Melaksanakan perundingan bipartit terlebih
dahulu terkait dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan oleh PT
Sumaterajaya Agro Lestari Wilayah Timur, Toba sebagaimana Permenaker Nomor 31
Tahun 2008 tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Melalui Perundingan Bipartit antara para pihak.
POKOK PERSOALAAN
1.
Apa ketentuan
Hukum yang Berlaku terkait Kasus Pemutusan Hubungan Kerja antara PT
Sumaterajaya Agro Lestari Wilayah Timur, Toba selaku Perusahaan atau Pemberi
Kerja dan Ir. Budiono selaku pekerja atau Penerima Kerja?
2.
Status Perjanjian
Kerja antara PT Sumaterajaya Agro Lestari Wilayah Timur, Toba selaku Perusahaan
atau Pemberi Kerja dan Ir. Budiono selaku pekerja atau Penerima Kerja?
3.
Bagaimana
pengaturan terkait Upah Penerima Kerja sebagaimana yang diterima dan
kualifikasinya?
4.
Bagaimana
ketentuan pekerja yang absen selama 5 (lima) hari berturut-turut tanpa alasan
yang sah dan setelah Pengusaha/Pemberi Kerja melaksanakan pemanggilan 3 (tiga)
kali dapat melakukan PHK, sebagai konsekuensinya tidak mendapatkan
Pesangon, UPMK, dan UPH?
5.
Apakah Pembayaran
THR dilakukan sesuai dengan Keputusan Direksi dan menggunakan peraturan yang
lama masih dapat diberlakukan dan apakah Pekerja masih berhak mendapatkan THR?
DASAR HUKUM
1.
Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2.
Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
3.
Peraturan
Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan;
4.
Peraturan Menteri
Ketengakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi
Pekerja/Buruh di Perusahaan;
5.
Keputusan Menteri
Ketenagakerjaan Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu;
6.
Surat Edaran
Menteri Ketenagakerjaan Nomor 7 Tahun 1990 tentang Pengelompokan Upah;
7.
Surat Edaran
Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Pemberian
Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2022 Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.
ANALISA HUKUM
Bahwa berdasarkan Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu
Nomor 02/GM/Gn.sG-Kalbar/III/2020, atas nama Ir.Budiono selaku pihak kedua
adalah pekerja yang bekerja sebagai Estate Manager (EM) di PT Sumaterajaya Agro
Lestari Wilayah Timur, Toba dengan status awal Staff Percobaan selama 1
(satu) tahun terhitung sejak tanggal 20 Maret 2020 sampai dengan 20 Maret 2021.
Apabila selama menjadi Staff Percobaan Pihak Kedua dinilai mampu bekerja dengan
sikap yang bagus dan bisa menunjukkan potensi dirinya, maka pihak kedua akan
dinyatakan lulus masa percobaan dan diangkat sebagai Staff Tetap.
PERTANYAAN HUKUM:
Apa ketentuan Hukum yang Berlaku terkait Kasus
Pemutusan Hubungan Kerja antara PT Sumaterajaya Agro Lestari Wilayah Timur,
Toba selaku Perusahaan atau Pemberi Kerja dan Ir. Budiono selaku pekerja atau
Penerima Kerja?
PENJELASAN PERTANYAAN HUKUM:
Keberlakuan Hukum Yang Digunakan
Bahwa pertama-tama sebelum lebih jauh perlu terlebih
dahulu dipertegas bahwa ada beberapa catatan antara lain:
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menyatakan:
“Semua
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang yang telah diubah oleh Undang-Undang
ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang
ini dan wajib disesuaikan paling lama 3 (tiga) bulan.”[1]
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan
Hubungan Kerja menyatakan:
“Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.”[2]
Yaitu mulai berlaku sejak tanggal 2 Februari 2021.
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang
Pengupahan menyatakan:
“Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.”[3]
Yaitu mulai berlaku sejak tanggal 2 Februari 2021.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 23 Tahun 2021
tentang Pencabutan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Sebagai Akibat
Diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Beserta
Peraturan Pelaksana menyatakan:
“Peraturan
Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan yaitu tanggal 12 November
2021 dan berlaku surut sejak tanggal 2 Februari 2021.”[4]
Bahwa perlu kami jelaskan terkait keberlakuan suatu
perundang-undang sebagaimana ketentuan-ketentuan di atas terdapat istilah yang
dikenal dalam hukum (Ilmu Perundang-Undangan) dengan Transitional
Provision–Overgangs Bepalingen atau disebut dengan Ketentuan
Peralihan. Ketentuan Peralihan (Transitional Provision–Overgangs
Bepalingen) dalam suatu Peraturan Perundang-Undangan merupakan suatu
ketentuan hukum yang berfungsi untuk menjaga jangan sampai terdapat pihak-pihak
yang dirugikan dengan adanya perubahan ketentuan dalam suatu Peraturan
Perundang-undangan.[5] Keberlakuaan
Undang-Undang Cipta Kerja yaitu pertanggal 2 November 2020, artinya keberlakuan
semua peraturan pelaksanaan Cipta Kerja paling lama 3 (tiga) bulan yaitu
tanggal 2 Februari 2021 sebagaimana ketentuan Pasal 185 huruf b di atas.
