Ilustrasi Tanda Tangan Elektronik |
Disebutkan bahwa ada
dugaan pemalsuan tanda tangan dalam berkas Gugatan Judicial Review terhadap Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN)
yang diajukan oleh sejumlah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung (FH
UNILA). Akibatnya para pemohon terpaksa mencabut permohonannya karena bisa
berujung proses pidana jika dilanjutkan.
Hal itu terungkap dalam persidangan yang digelar pada
hari Rabu (13/7) yang disiarkan kanal YouTube MK. Agenda
sidang tersebut ialah perbaikan permohonan.
Sidang Panel Hakim ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi
Arief Hidayat dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih serta
Daniel Yusmic P. Foekh. Dari pihak Pemohon, ada 5 (lima) orang yang hadir.
Tercatat dengan Perkara Nomor
66/PUU-XX/2022. Terdapat 6 (enam) pemohon dalam permohonan ini,
keseluruhannya ialah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung (UNILA).
Arief Hidayat mempertanyakan soal kejanggalan tanda
tangan Pemohon begitu sidang dibuka. Sebab, ada tanda tangan yang dinilai
berbeda di dalam permohonan dengan tanda tangan KTP Pemohon.
“Ada beberapa hal yang perlu saya minta konfirmasi.
Ini Saudara tanda tangannya betul atau tanda tangan palsu ini? Kalau kita
lihat, tanda tangan ini mencurigakan, bukan tanda tangan asli dari Para
Pemohon,” ujar Arief kepada para Pemohon yang hadir secara daring, dikutip dari
situs MK, Jumat (15/7/2022)
Atas pertanyaan itu, para Pemohon menjawab bahwa tanda
tangan mereka itu asli. Menurut para Pemohon, mereka menggunakan tanda tangan
digital. Namun, Arief Hidayat tetap merasa ada yang berbeda. Bahkan ia
mengingatkan memproses kepada pihak kepolisian terkait tanda tangan palsu.
“Coba kita lihat di KTP Dea Karisna, tanda tangannya
beda dengan di KTP dan tanda tangan di permohonan. Gimana ini Dea Karisna? Mana
Dea Karisna? Terus kemudian, tanda tangan Nanda Trisua juga beda. Ini jangan
bermain‑main, lho ya. Rafi juga beda. Kemudian tanda tangan
Ackas ini beda sekali. Kemudian tanda tangannya Hurriyah. Hurriyah tanda
tangannya beda. Gimana ini? Ini bisa dilaporkan ke polisi, kena pidana, ini
bermain‑main di instansi yang resmi. Beda semua antara KTP dengan di
permohonan,” ucap Arief.
Dokumen KTP dan permohonan pun sempat ditunjukkan
untuk memperlihatkan perbedaan tanda tangan.
“Anda sebagai mahasiswa kalau memang ini palsu, diakui
palsu. Tetapi kalau tidak, Anda bisa pertahankan dan ini akan kita minta dicek
di kepolisian, palsu atau tidak,” kata Arief.
Perwakilan Pemohon menyebut bahwa tanda tangan
dilakukan secara digital. Sehingga menurutnya, bisa jadi tidak sama persis
dengan KTP.
“Baik, Yang Mulia, karena kami menggunakan tanda
tangan digital jadi mungkin memang tidak sesuai sama persis dengan apa yang di
KTP, jika memang tanda tangan ini bermasalah...,” ujar salah satu Pemohon.
“Enggak, kalau digital itu, saya itu selalu tanda
tangannya juga digital, mahkamah tanda tangannya juga digital, tetap sama,
karena itu kan kaya di-fotocopy. Gimana? Diakui saja bahwa tanda tangan
ini bukan tanda tangan asli,” sanggah Arief Hidayat.
Salah satu Pemohon lainnya sempat beralasan bahwa
tanda tangan dilakukan dengan menggunakan tetikus.
“Mohon maaf sebelumnya, Yang Mulia, kami memang
menggunakan mouse ketika menandatanganinya," ujar Pemohon
tersebut.
