layananhukum

Memahami Sederhana Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana

Ilustrasi CSI
 

Pertanyaan

Selamat Pagi Pak, izin bertanya mengenai bukti, pembuktian, alat bukti, dan barang bukti, itu maksudnya bagaimana ya pak? Apakah istilah-istilah hukum yang dimaksud merujuk pada hal yang sama ataukah tidak? Lantas, apa pentingnya adanya hal-hal tersebut dan bagaimana cara mendapatkannya dan menentukan apakah itu sesuatu yang benar-benar dapat dipertanggung jawabkan dan benar-benar asli tidak direkayasa? Terima Kasih.

Jawaban

Pengantar

Pertama-tama, sebelum lebih jauh menjawab pertanyaan Anda, kami memaknai istilah-istilah yang Anda sebutkan itu mengacu pada “Hukum Pidana” secara spesifiknya “Hukum Acara Pidana”, Anda dapat membaca tulisan kami yang relevan terkait hukum pidana pada tulisan kami yang berjudul “Apa itu Delik, Tindak Pidana, Perbuatan Pidana, dan Unsur-Unsurnya” dan “Kodifikasi, Unifikasi, dan Pembedaan Hukum” untuk melihat sekilas mengenai pemahaman dasar lainnya.

Bukti

Arti kata “bukti” itu sendiri, yakni dalam Bahasa Inggrisnya dikenal dengan istilah “evidence” dan “proof”, keduanya memiliki perbedaan prinsip. Evidence artinya informasi yang memberikan dasar-dasar yang mendukung suatu keyakinan bahwa beberapa bagian atau keseluruhan fakta itu benar. Sementara Proof, satu kata dengan berbagai arti, namun dalam wacana hukum, artinya hasil dari suatu proses evaluasi dan menjadi benchmark (tolak ukur/acuan) untuk menarik kesimpulan terhadap evidence atau dapat digunakan lebih luas untuk mengacu pada proses itu sendiri.[1]

Sedangkan bukti atau evidence dalam Kamus Oxford University, disebut “facts, signs or objects that make you believe sth is true; information used in a law court to try to prove.[2] Artinya, bukti adalah fakta-fakta, tanda-tanda atau benda-benda yang dapat membuat Anda percaya bahwa itu benar adanya; informasi yang digunakan di muka pengadilan untuk diuji membuktikan sesuatu hal.

Berbeda dengan proof, proof adalah information, documents, etc that show that sth is true; or process of testing whether sth is true.[3] Yang mana artinya, bukti adalah informasi, dokumen, dan lain sebagainya yang menunjukkan bahwa itu benar adanya; atau proses pengujian apakah sesuatu itu benar.

Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana

Pengertian “Pembuktian” itu sangat beragam, setiap ahli hukum memiliki definisi masing-masing mengenai pembuktian. Banyak ahli hukum yang mendefinisikan pembuktian ini melalui makna kata “membuktikan.” Contohnya, Subekti[4] menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “membuktikan” ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukankan dalam suatu persengketaan. Intinya, “menyakinkan hakim”. Lebih lanjut menurut Martiman Prodjohamidjojo[5] proses dari pembuktian atau membuktikan itu tadi mengandung makna dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Kebenaran peristiwa yang dimaksud adalah bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggung jawabkannya.

Hukum Pembuktian yang disinyalisasi oleh Prof. Floris J. Bex[6], membagi pembuktian dalam bangunan Hukum Acara Pidana menjadi 2 (dua) bagian antara lain:

1)       Study of Evidence Law (Studi Hukum Pembuktian);

2)      Study of Process of Proof. (Studi Mengenai Proses Pembuktian).