Bahwa beberapa aturan yang dapat terkait dengan Pokok
Persoalan sebagaimana yang akan dibahas yaitu aturan pelaksanaan Undang-Undang
Cipta Kerja adalah antara lain:
1.
Peraturan
Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu,
Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja
(berlaku 2 Februari 2021);
2.
Peraturan
Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (berlaku 2 Februari 2021);
3.
Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan Nomor 23 Tahun 2021 tentang Pencabutan Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan Sebagai Akibat Diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
Tentang Cipta Kerja Beserta Peraturan Pelaksana (berlaku pada tanggal
diundangkan yaitu tanggal 12 November 2021 dan berlaku surut sejak tanggal 2
Februari 2021.)
Bahwa berdasarkan Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan Nomor 23 Tahun 2021 tentang Pencabutan Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan Sebagai Akibat Diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
Tentang Cipta Kerja Beserta Peraturan Pelaksana, dinyatakan berlaku
pada tanggal diundangkan yaitu tanggal 12 November 2021 dan berlaku surut sejak
tanggal 2 Februari 2021), artinya berlaku mundur suatu ketentuan hukum
kebelakang dari tanggal dibuatnya suatu peraturan, artinya semua ketentuan Peraturan
Menteri Ketenagakerjaan yang sudah ada, sejak tanggal 2 Februari 2021 dan
setelahnya dinyatakan tidak berlaku.
Bahwa mengingat Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu Nomor
02/GM/Gn.sG-Kalbar/III/2020 berlaku sejak tanggal ditetapkan yaitu 20 Maret
2020, yang mana saat itu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
beserta Peraturan Pelaksanaannya belum diundangkan, oleh karena ketentuan
terkait dengan dasar hukum dibuatnya Pembuatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) berlakulah sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan beserta Peraturan Pelaksanaannya sebelum
berlakunya ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021
tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu
Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, Peraturan Pemerintah Nomor 36
Tahun 2021 tentang Pengupahan, dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor
23 Tahun 2021 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Sebagai
Akibat Diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
Beserta Peraturan Pelaksana di atas.
SIMPULAN
Bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian
kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.[6] Perjanjian
Kerja yang dimaksud adalah Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu Nomor
02/GM/Gn.sG-Kalbar/III/2020 berlaku sejak tanggal ditetapkan yaitu 20 Maret
2020, yang mana pada saat Perjanjian Kerja itu dibuat Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta Peraturan Pelaksanaannya belum
diundangkan, oleh karena ketentuan terkait dengan Pembuatan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT) berlakulah sebagaimana ketentuan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan beserta Peraturan Pelaksanaannya.
Apa Jenis dan Sifat Perjanjian Kerja antara PT
Sumaterajaya Agro Lestari Wilayah Timur, Toba selaku Perusahaan atau Pemberi
Kerja dan Ir. Budiono selaku pekerja atau Penerima Kerja?
PENJELASAN PERTANYAAN HUKUM:
Jenis dan Sifat Pekerjaan yang Dilakukan Dalam
Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu Nomor 02/GM/Gn.sG-Kalbar/III/2020 PKWT atau
PKWTT
Bahwa menurut ketentuan perundang-undangan terkait
dengan Perjanjian Kerja dibagi menjadi dua yaitu Perjanjian kerja dibuat
untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak
tertentu.[7]
Bahwa untuk Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu
(PKWT) didasarkan atas:
1)
Jangka
waktu atau
2)
Selesainya
suatu pekerjaan tertentu.[8]
Bahwa perlu diketahui juga sebagaimana perjanjian
kerja pada umumnya, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) harus memenuhi
syarat-syarat baik syarat materiil maupun syarat formil. Terkait syarat
materiil PKWT diatur dalam Pasal 52, Pasal
55, Pasal 58, dan Pasal 59 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.[9] Sedangkan syarat
formil diatur dalam Pasal 54 dan Pasal
57 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.[10]
Syarat Materiil PKWT yang dimaksud adalah sebagai berikut:
-
Pasal 52 tentang Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
a.
kesepakatan kedua
belah pihak;
b.
kemampuan atau
kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c.
adanya pekerjaan
yang diperjanjikan; dan
d.
pekerjaan yang
diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
peraturan perundang undangan yang berlaku.
Bertentangan dengan huruf a dan b maka dapat
dibatalkan, sedangkan bertentangan dengan huruf c dan d maka batal
demi hukum.
-
Pasal 55 tentang Perjanjian kerja tidak dapat ditarik
kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak.
-
Pasal 58 tentang Perjanjian Kerja untuk Waktu
Tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. Dalam hal
disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana
dimaksud, masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.
-
Pasal 59 tentang Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu
hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau
kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu.
Syarat Formil PKWT yang dimaksud adalah sebagai berikut:
-
Pasal 54 tentang format Perjanjian kerja yang dibuat
secara tertulis;
-
Pasal 57 tentang Perjanjian kerja untuk waktu tertentu
dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf
latin.
