layananhukum

Pendapat Hukum tentang Sengketa Kepemilikan Tanah (Case Study)

Ahli Waris dan/atau kuasanya adalah mengambil langkah secara litigasi dengan melalui Sengketa Kepemilikan Tanah pada Pengadilan Negeri, kalau pun sifatnya ingin menggugat pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dapat saja dilakukan dengan catatan titik tekannya ialah melihat unsur yang melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik.

Ilustrasi Konflik Agraria


PENDAPAT HUKUM (LEGAL OPINION)

1.       DUDUK PERKARA

a.     Bahwa berdasarkan Surat Keterangan Tanah (SKT) Tahun 1970-an atas nama Sdr PD mempunyai tanah dengan lebar 33 depa (59, 4 m) dan panjang 300 depa (540 m) atau sekitar 3 Hektar (Ha) yang terletak di RT/RW: **/** Dusun K* Desa **, Kecamatan **, Kabupaten Mempawah;

b.     Bahwa berdasarkan Peta Bidang Tanah Nomor ***/2020 tertanggal 12 Oktober 2020 yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Mempawah menerangkan bahwa sudah ada 4 (empat) Hak Guna Bangunan (HGB) yang masing-masing 3 (tiga) Hak Guna Bangunan (HGB) Milik PT ANTAM Tbk dan 1 (satu) milik PT Borneo Alumina Indonesia (PT BAI) di atas tanah yang dimaksudkan di poin a di atas;

c.     Bahwa sekiranya pada tahun 2019, ketika Sdr. AD selaku ahli waris dari Sdr AD mengajukan Permohonan (baru) Penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) dengan Nomor Berkas *****/2019 ke Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Mempawah, sekiranya pada tanggal 15 Agustus 2019, Petugas Ukur an. Udin melakukan pengukuran Nomor Induk Bidang (NIB) tanah *****. Setelah dilakukan pengukuran serta pemeriksaan, diketahui bahwa tanah tersebut telah dikuasai oleh PT ANTAM Tbk sebagaimana yang dimaksud di poin b;

d.     Bahwa setelah mengetahui hal tersebut Sdr AD menyampaikan pengaduan/permohonan informasi kepada PT ANTAM Tbk Perwakilan Mempawah melalui Surat Tertanggal 23 Agustus 2019, isinya mengenai bagaimana bisa terbit Hak Guna Bangunan (HGB) tersebut karena ahli waris belum pernah menjual tanah tersebut ke pihak mana pun;

e.     Bahwa Sdr AD mendapatkan informasi bahwa tanah tersebut telah dijual atas nama SH kepada PT ANTAM Tbk saat itu Sdr AD pun menyampaikan keberatan kepada PT ANTAM Tbk Perwakilan Mempawah tanggal 23 Agustus 2019 hingga 4 Oktober 2019, Sdr. AD masih belum mendapatkan tanggapan penyelesaian atas permasalahan yang ada;

f.      Bahwa berdasarkan poin e di atas Sdr. AD meminta klarifikasi kepada Sdr SH pada tanggal 30 Agustus 2019, Sdr SH pun membuat Surat Penyataan yang intinya menyatakan tidak pernah menjual tanah tersebut ke pihak manapun;

g.     Bahwa Sdr AD pun membuat Laporan yang terdaftar dengan Nomor Register: ****/LM/IX/2019 tanggal 25 September mengenai dugaan tidak patut oleh PT ANTAM kepada Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Kalimantan Barat;

h.     Bahwa berdasarkan poin g di atas Ombudsman RI Perwakilan Kalbar pun membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pada tanggal 4 Oktober 2019 atas nama Sdr AD yang dikuasakan kepada Sdr R;

i.      Bahwa pada tanggal 24 Oktober 2019, Ombudsman RI Perwakilan Kalbar mengirimkan Surat Permohonan Fasilitasi Konsiliasi yang ditujukan kepada Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Mempawah dan Direktur PT ANTAM Tbk yang sebelumnya telah dikirim surat klarifikasi tanggal 14 Oktober 2019 yang tidak ditanggapi oleh PT ANTAM Tbk;

j.       Bahwa berdasarkan Berita Acara Konsiliasi Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Barat, yang dihadiri oleh Konsiliator atau Kepala Ombudsman RI Perwakilan Kalbar sendiri, Sdr AD melalui Kuasanya Sdr R, Perwakilan dari PT ANTAM Tbk, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Mempawah tertanggal 4 November 2019 yang menerangkan garis besar sebagai berikut:

1.        Bahwa dalam dokumen warkah penerbitan HGB Nomor *** an. PT ANTAM Tbk seluas 20.900 m2 terdapat Surat Perjanjian Pelepasan Hak oleh Sdr MLS yang mengatasnamakan Sdr SH pada tanggal 19 November 2014 yang menerangkan bahwa di atas tanah tersebut bangunan dan tanaman yang ada di atasnya (baca poin a dan b) telah dibayarkan uang sebesar Rp. 63.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dan diketahui oleh Kepala Desa ***** an. SBR dengan menggunakan Surat Pernyataan Tanah Sdr SH tanggal 31 Oktober 2013 dengan Nomor Registrasi ***.*/***/BB/X/2013 tanggal 23 Oktober 2013 yang diketahui oleh Kepala Desa an. SBR bahwa Sdr SH menguasai tanah seluas 20.900 m2;