“Siapa yang melakukan? Satu orang atau semua orang?”
kata Arief Hidayat.
“Kami bersama menggunakan mouse,” jawab
sang Pemohon.
“Mosok sih, enggak bisa ini, kalau tanda
tangan digital itu keliatan sama,” sambung Arief Hidayat.
Arief kemudian menyebut akan membawa dokumen ini ke
kepolisian untuk dicek keaslian tanda tangannya.
“Akan kita minta lembaga resmi untuk melakukan
pembuktian, ini tanda tangannya asli atau tidak, nanti Saudara akan dilakukan
pengecekan betul,” ujar Arief.
“Baik, Yang Mulia, akan kami perbaiki,” jawab Pemohon.
“Loh enggak, ini palsu atau enggak, bukan masalah
perbaiki. Di dalam persidangan ini, Anda mengatakan ini palsu atau tidak? Atau
hanya ditandatangani oleh satu orang?” kata Arief.
Akhirnya, salah satu Pemohon mengakui bahwa dari enam
tanda tangan, dua di antaranya dilakukan bukan oleh yang bersangkutan.
Melainkan diteken oleh orang lain.
“Baik Yang Mulia, izin menjawab. Sebelumnya mohon
maaf, karena tidak samanya tanda tangan dengan yang ada di KTP. Pertama, jadi
ketika kami mengerjakan berkas permohonan tersebut, Hurriyah Ainaa itu tanda
tangannya asli Yang Mulia. Ackas Depry Aryando juga, Rafi Muhammad, dan
Yuhiqqul Haqqa,” ujar salah satu Pemohon.
“Namun dengan tanda tangannya Dea Karisna dan Nanda
Trisua itu memang, sebenarnya sudah dengan atas persetujuan dari yang
bersangkutan. Kami gunakan karena yang bersangkutan tidak sedang berada bersama
kami saat perbaikan permohonan tersebut. Begitu, Yang Mulia,” sambungnya.
“Jadi kan ada yang tanda tangannya, tanda tangan palsu
kan? Ditandatangani temannya kan? Bukan tanda tangan sendiri kan?” tanggap
Arief Hidayat.
“Iya, Yang Mulia,” jawab Pemohon.
“4 (Empat) yang asli, 2 (dua) yang palsu,” sambungnya.
Hakim Panel kemudian sempat diskusi untuk menentukan
nasib permohonan. Akhirnya disepakati Hakim Panel meminta permohonan dicabut.
Namun, Pemohon dipersilakan akan mengajukan kembali.
“Kemudian kalau Saudara akan mengajukan permohonan
kembali, silakan mengajukan permohonan dengan tanda tangan yang asli, atau yang
memalsukan dan yang dipalsukan kita urus ke kepolisian. Bagaimana? Yang Saudara
mau?” kata Arief Hidayat.
“Jadi Anda itu mahasiswa harus tahu persis, apalagi
Mahasiswa Fakultas Hukum. Anda itu berhadapan dengan lembaga negara. Ini
Mahkamah Konstitusi itu lembaga negara. Anda memalsukan tanda tangan, ini
perbuatan yang tidak bisa ditolerir. Itu sesuatu hal yang tidak sepantasnya
dilakukan oleh mahasiswa fakultas hukum karena itu merupakan pelanggaran hukum.
Bagaimana? Kalau kita bertiga sepakat ini Anda cabut, nanti Anda kalau mau
mengajukan lagi, silakan mengajukan lagi,” tegas Arief.
Para Pemohon kemudian menyatakan siap mencabut
permohonan. Selanjutnya Panel Hakim meminta para Pemohon secara resmi mencabut
permohonan di depan persidangan dan mengajukan surat resmi untuk mencabut
permohonan.
“Baik, Yang Mulia. Maka dengan ini, kami mohon maaf
atas kesalahan kami dan kelalaian kami. Kami akan mencabut permohonan kami.
Perkara Nomor 66/PUU-XX/2022 pada Rabu 13 Juli 2022,” tandas Hurriyah selaku
juru bicara para Pemohon.