Bahwa yang dimaksud dengan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT) didasarkan atas jangka waktu adalah:
“Perjanjian
kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat
diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang
1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.”[11]
Terkait dengan maksud perpanjangan PKWT dilakukan
paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja
waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis
kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.[12]
Bahwa yang dimaksud dengan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT) didasarkan atas selesainya suatu pekerjaan tertentu yang hanya
dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau
kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:pekerjaan yang
sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
a.
pekerjaan yang
diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling
lama 3 (tiga) tahun;
b.
pekerjaan yang
bersifat musiman; atau
c.
pekerjaan yang
berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih
dalam percobaan atau penjajakan.”[13]
d.
Kemudian perlu
diketahui bahwa Perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) tidak
dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.[14]
Yang dimaksud, jenis pekerjaan yang bersifat tetap
adalah pekerjaan yang sifatnya terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak
dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu
perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman. Kemudian, pekerjaan yang bukan
musiman adalah pekerjaan yang tidak bergantung cuaca atau suatu kondisi
tertentu.
Jika pekerjaan itu terus-menerus, tidak
terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses
produksi, tetapi bergantung cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya
suatu kondisi teretntu, maka pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman
yang termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi objek perjanjian kerja
waktu tertentu.[15]
Bahwa menjadi pertanyaan apakah Estate Manager sebagai
jabatan dengan status Staff Percobaan dari pekerjaan yang diberikan merupakan
jenis pekerjaan yang masuk dalam kualifikasi Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu? Berikut penjelasannya:
Apa yang dimaksud dengan Staff Percobaan?
Hukum tidak mensyaratkan Masa Percobaan Kerja pada
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau Kontrak atau Pekerjaan yang Tidak
Tetap[16].
Menurut ketentuan hukum bila pekerja dan perusahaan setuju untuk
melakukan masa percobaan kerja bisa langsung diterapkan perusahaan untuk
calon pekerja atau pekerja untuk perjanjian kerja yang bersifat tetap atau
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) bukan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT).
Apa itu Estate Manager?
Estate Manager adalah orang yang mengelola kebun
kelapa sawit yang memiliki tugas mengendalikan pekerjaan dari pekerja lain yang
memiliki pekerjaan yang berbeda-beda. Apakah berdasarkan sifat dan jenisnya ini
termasuk sebagaimana Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan? Menurut hemat kami sebagaimana Pasal
1 Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu Nomor
02/GM/Gn.sG-Kalbar/III/2020, Estate Manager merupakan pekerjaan yang
bersifat tetap karena adanya klausul yang menyatakan bahwa “apabila
selama menjadi Staff Percobaan pihak kedua dinilai mampu bekerja dengan sikap
yang bagus dan bisa menunjukkan potensi dirinya, maka pihak kedua akan
dinyatakan lulus masa percobaan dan diangkat sebagai Staff Tetap,”
Bagaimana jika tetap dicantumkan (masa percobaan)
dalam Perjanjian Kerja sebagaimana ketentuan Pasal
1 Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu Nomor 02/GM/Gn.sG-Kalbar/III/2020 berlaku
sejak tanggal ditetapkan yaitu 20 Maret 2020 antara PT Sumaterajaya Agro
Lestari Wilayah Timur, Toba selaku Perusahaan atau Pemberi Kerja dan Ir.
Budiono selaku pekerja atau Penerima Kerja?
Bahwa karena disyaratkan adanya masa percobaan kerja
dalam perjanjian kerja yang menyebutkan:“apabila selama menjadi Staff
Percobaan pihak kedua dinilai mampu bekerja dengan sikap yang bagus dan bisa
menunjukkan potensi dirinya, maka pihak kedua akan dinyatakan lulus
masa percobaan dan diangkat sebagai Staff Tetap, tetapi apabila sikap
kerja dan potensi pihak kedua dinilai tidak bagus selama masa percobaan maka
kesempatan ini dinyatakan berakhir dan pihak kedua akan diberhentikan.”
Menurut hemat kami, Masa percobaan kerja yang
disyaratkan (tersebut) di atas batal demi hukum.[17]
Oleh karenanya Perjanjian kerja untuk waktu tertentu
tersebut tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1),
ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi
perjanjian kerja waktu tidak tertentu.[18]
Ada beberapa catatan sebagaimana penjelasan kami di
atas dalam hal ini yaitu:
1.
Sejak Rabu 4
November 2015, sepanjang frasa ”demi hukum”, bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pekerja/buruh
dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan
kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:
A.
Telah
dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak
mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding: dan
B.
Telah
dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berasarkan
peraturan perundang undangan”[19].
2.
Bahwa Putusan
Mahkamah Konstitusi di atas, dengan tidak terpenuhinya syarat-syarat perjanjian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, termasuk tidak dicatatkannya PKWT
oleh pengusaha pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan,
berakibat menjadi PKWTT dengan catatan Telah dilaksanakan
perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai
kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding dan Telah dilakukan
pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berasarkan peraturan
perundang undangan.[20]
SIMPULAN
1.
