Statue Of
Lady Justice And Supreme Court Building |
Pertanyaan
Selamat pagi pak, izin bertanya, saya masih bingung
membedakan istilah-istilah “Kodifikasi”, “Unifikasi”, “Hukum Pidana”, “Hukum
Perdata” itu apa ya pak? Terima Kasih.
Jawaban
Penjelasan Mengenai Kodifikasi dan Unifikasi Dalam Ilmu Hukum
Kodifikasi
Istilah “Kodifikasi” berasal dari codificatie dalam
Bahasa Belanda, atau sebutan lainnya dus letterlijk het maken van een
wetboek atau secara harfiah membuat suatu buku peraturan
perundang-undangan. Yang kemudian itu memiliki pengertian het zo
volledig mogelijk en systematisch op schrift stellen van recht atau
terjemahannya disebut “to put law in writing as completely and
systematically as possible”[1]
Diketahui pada Tahun 1454, Raja Charles VII dari
Prancis memutuskan di Montils-lès-Tours (sekarang Kota La Riche,
Prancis) bahwa semua aturan kebiasaan (customary law) di Prancis
(kala itu) harus dikodifikasikan dalam bentuk aturan tertulis yang sesuai
dengan aturan lokal. Kemudian, mengikuti aturan tersebut pada tahun
1531, Kaisar Karl V, yang merupakan Kaisar Romawi sekaligus Raja Spanyol
juga mengeluarkan perintah homologasi untuk Hasburg Belanda yang mana kala
itu untuk semua wilayah harus mencatatkan hukum kebiasaan mereka lalu
mengirimkannya ke Brussel sebagai bentuk persetujuan terhadap itu.[2] Kemudian,
Para penguasa regional di Belanda Utara khususnya (kecuali Friesland
yang baru saja ditaklukkan dan diduduki Romawi kala itu) menentang hal
ini, karena jika mereka melakukannya mereka harus melepaskan sebagian dari
otonomi dan identitas feodal mereka (dalam membuat suatu aturan), yang mana
kala itu hal tersebut masih ingin mereka pertahankan (partikularisme), di
samping mereka harus tunduk kepada pemerintah pusat kala itu.[3]
Oleh karena perintah sering diulang beberapa kali pada
abad ke-16 akhirnya Hukum Adat atau Hukum Kebiasaan setempat (het
gewoonterecht) dan Hukum Agraria (landrecht) dikodifikasikan di utara dan wilayah timur di Belanda kala itu.[4] Pada
akhirnya, total sekitar ada 700 (tujuh ratus) Hukum Kebiasaan atau Hukum Adat
yang tercatat, terutama dari Belanda Selatan; Kaisar Karl V pun menghapus
600 (enam ratus) dari hukum tersebut.[5] Pada
abad ke-17, para pengacara di Prancis mulai mengkodifikasi sebagian, khususnya,
hukum acara dan hukum komersial (hukum bisnis). Khususnya pada paruh kedua
abad ke-18, sebuah gerakan kodifikasi Eropa yang besar pun muncul di bawah
pengaruh Pencerahan (Enlightenment). Selain
penyederhanaan dan kesatuan hukum, mereka menginginkan pembaruan hukum dan
pembentukan hukum terutama berada di tangan pembuat undang-undang bukan hakim.[6]
Sederhananya, Kodifikasi adalah suatu usaha untuk
Menyusun satu bagian dari hukum secara lengkap dan merupakan suatu buku.[7] Menurut
CST Kansil[8] Kodifikasi
adalah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara
sistematis dan lengkap dilakukan secara resmi oleh pemerintah. Dalam pengertian
tersebut maka unsur-unsur termuat dalam kodifikasi hukum meliputi antara lain:
1)
Jenis-jenis hukum
tertentu, misalnya Hukum Perdata, Hukum Pidana, dan lain-lain;
2)
Sistematis;
3)
Lengkap.
Kodifikasi dari pada hukum tertulis bertujuan antara
lain:[9]
a.
Untuk memperoleh
kepastian hukum, di mana hukum tersebut sungguh-sungguh telah tertulis dalam
suatu kitab undang-undang;
b.
