layananhukum

Putusnya Perkawinan Karena Perceraian beserta Akibat Hukumnya Bagi Non-Islam di Pengadilan

 

Ilustrasi: Cerai berdampak pada Anak

    Pengantar

    Tujuan perkawinan adalah untuk menciptakan keluarga yang Bahagia dan kekal. Tujuan luhur tersebut pada dasarnya akan selalu diniatkan oleh setiap pasangan yang melangsungkan suatu perkawinan, bahkan dengan dukungan kubu keluarga ataupun masyarakat sekitarnya.[1]

    Akan tetapi layaknya lagu Noah – Tak Ada yang Abadi, “takkan selamanya, tanganku mendekapmu, takkan selamanya raga ini menjagamu,” bahwa akan ada waktunya setiap perkawinan pasti akan bubar atau putus. Ini ditegaskan sebagaimana ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan:

    “Perkawinan dapat putus karena:

    a.   Kematian;

    b.   Perceraian;

    c.   Atas keputusan pengadilan.”

    Bila dibandingkan dengan aturan putus atau bubarnya suatu perkawinan yang ada dalam Pasal 199 KUHPerdata memang sedikit berbeda, yang menyatakan:

    “Perkawinan bubar:

    1.    Oleh kematian;

    2.   Oleh tidak hadirnya si suami atau si isteri selama 10 (sepuluh) tahun, yang disusul oleh perkawinan baru isteri atau suaminya sesuai dengan prosedur;

    3.   Oleh keputusan hakim setelah pisah meja dan tempat tidur;

    4.   Oleh Perceraian.”

    Jika Anda membaca tulisan kami yang berjudul “Perbedaan antara Cerai Gugat dan Khuluk oleh Istri di Pengadilan Agama”, yang mana dengan mengutip Prof. Subekti, menyebutkan perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan berdasarkan alasan-alasan yang tersebut dalam undang-undang.[2]

    Kewenangan Pemeriksaan di Pengadilan Negeri

    Bahwa berdasarkan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menegaskan bahwa:

    “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.” 

    Dari ketentuan pasal di atas bahwa suatu peristiwa penting yang disebut dengan perceraian[3] hanya dapat dilaksanakan apabila dilakukan:

    1)       Di muka sidang Pengadilan; dan

    2)      Setelah Hakim tidak berhasil mendamaikan Para Pihak.

    Dari ketentuan di atas jelas bahwa peristiwa hukum atau peristiwa penting dalam Hukum Administrasi Kependudukan yang disebut dengan perceraian tidak boleh dilaksanakan secara liar (illegal) di luar dari pengawasan negara.[4]

    Akan tetapi timbul pertanyaan, apa yang dimaksud dengan “hanya terjadi di muka sidang pengadilan”? Dalam ketentuan tersebut hanya menyebutkan istilah “pengadilan”, padahal ada beberapa jenis pengadilan yang ada.

    Untuk memahami pasal tersebut maka pasal tersebut harus dikaitkan dengan Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyebutkan:

    “Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-Undang ini ialah:

    a.   Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam;

    b.   Pengadilan Umum bagi lainnya.”

    Kemudian, apa yang dimaksud dengan “Pengadilan Umum bagi lainnya” sebagaimana ketentuan di atas?

    Sebagaimana ketentuan Pasal 1 huruf c Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyebutkan:

    “Pengadilan Negeri adalah Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum”

    Artinya, bagi mereka yang bukan beragama Islam (lainnya; selain dari pada Islam), menjadi kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan perkara perceraian mereka.

    Mediasi Sebelum Pemeriksaan Perkara

    Setelah itu ada frasa “setelah hakim tidak berhasil mendamaikan para pihak”, dari frasa ini sejatinya dalam setiap perkara perdata, apabila kedua belah pihak (yang bersengketa) hadir di persidangan, hakim wajib mendamaikan kedua belah pihak (terlebih dahulu). Usaha mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara tidak terbatas pada hari sidang pertama saja, melainkan dapat dilakukan dalam sidang-sidang berikutnya meskipun taraf pemeriksaan lebih lanjut.[5] Usaha mendamaikan ini juga yang disebut dengan istilah mediasi.[6]

    Khusus untuk gugatan perceraian, Hakim wajib mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa, yang sedapat mungkin dihadiri sendiri oleh suami istri tersebut. Apabila usaha perdamaian berhasil, maka gugatan penceraian tersebut harus dicabut, dan apabila usaha perdamaian gagal maka gugatan perceraian diperiksa dalam sidang yang tertutup untuk umum.[7]

    Alasan-Alasan Perceraian

    Kemudian disebutkan, bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.[8] Adapun alasan-alasan yang dimaksud ialah sebagai berikut:

    a.       Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

    b.      Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun bertutut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya;

    c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

    d.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;

    e.       Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

    f.        Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.[9]

    Kemanakah Saya Menggugat?