Perjanjian Kerja
untuk Waktu Tertentu (PKWT) didasarkan atas: Jangka waktu atau
Selesainya suatu pekerjaan tertentu’.
2.
Perjanjian kerja
untuk waktu tertentu (PKWT) tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat
tetap.
3.
Menurut ketentuan
hukum bila pekerja dan perusahaan setuju untuk melakukan masa
percobaan kerja bisa langsung diterapkan perusahaan untuk calon pekerja atau
pekerja untuk perjanjian kerja yang bersifat tetap atau Perjanjian Kerja Waktu
Tidak Tertentu (PKWTT) bukan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
4.
Estate Manager
merupakan pekerjaan yang bersifat tetap karena adanya klausul yang menyatakan
bahwa “apabila selama menjadi Staff Percobaan pihak kedua dinilai mampu
bekerja dengan sikap yang bagus dan bisa menunjukkan potensi dirinya,
maka pihak kedua akan dinyatakan lulus masa percobaan dan diangkat
sebagai Staff Tetap,” Oleh karena Status Perjanjian
Kerja Para Pihak bentuknya adalah Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
(PKWTT).
5.
Masa percobaan
kerja yang disyaratkan (tersebut) di atas batal demi hukum. Oleh karenanya
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tersebut tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan
ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak
tertentu.
6.
Akan tetapi,
sejak Rabu 4 November 2015, sepanjang frasa “demi hukum”,
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pekerja/buruh
dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan
kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:
A.
Telah
dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak
mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding: dan
B.
Telah
dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berasarkan
peraturan perundang undangan.
7.
Putusan Mahkamah
Konstitusi di atas, dengan tidak terpenuhinya syarat-syarat perjanjian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, termasuk tidak dicatatkannya PKWT oleh
pengusaha pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan,
berakibat menjadi PKWTT dengan catatan Telah dilaksanakan
perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai
kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding dan Telah dilakukan
pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berasarkan peraturan
perundang undangan.
Bagaimana Pengaturan Terkait Upah Penerima Kerja
(Ir.Boediono) Sebagaimana Yang Diterima Dan Kualifikasinya?
PENJELASAN PERTANYAAN HUKUM:
Aturan Tentang Pengupahan
Bahwa sebagaimana klausul Pasal 2
Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu Nomor 02/GM/Gn.sG-Kalbar/III/2020,
menyebutkan:
“Pada masa percobaan Pihak Pertama akan
memberikan gaji sebesar Rp. 13.500.000,- (tiga belas juta lima ratus
ribu rupiah)/bulan dan Tunjangan Jabatan sebesar Rp.
2.000.000,- (dua juta rupiah)/bulan terhitung sejak masuk kerja.
Gaji dan tunjangan ini akan diberikan pada setiap awal bulan depannya.”
Bahwa sebagaiman klausul di atas total upah yang
diterima oleh Pekerja adalah Rp. 15.500.000,- (lima belas juta lima
ratus ribu) setiap bulannya.
Bahwa merujuk pada ketentuan hukum yang disebut dengan
upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang
ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau
peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan
keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.[21]
Bahwa sebagaimana pada penjelasan di atas menyebutkan
adanya upah dan tunjangan jabatan yang
diterima oleh pekerja. Menurut hemat kami, itu masuk dalam kompenen upah
sebagaimana yaitu Upah Pokok dan Tunjangan Tetap.[22] Tunjangan
tetap yang dimaksud adalah sesuai sebagaimana Angka 1 huruf b Surat
Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor 7 Tahun 1990 tentang Pengelompokan Upah yang
menyebutkan, suatu pembayaran yang teratur berkaitan dengan pekerjaan yan
diberikan secara tetap untuk pekerja dan keluarganya serta dibayarkan dalam
satuan waktu yang sama.
SIMPULAN
1.
Pihak Pertama
akan memberikan gaji sebesar Rp. 13.500.000,- (tiga belas juta
lima ratus ribu rupiah)/bulan dan Tunjangan Jabatan
sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah)/bulan terhitung
sejak masuk kerja. Gaji dan tunjangan ini akan diberikan pada setiap awal bulan
depannya.
2.
Bahwa sebagaimana
pada poin 1 (satu) di atas menyebutkan adanya upah dan tunjangan jabatan yang
diterima oleh pekerja. Menurut hemat kami, itu masuk dalam kompenen upah
sebagaimana yaitu Upah Pokok dan Tunjangan Tetap.
3.
Untuk dasar
penghitungannya maka berdasarkan Kompenen keduanya jika terjadi Pemutusan
Hubungan Kerja.
Bagaimana Ketentuan Pekerja Yang Absen Selama 5 (Lima)
Hari Berturut-Turut Tanpa Alasan Yang Sah Dan Setelah Pengusaha/Pemberi Kerja
Melaksanakan Pemanggilan 3 (Tiga) Kali Dapat Melakukan PHK, sebagai
Konsekuensinya Tidak Mendapatkan Pesangon, UPMK, dan UPH?