Study of Evidence Law (Studi Hukum Pembuktian)

Study of Evidence Law titik beratnya ada pada “ratiocinative process of contentious persuasion” (Proses Penalaran Logis Persuasi Contentious). Sebelum membahas mengenai “ratiocinative process of contentious persuasion” (Proses Penalaran Logis Persuasi Contentious),  John Wignore[7] pernah mengemukan istilah “ratiocinative process of persuasion” sebagai berikut:

“The principles of proof -the ratiocinative process of persuasion-were of far greater importance that the rules of admissibility. That the principles of proof were “the natural process of the mind in dealing with evidential facts after they are admitted to the jury; while the rules of admissibility represent artificial legal rules.”

Artinya prinsip-prinsip pembuktian-proses penalaran logis persuasi- jauh lebih penting daripada aturan mengenai bukti yang dapat diterima (admissibility). Menurut Wignore, prinsip-prinsip pembuktian ini adalah “proses alami dari pikiran yang berkaitan (relevan) dengan fakta-fakta dari bukti-bukti setelah mereka (bukti-bukti tersebut) diterima oleh juri; sedangkan aturan mengenai penerimaan atau suatu bukti haruslah dapat diterima atau admissible hanya mewakili aturan hukum positif yang berlaku.

Suatu bukti itu harus diterima dengan sendirinya apabila suatu bukti itu merupakan bukti yang relevan. Karena menurut Arthur Best[8]evidence laws by exploring the way it divides all the facts of the world into two categories in every case: relevant and irrelevant; material must be relevant to be admitted into evidence at a trial. Artinya, hukum pembuktian ialah dengan mengeksplorasi cara membagi semua fakta dunia ke dalam dua kategori dalam setiap perkara: relevan dan tidak relevan; sifat materiil dari bukti harus relevan untuk dapat dijadikan bukti dan diterima di persidangan.

Sedangkan untuk “ratiocinative process of contentious persuasion” (Proses Penalaran Logis Persuasi Contentious), Christophe Allen pernah menjelaskan pada bukunya dalam Chapther JH Wignore, The Principles of Judicial Proof (1931, 2nd edn), ia menjelaskan:

“JH Wignore, The Principle of Judicial Proof (1931, 2nd ednthat study of principles of evidence, for a lawyer, falls into two distinct parts. One is Proof in the general sense – the part concerned with the ratiocinative process of contentious persuasion- mind to mind, counsel to judge or juror, each partisan seeking to move the mind of tribunal. The other part is admissibility- the procedural rule devised by the law, and based on litigious experience and tradition, to guard the tribunal (particularly the jury) against erroneous persuasion.”[9]

Sederhanya penjelasannya begini, bahwa studi tentang prinsip-prinsip bukti untuk seorang pengacara jatuh ke dalam 2 (dua) bagian yang berbeda. Yang Pertama adalah bukti dalam pengertian umum-bagian yang berkaitan dengan Proses Penalaran Logis Persuasi Contentious- ini merupakan pikiran ke pikiran (upaya meyakinkan), nasihat untuk memutuskan atau menilai dari masing-masing partisan (juri) yang berusaha untuk memutuskan (kemudian) apa yang mereka Yakini ke pengadilan. Bagian lainnya, adalah bukti yang dapat diterima -aturan procedural yang dirancang oleh hukum, dan berdasarkan pengalaman dan tradisi atau kesadaran hukum, untuk menjaga pengadilan (terutama juri) terhadap persuasi yang salah. Studi of evidence law atau the ratiocinative process of contentious persuasion didapatkan berdasarkan bukti (yang relevan atau tidak/materiialnya) dan alat-alat bukti.

Study of Process of Proof (Studi Mengenai Proses Pembuktian)

Dalam studi ini titik tekannya ada pada sifat admissibility (suatu pembuktian yang dapat diterima. Menurut Richard Glover, bukti yang dapat diterima di pengadilan, adalah berupa kesaksian, documenter, atau bukti nyata apapun yang dapat dikenalkan ke factfinder (penemu fakta) -biasanya hakim atau juri- for evidence to be admissible, it must be relevant and “not excluded by the rules of evidence”,…… the rules of evidence are rules of law, and it follows that, unlike relevance, which is determined solely by reference to the logical relationship between the evidence and a fact in issue, admissibility is a matter of law. To be admissible, evidence must be relevant, but to be admissible, the converse proposition is not true. Not all relevant evidence is admissible.

