memberikan
keterangan yang signifikan, relevan dan andal untuk mengungkap suatu tindak
pidana serius dan/atau terorganisir;
c.
bukan pelaku
utama dalam tindak pidana yang akan diungkapnya;
d.
kesediaan
mengembalikan sejumlah aset yang diperolehnya dari tindak pidana yang
bersangkutan, hal mana dinyatakan dalam pernyataan tertulis; dan
e.
adanya ancaman
yang nyata atau kekhawatiran akan adanya ancaman, tekanan, baik secara fisik
maupun psikis terhadap saksi pelaku yang bekerjasama atau keluarganya apabila
tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.
Sementara itu, syarat untuk saksi mahkota yaitu:
-
Dalam perkara
delik penyertaan;
-
Terdapat
kekurangan alat bukti; dan
-
Diperiksa dengan
mekanisme pemisahan (splitsing).
Dengan demikian telah jelas dan terang bahwa istilah dan konsekuensi dari Saksi Mahkota dan Justice Collaborator adalah berbeda satu sama lain, hal mana Saksi Mahkota terjadi karena inisiatif pemisahan perkara (splitsing) yang dilakukan penuntut umum terhadap beberapa pelaku yang diduga melakukan beberapa tindak pidana, sehingga salah satu pelaku dapat menjadi saksi bagi pelaku lainnya dalam perkara yang berbeda (begitupula sebaliknya).
Sedangkan, Justice Collaborator
adalah kesediaan yang merupakan inisiatif dari salah satu pelaku tindak pidana
tertentu (yang bukan pelaku utama) untuk mengakui kejahatan dan membantu
pengungkapan suatu tindak pidana tertentu dengan cara memberikan keterangan
sebagai saksi.
Selain itu, Andojo Soetjipto menyatakan bahwa cara pembuktian
dengan menggunakan saksi mahkota (kroongetuige) tidaklah dibenarkan dan
dilarang menurut Ilmu Pengetahuan Hukum. Larangan penggunaan saksi
mahkota ini juga ditemui dalam Yurisprudersi Mahkamah Agung Nomor
1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 jo. Nomor
1592 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 yang
menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap saksi mahkota sebaiknya
tidak dilakukan karena hal itu bertentangan dengan hukum acara pidana yang
menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Karena praktik splitsing tersebut telah membenturkan
asas-asas hukum pidana yang berlaku universal, yaitu di satu sisi memberikan
hak ingkar bagi Terdakwa, namun di sisi lainnya memberikan ancaman pidana
bagi pelaku lain (dalam suatu perbuatan yang sama), yang karena pemisahan
perkara (splitsing) tersebut ditetapkan menjadi saksi yang dapat untuk
memberikan keterangan palsu di bawah sumpah, sehingga praktik splitsing
tersebut dinilai bertentangan dengan asas Non Self Incrimination.
Dalam tataran Undang-undang Justice
Collaborator dapat ditemui pada Pasal 10A ayat (1)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang Nomor 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menegaskan bahwa Saksi
Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan
penghargaan atas kesaksian yang diberikan. Penanganan secara khusus tersebut
diatur dalam Pasal 10A ayat (2), yaitu:
a.
Pemisahan tempat
penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan tersangka,
terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya;
b.
Pemisahan
pemberkasan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa
dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya;
dan/atau
c.
Memberikan
kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang
diungkap tindak pidananya.
Adapun reward atau penghargaan
bagi Justice Collaborator diatur dalam Pasal 10A
ayat (3) yang dengan tegas menyatakan Penghargaan atas kesaksian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.
Keringanan
penjatuhan pidana; atau
b.
Pembebasan
bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana.
Kemudian dalam Penjelasan Pasal 10A ayat
(3) huruf a diatas adalah:
“Yang
dimaksud dengan “keringanan penjatuhan pidana” mencakup pidana percobaan,
pidana bersyarat khusus, atau penjatuhan pidana yang paling ringan di antara
terdakwa lainnya.”
Dalam hal keringanan perjatuhan pidana, LPSK
memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam
tuntutannya kepada hakim. Begitu pula untuk memperoleh penghargaan berupa
pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain.
Namun ketentuan-ketentuan di atas belumlah cukup
mengakomodasi keringanan hukuman bagi Justice Collaborator.