PENJELASAN PERTANYAAN HUKUM:
PHK Tidak Mendapatkan Pesangon, UMPK, dan Uang Ganti
Kerugian?
Bahwa sebagaimana klausul yang terdapat dalam Pasal
8 Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu Nomor 02/GM/Gn.sG-Kalbar/III/2020, yang
menyatakan bahwa “Jika Pihak Kedua tidak hadir (absen) selama 5 (lima) hari
berturut-turut tanpa alas an yang sah, dan setelah pihak pertama melaksanakan
pemanggilan sebanyak 3(tiga) kali Dapat Melakukan PHK, sebagai
Konsekuensinya Tidak Mendapatkan Pesangon, UPMK, dan UPH.”
Bahwa berdasarkan di atas terdapat kekeliruan dalam
merumuskan perjanjian mengingat bahwa, tepat, dalam hal pekerja/buruh melakukan
pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja (PK), Peraturan
Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB), pengusaha dapat melakukan
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan
diberikan Surat Peringatan Pertama, Kedua, dan Ketiga secara berturut-turut.[23]
Perlu diingat bahwa Surat peringatan sebagaimana
dimaksud masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali
ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama.[24]
Sedangkan dalam Surat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
yang dimaksud, tidak menyebutkan terkait dengan keberlakuan dari jangka waktu
Surat Peringatan, maka berlakulah ketentuan sebagaimana yang disebutkan di
atas. Kemudian, terkait dengan dapat atau tidaknya Pesangon, Uang Penghargaan
Masa Kerja (UMPK) dan Uang Ganti Kerugian, pekerja/buruh yang mengalami
pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud tetap memperoleh
uang Pesangon sebesar 1 (satu) kali sebagaimana ketentuan Pasal 156
ayat (2), Uang Penghargaan Masa Kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan Uang Penggantian Hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)[25]
Bahwa merujuk pada Surat Keputusan Management Nomor
047/GM/GG-Kalbar/III/2022 tentang Perihal PHK, menyebutkan alasan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) adalah hasil dari evaluasi yang sangat tidak memuaskan
dari kinerja pekerja dan terhitung tanggal 31 Maret 2022 masa kerjanya
berakhir. Tidak ada disebutkan dalam Surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
tersebut Pekerja telah melakukan pelanggaran sebagaimana yang dimaksud dan
tidak disebutkan juga terkait dengan apakah sudah mendapatkan Surat Peringatan
sebelum melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau pun tidak, sebagaimana
sudah kami jelaskan di atas Jo. Pasal 8 Kesepakatan
Kerja Waktu Tertentu Nomor 02/GM/Gn.sG-Kalbar/III/2020, yang
menyatakan bahwa “Jika Pihak Kedua tidak hadir (absen) selama 5 (lima)
hari berturut-turut tanpa alasan yang sah, dan setelah pihak pertama
melaksanakan pemanggilan sebanyak 3 (tiga) kali Dapat Melakukan PHK,
sebagai Konsekuensinya Tidak Mendapatkan Pesangon, UPMK, dan UPH.” SANGAT
TIDAK BERDASARKAN HUKUM DAN MELANGGAR KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN. Mengingat
bahwa Pekerja berstatus PKWTT bukan PKWT (sebagaimana sudah kami jelaskan
terkait statusnya menjadi PKWTT).
Bahwa dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja,
pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa
kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.[26]
Bahwa kemudian cara menghitung Pesangon yang
didapatkan oleh Ir. Boediono yang mana mulai bekerja sebagaimana Kesepakatan
Kerja Waktu Tertentu Nomor 02/GM/Gn.sG-Kalbar/III/2020 tertanggal 20 Maret 2020 hingga
akhirnya terhitung dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tertanggal 31 Maret
2022 maka terhitung 2 (dua) tahun masa kerjanya, maka berlakukanlah ketentuan
masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga)
bulan upah.[27]
Yaitu 15.500.000,- (yang terdiri dari Upah Pokok dan
Tunjangan Tetap) x 3 = Rp. 46.500.000,- (empat puluh enam juta lima ratus
ribu rupiah).
Bahwa untuk Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK)
mengingat bahwa perhitungan uang penghargaan masa kerja dimulai dari masa kerja
3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun[28] maka
Ir. Boediono tidak mendapatkan UPMK karena tidak memenuhi sebagaimana Pasal
156 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan atur.
Bahwa untuk Uang Pergantian Hak (UPH)[29] yaitu
15% dari Uang Pesangon yaitu Rp. 46.500.000,- x 15% = Rp. 6.975.000,- (enam
juta Sembilan ratus tujuh puluh lima ribu rupiah).
Bahwa Adapun penghitungannya sebagai berikut: Hak
atas Uang Pesangon dan Uang Pergantian Hak:
Maka Hak Pekerja yang harus dipenuhi oleh Perusahaan
sebagai akibat dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah sebesar Rp.