    Perlu diketahui bahwa untuk perkara perceraian, gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri tempat kediaman Tergugat (Tergugat di sini dapat suami atau istri),[10] kemudian apabila tempat kediaman Tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman tetap, gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri tempat kediaman (domisili) Penggugat berada.[11]

    Selain itu, untuk alasan perceraian oleh karena salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun bertutut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya,[12] maka diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat kediaman Penggugat.[13], gugatan tesebut dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah.[14] Dan apabila alasannya adalah antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga,  maka gugatan diajukan di tempat kediaman tergugat.[15]

    Gugurnya Perkara Cerai

    Apabila pada hari sidang pertama penggugat tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan patut dan juga tidak mengirim kuasanya yang sah, sedangkan tergugat atau kuasanya yang sah datang, maka gugatan dapat digugurkan dan penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara.[16] Apabila gugatan gugur maka dituangkan dalam putusan, tetapi apabila gugatan dicabut maka dituangkan dalam bentuk penetapan, dalam hal perkara perceraian, apabila salah satu pihak meninggal dunia sedangkan perkaranya belum diputus, maka perkara menjadi gugur dan dituangkan dalam putusan.[17]

    Permohonan Nafkah Dalam Gugatan Cerai

    Bahwa berdasarkan ketentuan perundang-undangan disebutkan selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan Penggugat atau Tergugat, Pengadilan dapat menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami, kemudian menentukan hal-hal yang diperlukan untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak (secara konstan dan wajib), dan menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak Bersama (harta Bersama) suami-isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.[18] Baik barang-barang yang bergerak, tidak bergerak, berwujud, tidak berwujud.

    Mengingat juga bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian tersebut baik ibu atau bapak (dari anak tersebut) tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya. Selain itu, bapak (orang tua laki-laki dari anak) yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu. Bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.[19]

    Prosedur Gugatan Perceraian di Pengadilan Negeri

    Persiapkan beberapa dokumen berikut ini, beberapa dokumen terkait menyesuaikan di wilayah hukum Pengadilan Negeri masing-masing, karena bisa saja setiap pelayanan administrasi dari Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Pengadilan Negeri setempat memiliki aturan sendiri, Adapun dokumen umumnya yang harus dipersiapkan:

    1.        Surat Gugatan yang dibuat dan ditandatangani ditujukan pada Ketua Pengadilan Negeri setempat;

    2.       Untuk Softcopy Gugatan dalam bentuk CD (file Ms.Word/doc.), jika diminta;

    3.      Fotocopy KTP dan KK (Kartu Keluarga) Penggugat, diberi materai Rp. 10.000,- (sepuluh ribu) setelah itu dilegalisasi di kantor pos;

    4.       Fotocopy Akta Perkawinan yang dikeluarkan Capil, diberi materai Rp. 10.000,- (sepuluh ribu) setelah itu dilegalisasi di kantor pos;

    5.       Fotocopy Akta Kelahiran Anak (jika sudah memiliki anak selama perkawinan),  diberi materai Rp. 10.000,- (sepuluh ribu) setelah itu dilegalisasi di kantor pos;

    6.      Fotocopy Bukti pendukung lainnya untuk mendukung gugatan yang diajukan seperti Surat Nikah dari Gereja atau Surat sejenisnya, diberi materai Rp. 10.000,- (sepuluh ribu) setelah itu dilegalisasi di kantor pos.

    Ingatlah, simpan slip Setoran Panjar Perkara (setelah melakukan pembayaran panjar perkara), sebagai bukti apabila petugas nanti menanyakan apakah Anda sudah membayar ke rekening bank yang petugas PTSP berikan sesaat sebelum Anda melakukan pembayaran.

    Tambahan:

    1)       Perkara Gugatan Perceraian yang mewajibkan prinsipal (Anda) menggunakan e-court, silakan buat terlebih dahulu akun e-court Anda., jika Anda menggunakan Kuasa, maka kuasa Anda akan menggunakan akun e-court miliknya, artinya Anda tidak perlu membuat akun e-court.

    2)      Setelah memiliki akun e-court, Penggugat dapat melakukan pendaftaran perkara secara online, melalui https://ecourt.mahkamahagung.go.id/Login

    3)      Informasi pembuatan akun dan pendaftaran e-court, klik link: https://pn-pontianak.go.id/e-court/ atau Anda dapat langsung datang ke Pengadilan Negeri setempat untuk mendaftarkan e-court Anda ke petugas e-court di pengadilan.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


    [1] Prof. Dr. H. Moch. Isnaeni, “Hukum Perkawinan Indonesia”, (Bandung: PT Refika Aditama, 2016), 97.

    [2] Subekti, “Pokok-Pokok Hukum Perdata”, (Jakarta: PT Internusa, 2005), 42.

    [3] vide Pasal 1 Angka 17 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

    [4] Prof. Dr. H. Moch. Isnaeni, loc.cit, 101.

    [5] vide Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg.

    [6] vide Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

    [7] Mahkamah Agung RI, “Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus”, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2007), 67-68.

    [8] vide Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

    [9] Ibid.

    [10] vide Pasal 20 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

    [11] vide Pasal 20 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

    [12] vide Pasal 19 huruf b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

    [13] vide Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

    [14] vide Pasal 21 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

    [15] vide Pasal 22 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

    [16] vide Pasal 124 HIR/Pasal 148 RBg.

    [17] vide Pasal 25 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Mahkamah Agung RI, “Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus”, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2007), 55.

    [18] vide Pasal 24 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

    [19] vide Pasal 41 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

    Formulir Isian