Ilustrasi CSI |
Pertanyaan
Selamat Pagi Pak, izin bertanya mengenai bukti,
pembuktian, alat bukti, dan barang bukti, itu maksudnya bagaimana ya pak?
Apakah istilah-istilah hukum yang dimaksud merujuk pada hal yang sama ataukah
tidak? Lantas, apa pentingnya adanya hal-hal tersebut dan bagaimana cara
mendapatkannya dan menentukan apakah itu sesuatu yang benar-benar dapat
dipertanggung jawabkan dan benar-benar asli tidak direkayasa? Terima Kasih.
Jawaban
Pengantar
Pertama-tama, sebelum lebih jauh menjawab pertanyaan
Anda, kami memaknai istilah-istilah yang Anda sebutkan itu mengacu pada “Hukum
Pidana” secara spesifiknya “Hukum Acara Pidana”, Anda dapat membaca tulisan
kami yang relevan terkait hukum pidana pada tulisan kami yang berjudul “Apa
itu Delik, Tindak Pidana, Perbuatan Pidana, dan Unsur-Unsurnya” dan “Kodifikasi,
Unifikasi, dan Pembedaan Hukum” untuk melihat sekilas mengenai
pemahaman dasar lainnya.
Bukti
Arti kata “bukti” itu sendiri, yakni dalam Bahasa
Inggrisnya dikenal dengan istilah “evidence” dan “proof”,
keduanya memiliki perbedaan prinsip. Evidence artinya
informasi yang memberikan dasar-dasar yang mendukung suatu keyakinan bahwa
beberapa bagian atau keseluruhan fakta itu benar. Sementara Proof,
satu kata dengan berbagai arti, namun dalam wacana hukum, artinya hasil dari
suatu proses evaluasi dan menjadi benchmark (tolak ukur/acuan)
untuk menarik kesimpulan terhadap evidence atau dapat
digunakan lebih luas untuk mengacu pada proses itu sendiri.[1]
Sedangkan bukti atau evidence dalam
Kamus Oxford University, disebut “facts, signs or objects that make you
believe sth is true; information used in a law court to try to prove.[2] Artinya,
bukti adalah fakta-fakta, tanda-tanda atau benda-benda yang dapat membuat Anda
percaya bahwa itu benar adanya; informasi yang digunakan di muka pengadilan
untuk diuji membuktikan sesuatu hal.
Berbeda dengan proof, proof adalah information,
documents, etc that show that sth is true; or process of testing whether sth is
true.[3] Yang
mana artinya, bukti adalah informasi, dokumen, dan lain sebagainya yang
menunjukkan bahwa itu benar adanya; atau proses pengujian apakah sesuatu itu
benar.
Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana
Pengertian “Pembuktian” itu sangat beragam, setiap
ahli hukum memiliki definisi masing-masing mengenai pembuktian. Banyak ahli
hukum yang mendefinisikan pembuktian ini melalui makna kata “membuktikan.”
Contohnya, Subekti[4] menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan “membuktikan” ialah meyakinkan hakim tentang
kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukankan dalam suatu persengketaan.
Intinya, “menyakinkan hakim”. Lebih lanjut menurut Martiman Prodjohamidjojo[5] proses
dari pembuktian atau membuktikan itu tadi mengandung makna dan usaha untuk
menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal
terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Kebenaran peristiwa yang dimaksud adalah
bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya, sehingga harus mempertanggung jawabkannya.
Hukum Pembuktian yang disinyalisasi oleh Prof. Floris
J. Bex[6],
membagi pembuktian dalam bangunan Hukum Acara Pidana menjadi 2 (dua) bagian
antara lain:
1)
Study of
Evidence Law (Studi Hukum
Pembuktian);
2)
Study of
Process of Proof. (Studi
Mengenai Proses Pembuktian).
Study of Evidence Law (Studi Hukum Pembuktian)
Study of Evidence Law titik beratnya ada pada “ratiocinative
process of contentious persuasion” (Proses Penalaran Logis Persuasi
Contentious). Sebelum membahas mengenai “ratiocinative process of
contentious persuasion” (Proses Penalaran Logis Persuasi Contentious),
John Wignore[7] pernah
mengemukan istilah “ratiocinative process of persuasion” sebagai
berikut:
“The
principles of proof -the ratiocinative process of persuasion-were of far
greater importance that the rules of admissibility. That the principles of
proof were “the natural process of the mind in dealing with evidential facts
after they are admitted to the jury; while the rules of admissibility represent
artificial legal rules.”
Artinya prinsip-prinsip pembuktian-proses penalaran
logis persuasi- jauh lebih penting daripada aturan mengenai bukti yang dapat
diterima (admissibility). Menurut Wignore, prinsip-prinsip pembuktian
ini adalah “proses alami dari pikiran yang berkaitan (relevan) dengan
fakta-fakta dari bukti-bukti setelah mereka (bukti-bukti tersebut) diterima
oleh juri; sedangkan aturan mengenai penerimaan atau suatu bukti haruslah dapat
diterima atau admissible hanya mewakili aturan hukum positif
yang berlaku.
Suatu bukti itu harus diterima dengan sendirinya
apabila suatu bukti itu merupakan bukti yang relevan. Karena menurut Arthur
Best[8], evidence
laws by exploring the way it divides all the facts of the world into two
categories in every case: relevant and irrelevant; material must be relevant to
be admitted into evidence at a trial. Artinya, hukum pembuktian ialah
dengan mengeksplorasi cara membagi semua fakta dunia ke dalam dua kategori
dalam setiap perkara: relevan dan tidak relevan; sifat materiil dari bukti
harus relevan untuk dapat dijadikan bukti dan diterima di persidangan.
Sedangkan untuk “ratiocinative process of
contentious persuasion” (Proses Penalaran Logis Persuasi Contentious),
Christophe Allen pernah menjelaskan pada bukunya dalam Chapther JH
Wignore, The Principles of Judicial Proof (1931, 2nd edn),
ia menjelaskan:
“JH
Wignore, The Principle of Judicial Proof (1931, 2nd edn) that study of principles of evidence, for a
lawyer, falls into two distinct parts. One is Proof in the general sense – the
part concerned with the ratiocinative process of contentious persuasion- mind
to mind, counsel to judge or juror, each partisan seeking to move the mind of
tribunal. The other part is admissibility- the procedural rule devised by the
law, and based on litigious experience and tradition, to guard the tribunal
(particularly the jury) against erroneous persuasion.”[9]
Sederhanya penjelasannya begini, bahwa studi tentang
prinsip-prinsip bukti untuk seorang pengacara jatuh ke dalam 2 (dua) bagian
yang berbeda. Yang Pertama adalah bukti dalam pengertian umum-bagian yang
berkaitan dengan Proses Penalaran Logis Persuasi Contentious- ini merupakan
pikiran ke pikiran (upaya meyakinkan), nasihat untuk memutuskan atau menilai
dari masing-masing partisan (juri) yang berusaha untuk memutuskan (kemudian)
apa yang mereka Yakini ke pengadilan. Bagian lainnya, adalah bukti yang dapat diterima
-aturan procedural yang dirancang oleh hukum, dan berdasarkan pengalaman dan
tradisi atau kesadaran hukum, untuk menjaga pengadilan (terutama juri) terhadap
persuasi yang salah. Studi of evidence law atau the
ratiocinative process of contentious persuasion didapatkan berdasarkan
bukti (yang relevan atau tidak/materiialnya) dan alat-alat bukti.
Study of Process of Proof (Studi Mengenai Proses Pembuktian)
Dalam studi ini titik tekannya ada pada sifat admissibility (suatu
pembuktian yang dapat diterima. Menurut Richard Glover, bukti yang dapat
diterima di pengadilan, adalah berupa kesaksian, documenter, atau bukti nyata
apapun yang dapat dikenalkan ke factfinder (penemu fakta)
-biasanya hakim atau juri- for evidence to be admissible, it must be
relevant and “not excluded by the rules of evidence”,…… the rules of evidence
are rules of law, and it follows that, unlike relevance, which is determined
solely by reference to the logical relationship between the evidence and a fact
in issue, admissibility is a matter of law. To be admissible, evidence must be
relevant, but to be admissible, the converse proposition is not true. Not all
relevant evidence is admissible.
Agar bukti dapat diterima, itu harus relevan dan
“tidak dikecualikan oleh aturan pembuktian”, ……Bukti dikatakan dapat diterima
atau tidak apabila relevan dan jika tidak dikecualikan dari ketentuan bukti.
Aturan pembuktian adalah aturan hukum, dan oleh karenanya, tidak seperti
relevansi, yang ditentukan semata-mata dengan mengacu pada hubungan logis
antara bukti dan fakta dalam suatu perkara, yang hanya dapat diterimanya
adalah bukti yang ada relevansinya dengan masalah hukum yang ada. Agar dapat diterima,
bukti harus relevan, tetapi relevansi tidak cukup untuk menghasilkan bukti itu
agar diterima. Sementara bukti harus relevan untuk diterima, proposisi
sebaliknya tidak benar. Oleh karenanya tidak semua bukti yang relevan dapat
diterima, akan tetapi bukti harus relevan agar diterima.
Dengan demikian, maka dapat dimengerti bahawa,
pembuktian dilihat dari perspektif Hukum Acara Pidana yakni, ketentuan yang
membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran,
baik oleh hakim, penuntut umum, terdakwa, dan Advokat, kesemuanya terikat pada
ketentuan dan tata cara, serta penilaian alat bukti yang ditentukan oleh
undang-undang. Tidak dibenarkan untuk melakukan Tindakan yang leluasa sendiri
dalam menilai alat bukti, dan itu tidak boleh bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.[10]
Alat Bukti Dalam KUHAP
Kekuatan pembuktian terletak dalam Pasal
183 KUHAP, yang menyatakan:
“Hakim
tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.”
Alat bukti sebagaimana yang dimaksud di atas menurut
Tolib Effendi[11] adalah
segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan
alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna
menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana telah
dilakukan oleh terdakwa. Alat bukti yang dimaksud sebagaimana diatur
dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, antara lain:
Alat bukti yang sah ialah:
a.
keterangan saksi;
b.
keterangan ahli;
c.
surat;
d.
petunjuk;
e.
keterangan
terdakwa.
Keterangan Saksi
Menjadi Saksi adalah satu di antara kewajiban setiap
orang. Orang yang menjadi saksi setelah dilakukan pemanggilan ke suatu sidang
pengadilan secara sah dan patut untuk memberikan keteranganna terkait dengan
peristiwa atau tindak pidana yang ada.[12] Menurut
KUHAP[13],
saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Sedangkan, Keterangan
Saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan
dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.[14] Akan
tetapi, sejak Senin, 8 Agustus 2011, berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010, ketentuan ini dinyatakan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang
pengertian saksi tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat
memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu
tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia
alami sendiri”.
Mahkamah tidak memberikan penjelasan serta batasan
yang cukup jelas mengenai sejauh mana seseorang dan nilai keterangannya dapat
bernilai sebagai Saksi dan Keterangan Saksi. Pertimbangan yang Mahkamah berikan
untuk memutuskan perkara tersebut hanya menjelaskan bahwa “nilai kesaksian
saksi bukanlah terletak apakah dia melihat, mendengar dan mengalami sendiri
suatu peristiwa. Namun, terletak pada sejauh mana relevansi kesaksian yang
diberikan terhadap perkara yang sedang berjalan.”[15]
Terkati relevansi itu sudah kami jelaskan di atas
tadi, bahwa itu bernilai sebagai pembuktian apabila memiliki relevansi kemudian
karena hal itu relevan maka itu dapat diterima sebagai suatu alat bukti,
khususnya dalam hal ini adalah keterangan saksi.
Relevansi sangat penting dalam hal pembuktian perkara
pidana. Pentingnya makna relevansi dijelaskan oleh Eddy O.S Hiraej[16] dalam
pembuktian perkara pidana adalah sebagai berikut:
a.
Bukti harus
relevan atau berhubungan;
b.
Bukti harus dapat
dipercaya, maksudnya bukti tersebut dapat diandalkan sehingga untuk memperkuat
bukti harus didukung oleh bukti lainnya;
c.
Bukti tidak boleh
didasarkan pada persangkaan yang tidak semestinya, bukti tersebut haruslah
bersifat objektif dalam memberikan informasi mengenai suatu fakta.
Keterangan Ahli
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh
seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.[17] KUHAP
tidak memberikan penjabaran lebih lanjut mengenai apa “Keahlian Khusus” yang
dimaksudkan akan tetapi disebutkan juga bahwa dalam hal penyidik untuk
kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun
mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya.[18] Permintaan
keterangan ahli sebagaimana dimaksud dilakukan secara tertulis, yang dalam
surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat
dan atau pemeriksaan bedah mayat.[19] Bahwa
perlu diketahui bahwa, Keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman
disebut keterangan ahli; sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan
“ kedokteran kehakiman disebut keterangan.[20]
Dari ketentuan di atas kita dapat melihat bahwa ada
perbedaan signifikan antara “dokter kehakiman” dengan “dokter”, padahal kita
ketahui bahwa keduanya sama-sama “ahli”, akan tetapi KUHAP memberikan
penjelasan bahwa pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan
bedah mayat hanya dapat dilakukan oleh ahli yang disebut dengan “dokter
kehakiman” atau dikenal juga dengan “kedokteran forensik.”
Kemudian, untuk pemeriksaan di muka sidang, dinyatakan
bahwa setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman
atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.[21] Semua
ketentuan untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli,
dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan
keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam
bidang keahliannya.[22]
Disebutkan juga bahwa Keterangan ahli ialah apa yang
seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.[23] Namun,
Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh
penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan
dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.
Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut
umum, maka pada pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan keterangan dan,
dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah
ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim.[24]
Surat
Sebagaimana ketentuan di dalam KUHAP yang menyebutkan,
Surat dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a.
Berita acara dan
surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau
yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan
yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang
jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b.
Surat yang dibuat
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh
pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung
jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu
keadaan;
c.
Surat keterangan
dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu
hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
d.
Surat lain yang
hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang
lain.[25]
Menurut P.A.F Lamintang,[26] Pasal
187 huruf a dan huruf b KUHAP, merupakan surat-surat yang biasanya
disebut sebagai akta-akta resmi atau officiele akten berupa
akta otentik atau auntentieke akten ataupun akta-akta jabatan
atau ambtelijke akte dapat dimasukkan ke dalam pengertian
surat atau berita acara seperti yang dimaksud dalam ketentuan
pasal tersebut, terutama Pasal 187 huruf a KUHAP.
Sedangkan, Pasal 187 huruf b KUHAP, itu contohnya seperti
Sertipikat Tanah, Berita Acara Pemeriksaan di tempat kejadian yang dibuat
penyidik atau Putusan Pengadilan yang dibuat oleh Majelis Hakim yang mengadilan
perkara seorang terdakwa tersebut.
Petunjuk
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan,
karena persesuaianya baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan
tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana
dan siapa pelakunya.[27] Petunjuk
hanya dapat diperoleh dari:
a.
keterangan saksi;
b.
surat;
c.
keterangan
terdakwa.[28]
Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk
dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana
setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan
berdasarkan hati nuraninya.[29]
Keterangan Terdakwa
Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan
di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau
alami sendiri.[30] Keterangan
terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan
bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah
sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.[31]Keterangan
terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.[32] Keterangan
terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti
yang lain.[33]
Barang Bukti
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memang
tidak memberikan definisi apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun
dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP menyebutkan mengenai
apa-apa saja yang dapat disita, yaitu:
a.
benda atau
tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh
dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b.
benda yang telah
dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk
mempersiapkannya;
c.
benda yang
dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d.
benda yang khusus
dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e.
benda lain yang
mempunyai hubungan lansung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita
seperti yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai
barang bukti.[34] Ini
juga dapat dilihat sebagaimana ketentuan Pasal 40 KUHAP yang
menyebutkan:
“Dalam
hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau
yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda
lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti.”
Memang, ketentuan di atas itu mengenai ketentuan
mengenai tertangkap tangan (op heterdaad betrappen) akan tetapi
disebutkan bahwa ada frasa “benda” dan “alat” diduga telah dipergunakan atau
“benda lain yang dapat dipakai”, sebagai barang bukti.
Barang bukti yang terkait suatu tindak pidana harus
dilakukan penyitaaan karena barang bukti tersebut dapat dipakai untuk
membuktikan apakah benar barang bukti yang diajukan ke persidangan itu
merupakan hasil kejahatan atau barang bukti itu merupakan alat untuk melakukan
kejahatan. Berkaitan barang bukti ini juga akan diputuskan oleh Hakim, apakah
barang bukti akan dikembalikan kepada yang berhak, atau dirampas untuk
dimusnahkan atau dirampas untuk Negara. Terkait dengan barang bukti yang harus
disita, Haryanto[35] mengatakan
bahwa Benda yang dapat disita itu:
1)
Instrumenta Delicti:
2)
Corpora Delicti;
3)
Benda lain yang
secara langsung tidak ada hubungannya dengan tindak pidana tetapi mempunyai
alasan kuat untuk bahan pembuktian.
Dalam perkara pencurian, contohnya, barang bukti
berupa kendaraan roda dua yang kemudian diberikan kode BB (Barang Bukti) sangat
terkait dengan penyitaan untuk kepentingan pemeriksaan perkara, selanjutnya
akan ditampilkan di persidangan untuk membuktikan apakah benar perbuatan
pencurian yang didakwakan kepada Terdakwa tersebut dan apakah benar barang
bukti yang ditunjukkan dalam persidangan adalah barang milik korban yang
diambil oleh Terdakwa.
Akhir kata, barang bukti merupakan benda konkrit bisa
berupa baju, celana, pisau, senjata api, kendaraan roda dua dan tidak terbatas
pada benda bergerak saja akan tetapi juga dapat berupa benda tidak bergerak
(seperti tanah dan kapal), yang pada intinya ada kaitannya dengan peristiwa
pidana yang nantinya akan dilakukan pencocokan dengan alat bukti yang
limitative (terbatas) sebagaimana ketentuan Pasal 184 ayat (1)
KUHAP.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau
langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini.
Terima Kasih.
[1] Eddy O.S.
Hiariej, “Teori dan Hukum Pembuktian”, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012), 2.
[2] Oxford, “Oxford
Dictionary”, (UK, Oxford University Press, 2008), 152.
[3] Ibid, 459.
[4] Subekti, “Hukum
Pembuktian”, (Jakarta: Balai Pustaka, 2018), 1.
[5] Martiman Prodjohamidjojo, “Komentar
atas KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana”, (Jakarta: Pradnya Paramitha),
11.
[6] Floris J. Bex,
“Arguments, Stories, and Criminal Evidence: A Formal Hybrid Theory”,
(London: Springer, 2011), 1.
[7] Barbara J. Shapiro, “Beyond
Reasonable Doubt and Probable Cause: Historical Perspective on The Anglo-American
Law of Evidence”, (Berkeley: University of California Press, 1991), 39.
[8] Arthur Best, “Evidence: Examples
and Explanations”, (Boston-New York-Toronto-London: Little Brown and
Company, 1994), 2.
[9] Christophe
Allan, “Sourcebook on Evidence”, (London: Routledge-Cavendish, 1996), 6.
[10] Syaiful
Bakhri, “Hukum Pembuktian Dalam Praktik Peradilan Pidana”, (Jakarta: Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Hukum (P3IH), 2009), 27.
[11] Tolib Effendi, “Dasar-Dasar Hukum
Acara Pidana Perkembangan dan Pembaharuannya di Indonesia”, (Malang: Setara
Presss Wisma Kalimetro, 2015), 176.
[12] Mohammad
Taufik Makarao dan Suhasril, “Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktik”,
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), 107.
[13] vide Pasal 1 Angka 26
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
[14] vide Pasal 1 Angka 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
[15] vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
65/PUU-VIII/2010, 89.
[16] Eddy O.S.
Hiariej, op.cit, 13.
[17] vide Pasal
1 Angka 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
[18] vide Pasal
133 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
[19] vide Pasal
133 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
[20] vide Penjelasan
Pasal 133 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
[21] vide Pasal
179 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
[22] vide Pasal
179 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
[23] vide Pasal
186 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
[24] vide Penjelasan
Pasal 186 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
[25] vide Penjelasan
Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
[26] P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, “Pembahasan
KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi” (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013), 422-423.
[27] vide Pasal
188 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
[28] vide Pasal
188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
[29] vide Pasal
188 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
[30] vide Pasal
189 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
[31] vide Pasal
189 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
[32] vide Pasal
189 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
[33] vide Pasal
189 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
[34] Ratna Nurul
Arifah, “Barang Bukti dalam Proses Pidana”, (Jakarta: Sinar Grafika, 1989), 14.
[35] Haryanto, “Hukum Acara Pidana”, (Salatiga:
Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, 2007), 48.