53.475.000,- (lima puluh tiga juta empat ratus tujuh puluh lima
ribu rupiah)
SIMPULAN:
1.
Surat Keputusan
Management Nomor 047/GM/GG-Kalbar/III/2022 tentang Perihal PHK, menyebutkan
alasan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah hasil dari evaluasi yang sangat
tidak memuaskan dari kinerja pekerja dan terhitung tanggal 31 Maret 2022 masa
kerjanya berakhir. Tidak ada disebutkan dalam Surat Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) tersebut Pekerja telah melakukan pelanggaran sebagaimana yang dimaksud
dan tidak disebutkan juga terkait dengan apakah sudah mendapatkan Surat
Peringatan sebelum melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau pun tidak.
2.
Dalam hal terjadi
pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau
uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
3.
Cara menghitung
Pesangon yang didapatkan oleh Ir. Boediono yang mana mulai bekerja
sebagaimana Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu Nomor
02/GM/Gn.sG-Kalbar/III/2020 tertanggal 20 Maret 2020 hingga
akhirnya terhitung dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tertanggal 31 Maret
2022 maka terhitung 2 (dua) tahun masa kerjanya, maka berlakukanlah ketentuan
masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga)
bulan upah. Yaitu 15.500.000,- (yang terdiri dari Upah Pokok dan Tunjangan
Tetap) x 3 = Rp. 46.500.000,- (empat puluh enam juta lima ratus ribu rupiah).
4.
Untuk Uang
Penghargaan Masa Kerja (UPMK) tidak ada, mengingat bahwa perhitungan uang
penghargaan masa kerja dimulai dari masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 6 (enam) tahun.
5.
Untuk Uang
Pergantian Hak (UPH) yaitu 15% dari Uang Pesangon yaitu Rp. 46.500.000,- x 15%
= Rp. 6.975.000,- (enam juta Sembilan ratus tujuh puluh lima ribu rupiah).
6.
Maka Hak Pekerja
yang harus dipenuhi oleh Perusahaan sebagai akibat dari Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) adalah Rp. 46.500.000,- + Rp. 6.975.000,- sebesar
Rp. 53.475.000,- (lima puluh tiga juta empat ratus tujuh puluh lima
ribu rupiah)
Apakah Pembayaran THR Dilakukan Sesuai Dengan
Keputusan Direksi Dan Menggunakan Peraturan Yang Lama Masih Dapat Diberlakukan
Dan Apakah Pekerja Masih Berhak Mendapatkan THR Tahun 2022?
PENJELASAN PERTANYAAN HUKUM:
Pembayaran THR
Bahwa Tunjangan hari raya keagamaan wajib diberikan
oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh, berdasarkan ketentuan Peraturan
Perundang-Undangan.[30]
Bahwa terkait besaran Tunjangan Hari Raya keagamaan
yang wajib dibayarkan mengingat masa kerja dari pekerja antara lain:
1.
Pekerja/Buruh
yang telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan secara terus menerus atau
lebih, diberikan sebesar 1 (satu) bulan upah.[31] Perlu
digaris bawahi juga bahwa upah pokok 1 (satu) bulan terdiri dari Upah dan
Tunjangan Tetap.[32]
2.
Pekerja/Buruh
yang mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus menerus tetapi kurang
dari 12 (dua belas) bulan, diberikan secara proporsional sesuai masa kerja
dengan penghitungan:
Bahwa dalam rangka memastikan pelaksanaan pembayaran
THR keagamaan dapat berjalan dengan baik perlu dilakukan Langkah-langkah antara
lainnya bagi perusahaan yang mampu dihimbau untuk membayar THR keagamaan lebih
awal sebelum jatuh tempo yaitu 7(tujuh) hari sebelum hari raya.[34]
Bahwa ada sanksinya jika pengusaha tidak membayarkan
hak normatif atau THR buruh sebagaimana mestinya yaitu:
-
Pengusaha yang
terlambat membayar THR Keagamaan kepada Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud
dikenai denda sebesar 5% (lima persen) dari total THR Keagamaan yang harus
dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban Pengusaha untuk membayar.
-
Pengenaan denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajibanPengusaha untuk
tetap membayar THR Keagamaan kepada Pekerja/ Buruh.
-
Denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikelola dan dipergunakan untuk kesejahteraan
Pekerja/Buruh yang diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama.[35]
Bahwa Pekerja/Buruh yang Hubungan Kerjanya berdasarkan
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dan mengalami Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) terhitung sejak 30 (tiga puluh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan,
berhak atas THR Keagamaan.[36]
Bahwa diketahui bahwa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
terhitung sejak tanggal 31 Maret 2022 dan Hari Raya Keagamaan tertanggal 2 Mei
2022 atau 3 Mei 2022 (Hari Raya Idul Fitri), dari tanggal Pemutusan Hubungan
Kerja sampai dengan Hari Raya Idul Fitri terhitung 33 (tiga puluh tiga) hari
atau 34 (tiga puluh empat) hari. Artinya Pekerja atau Ir. Boediono tidak berhak
atas THR Keagamaan.
