Ilustrasi Notaris |
Peran Notaris dalam sektor pelayanan jasa hukum adalah
sebagai pejabat umum yang diberi wewenang oleh negara untuk melayani masyarakat
dalam bidang perdata khususnya pembuatan Akta Otentik. Sebagaimana
ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata menegaskan bahwa “akta
otentik adalah akta dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang diperbuat
oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat di mana
akta itu diperbuat”.[1]
Kemudian berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan, menyebutkan bahwa “akta notaris adalah akta autentik yang
dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang
ditetapkan dalam undang-undang ini.”[2] Akta
autentik (otentik) sebagai alat bukti yang terkuat dan terpenuh memiliki
peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat, di
antaranya di dalam hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pertanahan,
kegiatan sosial dan di dalam kebutuhan hidup lain.
Kemudian, dalam hal Notaris sebagai pejabat umum, maka
Notaris merupakan orang yang menjalankan sebagian fungsi publik dari negara,
khususnya di bidang hukum perdata dengan wewenang melakukan pembuatan akta
autentik yang didasarkan pada Peraturan Perundang- undangan dalam rangka
menciptakan kepastian, keseimbangan, ketertiban dan perlindungan hukum.[3] Anda
dapat membaca beberapa tulisan-tulisan kami terkait dengan Peran Notaris yang
berjudul “Mengenal
Jenis-Jenis Akta yang Dibuat Notaris” dan “Kiat-Kiat
Hukum Kewarisan Perdata”.
Oleh karena Notaris sebagai pejabat umum memiliki
kewenangan untuk membuat Akta Otentik yang mana satu di antaranya adalah
pembuatan Akta Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham (BARUPS).[4]
Sebagaimana terlihat di Putusan Pengadilan
Negeri Palangkaraya Nomor 130/Pdt.G/2014/PN Plk, tanggal 18 Maret 2015 jo. Putusan
Pengadilan Tinggi Palangkaraya Nomor 54/Pdt/2015/PT Plk, tanggal 11 November
2015 jo. Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 3078/K/Pdt/2016, tanggal 26 Januari 2017, yang
mana Notaris sebagai pihak Pemohon Kasasi Dahulu Tergugat III digugat dalam
Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang mana tanpa sepengetahuan dan tanpa
seizin para Penggugat berdasarkan Akta Perubahan Perseroan Nomor 101, tanggal
31 Desember 2009, yang dibuat oleh Tergugat III dan Akta Nomor 109, tanggal 23
November 2010, yang juga dibuat oleh tergugat III, hak dari Penggugat I telah
beralih kepada Tergugat I sejumlah 2.500 lembar saham dan hak Penggugat II
telah beralih kepada Tergugat I sejumlah 1.000 lembar saham dan kepada Tergugat
II sejumlah 1.000 lembar saham, selain dari pada itu komposisi kepengurusan
perseroan yang semula dalam jabatan komisaris dijabat oleh alm. H
diubah/diganti menjadi Tergugat II, yang mana seluruh isi Akta Nomor 101, tanggal
31 Desember 2009 dan Akta Nomor 109, tanggal 23 November 2010 yang mana Hak
Para Penggugat sebagai pemilik saham yang sah menurut hukum sebagaimana
tersebut diatas, dilakukan perekayasaan Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham
oleh Tergugat III.
Perkara Notaris dalam Putusan Pengadilan
Negeri Palangkaraya Nomor 130/Pdt.G/2014/PN Plk, tanggal 18 Maret 2015 jo. Putusan
Pengadilan Tinggi Palangkaraya Nomor 54/Pdt/2015/PT Plk, tanggal 11 November
2015 jo. Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 3078/K/Pdt/2016, tanggal 26 Januari 2017 tersebut
memperlihatkan bahwa Notaris telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
karena telah membuat Akta BARUPS PT AAK tentang Perubahan Anggaran Dasar (AD)
tanpa melalui RUPS yang sah sebagaimana dengan ketentuan Pasal 21
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
maupun Anggaran Dasar PT AAK.
Hal ini berakibat Akta BARUPS tersebut diputuskan
batal demi hukum karena Akta BARUPS tersebut dibuat tanpa melalui prosedur RUPS
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas.
Selain itu, dalam Putusan-Putusan tersebut diketahui
bahwa satu di antara agenda dari RUPS yang dilaksanakan adalah perubahan
seluruh AD untuk disesuaikan dengan Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas.
Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana akibat hukum atas pembatalan Akta
BARUPS tersebut terhadap kedudukan dari PT AAK? Apakah Surat Kementerian
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atau selanjutnya disebut dengan “SK
Kemenkumham” yang telah diterbitkan terhadap Akta BARUPS PT AAK tersebut dapat
dicabut sehingga PT AAK harus menyesuaikan kembali AD mereka dengan
Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas? Lalu apa konsekuensi dari sebuah
perseroan yang belum menyesuaikan AD nya dengan Undang-Undang tentang Perseroan
Terbatas?
Konsekuensi Batalnya Akta Notaris
Menurut Subekti, akta adalah tulisan yang memang
sengaja dibuat untuk dijadikan suatu tanda bukti mengenai suatu perjanjian atau
peristiwa dan kemudian ditandatangani.[5] Dengan
demikian, akta merupakan sebuah perjanjian dan oleh sebab itu ketentuan terkait
perjanjian berlaku terhadap akta. Pasal 1320 KUHPerdata mengatur
mengenai 4 (empat) syarat sah suatu perjanjian yakni:
1.
Sepakat mereka
yang mengikatkan dirinya;
2.
Kecakapan untuk
membuat perjanjian;
3.
Suatu hal
tertentu;
4.
Suatu sebab yang
halal.
Mengenai adanya kata sepakat bagi mereka yang
mengikatkan diri adalah adanya kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk
suatu perjanjian yang sah.[6] Seorang
dikatakan menyepakati suatu perjanjian jika isi perjanjian tersebut disetujui.
Hal itu berarti, bahwa orang terikat kepada isi perjanjian sebagai akibat dari
sepakat yang telah diberikan.
Dalam hal ini jika dikaitkan dengan Perkara Notaris
dalam Putusan Pengadilan Negeri Palangkaraya Nomor 130/Pdt.G/2014/PN
Plk, tanggal 18 Maret 2015 jo. Putusan
Pengadilan Tinggi Palangkaraya Nomor 54/Pdt/2015/PT Plk, tanggal 11 November
2015 jo. Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 3078/K/Pdt/2016, tanggal 26 Januari 2017 tersebut,
dalam fakta-fakta persidangan yang ada tidak ditemukan terdapat kata “sepakat”
terhadap segala keputusan yang terjadi sebagaimana dinyatakan dalam Akta BARUPS
PT AAK yang dibuat oleh Notaris. Baik Penggugat I maupun Penggugat II tidak pernah
menyetujui isi dari Akta BARUPS PT AAK tersebut dan mereka juga tidak pernah
menghadiri RUPS sehingga pernyataan “setuju dengan suara bulat” sebagaimana
yang tertuang dalam Akta BARUPS PT AAK tersebut adalah tidak benar.[7]
Menurut Subekti, jika unsur sepakat ini tidak
terpenuhi, maka perjanjian tersebut sudah cacat dan dapat dibatalkan karena
tidak memenuhi syarat subyektif suatu perjanjian. Selanjutnya, jika dilihat
dalam unsur keempat yakni suatu sebab yang halal, maka sebuah perjanjian tidak
boleh bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan,
khususnya dalam hal ini yang dimaksud peraturan perundang-undangan adalah
Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas.
Jika dikaitkan dengan perkara tersebut, pembuatan Akta
BARUPS sudah dengan sangat jelas melanggar ketentuan dalam Undang-Undang
tentang Perseroan Terbatas khususnya ketentuan terkait prosedur pemanggilan dan
pemberitahuan RUPS serta pemenuhan kuorum kehadiran dan kuorum keputusan,
sebagaimana disebutkan bahwa Direksi melakukan pemanggilan kepada pemegang
saham sebelum menyelenggarakan RUPS.[8] Kemudian
disebutkan bahwa dalam hal tertentu, pemanggilan RUPS dapat dilakukan oleh
Dewan Komisaris atau pemegang saham berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan
Negeri.[9]
Maksudnya, pemanggilan RUPS adalah kewajiban Direksi.
