Ilustrasi Perceraian |
Mulai dari Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata) sampai Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan beserta
Peraturan Pelaksananya, dan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama jo. Kompilasi Hukum
Islam, tidak memberikan definisi apa itu perceraian secara gamblang.
Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan
hakim atau tuntutan salah satu pihak (baik istri atau suami) dalam perkawinan
itu. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 207 KUHPerdata bahwa
perceraian merupakan penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atas tuntutan
salah satu pihak dalam perkawinan itu berdasarkan alasan-alasan yang tersebut
dalam undang-undang.[1]
Disebutkan bahwa Perkawinan dapat putus karena
beberapa sebab:
1)
Kematian;
2)
Perceraian dan;
3)
Atas keputusan
Pengadilan.[2]
Untuk perceraian itu sendiri berdasarkan ketentuan
hukum, hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.[3]
Alasan Perceraian
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau
alasan-alasan:[4]
a.
Salah satu pihak
berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang
sukar disembuhkan;
b.
Salah satu pihak
meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak
lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
c.
Salah satu pihak
mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah
perkawinan berlangsung;
d.
Salah satu pihak
melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
e.
Salah satu pihak
mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami/isteri;
f.
Antara suami dan
isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g.
Dalam hal ini
penulis fokus membahas soal Cerai gugat, yaitu perkawinan yang putus akibat
dari gugatan yang diajukan oleh istri kepada Pengadilan Agama, yang kemudian
tergugat (suami) menyetujuinya atau tidak untuk dilakukan pemeriksaan di muka
sidang, dengan serangkaian pemeriksaan berupa pembuktian hingga Pengadilan
Agama menerima dan mengabulkan gugatan dari cerai gugat tersebut.[5]
Ketentuan mengenai Cerai gugat diatur dalam Pasal
73 sampai dengan Pasal 86 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. Pasal
132 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Cerai Gugat
Cerai Gugat yaitu gugatan perceraian diajukan oleh
istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan
tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.[6] Dalam
hal Penggugat (suami) bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian
diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
tergugat.[7] Sedangkan
apabila penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan
diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan
mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.[8]
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas
permohonan penggugat (suami), Pengadilan dapat menentukan nafkah yang
ditanggung oleh suami, menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
pemeliharaan dan pendidikan anak, dan menentukan hal-hal yang perlu untuk
menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau
barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.[9]
Perlu diingat bahwa gugatan perceraian gugur apabila
suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan.[10] Untuk
pemeriksaan gugatan perceraian cerai gugat dilakukan oleh Majelis Hakim
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat gugatan
perceraian didaftarkan di Kepaniteraan.[11]
Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian,
Hakim berusaha mendamaikan kedua pihak. Dalam sidang perdamaian tersebut, suami
istri harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat
kediaman di luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat
diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.[12]
Apabila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri,
maka penggugat pada sidang perdamaian tersebut harus menghadap secara pribadi.
Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap
sidang pemeriksaan.[13] Kemudian,
apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru
berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh penggugat sebelum
perdamaian tercapai.[14]
Untuk Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam
sidang tertutup.[15] Sedangkan
untuk Putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum.[16] Perceraian
dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan
Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.[17]
Sebelum berlakunya Kompilasi Hukum Islam (KHI) di
Indonesia, Pengadilan Agama hanya mengenal ada 2 (dua) jenis perkara
perceraian, yaitu perkara permohonan talak dari pihak suami dan perkara gugatan
cerai gugat dari pihak istri. Dengan berlakunya KHI, maka ada perubahan dalam
perkara perceraian di Pengadilan Agama, yaitu berlakunya hukum acara khuluk.[18]
Khuluk
Khuluk sendiri yang terdiri dari lafaz kha-la-‘a yang
berasal dari Bahasa Arab secara etimologi berarti menanggalkan atau membuka
pakaian. Dihubungkannya kata khuluk dengan perkawinan karena dalam Alqur’an
disebutkan suami itu sebagai pakaian bagi istrinya dan istri itu merupakan
pakaian bagi suaminya dalam surat Al-baqarah ayat 187:[19]
Penggunaan kata khuluk untuk putusnya perkawinan
karena istri sebagai pakaian bagi suaminya berusaha menanggalkan pakaian itu
dari suaminya. Dalam artinya istilah hukum dalam beberapa kitab fiqh khuluk
diartikan dengan:
“Putus
perkawinan dengan menggunakan uang tebusan, menggunakan ucapan thalaq atau
khuluk.”
Menurut fuqaha[20],
khuluk secara umum, yakni perceraian dengan disertai sejumlah harta sebagai
‘iwadh yang diberikan oleh istri kepada suami untuk menembus diri
agar terlepas dari ikatan perkawinan, baik dengan kata khuluk,
mubara’ah maupun talak. Secara khusus, yaitu talak atas dasar
‘iwadh sebagai tebusan dari istri dengan kata-kata khuluk (pelepasan) atau yang
semakna seperti mubara’ah (pembebasan).
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), adapun alasan
khuluk antara lain:
1.
Salah satu pihak
berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang
sukar disembuhkan;
2.
Salah satu pihak
meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak
lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
3.
Salah satu pihak
mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah
perkawinan berlangsung;
4.
Salah satu pihak
melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
5.
Salah satu pihak
mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami atau isteri;
6.
Antara suami dan
isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
7.
Suami melanggar
taklik talak;
8.
Peralihan agama
atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.[21]
Selanjutnya mengenai uang tebusan, mayoritas ulama
menempatkan iwadh sebagai rukun yang tidak boleh ditinggalkan untuk
sahnya khuluk. Mengenai sighat atau ucapan cerai, dalam hal ini tanpa
menyebutkan nilai ganti, maka ia menjadi talak biasa.[22] Oleh
karena itu penerapan Pasal 148 Kompilasi Hukum Islam (KHI) berdasarkan
pendapat Mahkamah Agung dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Peradilan Agama Buku II 2013 halaman 162 yang menyebutkan terhadap
putusan talak khuluk dapat diajukan upaya hukum banding dan
kasasi. Ketentuan khuluk sebagaimana tersebut dalam Pasal 148
Kompilasi Hukum Islam (KHI) harus dikesampingkan pelaksanaannya.
Gugatan khuluk tersebut dilaksanakan sesuai ketentuan Talak khuluk
merupakan gugatan isteri untuk bercerai dari suaminya dengan tebusan.
Proses penyelesaian gugatan tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur
cerai gugat dan harus diputus oleh hakim. Dengan Amar putusan talak
khuluk berbunyi : “Menjatuhkan talak satu khul’i Tergugat (nama ..... bin
..... ) terhadap Penggugat (nama ..... binti .....) dengan
iwadh berupa uang sejumlah Rp. ..... (...... tulis dengan huruf)”.
Keterangan:
Iwadh tersebut
dapat pula berupa uang, rumah atau benda lainnya secara bersama.
Yang sangat urgen adalah rukun yang terakhir
adalah I’wadl (Tebusan), yaitu tebusan yang harus diberikan
istri kepada suami.
Maka khuluk menjadi tidak sah tanpa adanya
tebusan. Namun ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini maka timbul
pertanyaan, apakah khuluk tetap sah walaupun tanpa adanya tebusan?
Menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah, khuluk menjadi tidak sah tanpa
adanya tebusan. Sedangkan menurut Hanafiyyah walaupun tanpa
tebusan khuluk tetap sah. Adapun ulama Malikiyyah
mengatakan khuluk tetap sah baik itu dengan tebusan atau tanpa
tebusan.[23]
Dari uraian di atas, nampak perbedaan antara Cerai
Gugat dan Khuluk. Hanya saja, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak membedakan
antara keduanya. Karenanya penyelesaian berdasarkan Pasal 148
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang semula perkara cerai gugat dengan
khuluk setelah ada putusan Pengadilan Agama untuk eksekusi (pelaksanaan
putusannya) mengacu pada ketentuan Pasal 131 Ayat (5) Kompilasi
Hukum Islam (KHI) yaitu suami mengikrarkan talaknya terhadap
istri.
Dimana proses penyelesaian yang berakhir dengan ikrar
suami dalam hal ini tentu jika menemukan perkara seperti ini tampaknya tidak
akan ada kesulitan, seperti tanpa ada rekonvensi dari suami atau tidak ada
gugatan cerai yang dikumulasi dengan gugatan bersamaan. (vide Pasal
86 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama)
Akan tetapi, karena penyelesaiannya (melalui khuluk)
lebih sulit dan kompleks, Mahkamah Agung pun mengantisipasi untuk
mengesampingkan ketentuan Pasal 148 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tersebut
dalam Hukum Acara Peradilan Agama sebagaimana penjelasan kami di atas. Lagi
pula selama ini belum ada Pengadilan Agama yang mengabulkan permohonan eksekusi
harta bersama atas putusan cerai talak (versi Pasal 148 Kompilasi
Hukum Islam (KHI) jo. Pasal 131 ayat (5)
Kompilasi Hukum Islam (KHI)) yang direkonvensi dengan harta bersama (di
dalamnya), dimana putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap akan tetapi
Pengadilan Agama tidak berani mengabulkan permohonan eksekusi harta bersamanya
dengan alasan pemohon dan termohon secara yuridis masih terikat dalam
perkawinan (belum bercerai), padahal antara suami istri sudah jelas tidak
mungkin lagi untuk rukun kembali.[24]
Kelemahan tetap ada pada pihak istri kalau ada salah
satu pihak yang mengkumulasikan gugatan/permohonan terkait harta bersama
tersebut atau suami yang mengajukan gugatan rekonvensi harta bersama (dalam
cerai gugat), tentu saja akan banyak kendala serta waktu yang berlarut-larut
kapan selesainya.
Itulah gambaran penyelesaian secara umum, akan
tetapi khuluk yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentu akan
mengalami lebih banyak kesulitan dalam penerapan di lapangan terutama
eksekusinya sekalipun masalah tebusan sudah secara musyawarah dan mufakat
disepakati, terutama apabila istri sekaligus mengajukan gugatan
rekonvensi tentang pembagian harta bersama yang tidak sedikit jumlahnya.
Kemungkinan juga suami sengaja menunda-nunda
pelaksanaan ikrar, karena menurut Pasal 148 Kompilasi Hukum Islam
(KHI) telah menunjuk penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 131 ayat (5) Kompilasi Hukum Islam (KHI),
artinya setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang perceraian dengan khuluk,
sudah berkekuatan hukum tetap lalu suami dipanggil untuk mengikrarkan talak
terhadap istrinya.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau
langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini.
Terima Kasih.
[1] Subekti, “Pokok-Pokok
Hukum Perdata”, (Jakarta: PT Internusa, 2005), 42.
[2] vide Pasal 38 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[3] vide Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 65 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
[4] vide Pasal 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[5] Zainuddin Ali, “Hukum Perdata Islam
Di Indonesia”, ( Jakarta: Sinar Grafika. 2007 ), 81.
[6] vide Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
[7] vide Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
[8] vide Pasal 73 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
[9] vide Pasal 78 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
[10] vide Pasal 79 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
[11] vide Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
[12] vide Pasal 82 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
[13] vide Pasal 82 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
[14] vide Pasal 83 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
[15] vide Pasal 80 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
[16] vide Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
[17] vide Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
[18] Aris Bintania, “Hukum Acara
Pengadilan Agama Dalam Kerangka Fiqh Al- Qadha”, (Jakarta: Rajawali Pers,
2012), 133.
[19] Amir Syarifuddin, “Hukum Perkawinan
Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan”, ( Jakarta: Kencana, 2006 ),
231.
[20] Abdul Rahman Ghozali, “Fiqh Munakahat”,
(Jakarta, Kencana, 2012), 220.
[21] vide Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI) jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[22] “Ensiklopedi Hukum Islam”, (Jakarta: Pt Ichtiar Baru Van Hoeve, 2006), 31.
[23] Sudono, “Penyelesaian Perceraian Dengan Khulu' Dan Akibat Hukumnya”, Retrieved July 16, 2022, from https://www.pa-blitar.go.id/informasi-pengadilan/164-penyelesaian-perceraian-dengan-khulu-dan-akibat-hukumnya.html
[24] Sudono, “Senarai
Pembaharuan Hukum Peradilan Agama Kajian Hukum Formil dan Materiil”, (Surabaya:
Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, 2014), 134.