2.       Bahwa atas Permasalahan yang ada PT ANTAM akan membalas surat Sdr AD tertanggal 23 Agustus 2019 secara resmi;

3.      Bahwa PT ANTAM Tbk menyampaikan akan membalas Surat Klarifikasi dari Ombudsman RI Perwakilan Kalbar tertanggal 14 Oktober 2019 paling lambat 15 November 2019.

k.       Bahwa pada 14 November 2019, PT ANTAM melalui Project Manager Mine Development & SGAR Mempawah menyampaikan bahwa PT ANTAM Tbk membeli tanah dari Sdr SH, Sdr. SKS, Sdr. MLS, dan Sdr. SHJ. Akibat dari jual beli tersebut maka status kepemilikan atau penguasaan tanah tersebut menjadi milik PT ANTAM yang mana dasarnya dalam melakukan pembayaran atas tanah tersebut dilakukan kisaran tahun 2013;

l.        Bahwa pada 4 Desember 2019 Ombudsman RI Perwakilan Kalbar meminta Salinan Dokumen Surat Pernyataan Tanah milik SH pada tahun 2013 serta Surat Perjanjian Pelepasan Hak pada tahun 2014 kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Mempawah;

m.     Bahwa Ombudsman RI Perwakilan Kalbar kembali mengirimkan Surat Permintaan Klarifikasi yang kedua dan salinan dokumen kepada PT ANTAM Tbk pada tanggal 16 Desember 2019 yang disebutkan di poin j angka 3 (tiga) bahwa PT ANTAM akan menyampaikan Surat Klarifikasi paling lama tanggal 15 November 2019;

n.      Bahwa berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Ombudsman RI Perwakilan Kalbar dengan Nomor ***/BAP-***.2019/I/2020/PTK pada tanggal 14 Januari 2020, PT ANTAM Tbk menjelaskan bahwa:

1.      Bahwa pada tanggal 12 Desember 2019 PT ANTAM telah menyampaikan Surat kepada Ombudsman RI Perwakilan Kalbar intinya menyampaikan bahwa pembebasan lahan yang dilakukan PT ANTAM sudah dilakukan dengan itikad baik dan memenuhi kaidah yang berlaku;

2.     Bahwa karena ada beberapa hal yang harus diputuskan terkait penyerahan data yang bersifat rahasia, namun mengingat dalam waktu dekat ada pergantian direksi , maka data tersebut belum bisa disampaikan pada Ombudsman RI Perwakilan Kalbar;

3.     Bahwa PT ANTAM merupakan anak perusahaan PT INALUM;

4.     Bahwa Proyek pengadaan lahan PT ANTAM yang menjadi permasalahan merupakan proyek yang berbasis keuntungan tanpa melibatkan Pemkab Mempawah.

o.       Bahwa pada 3 November 2020, PT Borneo Alumina Indonesia (BAI) kemudian membalas Surat tertanggal 23 Oktober 2020 yang menerangkan bahwa PT Borneo Alumina Indonesia (BAI) merupakan anak Perusahaan dari PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau dikenal dengan PT INALUM dan PT ANTAM Tbk yang berencana merelokasi atau memindahkan jalan Kabupaten yang melintasi Alumina Plant dan dalam pengerjaan di Dusun****** Desa ****, Kecamatan ******, Kabupaten Mempawah.

2.          DASAR HUKUM

1)       Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;

2)      Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;

3)      Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik;

4)      Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;

5)      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya;

6)      Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;

7)       Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum;

8)      Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;

9)      Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan;

10)    Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan Dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi, dan Izin Perubahan Penggunaan Tanah Sebagaimana yang telah dicabut dengan Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 15 Tahun 2018 tentang Pertimbangan Teknis Pertanahan Sebagaimana telah dicabut dengan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 27 Tahun 2019 tentang Pertimbangan Teknis Pertanahan;

11)     Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;

12)    Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan;

13)    Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

3.       LEGAL OPINION

Pemidahan Hak atas Tanah Melalui Jual Beli

Berdasarkan duduk perkara yang sudah dijabarkan dalam lembaran pendapat hukum ini, di poin j angka 1 (satu), terkait dengan penerbitan Hak Gunan Bangunan (HGB) Nomor *** an. PT ANTAM Tbk seluas 20.900 m2 terdapat Surat Perjanjian Pelepasan Hak oleh Sdr MLS yang mengatasnamakan Sdr SH pada tanggal 19 November 2014 yang menerangkan bahwa di atas tanah tersebut bangunan dan tanaman yang ada di atasnya (baca poin a dan b) telah dibayarkan uang sebesar Rp. 63.000.000,- (enam puluh tiga juta rupiah) dan diketahui oleh Kepala Desa *********. 

SBR dengan menggunakan Surat Pernyataan Tanah Sdr. SH tanggal 31 Oktober 2013 dengan Nomor Registrasi ***.*/***/BB/X/2013 tanggal 23 Oktober 2013 yang diketahui oleh Kepala Desa an. SBRN bahwa Sdr. SH menguasai tanah seluas 20.900 m2. Kami memaknai di sini telah terjadi pemidahan atau pelepasan hak atas tanah melalui mekanisme jual beli.