Agar bukti dapat diterima, itu harus relevan dan “tidak dikecualikan oleh aturan pembuktian”, ……Bukti dikatakan dapat diterima atau tidak apabila relevan dan jika tidak dikecualikan dari ketentuan bukti. Aturan pembuktian adalah aturan hukum, dan oleh karenanya, tidak seperti relevansi, yang ditentukan semata-mata dengan mengacu pada hubungan logis antara bukti dan fakta dalam  suatu perkara, yang hanya dapat diterimanya adalah bukti yang ada relevansinya dengan masalah hukum yang ada. Agar dapat diterima, bukti harus relevan, tetapi relevansi tidak cukup untuk menghasilkan bukti itu agar diterima. Sementara bukti harus relevan untuk diterima, proposisi sebaliknya tidak benar. Oleh karenanya tidak semua bukti yang relevan dapat diterima, akan tetapi bukti harus relevan agar diterima.

Dengan demikian, maka dapat dimengerti bahawa, pembuktian dilihat dari perspektif Hukum Acara Pidana yakni, ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran, baik oleh hakim, penuntut umum, terdakwa, dan Advokat, kesemuanya terikat pada ketentuan dan tata cara, serta penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak dibenarkan untuk melakukan Tindakan yang leluasa sendiri dalam menilai alat bukti, dan itu tidak boleh bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.[10]

Alat Bukti Dalam KUHAP

Kekuatan pembuktian terletak dalam Pasal 183 KUHAP, yang menyatakan:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Alat bukti sebagaimana yang dimaksud di atas menurut Tolib Effendi[11] adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana telah dilakukan oleh terdakwa. Alat bukti yang dimaksud sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, antara lain:

Alat bukti yang sah ialah:

a.       keterangan saksi;

b.      keterangan ahli;

c.       surat;

d.      petunjuk;

e.       keterangan terdakwa.

Keterangan Saksi

Menjadi Saksi adalah satu di antara kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah dilakukan pemanggilan ke suatu sidang pengadilan secara sah dan patut untuk memberikan keteranganna terkait dengan peristiwa atau tindak pidana yang ada.[12] Menurut KUHAP[13], saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Sedangkan, Keterangan Saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.[14] Akan tetapi, sejak Senin, 8 Agustus 2011, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010, ketentuan ini dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang pengertian saksi tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

Mahkamah tidak memberikan penjelasan serta batasan yang cukup jelas mengenai sejauh mana seseorang dan nilai keterangannya dapat bernilai sebagai Saksi dan Keterangan Saksi. Pertimbangan yang Mahkamah berikan untuk memutuskan perkara tersebut hanya menjelaskan bahwa “nilai kesaksian saksi bukanlah terletak apakah dia melihat, mendengar dan mengalami sendiri suatu peristiwa. Namun, terletak pada sejauh mana relevansi kesaksian yang diberikan terhadap perkara yang sedang berjalan.”[15]

Terkati relevansi itu sudah kami jelaskan di atas tadi, bahwa itu bernilai sebagai pembuktian apabila memiliki relevansi kemudian karena hal itu relevan maka itu dapat diterima sebagai suatu alat bukti, khususnya dalam hal ini adalah keterangan saksi.

Relevansi sangat penting dalam hal pembuktian perkara pidana. Pentingnya makna relevansi dijelaskan oleh Eddy O.S Hiraej[16] dalam pembuktian perkara pidana adalah sebagai berikut:

a.       Bukti harus relevan atau berhubungan;

b.      Bukti harus dapat dipercaya, maksudnya bukti tersebut dapat diandalkan sehingga untuk memperkuat bukti harus didukung oleh bukti lainnya;

c.       Bukti tidak boleh didasarkan pada persangkaan yang tidak semestinya, bukti tersebut haruslah bersifat objektif dalam memberikan informasi mengenai suatu fakta.

Keterangan Ahli

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.[17] KUHAP tidak memberikan penjabaran lebih lanjut mengenai apa “Keahlian Khusus” yang dimaksudkan akan tetapi disebutkan juga bahwa dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.[18] Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.[19] Bahwa perlu diketahui bahwa, Keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli; sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan “ kedokteran kehakiman disebut keterangan.[20]

Dari ketentuan di atas kita dapat melihat bahwa ada perbedaan signifikan antara “dokter kehakiman” dengan “dokter”, padahal kita ketahui bahwa keduanya sama-sama “ahli”, akan tetapi KUHAP memberikan penjelasan bahwa pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat hanya dapat dilakukan oleh ahli yang disebut dengan “dokter kehakiman” atau dikenal juga dengan “kedokteran forensik.”

Kemudian, untuk pemeriksaan di muka sidang, dinyatakan bahwa setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.[21] Semua ketentuan untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.[22]

Disebutkan juga bahwa Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.[23] Namun, Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan keterangan dan, dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim.[24]

Surat

Sebagaimana ketentuan di dalam KUHAP yang menyebutkan, Surat dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

a.       Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

b.      Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

c.       Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;

d.      Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.[25]

Menurut P.A.F Lamintang,[26] Pasal 187 huruf a dan huruf b KUHAP, merupakan surat-surat yang biasanya disebut sebagai akta-akta resmi atau officiele akten berupa akta otentik atau auntentieke akten ataupun akta-akta jabatan atau ambtelijke akte dapat dimasukkan ke dalam pengertian surat atau berita acara seperti yang dimaksud dalam ketentuan pasal tersebut, terutama Pasal 187 huruf a KUHAP. Sedangkan, Pasal 187 huruf b KUHAP, itu contohnya seperti Sertipikat Tanah, Berita Acara Pemeriksaan di tempat kejadian yang dibuat penyidik atau Putusan Pengadilan yang dibuat oleh Majelis Hakim yang mengadilan perkara seorang terdakwa tersebut.

Petunjuk

Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan, karena persesuaianya baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.[27] Petunjuk hanya dapat diperoleh dari:

a.       keterangan saksi;

b.      surat;

c.       keterangan terdakwa.[28]

Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.[29]

Keterangan Terdakwa

Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.[30] Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.[31]Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.[32] Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.[33]

Barang Bukti

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memang tidak memberikan definisi apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP menyebutkan mengenai apa-apa saja yang dapat disita, yaitu:

a.       benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;

b.      benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;

c.       benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;

d.      benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;

e.       benda lain yang mempunyai hubungan lansung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti.[34] Ini juga dapat dilihat sebagaimana ketentuan Pasal 40 KUHAP yang menyebutkan:

“Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti.”

Memang, ketentuan di atas itu mengenai ketentuan mengenai tertangkap tangan (op heterdaad betrappen) akan tetapi disebutkan bahwa ada frasa “benda” dan “alat” diduga telah dipergunakan atau “benda lain yang dapat dipakai”, sebagai barang bukti.

Barang bukti yang terkait suatu tindak pidana harus dilakukan penyitaaan karena barang bukti tersebut dapat dipakai untuk membuktikan apakah benar barang bukti yang diajukan ke persidangan itu merupakan hasil kejahatan atau barang bukti itu merupakan alat untuk melakukan kejahatan. Berkaitan barang bukti ini juga akan diputuskan oleh Hakim, apakah barang bukti akan dikembalikan kepada yang berhak, atau dirampas untuk dimusnahkan atau dirampas untuk Negara. Terkait dengan barang bukti yang harus disita, Haryanto[35] mengatakan bahwa Benda yang dapat disita itu:

1)       Instrumenta Delicti:

2)      Corpora Delicti;

3)      Benda lain yang secara langsung tidak ada hubungannya dengan tindak pidana tetapi mempunyai alasan kuat untuk bahan pembuktian.

