layananhukum

Mati Ditembak? Begini Aturan Visum et Repertum yang Wajib Anda Ketahui

Ilustrasi Penembakan
 

Peran autopsi itu sangat penting yang nanti produknya berupa Visum et Repertum (VeR). Dalam terminologi ilmu kedokteran, autopsi itu sendiri atau disebut dengan bedah mayat berarti suatu penyelidikan atau pemeriksaan pada tubuh mayat, termasuk alat-alat atau organ tubuh dan susunannya pada bagian dalam setelah dilakukan pembedahan dengan tujuan menentukan sebab kematian seseorang, baik untuk kepentingan ilmu kedokteran maupun menjawab misteri suatu tindak kriminal.[1]

Sebagaimana kasus dugaan tembak menembak yang sedang viral saat ini yaitu “Polisi Tembak Polisi”, yang mana dalam kasus tersebut menewaskan Brigadir Polisi (Brig Pol) Nofriansyah Yosua Hutabarat yang berdasarkan Laporan Awal dari Kapolresta Jakarta Selatan, Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) Budhi Herdi Susianto, Brigadir Polisi (Brig Pol) Nofriansyah Yosua Hutabarat  diduga melakukan pelecehan terhadap Istri dari Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Kadiv Propam Mabes Polri) Inspektur Jenderal Polisi (Irjen Pol) Ferdy Sambo, yang hingga akhirnya ditembak mati (alasan membela diri) oleh Bhayangkara Dua (Bharada) Richard Elizer.

Kapolri pun dengan sigap membentuk tim dan mengatakan bahwa akan menyelesaikan kasus ini dengan pendekatan Scientific Crime Investigation (Penyidikan Tindak Pidana Berbasis Ilmu Pengetahuan), dan satu di antaranya dengan menggunakan peran dari Ilmu Forensik.

Bahwa phenomena yang berkaitan dengan Visum et Repertum tidak saja menarik perhatian para ahli yang berkecimpung dalam ilmu kedokteran forensic atau lembaga ilmu pengetahuan lainnya seperti misalnya kriminalistik, ilmu kimia forensik, ilmu alam forensik, psikologi forensik, psychiatri forensik dan ditambah dengan laboratorium fotografi, akan tetapi juga ini bagi ahli-ahli hukum. 

Ilmu-ilmu forensik tersebut itu dapat dikatakan atau diartikan sebagai ilmu yang digunakan untuk mencari atau menghimpun dan menyusun serta menilai fakta-fakta yang berhubungan dengan suatu perbuatan pidana dimana selanjutnya dapat dipasrahkan bagi pengadilan dalam kepentingan melengkapi pembuktian dalam lapangan hukum acara pidana.

Ilmu-ilmu forensik (forensic sciences) meliputi semua ilmu pengetahuan yang mempunyai kaitan dengan masalah pidana (kejahatan) atau dapat dikatakan bahwa dari segi peranannya dalam penyelesaian kasus pidana (kejahatan), maka ilmu-ilmu forensic memegang peranan penting.

Dilihat dari segi peranannya dalam penyelesaian kasus-kasus kejahatan, maka ilmu-ilmu forensik dibagi dalam 3 (tiga) golongan:

-        Ilmu-ilmu forensik yang menangani kejahatan sebagai masalah yuridis,yaitu Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana.

-        Ilmu-ilmu forensik yang menangani kejahatan sebagai masalah teknis, yaitu ilmu kedokteran forensik, ilmu kimia forensik termasuk toxicology forensic dan ilmu fisika forensik antara lain: balistik, daktiloskopi, identifikasi, fotografi, dan sebagainya.

-        Ilmu-ilmu forensik yang menangani kejahatan sebagai masalah manusia: Kriminologi, Psikologi forensik, dan Psikiatri / neurologi forensik.[2]

KUHAP tidak memberikan pengaturan secara tegas mengenai pengertian Visum et Repertum. Satu-satunya ketentuan perundangan yang memberikan definisi Visum et Repertum yaitu Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350, disebutkan Visum Et Repertum adalah laporan tertulis untuk kepentingan peradilan atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya.

Menurut Prof. Abdul Mun’im Idris, Visum Et Repertum adalah suatu laporan tertulis dari dokter yang telah disumpah tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti yang diperiksanya serta memuat pula kesimpulan dari pemeriksaan tersebut guna kepentingan peradilan.[3]

Kewenangan Penyidik dan Kepentingan Penyidikan Pembuatan Visum et Repertum

Sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut dengan KUHAP, menyatakan:

“Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara,”

Kemudian, disebutkan bahwa berkaitan sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf h KUHAP tersebut, dalam tahap pemeriksaan penyidikan, dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.[4] Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik bahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.

Kemudian, sebagaimana sudah pernah kami ulas sebelumnya, pada tulisan kami di “Memahami Sederhana Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana”, terkait dengan “Keterangan Ahli”, yang juga menjadi dasar terbitnya VeR, sebagaimana ketentuan Pasal 133 KUHAP yang menyatakan:

(1)      Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.

(2)     Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.

(3)    Mayat yang dikiriim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.

Perlu dicatat bahwa keterangan yang diberikan oleh “ahli kedokteran kehakiman” disebut “keterangan ahli”; sedangkan keterangan yang diberikan oleh “dokter bukan kedokteran kehakiman” disebut “keterangan”.[5] Jadi, berbeda ya, antara keterangan tersebut walau notabenenya sama-sama dokter, karena memiliki konsekuensi hukum yang berbeda.

Apakah Penyidik Dalam Hal Ingin Melakukan Autopsi Harus Mendapatkan Izin Keluarga?

Ketentuan tersebut sebagaimana Pasal 134 KUHAP, menyatakan:

(1)      Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.

(2)     Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.

(3)    Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.

Berdasarkan Pasal tersebut penyidik tidak perlu persetujuan dari keluarga untuk melakukan autopsi, hanya saja penyidik wajib memberitahukan hal tersebut dan wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya kenapa hal tersebut harus dilakukan. Dalam dua hari tidak ada tanggapan, penyidik harus segera melakukan autopsi tersebut.

Bagaimana Aturan Terkait Ekshumasi?

Sebagaimana ketentuan Pasal 135 KUHAP, menyebutkan bahwa dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian mayat, dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (2) dan Pasal 134 ayat (1) KUHAP. Kemudian, yang dimaksud dengan “penggalian mayat” termasuk pengambilan mayat dari semua jenis tempat dan cara penguburan.[6]

Apakah Ketika Dilakukan Ekshumasi Pihak Keluarga Harus Membayar Penggalian tersebut?

Tidak, semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan ditanggung oleh negara.[7]

Perlu diketahui bahwa bukan hanya penyidik yang dapat memiliki hak untuk dapat mendatangkan ahli, akan tetapi juga tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya (tersangka atau terdakwa), sebagaimana ketentuan Pasal 65 KUHAP, ini merupakan ketentuan dasar dilakukannya pemeriksaan forensik yang sifatnya meringankan (a de charge) yang dihadirkan oleh tersangka atau terdakwa, artinya pemeriksaan kedokteran kehakiman tidak hanya dapat didatangkan oleh penyidik saja sebagaimana ketentuan  Pasal 7 ayat (1) huruf h KUHAP.

Dan yang paling penting terkait wewenang penyidik meminta keterangan ahli ini diperkuat dengan kewajiban dokter untuk memberikannya bila diminta, seperti yang tertuang dalam Pasal 179 KUHAP ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.

Macam- Macam Visum et Repertum

Munurut R. Abdusallam, Visum et Repertum terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu untuk korban hidup dan untuk korban mati. Adapun yang dimaksud adalah sebagai berikut:[8]

Visum et Repertum untuk Korban Hidup

Visum Et Repertum

Visum et Repertum diberikan kepada korban yang tidak memerlukan perawatan lebih lanjut. Jadi, jelasnya diberikan kepada korban yang tidak mengalami halangan untuk mengerjakan pekerjaan sehari-hari atau tidak perlu masuk rumah sakit. Dalam Visum et Repertum ini pada kesimpulannya digolongkan pada luka dalam kualifikasi C (sesuai dengan penganiayaan ringan). Dalam Visum et Repertum, dokter sama sekali tidak boleh menulis kata “penganiayaan” dalam kesimpulannya, karena istilah penganiayaan adalah istilah hukum.

Visum et Repertum Sementara

Visum et Repertum Sementara diberikan setelah pemeriksaan dan ternyata korban perlu diperiksa atau dirawat lebih lanjut, baik di rumah sakit maupun di rumah. Jadi, apabila seorang penderita masih dipandang perlu oleh dokter untuk mendapat pengawasan dari padanya, maka dibuatlah Visum et Repertum Sementara.