SIMPULAN:
1.
Pekerja/Buruh
yang Hubungan Kerjanya berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
(PKWTT) dan mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhitung sejak 30 (tiga
puluh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan, berhak atas THR Keagamaan.
2.
Diketahui bahwa
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhitung sejak tanggal 31 Maret 2022 dan Hari
Raya Keagamaan tertanggal 2 Mei 2022 atau 3 Mei 2022 (Hari Raya Idul Fitri),
dari tanggal Pemutusan Hubungan Kerja sampai dengan Hari Raya Idul Fitri
terhitung 33 (tiga puluh tiga) hari atau 34 (tiga puluh empat) hari. Artinya
Pekerja atau Ir. Boediono tidak berhak atas THR Keagamaan.
KESIMPULAN
1.
Bahwa hubungan
kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan
pekerja/buruh. Perjanjian Kerja yang dimaksud adalah Kesepakatan
Kerja Waktu Tertentu Nomor 02/GM/Gn.sG-Kalbar/III/2020 berlaku sejak tanggal
ditetapkan yaitu 20 Maret 2020, yang mana pada saat Perjanjian Kerja
itu dibuat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta
Peraturan Pelaksanaannya belum diundangkan, oleh karena ketentuan terkait
dengan Pembuatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) berlakulah
sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
besera Peraturan Pelaksanaannya.
2.
Bahwa Kesepakatan
Kerja Waktu Tertentu Nomor 02/GM/Gn.sG-Kalbar/III/2020 berlaku sejak tanggal
ditetapkan yaitu 20 Maret 2020 tidak memenuhi Perjanjian Kerja
untuk Waktu Tertentu (PKWT) yang didasarkan atas: Jangka waktu atau
Selesainya suatu pekerjaan tertentu’.
3.
Bahwa Kesepakatan
Kerja Waktu Tertentu Nomor 02/GM/Gn.sG-Kalbar/III/2020 berlaku sejak tanggal
ditetapkan yaitu 20 Maret 2020 merupakan pekerjaan yang bersifat
tetap karena adanya klausul yang menyatakan bahwa “apabila selama menjadi
Staff Percobaan pihak kedua dinilai mampu bekerja dengan sikap yang bagus dan
bisa menunjukkan potensi dirinya, maka pihak kedua akan dinyatakan
lulus masa percobaan dan diangkat sebagai Staff Tetap,” Oleh
karena Status Perjanjian Kerja Para Pihak bentuknya adalah Perjanjian Kerja
Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
4.
Bahwa Masa
percobaan kerja yang disyaratkan (tersebut) di atas batal demi hukum. Oleh
karenanya Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tersebut tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (4),
ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja
waktu tidak tertentu. Akan tetapi, sejak Rabu 4 November 2015,
sepanjang frasa ”demi hukum”, bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pekerja/buruh
dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan
kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:
A.
Telah
dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak
mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding: dan
B.
Telah
dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berasarkan
peraturan perundang undangan.”
5.
Bahwa Putusan
Mahkamah Konstitusi di atas, dengan tidak terpenuhinya syarat-syarat perjanjian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, termasuk tidak dicatatkannya PKWT oleh
pengusaha pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan,
berakibat menjadi PKWTT dengan catatan Telah dilaksanakan
perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai
kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding dan Telah dilakukan
pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berasarkan peraturan
perundang undangan.
6.
Bahwa Pengusaha
memberikan gaji sebesar Rp. 13.500.000,- (tiga belas juta lima
ratus ribu rupiah)/bulan dan Tunjangan Jabatan sebesar Rp.
2.000.000,- (dua juta rupiah)/bulan terhitung sejak masuk
kerja. Gaji dan tunjangan ini akan diberikan pada setiap awal bulan depannya.
7.
Bahwa sebagaimana
tersebut di atas menyebutkan adanya upah dan tunjangan jabatan yang diterima
oleh pekerja. Itu masuk dalam kompenen upah sebagaimana yaitu Upah
Pokok dan Tunjangan Tetap.
8.
Bahwa Surat
Keputusan Management Nomor 047/GM/GG-Kalbar/III/2022 tentang Perihal PHK,
menyebutkan alasan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah hasil dari evaluasi
yang sangat tidak memuaskan dari kinerja pekerja dan terhitung tanggal 31 Maret
2022 masa kerjanya berakhir. Tidak ada disebutkan dalam Surat Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) tersebut Pekerja telah melakukan pelanggaran sebagaimana
yang dimaksud dan tidak disebutkan juga terkait dengan apakah sudah mendapatkan
Surat Peringatan sebelum melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau pun
tidak.
9.
Bahwa dalam hal
terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon
dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya
diterima.
10.