Ketentuan mengenai Pemalsuan Tanda Tangan
Secara umum kejahatan mengenai pemalsuan dapat kita
temukan dalam Buku II KUHPidana yang dapat dikelompokkan menjadi 4
(empat) golongan, yaitu:
1)
Kejahatan Sumpah
Palsu (Bab IX KUHPIDANA – Pasal 242 sampai dengan Pasal 243 KUHPIDANA);
2)
Kejahatan
Pemalsuan Uang (Bab X KUHPIDANA – Pasal 244 sampai dengan Pasal 252 KUHPIDANA);
3)
Kejahatan
Pemalsuan Materai dan Merek (Bab XI KUHPIDANA – Pasal 253 sampai
dengan Pasal 262 KUHPIDANA);
4)
Kejahatan
Pemalsuan Surat (Bab XII KUHPIDANA – Pasal 263 sampai dengan Pasal
276 KUHPIDANA)[1]
Memang tidak ada disebutkan di dalam KUHPidana istilah
“Pemalsuan Tanda Tangan”, akan tetapi perbuatan pemalsuan tanda tangan masuk ke
dalam Kejahatan “Pemalsuan Surat”, dalam pemalsuan surat itu sendiri terdapat 7
(tujuh) kategori kejahatan pemalsuan surat, antara lain:
1.
Pemalsuan surat
pada umumnya bentuk pokok pemalsuan surat, (vide Pasal 263 KUHPidana);
2.
Pemalsuan
Surat-Surat Khusus dengan Pemberatan Pidana, (vide Pasal 264 KUHPidana);
3.
Menyuruh
Memasukkan Keterangan Palsu Kedalam Akta Otentik (vide Pasal
266 KUHPidana);
4.
Pemalsuan Surat
Keterangan Dokter (vide Pasal 267 dan Pasal 268 KUHPidana);
5.
Pemalsuan
Surat-Surat Tertentu (vide Pasal 269, Pasal 270, dan Pasal
271 KUHPidana);
6.
Pemalsuan
Keterangan Pegawai Negeri yang Menjalankan Kekuasaan yang Sah tentang Hak Milik
(vide Pasal 274 KUHPidana); dan
7.
Menyimpan Bahan
Atau Benda Untuk Pemalsuan Surat (vide Pasal 275 KUHPidana).[2]
Kejahatan pemalsuan surat pada umumnya adalah berupa
pemalsuan surat dalam bentuk pokok (bentuk standar) yang dimuat dalam Pasal
263 ayat (1) dan (2) KUHPidana, yang rumusannya adalah sebagai berikut:
(1)
Barang
siapa yang membuat surat palsu atau memalsukan
surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang,
atau yang diperuntukan sebagai bukti dari pada suatu hal dengan maksud
untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tarsebut seolah-olah
isinya benar dan tidak palsu, dipidana jika pemakaian tersebut
dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam tahun).
(2)
Diancam dengan
pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang
dipalsukan seolah-olah asli, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan
beragam.[3]
Yang dimaksud surat di sini adalah segala surat yang
ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin ketik, dan
sebagainya. Membuat surat palsu yaitu membuat surat yang isinya tidak benar
atau bukan semestinya, sehingga menunjukkan asal surat yang tidak benar.
Bahwa Surat yang dibuat atas permintaan yang
berkepentingan dengan penuh kepercayaan terhadap pemakaiannya, tidak
menghilangkan sifat perbuatan (pidana) itu sebagai perbuatan surat palsu
termaksud dalam Pasal 263 KUHPidana, atau membebaskan
pembuatnya dari kesalahan atau penghukuman.[4] Kemudian,
salah satu unsur dari kejahatan surat palsu, ialah bahwa surat yang dipalsukan
karena sifatnya mempunyai kekuatan pembuktian.[5]
Bahwa, secara sederhana membuat surat palsu (valsheid
in geschrifte) adalah membuat sebuah surat yang seluruh atau sebagian
isinya palsu, palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang
sebenarnya. Di samping isinya dan aslinya surat yang tidak benar dari memuat
surat palsu, dapat juga tanda tangannya yang tidak benar. Tanda tangan yang
dimaksud di sini adalah termasuk juga tanda tangan dengan menggunakan cap atau
stemple tanda tangan atau tanda tangan eletronik, walau pengaturannya ini
terdapat di luar kodifikasi atau di luar KUHPidana.
Adapun yang dimaksud perbuatan memalsu (vervalsen)
surat adalah berupa perbuatan mengubah dengan cara bagaimanapun orang-orang
yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat sebagian atau seluruh isinya
menjadi lain atau berbeda dengan isi semua.
Perbedaan prinsip antara membuat surat palsu dengan
memalsu surat adalah dalam membuat surat palsu sebelum perbuatan dilakukan,
belum ada surat yang dicontoh, kemudian surat yang dibuat itu sebagian atau
seluruhnya bertentangan dengan kebenaran. Seluruh tulisan dalam surat itu
dihasilkan oleh si pelaku sendiri. Sedangkan memalsu surat adalah membuat surat
yang mencontohkan surat asli yang telah ada sebelumnya.
Memang, tidak semua surat dapat menjadi obyek
pemalsuan surat, melainkan terdapat pada empat macam surat yakni:
1.
Surat yang
menimbulkan suatu hak;
2.
Surat yang
menimbulkan suatu perikatan;
3.
Surat yang
menimbulkan pembebasan hutang;
4.
Surat yang
diperuntukan bukti mengenai suatu hal.[6]
Sedangkan penggunaannya harus dapat mendatangkan
kerugian. Maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul sudah ada, baru
kemungkinan saja adanya kerugian itu sudah cukup yang dimaksud dengan kerugian
di sini tidak saja hanya meliputi kerugian materiil, akan tetapi juga di
lapangan kemasyarakatan, kesusilaan, kehormatan dan sebagainya.[7]
Selain itu disebutkan juga bahwa Pasal 263 KUHPidana selain
tidak mensyaratkan timbulnya kerugian, melainkan kemungkinan timbulnya kerugian
tadi, yaitu kerugian yang dimaksud itu tidak hanya bersifat materiil, melainkan
pula kerugian yang menyakut kepentingan masyrakat umum dengan mempersulit
pemeriksaan justisiil.[8]
Menurut Moeljatno, ketentuan pidana yang diatur
dalam Pasal 263 ayat (1) KUHPidana juga ternyata tidak
mensyaratkan keharusan adanya unsur kesengajaan atau unsur opzet pada
diri pelaku, sehingga timbul pertanyaan apakah tindak pidana yang dimaksudkan
dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHPidana harus
dilakukan dengan sengaja atau tidak. Lebih lanjut, Moeljatno menerangkan bahwa
unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:
1.
Perbuatan itu
harus merupakan perbuatan manusia;
2.
Perbuatan itu
harus dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang;
3.
Perbuatan itu
bertentangan dengan hukum (melawan hukum);
4.
Harus dilakukan
oleh seorang yang dapat dipertanggung jawabkan;
5.
Perbuatan itu
harus dapat dipersalahkan kepada si pembuat.[9]
Tanda Tangan Elektronik Menurut Hukum
Sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 12
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan:
“Tanda
Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik
yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya
yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.”
Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan
akibat hukum yang sah selama
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
Data pembuatan
Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan;
b.
Data pembuatan
Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya
berada dalam kuasa Penanda Tangan;
c.
Segala perubahan
terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan
dapat diketahui;
d.
Segala perubahan
terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik
tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
e.
Terdapat cara
tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya; dan
f.
Terdapat cara
tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan persetujuan
terhadap Informasi Elektronik yang terkait.[10]
Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE)
memberikan pengakuan secara tegas bahwa meskipun hanya merupakan suatu
kode, Tanda Tangan Elektronik memiliki kedudukan yang sama dengan
tanda tangan manual pada umumnya yang memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum.
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan
persyaratan minimum yang harus dipenuhi dalam setiap Tanda Tangan Elektronik.
Ketentuan ini membuka kesempatan seluas-luasnya kepada siapa pun untuk
mengembangkan metode, teknik, atau proses pembuatan Tanda Tangan Elektronik.[11]
Fungsi Tanda Tangan Elektronik sebagai alat
autentikasi dan verifikasi identitas Penanda Tangan (orang yang memang
melakukan penanda tanganan).[12] Tanda
Tangan Elektronik berfungsi sebagaimana tanda tangan manual dalam hal
merepresentasikan identitas Penanda Tangan. Dalam pembuktian keaslian
(autentikasi) tanda tangan manual dapat dilakukan melalui verifikasi atau
pemeriksaan terhadap spesimen Tanda Tangan Elektronik dari Penanda Tangan. Pada
Tanda Tangan Elektronik, Data Pembuatan Tanda Tangan Elektronik berperan
sebagai spesimen Tanda Tangan Elektronik dari Penanda Tangan. Tanda Tangan
Elektronik tersebut harus dapat digunakan oleh para ahli yang berkompeten untuk
melakukan pemeriksaan dan pembuktian bahwa Informasi Elektronik yang
ditandatangani dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut tidak mengalami
perubahan setelah ditandatangani.[13]
Tanda tangan elektronik ini memiliki kekuatan
pembuktian yang sama dengan tanda tangan manual, sebagaimana ketentuan yang
sudah kami jelaskan di atas dalam ketentuan tanda tangan dengan
menggunakan cap atau stemple tanda tangan sebagaimana ketentuan Pasal
263 KUHPidana.
Akhir kata, sangat disayangkan apa yang dilakukan oleh
Mahasiswa/i Fakultas Hukum UNILA sebagaimana pemberitaan yang ada, mengingat
substansi dari pada Permohonan yang terdaftar dengan Perkara Nomor
66/PUU-XX/2022, yang dicabut, menurut kami teman-teman mahasiswa sudah berusaha
begitu baik menyusun Judicial Review tersebut.
Hanya karena persoalaan tanda tangan yang sebelum
kejadian ini pernah terjadi tahun
2020 ketika Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memimpin sidang
panel perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara, yang mana kala itu salah seorang Pemohon, Karlianus Poasa
menyatakan telah membubuhkan tanda tangan atas nama Felix Martuah Purba.
Padahal tanda tangan tersebut seharusnya dilakukan oleh Felik sendiri selaku
Pemohon. Karlianus beralasan Felix berhalangan hadir di persidangan dan Karlianus
sudah mendapatkan persetujuan dari Felix untuk menandatangani.
“Sekalipun sudah ada persetujuan, ini tidak boleh
dilakukan. Saudara melakukan tindakan pemalsuan tanda tangan. Apalagi
Saudara-Saudara masih mahasiswa. Jadi yang terkait dengan Felix Martuah Purba
tidak bisa menjadi Pemohon di sini,” tegas Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih,
kala itu.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau
langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini.
Terima Kasih.
[1] Adami Chazawi, “Kejahatan Mengenai
Pemalsuan”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 3.
[2] Ibid, 97.
[3] Andi Hamzah, “KUHP dan KUHAP”,
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), 105.
[4] vide Yurisprudensi
Mahkamah Agung Nomor 10 K/Kr/1965 tertanggal 29 Mei 1965.
[5] R. Soenarto
Soerodibroto, “KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge
Raad”, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), 151.
[6] Adami Chazawi, op.cit, 101.
[7] R. Soesilo, “Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi
Pasal”, (Bogor: Politeia, 1995), 196.
[8] vide Yurisprudensi
Mahkamah Agung Nomor 142 K/Kr/1975 tertanggal 28 April 1977.
[9] Moeljatno, “Perbuatan Pidana dan
Pertanggung jawaban dalam Hukum Pidana”, (Bandung: Refika Aditama, 2011), 98.
[10] vide Pasal
11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
[11] vide
Penjelasan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
[12] vide Pasal 60 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Eletronik.
[13] vide Pasal 60 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Eletronik.