Mengingat, bahwa jumlah maksimum pengurangan hukuman bagi Justice
Collaborator masih belum ditemui dalam peraturan perundang-undangan
terkait. Jika dibandingkan dengan Belanda, jelas mengatur bahwa bagi Justice
Collaborator akan mendapatkan pengurangan maksimum 50% dari hukuman pelaku
lainnya.[18] Sementara
di Indonesia pengurangan ini masih ambigu jika dilihat dari penjelasan Pasal
10A ayat (3) huruf a, dengan diksinya: “keringanan penjatuhan pidana”
mencakup pidana percobaan, pidana bersyarat khusus, atau penjatuhan pidana yang
paling ringan di antara terdakwa lainnya.
Ketentuan ini makin tidak jelas dengan keberadaan
penjelasan Pasal tersebut. Berapa Batasan pengurangannya dibandingkan dengan
terdakwa lain? Pertanyaan semacam ini tidak ditemukan jawabannya dalam
ketentuan peraturan perundang-undang terkait. Oleh karenanya ketentuan ini yang
belum berkepastian hukum. Padahal di Belanda dengan penerapan strategi
“pengurangan maksimum 50% dari pelaku lain”, menjadi daya tarik tersendiri bagi
saksi pelaku untuk bercerita tentang segala hal yang dia tahu, sehingga dapat membuka
secara terang perkara yang melibatkan dirinya. Jika ketentuan jumlah
pengurangan hukuman tidak disebutkan, maka tidak akan ada kepastian hukum dan
sangat sulit untuk mengajak seseorang ataupun sekelompok orang untuk
bekersajama dalam membongkar suatu tindak pidana tertentu yang terorganisasi.
Oleh karenanya, untuk di masa yang akan datang perlu
ada norma yang berkepastian hukum dalam menentukan pengurangan hukuman
sebagai reward atau penghargaan kepada seseorang yang
menyandang Justice Collaborator agar bagi mereka yang
menyandang gelar Justice Collaborator selain dilindungi juga
diperlakukan semestinya.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia
yang ada di sini. Terima
Kasih.
[1] W.J.S. Poerwadarminta, “Kamus Umum
Bahasa Indonesia”, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), 825.
[2] vide Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010, 89.
[3] vide Pasal
160 ayat (3) KUHAP.
[4] vide Pasal
185 ayat (7) KUHAP.
[5] Majalah Varia
Peradilan, No.63, Penerbit: Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Desember 1990,
115-127.
[6] Andi Muhammad Sofyan dan Abd Asis, “Hukum
Acara Pidana”, (Jakarta : Kencana, 2014), 236.
[7] vide Pasal
185 ayat (2) KUHAP.
[8] Lilik Mulyadi, “Hukum Acara Pidana
Normatif, Teoretis, Praktik, dan Permasalahannya”, (Bandung: Penerbit PT Alumni,
2007), 174.
[9] Muhandar, “Perlindungan Saksi dan
Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana”, (Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010),
5.
[10] Abdul Haris Semendawai, dkk, “Memahami
Whistleblower”, (Jakarta: Penerbit Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK),
2011), 1-2.
[11] Ibid,
11.
[12] Rahman Amin, “Perlindungan Hukum
Justice Collaborator”, (Yogyakarta: CV Budi Utama, 2020), 69.
[13] Lilik Mulyadi, “Perlindungan Hukum terhadap
Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam Upaya Penanggulangan
Organized Crime”, (Bandung: PT. Alumni, 2020), 5.
[14] Recommendation Rec (2005)9 of the
Committee of Ministers, to member states on the protection of witnesses and
collaborators of justice, Adopted by the Committee of Ministers on 20 April
2005 at the 924th meeting of the Ministers’ Deputies, 7.
[15] Firman Wijaya,
“Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam
Perspektif Hukum, (Jakarta: Penaku, 2012), 23.
[16] Lilik Mulyadi, “Perlindungan Hukum terhadap
Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam Upaya Penanggulangan
Organized Crime”, op.cit., 78.
[17] Adithiya Diar, “Perbandingan
Penyelesaian Perkara Korupsi Delik Suap Antara Indonesia dan Belanda”, (Penerbit
CV Azka Pustaka, 2021), 247-249.
[18] Prof. mr. J.H. Crijns, et al., “Collaboration
with Justice in the Netherlands, Germany, Italy and Canada A comparative study
on the provision of undertakings to offenders who are willing to give evidence
in the prosecution of others”, (Leiden University, 2017), 104-105.