Bagaimanakah ketentuan hukum pemindahan atau pelepasan hak atas tanah melalui jual beli? Sebelum membahas masalah pertanahan dan tata cara peralihannya, sebaliknya perlu diketahui terlebih dahulu jenis-jenis hak tanah yang ada di Indonesia. 

Bahwa pada dasarnya seluruh tanah yang ada di Indonesia merupakan karunia dari Tuhan yang Maha Esa kepada seluruh bangsa Indonesia. Oleh karena itu, seluruh tanah di Indonesia adalah milik bangsa Indonesia. Dalam Hukum Agraria atau Hukum Pertanahan kita dikenal pula dengan istilah “Hak Bangsa Indonesia” (vide Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria)

Negara adalah organisasi kekuasaan yang ada di Indonesia, subjek hukum berupa Badan Hukum yang berdiri secara independent dan diakui keberadaannya, yang memiliki wewenang untuk mengatur dalam konteks pemilikan, peruntukan, peralihan, dan pendaftaran tanah atas Hak Bangsa Indonesia. Hak Negara untuk mengatur inilah yang dikenal dengan “Hak Menguasai Negara” (vide Pasal 2 jo. Pasal 8 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria) Mengapa harus diatur? Apabila tidak dilakukan pengaturan dari negara, peruntukan dan pemilikan tanah menjadi kacau. 

Setiap orang cenderung ingin memiliki tanah yang lebih besar dan lebih luas. Kekacauan dari usaha memiliki tanah atau pun lahan yang berlebihan ini telah menimbulkan banyak konflik, peperangan di setiap penjuru bumi.

Kemudian, dalam Hak Bangsa Indonesia, ada hak yang diberikan khusus yaitu “Hak Ulayat Masyarakat Adat”, pada dasarnya Hak Ulayat hampir sama dengan Hak Bangsa Indonesia karena Hak Ulayat milik semua anggota masyarakat Hukum Adat setempat. (vide Pasal 3 jo. Pasal 5 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria)

Konsekuensi dari adanya Hak Menguasai Negara inilah yang mengakibatkan seluruh tanah yang belum ada pemiliknya (selain tanah ulayat atau tanah adat) dikuasai oleh negara. Jika ada orang yang hendak memiliki atau mempergunakan tanah tersebut, misalnya dengan cara membuka hutan dan membangun pemukiman, orang ini hanya dapat dinyatakan pemilik jika ia sudah mengajukan permohonan hak atas tanah. 

Atau, jika orang ini sudah menempati tanah tersebut selama lebih dari 30 (tiga puluh) tahun, yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan pengakuan hak.

Hak Menguasai Negara memberikan berbagai jenis hak atas tanah yang terdiri dari dari:

1)       Hak Individual yang Bersifat Perdata;

2)      Hak Pengelolaan;

3)      Tanah Wakaf.[1]

Anda dapat melihat terkait hak-hak sebagaimana penjelasan kami melalui tulisan kami sebelumnya disini.

Setelah mengetahui jenis-jenis hak sebagaimana penjelasna kami di atas, maka untuk memperoleh tanah bagi orang perseorangan atau badan hukum telah diatur dalam perundang-undangan yang meliputi:

1)       Perolehan Tanah melalui Penetapan Pemerintah

Perolehan tanah melalui penetapan Pemerintah atas tanah yang berasal dari tanah negara atau tanah yang langsung dikuasai oleh negara.

2)       Perolehan Tanah melalui Penegasan Konversi

Perolehan tanah melalui penegasan konversi atas tanah yang berasal dari hak barat yang penegasan konversinya paling lambat tanggal 24 September 1980 dan atas tanah yang berasal dari hak adat.

3)      Perolehan Tanah melalui Peralihan Hak

Tanah yang diperoleh dari peralihan hak melalui pewarisan, jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam modal perusahaan (inbreng), dan lelang.

4)      Perolehan Tanah melalui Pemberian Hak

Tanah yang diperoleh dari pemberian hak dalam bentuk terjadinya Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah Hak Milik yang dibuktikan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).[2]

Peralihan Hak atas Tanah yang paling banyak terjadi adalah melalui Perjanjian Jual Beli. Menurut Boedi Harsono,[3] pengertian jual beli tanah adalah perbuatan hukum yang berupa Penyerahan Hak Milik (penyerahan tanah untuk selama-lamanya) oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga membayar harganya kepada penjual.

Secara Dogmatis mengenai Perjanjian Jual Beli diatur di dalam Pasal 1457 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1540 KUHPerdata. Ada pun ketentuan sebagaimana Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), untuk ketentuan Jual-Beli secara umum sebagai berikut:

Pasal 1457 KUHPerdata sebagai berikut:

“Jual-beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.”

Kemudian, Pasal 1475 KUHPerdata, yang berbunyi:

Penyerahan ialah suatu pemindahan barang yang telah dijual kedalam kekuasaan dan kepunyaan si pembeli.”