Bahwa cara
menghitung Pesangon yang didapatkan oleh Ir. Boediono yang mana mulai bekerja
sebagaimana Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu Nomor
02/GM/Gn.sG-Kalbar/III/2020 tertanggal 20 Maret 2020 hingga
akhirnya terhitung dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tertanggal 31 Maret
2022 maka terhitung 2 (dua) tahun masa kerjanya, maka berlakukanlah ketentuan
masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga)
bulan upah. Yaitu 15.500.000,- (yang terdiri dari Upah Pokok dan Tunjangan
Tetap) x 3 = Rp. 46.500.000,- (empat puluh enam juta lima ratus ribu rupiah).
11.
Bahwa Untuk Uang
Penghargaan Masa Kerja (UPMK) mengingat bahwa perhitungan uang penghargaan masa
kerja dimulai dari masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6
(enam) tahun, sedangkan untuk Uang Pergantian Hak (UPH) yaitu 15% dari Uang
Pesangon yaitu Rp. 46.500.000,- x 15% = Rp. 6.975.000,- (enam juta Sembilan
ratus tujuh puluh lima ribu rupiah).
12.
Bahwa Hak Pekerja
yang harus dipenuhi oleh Perusahaan sebagai akibat dari Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) adalah Rp. 46.500.000,- + Rp. 6.975.000,- sebesar
Rp. 53.475.000,- (lima puluh tiga juta empat ratus tujuh puluh lima
ribu rupiah)
13.
Bahwa
Pekerja/Buruh yang Hubungan Kerjanya berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak
Tertentu (PKWTT) dan mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhitung sejak
30 (tiga puluh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan, berhak atas THR Keagamaan.
14.
Bahwa diketahui
bahwa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhitung sejak tanggal 31 Maret 2022 dan
Hari Raya Keagamaan tertanggal 2 Mei 2022 atau 3 Mei 2022 (Hari Raya Idul
Fitri), dari tanggal Pemutusan Hubungan Kerja sampai dengan Hari Raya Idul
Fitri terhitung 33 (tiga puluh tiga) hari atau 34 (tiga puluh empat) hari.
Artinya Pekerja atau Ir. Boediono tidak berhak atas THR Keagamaan.
REKOMENDASI
Ada beberapa hal yang dapat ditempuh antara lain:
1.
Melaksanakan
perundingan bipartit terlebih dahulu terkait dengan Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) yang dilakukan oleh PT Sumaterajaya Agro Lestari Wilayah Timur, Toba
sebagaimana Permenaker Nomor 31 Tahun 2008 tentang Pedoman
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Perundingan Bipartit antara
para pihak (pekerja dan pengusaha/perusahaan).
2.
Meminta
pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan (wasnaker) dengan mengirimkan
surat terkait dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tersebut mengingat bahwa
pengawas ketenagakerjaan dalam melakukan pengawasan terhadap Pasal
59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8) dan Pasal
66 ayat (4) Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan lebih
mengedepankan tindakan preventif dan represif non justicial.
3.
Meminta
Penjelasan terhadap Dinas Ketenagakerjaan terkait dengan PKWT yang ada sudah
terdaftar atau tidak.
4.
Jika Bipartit
gagal upaya selanjutnya dengan mengajukan Tripartit pada Dinas Ketenagakerjaan
Kota Pontianak atau Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Kalimantan Barat.
5.
Tripartit gagal,
maka akan ada Risalah Perselisihan Hubungan Industrial yang dibuat oleh
mediator.
6.
Mengajukan
Gugatan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Pontianak.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.
[1] Pasal 185 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
[2] Pasal 66 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja
[3] Pasal 86 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan
[4] Pasal 2 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 23 Tahun 2021 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Sebagai Akibat Diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Beserta Peraturan Pelaksana
[5] Sri Hariningsih, “Ketentuan Peralihan dalam Peraturan Perundang-Undangan” (Jurnal Legislasi Indonesia 2009, Vol. 6. No.4, Peraturan.go.id), 596
[6] Pasal 50 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
[7] Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
[8] Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
[9] Dr. Arifuddin Muda Harahap, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, (Malang, Literasi Nusantara, 2020), 76
[10] Ibid.
[11] Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenakerjaan
[12] Pasal 59 ayat (5) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenakerjaan
[13] Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenakerjaan
[14] Pasal 59 ayat ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenakerjaan
[15] Penjelasan Pasal 59 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
[16] Pasal 58 ayat(1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
[17] Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
[18] Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Jo. Pasal 15 Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
[19] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XII/2014
[20] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XVI/2018
[21] Pasal 1 Angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan
[22] Penjelasan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Jo. Pasal 5 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan
[23] Pasal 161 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
[24] Pasal 161 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
[25] Pasal 161 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
[26] Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
[27] Pasal 156 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
[28] Pasal 156 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
[29] Pasal 156 ayat (4) huruf a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
[30] Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan Jo. Pasal 2 Permenaker Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan Jo. Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2022 Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan
[31] Pasal 3 ayat (1) huruf a Permenaker Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan
[32] Pasal 3 ayat (2) huruf b Permenaker Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan
[33] Pasal 3 ayat (1) huruf b Permenaker Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan
[34] Pasal 5 ayat (4) huruf a Permenaker Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan
[35] Pasal 10 Permenaker Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan
[36] Pasal 7 ayat (1) Permenaker Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan