Ilustrasi Pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) oleh DPR |
Konsekuensi menjadi sebuah negara hukum yang
demokratis, bahwa untuk setiap tindakan dalam menjalankan pemerintahan haruslah
berdasarkan hukum yang diperoleh atas dasar atribusi sebagai sumber kewenangan
dalam melakukan setiap tindakan, sehingga melahirkan asas wetmatigheid
van bestuur. Oleh karenanya untuk dapat menyatakan sebuah produk pemerintah
merupakan peraturan perundang-undangan haruslah ditelusuri atau diuji sumber
kewenangannya.[1]
Asas wetmatigheid van bestuur atau legaliteitsbeginsel atau het
beginsel van wetmatigheid van bestuur disebut juga asas legalitas
dalam ruang dan bangun hukum Administrasi Negara atau Hukum Tata Pemerintahan,
merupakan prinsip bahwa wewenang pemerintahan berdasar dari pada peraturan
perundang-undangan, yang diperoleh melalui 3 (tiga) cara antara lain:
1)
Atribusi;
2)
Delegasi; dan
3)
Mandat.
Atribusi sendiri merupakan pembagian (kekuasaan) atau
sering disebut juga dengan attribute van rechtsmacht; pembagian
atau pemberian wewenang kepada suatu organ (instansi) yang bersifat mutlak,
sebagai lawan dari distributie van rechtmacht.[2] Atau
dapat juga dikatakan bahwa atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang.[3]
Delegasi, merupakan penyerahan wewenang dari pejabat
yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Delegasi harus definitive dan
pemberi delegasi tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah
dilimpahkan, suatu delegasi juga biasa merupakan bentuk dalam instansi pertama
suatu wewenang suatu Lembaga pemerintahan diserahkan kepada Lembaga ini kepada
Lembaga pemerintahan lainnya. Atau dapat dikatakan delegasi adalah pelimpahan
Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan
tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi.[4]
Sedangkan untuk wewenang yang didapatkan dari atribusi
dan delegasi dapat dimandatkan kepada badan atau pegawai bawahan jika pejabat
yang berwenang tidak sanggup untuk melakukan sendiri.[5] Sederhananya,
mandat adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah
dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat.[6]
Apa itu Peraturan Perundang-Undangan dan Undang-Undang?
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis
yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan
oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang
ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.[7] Sedangkan
Undang-Undang adalah Peraturan Perundang- undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.[8]
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah
pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, pengundangan.[9] Bagir
Manan mengemukakan bahwa keberadaan peraturan perundang-undangan dan kegiatan
pembentukan undang-undang (legislasi) mempunyai peranan yang sangat penting dan
strategis sebagai pendukung utama dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini
didasarkan atas beberapa alasan, yaitu:
1)
Peraturan
perundang-undangan merupakan kaidah hukum yang mudah dikenali (diidentifikasi),
mudah ditemukan kembali dan mudah ditelusuri. Sebagai kaidah hukum tertulis,
bentuk, jenis dan tempatnya jelas, begitu pula pembuatnya;
2)
Peraturan
perundang-undangan memberikan kepastian hukum yang lebih nyata karena
kaidah-kaidahnya mudah diidentifikasi dan mudah diketemukan kembali;
3)
Struktur dan
sistematika peraturan perundang-undangan lebih jelas sehingga memungkinkan
untuk diperiksa kembali dan diuji baik segi segi formal maupun materi
muatannya;
4)
Pembentukan dan
pengembangan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan. Faktor ini sangat
penting bagi negara-negara yang sedang membangun termasuk membangun sistem
hukum baru yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat.[10]
Siapa Pembentuk Undang-Undang?
Yang menjadi dasar pembentukan Undang-Undang,
sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pada
amandemen I (Perubahan Kesatu) yang menyatakan bahwa:
(1)
Dewan Perwakilan
Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
(2)
Setiap rancangan
undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama.
(3)
Jika rancangan
undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang
itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa
itu.
(4)
Presiden
mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi
undang-undang.
(5)
Dalam hal
rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan
oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang
tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang
dan wajib.[11]
Dengan kedudukannya sebagai para wakil rakyat sebagai
pembentuk Undang-Undang, maka setiap undang-undang disebut juga sebagai
produk legislative tidak boleh diubah atau dibatalkan oleh
pemerintah tanpa persetujuan Lembaga perwakilan atau legilative yang
membentuknya itu sendiri. Dalam system hukum Indonesia legislator atau
dewan perwakilan ini pada tingkat nasional disebut juga dewan legislative utama
atau legislator utama yang disebut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu tadi.[12]
Proses Pembentukan Undang-Undang di Indonesia
Terkait dengan Proses pembentukannya, ada beberapa
ketentuan yang mengatur antara lain:
1)
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
2)
Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
3)
Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
4)
Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; dan
5)
Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
6)
Peraturan
Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
7)
Peraturan
Presiden Nomor 76 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 87
Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
8)
Peraturan Dewan
Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
Dalam Undang-Undang tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan beserta Perubahannya, menjelaskan
mekanisme proses pembuatan suatu Undang-Undang itu melalui beberapa tahapan
antara lain:
1)
Perencanaan, diatur dalam Pasal 16 sampai
dengan Pasal 42 Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan beserta Perubahannya;
2)
Penyusunan, diatur dalam Pasal 43 sampai
dengan Pasal 64 Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan beserta Perubahannya;
3)
Pembahasan, diatur dalam Pasal 65 sampai Pasal
71 Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan beserta
Perubahannya;
4)
Pengesahan, diatur dalam Pasal 72 sampai Pasal
74 Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan beserta
Perubahannya;
5)
Pengundangan, diatur dalam Pasal 81 sampai Pasal
87 Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan beserta
Perubahannya.
Tahap Perencanaan
Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam
Prolegnas.[13] Prolegnas
itu sendiri adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang
disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.[14] Penyusunan
Prolegnas dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), dan Pemerintah.[15] Siapa
Pemerintah yang dimaksud di sini?
Pemerintah merujuk pada organ atau alat perlengkapan,
sedangkan istilah pemerintahan menunjukkan bidang tugas atau fungsi. Dalam arti
sempit pemerintah hanya mencakup Lembaga Eksekutif saja,[16] yaitu
Presiden dan segenap Menteri atau Badan yang berada di bawah Presiden, selain
DPR, dan DPD.
Prolegnas ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan
berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU).[17] Untuk
penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa
keanggotaan DPR sebagai Prolegnas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.[18] Perlu
diketahui, sebelum menyusun dan menetapkan Prolegnas jangka menengah DPR, DPD,
dan Pemerintah melakukan evaluasi terhadap Prolegnas jangka menengah masa
keanggotaan DPR sebelumnya.[19] Ketentuan
mengenai prolegnas jangka menengah sebagaimana dimaksud dapat dievaluasi setiap
akhir tahun bersamaan dengan penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas
tahunan.[20]
Dan untuk penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas
tahunan sebagai pelaksanaan Prolegnas jangka menengah dilakukan setiap tahun
sebelum penetapan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN).[21]
Dalam penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah
dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani
bidang legislasi.[22] Seperti
yang kita ketahui bahwa alat kelengkapan DPR terdiri atas:
a.
Pimpinan;
b.
Badan Musyawarah;
c.
Komisi;
d.
Badan
Legislasi;
e.
Badan Anggaran;
f.
Badan
Akuntabilitas Keuangan Negara;
g.
Badan Kerja Sama
Antar-Parlemen;
h.
Mahkamah
Kehormatan Dewan;
i.
Badan Urusan
Rumah Tangga;
j.
Panitia Khusus;
dan
k.
Alat kelengkapan
lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.[23]
Sedangkan, untuk penyusunan Prolegnas di lingkungan
DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR khusus menangani bidang
legislasi.[24] Pada
tahap ini, Badan Legislasi dapat mengundang pimpinan fraksi, pimpinan komisi,
dan/atau masyarakat,[25] kemudian
badan legislasi berkoordinasi dengan DPD dan Menteri Hukum dan HAM untuk
menyusun dan menetapkan Prolegnas.[26] Untuk
Penggunaan metode omnibus dalam penyusunan suatu Rancangan Peraturan
Perundang-undangan harus ditetapkan dalam dokumen perencanaan.[27] Yang
dimaksud dengan “dokumen perencanaan” antara lain adalah Prolegnas, program
penyusunan Peraturan Pemerintah, program penrusunan Peraturan Presiden,
Prolegda Provinsi, dan Prolegda Kabupaten / Kota.[28]
Tahap Penyusunan
Rancangan undang-undang dapat berasal dari DPR,
Presiden, atau DPD.[29] Rancangan
Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah
Akademik.[30] Penyusunan
konsepsi Rancangan Undang-Undang meliputi:
1)
Latar belakang
dan tujuan penyusunan;
2)
Sasaran yang
ingin diwujudkan; dan
3)
Jangkauan dan
arah pengaturan.[31]
Materi yang diatur sebagaimana dimaksud di atas telah
melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik.[32] Apa
itu Naskah Akademik? Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau
pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah
tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi
terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.[33] Penyusunan
naskah akademik oleh anggota/komisi/gabungan komisi dan Penyusunan draft awal
Rancangan Undang-Undang (RUU) oleh anggota/komisi/gabungan komisi.[34]
Pengharmonisasian, pembulatan, pemantapan, konsepsi
Rancangan Undang-Undang (RUU) yang paling lama 20 (dua puluh) hari sejak
Rancangan Undang-Undang (RUU) diterima badan legislasi.[35] Kemudian
dalam hal Rancangan Undang-Undang (RUU) sebagaimana dimaksud disampaikan pada
akhir masa sidang kurang dari 20 (dua puluh) hari, sisa hari dilanjutkan pada
masa sidang berikutnya.[36] Dan
dalam hal rancangan undang-undang disampaikan pada Masa Reses, 20 (dua puluh)
Hari dalam Masa Sidang dihitung sejak pembukaan Masa Sidang berikutnya.[37]
Kemudian, hasil harmonisasi badan legislasi diajukan
pengusul ke pimpinan DPR, kemudian dilakukan rapat paripurna untuk memutuskan
Rancangan Undang-Undang (RUU) usul inisiatif DPR, dengan keputusan:
1)
Persetujuan tanpa
perubahan;
2)
Persetujuan
dengan perubahan;
3)
Penolakan.[38]
Penyempurnaan Rancangan Undang-Undang (RUU) jika
keputusan adalah “persetujuan dengan perubahan” yang paling lambat 30 hari masa
sidang dan diperpanjang 20 hari masa sidang.[39] Kemudian,
Rancangan Undang-Undang (RUU) hasil penyempurnaan disampaikan kepada Presiden
melalui surat pimpinan DPR,[40] kemudian
Presiden menunjuk Menteri untuk membahas RUU bersama DPR, yang paling lama 60
hari sejak surat pimpinan DPR diterima Presiden.[41] Apabila
dalam jangka waktu 60 (enam puluh) Hari Presiden belum menunjuk Menteri untuk
membahas rancangan undangundang bersama DPR, Pimpinan DPR melaporkan dalam
rapat paripurna DPR untuk menentukan tindak lanjut.[42]
Pembahasan
Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) dilakukan
berdasarkan 2 (dua) tingkat pembicaraan.[43] 2
(dua) tingkat pembicaraan terdiri atas:
a.
Tingkat I dalam
rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan
Anggaran, atau rapat panitia khusus bersama dengan menteri yang mewakili
Presiden; dan
b.
Tingkat II dalam
rapat paripurna DPR.[44]
Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam
Pembicaraan Tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat
Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus bersama dengan
menteri yang mewakili Presiden dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut:
a.
Pengantar
musyawarah;
b.
Pembahasan daftar
inventarisasi masalah;
c.
Penyampaian
pendapat mini sebagai sikap akhir; dan
d.
Pengambilan
keputusan.[45]
Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam rapat
kerja komisi, rapat kerja gabungan komisi, rapat kerja Badan Legislasi, rapat
kerja Badan Anggaran, atau rapat kerja panitia khusus diserahkan lebih lanjut
kepada panitia kerja.[46]
Panitia kerja dibentuk oleh komisi, gabungan komisi,
Badan Legislasi, Badan Anggaran, atau panitia khusus yang ditugaskan membahas
Rancangan Undang-Undang (RUU) yang keanggotaannya paling banyak 1 /2
(satu per dua) dari jumlah anggota alat kelengkapan DPR yang membentuknya.[47]
Pengambilan keputusan Rancangan Undang-Undang (RUU)
dalam rapat kerja dilaksanakan berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat.
Kemudian, Pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dapat dilaksanakan
jika dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota rapat yang
terdiri atas lebih dari separuh unsur Fraksi. Apabila dalam rapat panitia kerja
tidak tercapai kesepakatan atas suatu atau beberapa rumusan Rancangan UndangUndang
(RUU), permasalahan tersebut dilaporkan dalam rapat kerja untuk selanjutnya
diambil keputusan.[48]
Pengesahan
Rancangan Undang-Undang (RUU) yang telah disetujui
bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden
untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Dalam hal Rancangan Undang-Undang (RUU)
yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden masih terdapat kesalahan
teknis penulisan, dilakukan perbaikan oleh pimpinan alat kelengkapan DPR yang
membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut dan Pemerintah yang diwakili
oleh kementerian yang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut. Kemudian,
hasil perbaikan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari pimpinan alat
kelengkapan DPR yang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut dan wakil
dari Pemerintah yang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut.[49]
Perbaikan dan penyampaian Rancangan Undang-Undang
(RUU) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung
sejak tanggal persetujuan bersama.[50]
Pengundangan
Pengundangan Peraturan Perundang-Undangan dalam Lembar
Negara Republik Indonesia dilaksanakan oleh Menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang keseknetariatan negara.[51]
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau
langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini.
Terima Kasih.
[1] SF. Marbun, “Hukum Administrasi
Negara I”, (Yogyakarta: FH UII Press, 2018), 244.
[2] Abdul Rahman
Nur, “Algemene Beginselen Van Behoorlijk Bestuur”, (Palopo, Guepedia, 2018),
49.
[3] vide Pasal
1 Angka 22 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
[4] vide Pasal
1 Angka 23 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
[5] Ibid, 50-51.
[6] vide Pasal
1 Angka 24 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
[7] vide Pasal
1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[8] vide Pasal
1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[9] vide Pasal
1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[10] A. Rosyid Al Atok, “Konsep
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”, (Malang: Setara Pers, 2015), 3.
[11] vide Pasal
20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[12] Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie, “Hukum Acara Pengujian Undang-Undang”, (Jakarta: Sinar Grafika,
2012), 20-21.
[13] vide Pasal
16 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
[14] vide Pasal
1 Angka 9 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[15] vide Pasal
20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
[16] Suprawoto, “Government Public
Relations: Perkembangan dan Praktik di Indonesia”, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2018), 46.
[17] vide Pasal
20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
[18] vide Pasal
20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
[19] vide Pasal
20 ayat (4) Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
[20] vide Pasal
20 ayat (5) Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
[21] vide Pasal
20 ayat (6) Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
[22] vide Pasal
21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[23] vide Pasal
83 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
[24] vide Pasal
21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[25] vide Pasal
21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[26] vide Pasal
21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
[27] vide Pasal
42A Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[28] vide Penjelasan
Pasal 42A Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[29] vide Pasal
163 ayat (1) Undang-Undang Nomor Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah jo. Pasal
43 ayat (1) Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
[30] Pasal 43 ayat
(3) Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[31] vide Pasal
19 ayat (2) Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
[32] vide Pasal
19 ayat (3) Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
[33] vide Pasal
1 Angka 11 Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[34] vide Pasal
46 ayat (1) Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
[35] vide Pasal
130 ayat (1) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
[36] vide Pasal
130 ayat (2) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
[37] vide Pasal
130 ayat (3) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
[38] vide Pasal
135 ayat (2) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
[39] vide Pasal
138 ayat (1) dan ayat (3) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
[40] vide Pasal
138 ayat (4) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
[41] vide Pasal
141 ayat (1) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
[42] vide Pasal
141 ayat (2) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
[43] vide Pasal
142 ayat (1) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
[44] vide Pasal
142 ayat (2) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
[45] vide Pasal
149 ayat (1) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
[46] vide Pasal
157 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
[47] vide Pasal
158 ayat (1) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
[48] vide Pasal
162 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
[49] vide Pasal 72 ayat (1), (1a),
dan (1b) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[50] vide Pasal
72 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[51]
vide Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.