Pasal 1474 KUHPerdata:

“Penjual mempunyai dua kewajiban utama, yaitu menyerahkan barangnya dan menanggungnya.”

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria baik jual beli terhadap benda bergerak maupun benda tidak bergerak tunduk pada ketentuan yang tersebut di atas.

Kemudian, ketentuan Jual beli yang disebutkan dalam Pasal 1458 KUHPerdata, yaitu:

“Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meski pun barang itu belum diserahkan, dan harganya belum dibayar.”

Dan Pasal 1459 KUHPerdata:

“Hak Milik atas barang yang dijual tidak pindah kepada pembeli selama barang itu belum diserahkan menurut ketentuan Pasal 612, 613, dan 616 KUHPerdata.”

Menjadi tidak berlaku pada saat dihadapkan dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Perlu diketahui bahwa Sistem yang ada pada Hukum Agraria atau Hukum Pertanahan Indonesia menganut Sistem Hukum Adat. Khususnya mengenai “peralihan hak atas tanah” yang di dalamnya dikenal adanya Asas “Tunai dan Terang”.

Asas ini mengartikan bahwa dalam setiap peralihan jual beli tanah dan bangunan haruslah dilakukan secara tunai dalam metode pembayarannya dan terang objeknya (tanahnya) berada dan ada.[4] Dasarnya, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas, yang berbunyi:

Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”

Penjelasan dari ketentuan di atas mengenai peraturan perundangan lainnya adalah yang ada diatur dalam KUHPerdata yaitu membahas mengenai jual beli pada umumnya (tidak hanya terbatas pada jual beli benda tidak bergerak; tanah) sebagai dasar dari jual beli itu sendiri. Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1491 KUHPerdata:

“Penanggungan yang menjadi kewajiban penjual terhadap pembeli, adalah untuk menjamin dua hal, yaitu: pertama, penguasaan barang yang dijual itu secara aman dan tenteram; kedua, tiadanya cacat yang tersembunyi pada barang tersebut, atau yang sedemikian rupa sehingga menimbulkan alasan untuk pembatalan pembelian itu.”

Merujuk pada ketentuan tersebut di atas, adalah kewajiban penjual terhadap pembeli atas suatu benda dalam jual-beli untuk diserahkan secara tentram dan aman serta bebas dari cacat tersembunyi. Kemudian terjadilah hubungan hukum keperdataan hutang-piutang menyangkut para pihak.

Jual beli benda tak bergerak dinyatakan telah sah, bilamana terdapat:

1)       Adanya alas hak (jual-beli, tukar-menukar, dsb);

2)      Adanya kehendak menjual yang dibuktikan dengan adanya uang panjar (Down Payment) atau sederhana umum kenal dengan “uang muka” yang diterima oleh si penjual;

3)      Kehendak dan kesesuaian kehendak tersebut dituangkan secara tertulis dalam suatu akta otentik oleh pejabat yang berwenang di bidang pertanahan;

4)      Telah dibayar secara riil meski hanya separuh. Sementara, penyerahan fisik tanah dan pembayaran sisa harga dapat menjadi cicilan, angsuran, atau dilunasi pada lain kesempatan. Sehingga bila dikemudian hari nominal nilai jual-beli tidak dilunasi oleh pembeli, maka hubungan hukum yang ada ialah hubungan perdata hutang piutang yang tunduk pada ketentuan KUHPerdata oleh karena hubungan jual-beli telah tuntas dan selesai saat terpenuhinya asas “terang dan tunai”.

Yang menjadi konsekuensi yuridis bila telah terpenuhinya asas “terang dan tunai” dalam peralihan hak atas tanah: yakni tidak dapat sang pembeli digugat atas dasar jual-beli tanah, karena jual beli (pemindahan hak atas tanah) dinyatakan telah selesai. Yang dapat ditempuh sang pemilik lama hanyalah upaya penagihan hutang-piutang terhadap sang pembeli tanah.[5]

Secara spesifik sebagaimana ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria jo. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah  jo. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan  Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan  Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Dengan kata lain, sifat “terang dan tunai” artinya penyerahan hak atas tanah dilakukan di hadapan pejabat umum yang berwenang, dalam hal ini Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta pembayarannya dilakukan secara tunai dan bersamaan. Itu bersesuaian sebagaimana dijelaskan pada Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, sebagai berikut:

Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Berdasarkan ketentuan di atas jelas, bahwa setiap pemindahan hak atas tanah wajib dibuktikan melalui akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang kemudian disebut juga dengan Akta Jual Beli (AJB) yang merupakan akta otentik diberikan di atas tanah hak milik tentu ini wajib didaftarkan, semata-mata demi pembuktian kepemilikan dan kepentingan pihak ketiga atau peralihan hak ke pihak ketiga.

Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 126.K/Sip/1976 tertanggal 4 April 1978 yang memutuskan:

“Untuk sahnya jual beli tanah, tidak mutlak harus dengan Akta yang dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Akta Pejabat ini hanyalah suatu alat bukti.”