Visum et Repertum Sementara ini dipergunakan sebagai bukti untuk menahan terdakwa. Pada kesimpulan Visum et Repertum Sementara tidak dicantumkan kualifikasi dari pada luka, karena masih dalam pengobatan atau perawatan belum selesai.

Visum et Repertum Lanjutan

Visum et Repertum Lanjutan diberikan setalah korban:

-        Sembuh;

-        Meninggal;

-        Pindah rumah sakit

-        Pindah dokter.

Jadi pada korban yang belum sembuh dan pindah ke dokter lain kualifikasi luka tidak dicantumkan.[9]

Visum et Repertum untuk Orang Mati

Disebut Visum et Repertum Jenazah, dengan tujuan pokok menentukan sebab kematian dan kadang-kadang cara kematian. Untuk menentukan sebab kematian harus dilakukan pemeriksaan terhadap semua organ dalam tubuh, jadi harus dilakukan yang dinamakan Autopsi. Tanpa melakukan Autopsi tidak mungkin menentukan sebab kematian yang pasti. Visum et Repertum Jenazah yang dibuat tanpa Autopsi akan menjelekkan nama dokter pembuatnya sendiri.

Dalam Visum Et Repertum yang hidup perlu dikualifikasi luka. Dalam Visum et Repertum korban yang mati harus disebut sebab kematian, misalnya kematian korban disebabkan oleh karena luka tusukan yang mengenai jantung atau luka tembak yang mengenai otak dan sebagainya.

Susunan Visum Et Repertum dapat dibagi menjadi 5 (lima) bagian, sebagai berikut:[10]

Bagian I, pada lembar kertas sebelah kiri atas selalu dicantumkan kata “Pro Justitia”. Dengan mencantumkan kata tersebut, maka Visum et Repertum tidak perlu ditulis di atas kertas bermaterai.

Bagian II, bagian ini merupakan bagian pendahuluan yang berisikan keterangan-keterangan, yaitu:

a.       Keterangan tentang permohonan Visum et Repertum (identitas pemohonan Visum et Repertum), yaitu: nama pemohon, pangkat, kesatuan, alamat dan sebagainya;

b.      Keterangan dokter yang membuat Visum et Repertum, nama, jabatan, alamat dan sebagainya;

c.       Identitas dari korban yang diperiksa: nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, alamat dan sebagainya;

Bagian III, bagian ini berisi tentang Pemberitaan. Dalam bagian ini semua keterangan tertulis seobyektif-obyektifnya dan kata-kata yang mudah dimengerti bukan hanya oleh dokter saja, melainkan juga para hakim.

Bagian IV, bagian ini merupakan kesimpulan. Suatu kesimpulan harus dibuat berdasarkan logika sehingga dan bagian pemberitaan jelas hubungan sebab dan akibatnya. Dalam bagian ini harus disebutkan, yaitu:

1.        Jenis luka dan jenis kekerasan seperti luka memar yang disebabkan oleh karena persentuhan dengan benda tumpul;

2.       Luka iris, tusuk, bacok yang disebabkan oleh karena persentuhan dengan tajam;

3.      Luka tembak yang disebabkan anak peluru dari belakang.

Bagian V, merupakan bagian yang terakhir dan pada Visum et Repertum dan memuat sumpah atau janji sesuai dengan sumpah jabatan, misal: Demikian Visum et Repertum ini dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu menerima sumpah jabatan. Setelah itu diikuti dengan tanda tangan dan nama jelas dan dokter yang membuat Visum Et Repertum, yang diletakkan di sebelah kanan bawah.

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


[1] Soekry Erfan Kusuma,dkk, “Ilmu kedokteran Forensik dan Medikolegal”, (Surabaya:

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 2012), 200.

[2] R. Soeparmono, SH, “Keterangan Ahli dan Visum et Repetum Dalam Aspek Hukum Acara Pidana”, (Bandung: Mandar Maju, 2002), 11-12.

[3] Abdul Mun’im Idries dan Agung Legowo Tjiptomartono, “Penerapan Ilmu Kedokteran

Kehakiman Dalam Proses Penyidikan”, (Jakarta: Karya Unipres, 2002), 87.

[4] vide Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

[5] vide Penjelasan Pasal 133 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

[6] vide Penjelasan Pasal 135 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

[7] vide Pasal 136 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

[8] Abdussalam dan Adri Desasfuryanto, “Buku Pintar Forensik (Pembuktian Ilmiah)”, (Jakarta: PTIK, 2014), 19.

[9] Ibid, 20.

[10] Ibid, 21.

Formulir Isian