Dalam perkara pencurian, contohnya, barang bukti berupa kendaraan roda dua yang kemudian diberikan kode BB (Barang Bukti) sangat terkait dengan penyitaan untuk kepentingan pemeriksaan perkara, selanjutnya akan ditampilkan di persidangan untuk membuktikan apakah benar perbuatan pencurian yang didakwakan kepada Terdakwa tersebut dan apakah benar barang bukti yang ditunjukkan dalam persidangan adalah barang milik korban yang diambil oleh Terdakwa.

Akhir kata, barang bukti merupakan benda konkrit bisa berupa baju, celana, pisau, senjata api, kendaraan roda dua dan tidak terbatas pada benda bergerak saja akan tetapi juga dapat berupa benda tidak bergerak (seperti tanah dan kapal), yang pada intinya ada kaitannya dengan peristiwa pidana yang nantinya akan dilakukan pencocokan dengan alat bukti yang limitative (terbatas) sebagaimana ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP.

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


[1] Eddy O.S. Hiariej, “Teori dan Hukum Pembuktian”, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012), 2.

[2] Oxford, “Oxford Dictionary”, (UK, Oxford University Press, 2008), 152.

[3] Ibid, 459.

[4] Subekti, “Hukum Pembuktian”, (Jakarta: Balai Pustaka, 2018), 1.

[5] Martiman Prodjohamidjojo, “Komentar atas KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana”, (Jakarta: Pradnya Paramitha), 11.

[6] Floris J. Bex, “Arguments, Stories, and Criminal Evidence: A Formal Hybrid Theory”, (London: Springer, 2011), 1.

[7] Barbara J. Shapiro, “Beyond Reasonable Doubt and Probable Cause: Historical Perspective on The Anglo-American Law of Evidence”, (Berkeley: University of California Press, 1991), 39.

[8] Arthur Best, “Evidence: Examples and Explanations”, (Boston-New York-Toronto-London: Little Brown and Company, 1994), 2.

[9] Christophe Allan, “Sourcebook on Evidence”, (London: Routledge-Cavendish, 1996), 6.

[10] Syaiful Bakhri, “Hukum Pembuktian Dalam Praktik Peradilan Pidana”, (Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Hukum (P3IH), 2009), 27.

[11] Tolib Effendi, “Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana Perkembangan dan Pembaharuannya di Indonesia”, (Malang: Setara Presss Wisma Kalimetro, 2015), 176.

[12] Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, “Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktik”, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), 107.

[13] vide Pasal 1 Angka 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

[14] vide Pasal 1 Angka 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

[15] vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010, 89.

[16] Eddy O.S. Hiariej, op.cit, 13.

[17] vide Pasal 1 Angka 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

[18] vide Pasal 133 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

[19] vide Pasal 133 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

[20] vide Penjelasan Pasal 133 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

[21] vide Pasal 179 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

[22] vide Pasal 179 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

[23] vide Pasal 186 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

[24] vide Penjelasan Pasal 186 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

[25] vide Penjelasan Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

[26] P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, “Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi” (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 422-423.

[27] vide Pasal 188 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

[28] vide Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

[29] vide Pasal 188 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

[30] vide Pasal 189 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

[31] vide Pasal 189 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

[32] vide Pasal 189 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

[33] vide Pasal 189 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

[34] Ratna Nurul Arifah, “Barang Bukti dalam Proses Pidana”, (Jakarta: Sinar Grafika, 1989), 14.

[35] Haryanto, “Hukum Acara Pidana”, (Salatiga: Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, 2007), 48.

Formulir Isian