Atas Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 126.K/Sip/1976 tertanggal 4 April 1978, tersebut Boedi Harsono[6] berpendapat bahwa jual beli yang tidak dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tetap sah, jadi hak miliknya berpindah dari si penjual kepada si pembeli, asal saja jual beli itu memenuhi syarat-syarat materiel (baik mengenai penjual, pembeli maupun tanahnya). Dari uraian tersebut jual beli tanah yang tidak dilakukan di hadapan PPAT tidak serta merta menjadi bersifat illegal namun bersifat informal.[7]

Seperti yang diketahui bahwa berdasarkan poin o dalam duduk perkara, PT Borneo Alumina Indonesia (BAI) merupakan anak Perusahaan dari PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau dikenal dengan PT INALUM dan PT  ANTAM Tbk dan PT ANTAM Tbk merupakan anak perusahaan dari PT INALUM berdasarkan poin n angka 3 dalam duduk perkara, yang mana perusahaan-perusahaan ini berencana merelokasi atau memindahkan jalan Kabupaten yang melintasi Alumina Plant dan dalam pengerjaan di Dusun ******** Desa ******, Kecamatan ****, Kabupaten Mempawah.

Oleh karena itu pentingnya bukti bahwa telah terjadi perbuatan hukum jual-beli tanah yang kemudian disajikan dalam bentuk Akta Jual Beli (AJB) yang dibuat di hadapan PPAT. Karena konsekuensi hukumnya, akta Jual-Beli inilah yang kemudian menjadi satu di antara dokumen yang diperlukan dalam penerbitan sertifikat atas nama pemegang hak yang baru.

Sertifikat hak atas tanah itu sendiri merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang telah didaftarkan.

Selain itu untuk tanah yang berstatus Hak Milik (jika sudah ada hak miliknya) yang dibeli oleh PT dari WNI perseorangan tidak langsung hanya membeli tanah dengan prosedur jual beli biasa. Ada 2 (dua) cara yang dapat dilakukan antara lain:

1)   Pelepasan Hak atas Tanah;

2)   Penurunan Hak dan Permohonan Hak Baru.

Menurut hemat kami, saat jual beli yang dilakukan melalui Surat Perjanjian Pelepasan Hak oleh Sdr. MLS yang mengatasnamakan Sdr. SH pada tanggal 19 November 2014 dengan pihak PT ANTAM Tbk, selain harus dituangkan di dalam Akta Jual Beli (AJB) yang disahkan oleh PPAT, juga dilakukan Pelepasan Hak atas Tanah sebagaimana Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, atau dilakukan permohonan baru dulu dengan mengajukan permohonan penurunan hak yang semula sudah menjadi Hak Milik menjadi Hak Guna Bangunan.

Kemudian, disampaikan kepada Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Mempawah untuk keperluan pendaftaran tanah (perolehan surat tanda bukti kepemilikan tanah atau sertifikat). (vide Pasal 95 ayat (1) huruf a dan Pasal 102 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo. Pasal 1 Angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.)

Ini dilakukan PT ANTAM Tbk, jika dan hanya jika terhadap mereka yang benar-benar punya hak atas tanah tersebut yaitu mengenai gambaran umum penguasaan tanah tersebut karena ini bersesuaian dengan Pasal 7 huruf c Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan Dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi, dan Izin Perubahan Penggunaan Tanah (aturan ini sudah tidak berlaku lagi sekarang dan sudah dicabut dan berlakunya Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 27 Tahun 2019 tentang Pertimbangan Teknis Pertanahan, akan tetapi mengingat pada saat Jual Beli Dilakukan ketika pada tahun 2014 maka Peraturan KBPN Nomor 2 Tahun 2011 lah yang berlaku saat itu).

Hingga dibuatnya pendapat hukum ini, penulis masih belum mendapatkan tanggapan yang diberikan atau data lengkap terkait dengan Akta Jual Beli (AJB) atau bukti penguasaan yang dilakukan di hadapan notaris dan bukti kepemilikan yang menjadi dasar penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) yang sudah ada.

Klasifikat Perkara/Kasus Pertanahan

Klasifikasi Perkara/Kasus Pertanahan antara Sdr. Alm PD melalui Ahli Waris Sdr. AD dan Prosedur Penyelesaiannya Perkara kasus pertanahan dibagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu:

1)       Sengketa Tanah yang selanjutnya disebut Sengketa adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas.

2)      Konflik Tanah yang selanjutnya disebut Konflik adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas.

3)      Perkara Tanah yang selanjutnya disebut Perkara adalah perselisihan pertanahan yang penanganan dan penyelesaiannya melalui Lembaga peradilan.

Jika kasus di atas kami berpendapat klasifikasi perkara/kasus yang dialami Sdr. AD ialah Sengketa Tanah atau Sengketa Kepemilikan.

Menurut kami ada beberapa cara penyelesaian yang diatur oleh hukum yang berlaku bisa dilakukan yaitu secara litigasi dan non-litigasi. Gambaran yang kami berikan terkait dengan non-litigasi, pertama-tama, maka untuk kasus Sdr. AD yang merupakan sengketa tanah. Ada pun tahapan Penyelesaian sengketa tanah tersebut dilakukan dengan cara: (vide Pasal 4 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan)

1.        Inisiatif dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (“Kementerian”);

2.       Pengaduan masyarakat.

Dimana, terhadap dua mekanisme laporan ini dibedakan masing-masing proses administrasi dan pencatatan penanganan aduan yang masuk. Namun, mekanisme selanjutnya tidak terdapat perbedaan setelah temuan dan aduan di-register.