Pemanggilan RUPS dapat dilakukan oleh Dewan Komisaris, antara lain dalam hal
Direksi tidak menyelenggarakan RUPS sebagaimana ditentukan dalam Pasal
79 ayat (6) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas,
dalam hal Direksi berhalangan atau terdapat pertentangan kepentingan antara
Direksi dan Perseroan.[10]
Pemanggilan RUPS dilakukan dalam jangka waktu paling
lambat 14 (empat belas) hari sebelum tanggal RUPS diadakan, dengan tidak
memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal RUPS.[11]
“Jangka waktu 14 (empat belas) hari” adalah jangka
waktu minimal untuk memanggil rapat. Oleh karena itu, dalam anggaran dasar
tidak dapat menentukan jangka waktu lebih singkat dari 14 (empat belas) hari
kecuali untuk rapat kedua atau rapat ketiga sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang.[12] Pemanggilan
RUPS dilakukan dengan Surat Tercatat dan/atau dengan iklan dalam Surat Kabar.[13] Dalam
panggilan RUPS dicantumkan tanggal, waktu, tempat, dan mata acara rapat
disertai pemberitahuan bahwa bahan yang akan dibicarakan dalam RUPS tersedia di
kantor Perseroan sejak tanggal dilakukan pemanggilan RUPS sampai dengan tanggal
RUPS diadakan.[14]
Perseroan wajib memberikan salinan bahan kepada
pemegang saham secara cuma-cuma jika diminta.[15] Dalam
hal pemanggilan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal
82 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, keputusan RUPS tetap sah jika
semua pemegang saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan
keputusan tersebut disetujui dengan suara bulat.[16]
Dalam hal ini Akta BARUPS yang dibuat oleh Notaris
dalam dalam Putusan Pengadilan Negeri Palangkaraya Nomor
130/Pdt.G/2014/PN Plk, tanggal 18 Maret 2015 jo. Putusan
Pengadilan Tinggi Palangkaraya Nomor 54/Pdt/2015/PT Plk, tanggal 11 November
2015 jo. Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 3078/K/Pdt/2016, tanggal 26 Januari 2017 tersebut,
tidak memenuhi syarat ke-empat (suatu sebab yang halal). Dengan tidak
dipenuhinya syarat keempat (syarat obyektif), maka akta tersebut batal demi
hukum sehingga akta tersebut dianggap tidak pernah ada.
Berbicara mengenai syarat objektif suatu perjanjian,
unsur objektif sendiri ialah substansi perjanjian adalah sesuatu yang
diperbolehkan,[17] baik
menurut ketentuan perundang-undangan, kebiasaan, kepatutan, kesusilaan, dan
ketertiban umum yang berlaku pada saat perjanjian dibuat dan ketika akan
dilaksanakan.[18]
Sebagaimana satu di antara pertimbangan Yang Mulia
Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Palangkaraya Nomor
130/Pdt.G/2014/PN Plk, tanggal 18 Maret 2015 jo. Putusan
Pengadilan Tinggi Palangkaraya Nomor 54/Pdt/2015/PT Plk, tanggal 11 November
2015 jo. Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 3078/K/Pdt/2016, tanggal 26 Januari 2017 yang
menyatakan bahwa jika dalam suatu akta ada tercantum perjanjian jual beli dan
ternyata hanya dihadiri salah satu pihak maka perjanjian tersebut tidak
memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata tentang sahnya suatu perjanjian dan akibatnya
batal demi hukum atau harus dibatalkan. Kemudian, dalam Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS) dicantumkan bahwa para pihak hadir sedangkan pada kenyataannya
tidak hadir maka berita acara tersebut adalah fiktif dan sulit dipercaya, yang
harus dibatalkan atau batal demi hukum. Bahwa Notaris yang telah melanggar kode
etik profesinya harus dijatuhi sanksi sesuai ketentuan perundang – undangan
yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, karena
tidak profesional dalam menjalankan jabatannya sehingga direkomendasikan kepada
Majelis Pengawas Daerah untuk dijatuhi sanksi.
Berdasarkan hal tersebut di atas bahwa, Akta BARUPS PT
AAK yang dibuat oleh Notaris batal demi hukum dalam pertimbangan hukum dan
mengadilinya, dapat terlihat bahwa Notaris telah melakukan kesalahan sehingga
dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum (sanksi).
Status SK Menkumham Setelah Akta Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham dinyatakan Batal oleh Pengadilan Negeri
Secara substansi, SK Persetujuan yang telah
diterbitkan terhadap akta BARUPS PT yang batal demi hukum tersebut secara
lahiriah, formal, dan material dianggap tidak pernah ada. Namun, secara
administratif, SK tersebut harus diajukan permohonan pembatalan. SK merupakan
sebuah produk Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut “KTUN”)
atau beschikking karena SK merupakan penetapan tertulis yang
dibuat oleh Pejabat Tata Usaha Negara (selanjtunya disebut “Pejabat TUN”) yang
bersifat konktrit, individual, dan final dan menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.[19]
Jika terdapat sengketa terhadap KTUN yang dikeluarkan,
maka para pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004 tentang Perubahas Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara yang menyatakan bahwa Peradilan Tata Usaha
Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara.
Akan tetapi, jika dikaitkan dengan perkara yang ada,
maka SK yang dikeluarkan oleh Menkumham terkait persetujuan perubahan AD
berdasarkan Akta BARUPS PT AAK tidak dapat dijadikan objek gugatan di PTUN.
Mengapa demikian? Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Palangkaraya
Nomor 130/Pdt.G/2014/PN Plk, tanggal 18 Maret 2015 jo. Putusan
Pengadilan Tinggi Palangkaraya Nomor 54/Pdt/2015/PT Plk, tanggal 11 November
2015 jo. Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 3078/K/Pdt/2016, tanggal 26 Januari 2017, Akta BA RUPS
PT AAK dibuat oleh Notaris pada tanggal 23 November 2010, Akta tersebut memuat
perubahan susunan komisaris dan juga memuat perubahan seluruh AD sehingga harus
dimintakan persetujuan kepada Menkumham dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal akta tersebut.[20]
Selain itu, Menkumham harus menerbitkan SK Persetujuan
tersebut dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal pernyataan
tidak keberatan dari Menkumham. Dalam hal ini, SK Persetujuan tersebut telah
terbit pada tanggal 27 Desember 2010 sehingga jika dilihat dari tanggal akta
dan tanggal penerbitan SK, maka tidak terdapat pelanggaran terhadap batas waktu
pengajuan dan penerbitan SK Persetujuan oleh Menkumham.
Dengan demikian, Menkumham tidak melanggar ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan serta tidak menggunakan untuk tujuan lain
dari maksud diberikannya wewenang tersebut. Hal ini dikarenakan Menkumham
memang berwenang untuk mengeluarkan SK Persetujuan atas perubahan AD
sebagaimana tertuang dalam Akta BARUPS PT AAK.
Mengenai kebenaran material dalam akta tersebut bukan
merupakan tanggung jawab dari Menkumham melainkan merupakan tanggung jawab dari
Notaris yang membuatnya untuk menjamin kebenaran formal dan materiil terhadap
Akta BARUPS PT AAK.
Berdasarkan uraian tersebut, maka para pihak tidak
dapat mengajukan gugatan kepada PTUN atas SK Persetujuan yang dikeluarkan oleh
Menkumham. Sehingga hal yang harus dilakukan oleh para pihak adalah dengan
mengajukan permohonan langsung kepada Menkumham untuk membatalkan atau mencabut
SK yang dikeluarkannya dengan melampirkan Akta BARUPS PT AAK, Surat Pernyataan
dari Notaris, Surat Permohonan Pembatalan, Salinan Putusan
Pengadilan Negeri Palangkaraya Nomor 130/Pdt.G/2014/PN Plk, tanggal 18 Maret
2015 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Palangkaraya
Nomor 54/Pdt/2015/PT Plk, tanggal 11 November 2015 jo. Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3078/K/Pdt/2016, tanggal 26 Januari
2017 yang menyatakan bahwa akta BARUPS PT AAK yang dibuat oleh
Notaris batal demi hukum.
Karena di sini berlaku asas contrarius actus dalam
Hukum Administrasi adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan
Keputusan Tata Usaha Negara dengan sendirinya juga berwenang membatalkannya.
Asas ini berlaku meskipun dalam keputusan Tata Usaha Negara tersebut tidak ada
klausula pengaman yang lazimnya berbunyi: Apabila dikemudian hari ternyata ada
kekeliruan atau kekhilafan maka keputusan ini akan ditinjau kembali.[21]
Status Badan Hukum PT tersebut Setelah Putusan Pengadilan tersebut?
Berdasarkan uraian yang dipaparkan sebelumnya, Akta
BARUPS PT AAK dianggap tidak pernah ada sehingga perubahan AD PT AAK terakhir
tertuang pada Akta Nomor 39 Tahun 2005. Oleh karena akta tersebut dibuat pada
tahun 2005, maka belum dilakukan penyesuaian AD PT AAK terhadap Undang-Undang
tentang Perseoran Terbatas yang berlaku pada tanggal diundangkan.[22] Yaitu
tanggal 16 Agustus 2007.
Sebagaimana dinyatakan bahwa Anggaran Dasar (AD) dari
Perseroan yang telah memperoleh status badan hukum dan perubahan anggaran dasar
yang telah disetujui atau dilaporkan kepada Menteri dan didaftarkan dalam
daftar perusahaan sebelum Undang-Undang ini berlaku tetap berlaku jika tidak
bertentangan dengan Undang-Undang ini.[23]
Mengutip M. Yahya Harahap,[24] Perseroan
yang telah memperoleh status badan hukum berdasarkan Undang-Undang tentang
Perseroan Terbatas lama yakni Undang-Undang tentang Perseoran Terbatas yang
diterbitkan pada tahun 1995 tetap berlaku status badan hukumnya, apabila
terpenuhi syarat berikut:
-
Akta Pendirian
dan AD Perseroan telah mendapatkan pengesahan dari Menteri sesuai ketentuan
Pasal 7 ayat (6) jo. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas;
-
Perubahan AD
telah disetujui oleh Menteri sesuai ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas atau dilaporkan
kepada Menteri apabila perubahan itu tidak mengenai hal-hal yang disebut pada
Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
1995, pada saat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 mulai berlaku.
Dalam hal ini, jika dikaitkan dengan status badan
hukum dari PT AAK, PT AAK mempunyai Akta Pendirian Nomor 39 Tahun 2003 serta
Perubahan AD Nomor 39 Tahun 2005 yang keduanya dibuat oleh Notaris dan telah
disahkan oleh Menkuham dengan diterbitkannya SK Pengesahan Akta Pendirian
Perseroan Terbatas PT AAK No. C-09393.HT.01.01.TH.2006. Dengan demikian,
eksistensi dan validitias status badan hukum PT AAK tetap berlaku sejak tanggal
UUPT efektif berlaku.
Namun, perlu diperhatikan bahwa Pasal 157 ayat (3) dan
ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, mengatur
apabila Perseroan telah memperoleh status badan hukum baik berdasarkan KUHD
maupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas pada saat
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mulai berlaku,
maka Perseroan tersebut wajib:
1.
Melakukan
penyesuaian AD dengan ketentuan UUPT;
2.
Jangka waktu
penyesuaian AD dengan Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas tersebut adalah
1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas yakni sampai 16 Agustus 2008 yang kemudian diperpanjang oleh
Ditjen AHU Departemen Hukum dan HAM menjadi 16 September 2008.[25]
3.
Perseroan yang
tidak menyesuaikan AD dalam jangka waktu tersebut maka Perseroan itu dapat
dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri dan yang berhak mengajukan
permohonan pembubaran ke Pengadilan Negeri adalah kejaksaan dan atau pihak yang
berkepentingan.
Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri
Palangkaraya Nomor 130/Pdt.G/2014/PN Plk, tanggal 18 Maret 2015 jo. Putusan
Pengadilan Tinggi Palangkaraya Nomor 54/Pdt/2015/PT Plk, tanggal 11 November
2015 jo. Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 3078/K/Pdt/2016, tanggal 26 Januari 2017, PT AAK belum
menyesuaikan AD dengan UUPT karena akta BARUPS PT AAK yang salah satunya dibuat
untuk menyesuaikan AD tersebut telah batal demi hukum. Dalam hal ini, jangka
waktu penyesuaian AD sebagaimana diatur dalam Pasal 157 ayat (3) UUPT tersebut
telah terlewati sehingga PT AAK dapat saja dibubarkan sewaktu-waktu oleh
Pengadilan atas permintaan dari kejaksaan dan atau pihak yang berkepentingan.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau
langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini.
Terima Kasih.
[1] Prof Subekti dan R.Tjitrosudibio,
“Kitab Undang-undang Hukum Perdata”, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2009), 475.
[2] vide Pasal 1 Angka 7
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.
[3] Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan,
“Ke Notaris”, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2009), 23.
[4] vide Pasal
21 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[5] Subekti, “Hukum Pembuktian”,
(Jakarta: Pradnya Paramita, 2011), 23.
[6] Subekti, “Hukum Perjanjian”,
(Jakarta: Intermasa, 2004), 135-137.
[7] vide Putusan
Nomor 130/Pdt.G/2014/PN.Plk, halaman 35-36 (dalam pokok perkara pertimbangan
hukum Majelis Hakim).
[8] vide Pasal
81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[9] vide Pasal
81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[10] vide Penjelasan
Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[11] vide Pasal
82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
[12] vide Penjelasan
Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
[13] vide Pasal
82 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
[14] vide Pasal
82 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
[15] vide Pasal
82 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
[16] vide Pasal
82 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
[17] vide Pasal 1335 KUHPerdata dan
Pasal 1336 KUHPerdata.
[18] vide
Putusan Mahkamah Agung Nomor 144 K/Sip/1958 jo. Putusan Mahkamah
Agung Nomor 147 K/Sip/1979.
[19] vide Pasal
1 Angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
[20] vide Pasal
8 ayat (6) Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-01.AH.01.01 Tahun 2011.
[21] Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri
Djarmiati, “Argumentasi Hukum” (Yogyakarta: Gadjah Mada
University
Press, 2014), 83.
[22] vide Pasal
161 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
[23] vide Pasal
157 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[24] M. Yahya Harahap, “Hukum Perseroan
Terbatas”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2021), 589.
[25] vide Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.