Terhadap temuan dan aduan tersebut dilakukan analisa secara mendalam untuk mengukur dan mengetahui apakah kasus pertanahan itu menjadi kewenangan kementerian atau BPN Kabupaten Mempawah dalam hal ini. (vide Pasal 11 ayat (3) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan) menyebutkan sengketa atau konflik yang menjadi kewenangan kementerian.

Sengketa atau konflik itu antara lain:

1.        Kesalahan prosedur dalam proses pengukuran, pemetaan, dan/atau perhitungan luas;

2.       Kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran dan/atau pengakuan hak atas tanah bekas milik adat;

3.       Kesalahan prosedur dalam proses penetapan dan/atau pendaftaran hak tanah;

4.       Kesalahan prosedur dalam proses penetapan tanah terlantar, tumpang tindih hak atau sertifikat hak atas tanah yang salah satu alas haknya jelas terdapat kesalahan.

5.       Kesalahan prosedur dalam proses pemeliharaan data pendaftaran tanah;

6.       Kesalahan prosedur dalam proses penerbitan sertifikat pengganti;

7.       Kesalahan dalam memberikan informasi data pertanahan, kesalahan prosedur dalam proses pemberian izin;

8.       Penyalahgunaan pemanfaatan ruang, serta kesalahan lain dalam penerapan peraturan perundang-undangan.

Pasal ini juga tak bisa dilepaskan dari ketentuan Pasal 107 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan mengenai cacat secara hukum administrasi.

Selain sengketa atau konflik tersebut, Kementerian Agraria dan Tata Ruang tidak berwenang menangani kasus pertanahan. Namun, Kementerian Agraria dan Tata Ruang dapat mengambil inisiatif untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa atau konflik melalui jalur mediasi.

Jalur mediasi dalam aturan ini ditempuh juga untuk jenis sengketa atau konflik, baik yang menjadi kewenangan kementerian atau yang bukan menjadi kewenangan kementerian. Penyelesaian melalui jalur mediasi dapat ditempuh apabila para pihak sepakat melakukan perundingan dengan prinsip musyawarah untuk mufakat bagi kebaikan semua pihak.

Jika salah satu pihak saja menolak, maka penyelesaiannya diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Teknisnya, mediasi dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari dimana untuk mediatornya berasal dari kementerian, Kantor Wilayah BPN atau Kantor Pertanahan.

Dalam hal mediasi ditemukan kesepakatan, maka selanjutnya dibuat perjanjian perdamaian berdasarkan berita acara mediasi yang mengikat para pihak. Setelah itu, perjanjian perdamaian itu didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat untuk memperolah kekuatan hukum mengikat. Yang perlu dicatat, mediasi dianggap batal apabila setelah diundang tiga kali secara patut, para pihak atau salah satu pihak yang berselisih tidak hadir. Sehingga, para pihak dipersilahkan menyelesaikan sengketa atau konflik dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Terkait dengan eksekusi. Keputusan penyelesaian sengketa atau konflik dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pertanahan. Terhadap keputusan itu wajib dilaksanakan kecuali terdapat alasan yang sah untuk menunda pelaksanaannya. Pasal 33 ayat (2) Permen Agraria Nomor 11 Tahun 2016 menyebutkan ada tiga alasan yang sah untuk menunda pelaksanaan. Ketiganya, yakni sertifikat yang akan disita oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau lembaga penegak hukum lainnya, tanah yang menjadi objek pembatalan menjadi objek hak tanggungan, serta tanah telah dialihkan kepada pihak lain.

Dalam konteks ini, Penyelesaian perkara melalui litigasi dapat dilakukan dengan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) secara perdata di Pengadilan Negeri domisili tempat obyek sengketan berada (Pasal 142 RBg) atau Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) dimana Kementerian Agraria dan Tata Ruang Cq. Badan Pertanahan Nasional setempat menjadi pihak terkait, untuk membatalkan Hak Guna Bangunan (HGB) milik PT ANTAM Tbk.

Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap wajib dilaksanakan kecuali terdapat alasan yang sah untuk ditunda, di antaranya objek putusan terdapat putusan lain yang bertentangan, terhadap objek putusan sedang dalam status diblokir atau sita oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau lembaga penegak hukum lainnya, serta alasan-alasan lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kerahasiaan Perusahaan

Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Ombudsman RI Perwakilan Kalbar dengan Nomor ***/BAP-***.2019/I/2020/PTK pada tanggal 14 Januari 2020, PT ANTAM Tbk menjelaskan bahwa:

1)           Pada tanggal 12 Desember 2019 PT ANTAM telah menyampaikan Surat kepada Ombudsman RI Perwakilan Kalbar intinya menyampaikan bahwa pembebasan lahan yang dilakukan PT ANTAM sudah dilakukan dengan itikad baik dan memenuhi kaidah yang berlaku;

2)          Karena ada beberapa hal yang harus diputuskan terkait penyerahan data yang bersifat rahasia, namun mengingat dalam waktu dekat ada pergantian direksi , maka data tersebut belum bisa disampaikan pada Ombudsman RI Perwakilan Kalbar;

3)          PT ANTAM merupakan anak perusahaan PT INALUM;

4)          Proyek pengadaan lahan PT ANTAM yang menjadi permasalahan merupakan proyek yang berbasis keuntungan tanpa melibatkan Pemkab Mempawah.

Menurut kami ada beberapa kerahasiaan perusahaan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, (vide Pasal 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang) antara lain:

1)       Metode produksi;

2)      Metode pengolahan;

3)      Metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum.

Sedangkan dalam Pasal 17 huruf b Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik disebutkan sebagai informasi yang apabila dibuka dapat mengganggu kepentingan perlindungan HAKI dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat.

Informasi yang diminta Sdr. AD dan juga setelah membuat laporan ke Ombudsman RI Perwakilan Kalbar yang juga meminta informasi terkait dengan dokumen Warkah Penerbitan HGB Nomor *** an. PT ANTAM Tbk seluas 20.900 m2 terdapat Surat Perjanjian Pelepasan Hak oleh Sdr. MLS yang mengatasnamakan Sdr. SH pada tanggal 19 November 2014 yang menerangkan bahwa di atas tanah tersebut bangunan dan tanaman yang ada di atasnya (baca poin a dan b) telah dibayarkan uang sebesar Rp. 63.000.000,- (enam puluh tiga juta rupiah) dan diketahui oleh Kepala Desa ****** an. SBR dengan menggunakan Surat Pernyataan Tanah Sdr. SH tanggal 31 Oktober 2013 dengan Nomor Registrasi ***.*/***/BB/X/2013 tanggal 23 Oktober 2013 yang diketahui oleh Kepala Desa an. SBR bahwa Sdr. SH menguasai tanah seluas 20.900 m2, tidaklah termasuk dalam klasifikasi dokumen yang rahasia. Meski pun sudah ada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2021 tentang Layanan Informasi Publik, akan tetapi yang dikecualikan adalah HGU bukan HGB.

Status Hukum dan Tanggung Hukum Anak Perusahaan dan Induk Perusahaan pada duduk perkara poin n angka 3 (tiga) dan poin o, PT ANTAM dan PT Borneo Alumina Indonesia (BAI), merupakan anak perusahaan dari PT INALUM.  

Konstruksi hukum antara Perusahaan induk dengan Anak Perusahaan yang harus digaris bawahi ialah dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas atau UU PT menggunakan prinsip hukum mengenai kemandirian badan hukum induk dan anak perusahaan untuk bertindak sebagai subyek hukum mandiri dan berhak melakukan perbuatan hukum sendiri. Berdasarkan prinsip hukum tersebut maka berimplikasi:

1)      Induk perusahaan tidak bertanggung jawab atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh anak perusahaan;

2)     Berlakunya prinsip limited liability (prinsip keterbatasan tanggung jawab) yang melindungi perusahaan induk sebagai pemegang saham anak perusahaan untuk tidak bertanggungjawab melebihi nilai investasi atas ketidakmampuan anak perusahaan menyelesaikan tanggung jawab hukum dengan pihak ketiga.

Pasal 40 ayat (2) KUHD menyatakan bahwa pemegang saham tidak bertanggung jawab lebih dari pada jumlah Penuh dari saham-saham yang ia miliki. Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimiliki. Ini disebut juga Prinsip limited liability (prinsip keterbatasan tanggung jawab) pinduk perusahaan sebagai pemegang saham anak perusahaan yang menjadi lex specialis-nya mengacu pada ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ini bersifat residual, dimana dinyatakan bahwa pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimilikinya.

Namun prinsip tanggung jawab tersebut akan hapus dan induk perusahaan akan bertanggungjawab terhadap permasalahan hukum anak perusahaan dalam hal-hal:

1)       Induk Perusahaan turut menandatangani perjanjian yang dilakukan anak perusahaan dengan pihak ketiga anak perusahaan;

2)      Induk Perusahaan bertindak sebagai corporate guarantee atas perjanjian anak perusahaan dengan kreditor;

3)      Induk perusahaan melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian bagi pihak ketiga dari anak perusahaan. (vide Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas)

Perusahaan induk dapat dikenakan tanggung jawab hukum atas kerugian pihak ketiga sebagai akibat hukum dari anak perusahaan yang menjalankan instruksi induk perusahaan. Namun hukum perseroan masih mempertahankan pengakuan yuridis terhadap status badan induk dan anak perusahaan sebagai subjek hukum mandiri, dikarenakan badan hukum yang berbeda maka perusahaan induk tidak bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh anak perusahaan.

Hubungan perusahaan induk dan anak perusahaan dalam perusahaan kelompok melalui kepemilikan saham, kepemimpinan, maupun kontrak tidak dapat digunakan sebagai justifikasi bahwa pengendalian induk terhadap anak perusahaan telah menyebabkan ketidak mandirian anak perusahaan dalam menjalankan instruksi perusahaan induk.

Perusahaan induk dan juga anak perusahaan yang merupakan badan hukum yang mandiri tersebut memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Prinsip ini juga berlaku pada hubungan antara anak perusahaan dengan pihak ketiga.

Ketentuan Pidana Pemalsuan Surat dan Penyerobotan Tanah

Kenapa kami memasukkan ketentuan pidana dalam Pendapat Hukum ini, karena berdasarkan kronologis atau duduk perkara yang ada Sdr. SH saat dimintai klarifikasi oleh Sdr. AD meminta klarifikasi kepada Sdr. SH pada tanggal 30 Agustus 2019, Sdr. Suhar pun membuat Surat Penyataan yang intinya menyatakan tidak pernah menjual tanah tersebut (poin f duduk perkara) berdasarkan hal tersebut maka menurut kami dapat dikenakan Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan sebagai berikut ini:

Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.”

Selain itu juga Pasal 385 KUHP yang mengatur tentang kejahatan yang berkaitan langsung dengan kepemilikan tanah, sebagai berikut: Dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun dihukum:

1.           Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak menjual, menukar, atau menjadikan tanggungan utang sesuatu hak Rakyat dalam memakai tanah Pemerintah atau tanah partikulir atau sesuatu rumah, pekerjaan, tanaman atau bibit di tanah tempat orang menjalankan hak Rakyat memakai tanah itu, sedang diketahuinya bahwa orang lain yang berhak atau turut berhak atas barang itu.

Juga Pasal 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya, mengatur mengenai larangan memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah. Memakai tanah ialah menduduki, mengerjakan dan/atau mengenai sebidang tanah atau mempunyai tanaman atau bangunan di atasnya, dengan tidak dipersoalkan apakah bangunan itu dipergunakan sendiri atau tidak.(vide Pasal 1 Angka 3 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya

Memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah adalah perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman pidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-sebanyaknya Rp. 5.000,- (vide Pasal 6 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya)

Pidana ini juga berlaku bagi orang yang memberi bantuan dengan cara apapun juga untuk melakukan perbuatan memakai tanah tanpa izin pihak yang berhak atas tanah tersebut. (vide Pasal 6 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya)

4.       SIMPULAN

Bahwa berdasarkan hal-hal yang sudah kami jelaskan sebagaimana penjelasan di atas, kami berpendapat Langkah konkrit yang dapat ditempuh oleh Ahli Waris dan/atau kuasanya adalah dengan mengambil langkah secara litigasi dengan melalui Sengketa Kepemilikan Tanah pada Pengadilan Negeri, kalau pun sifatnya ingin menggugat pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dapat saja dilakukan dengan catatan titik tekannya ialah melihat unsur yang melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik seperti Asas Kepastian Hukum, Asas Ketidakberpihakan, asas kecermatan, dan lain sebagainya, ada atau pun tanpa harus terlebih dahulu dilakukan gugatan pada Pengadilan Negeri.

Untuk melaporkan terkait dengan pemalsuan, titik tekannya dapat dilihat acuan teknisnya sebagaimana diatur dalam Pasal 80 ayat (2) huruf a Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 10 Tahun 2009 tentang Tata Cara Dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara Dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Polri Tata Cara Dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Polri, berbunyi:

“bahwa dokumen bukti yang dikirimkan (untuk diuji) adalah dokumen asli, bukan merupakan tandasan karbon, faks dan fotokopi”. Sehingga dalam hal ini fotokopi dokumen yang diduga palsu tidak dapat dilakukan pengujian Laboratorium Forensik.”

Ini juga menjadi kendala teknis jika ingin mengambil langkah pidana terkait dengan pemalsuan, bahwa pengadu atau pelapor nanti dimintakan terkait dengan dokumen asli yang dipalsu sebagai perbandingan dalam uji lab oleh penyidik. Selain itu terkait pidana penyerobotan juga biasanya penyidik meminta bukti kepemilikan atau alas hak seperti Sertifikat Hak Milik (SHM) mengingat bahwa SHM yang dimaksudkan tidak ada hanya berupa Surat Keterangan Tanah milik para ahli waris.

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


[1] Irma Devita Purnamasari, “Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Mengatasi Masalah Hukum Pertanahan”, (Bandung: Penerbit Kaifa PT Mizan Pustaka, 2010), 2-3.

[2] Urip Santoso, “Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum”, (Surabaya: Airlangga University Press, 2013), 5.

[3] Boedi Harsono, “Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Penyusunan UUPA, Isi, dan Pelaksanaannya”, (Jakarta: Djambatan, 1999), 135.

[4] Dodi Oktarino, “Serba Serbi Hukum Bisnis”, (E-Cipta Mandiri, 2021), 31-32.

[5] Arie S. Hutagalung, dkk, “Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia”, (Denpasar: Pustaka Larasan, 2012), 216—217.

[6] Boedi Harsono dalam Saleh Adiwinata “Bungai Rampai Hukum Perdata dan Tanah I” (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1984), 79-80.

[7] Hatta Isnaini Wahyu Utomo, “Memahami Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah”, (Jakarta: Kencana, 2020), 207.

Formulir Isian