Penyederhanaan
hukum; sehingga memudahkan masyarakat dalam memperoleh atau memiliki dan
mempelajarinya; dan
c.
Kesatuan Hukum
(Unifikasi), sehingga dapat mengurangi/mencegah beberapa hal antara lain:
-
Kesimpangsiuran
pengertian terhadap hukum yang bersangkutan;
-
Berbagai
kemungkinan penyelewengan dalam pelaksanaannya;
-
Keadaan yang
berlarut-larut dari masyarakat yang buta hukum karena dengan mengkodifikasi
akan terjadi penyederhanaan.[10]
Beberapa contoh kodifikasi hukum yang terkenal antara
lain:
-
Corpus Iuris
Civilis (mengenai Hukum
Perdata), yang diusahakan oleh Yustinianus I, Kaisar Bizantium pada tahun 527
M-565 M);
-
Code Civil (mengenai Hukum Perdata), yang diusahakan oleh
Kaisar Napoleon Bonaparte dari Prancis pada tahun 1604 M.
-
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata atau disebut juga KUHPerdata (Burgerlijk
Wetboek voor Indonesie) dari tanggal 1 Mei 1848 sampai saat ini;
-
Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang atau disebut juga KUHDagang (Wetboek van
Koophandel voor Indonesie) dari tanggal 1 Mei 1848 sampai saat ini;
-
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van strafrecht voor Nederlandsch-Indie)
dari tanggal 1 Januari 1918 sampai saat ini;
-
Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dari tanggal 31 Desember 1981 sampai saat
ini.
Unifikasi
Unifikasi Hukum adalah suatu langkah penyeragaman
hukum atau penyatuan suatu hukum untuk diberlakukan bagi seluruh bangsa di
suatu wilayah negara tertentu sebagai hukum nasional di negara tersebut.[11]
Beberapa contoh hukum di Indonesia yang telah
diunifikasi antara lain:
a.
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dari tanggal 24
September 1960 sampai sekarang;
b.
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, berlaku dari tanggal 2 Januari 1974
sampai sekarang, yang kemudian telah diubah beberapa ketentuan Pasalnya dalam
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku sejak tanggal 15 Oktober 2019;
c.
Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berlaku
masing-masing sejak tanggal 16 Agustus 1999 dan 21 November 2001 sampai saat
ini;
d.
Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
Menjadi Undang-Undang, yang berlaku sejak tanggal 4 Maret 2003 yang kemudian
telah diubah sebagaimana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
Menjadi Undang-Undang, yang berlaku sejak tanggal 22 Juni 2018.
Ada pun tujuan diberlakunya unifikasi terhadap hukum
yang berlaku dalam suatu negara antara lain:[12]
-
Untuk menjamin
kepastian hukum dalam artian kepastian berlakunya suatu hukum bagi seluruh
masyarakat di negara tersebut, mengingat hukum itu telah diseragamkan
berlakunya bagi semua orang di negara tersebut tanpa adanya perbedaan lagi,
menurut suku, ras, golongan, agama, atau faktor lain;
-
Untuk lebih
memudahkan masyarakat mengetahui dan menaatinya.
Dengan adanya kodifikasi dan unifikasi terhadap hukum
maka ada beberapa kemungkinan terhadap eksistensi daripada hukum itu sendiri,
yaitu:
-
Kemungkinan
Pertama, hukum itu telah dikodifikasi dan telah diunifikasi, misalnya Hukum
Pidana dalam KUHP, Hukum Dagang dalam KUHD, dan Hukum Acara Pidana dalam KUHAP.
-
Kemungkinan
Kedua, hukum itu telah dikodifikasi tetapi belum diunifikasi, misalnya: Hukum
Perdata, walaupun telah dikodifikasi dalam KUHPerdata, akan tetapi isinya masih
tetap membeda-bedakan berlakunya bagi warga negara menurut golongannya,
sehingganya pengaturannya masih pluralistik;
-
Kemungkinan
Ketiga, hukum itu telah diunifikasi akan tetapi belum dikodifikasi, misalnya
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dibentuk dalam rangka
mewujudkan unifikasi hukum perkawinan nasional yang berlaku untuk semua warga
negara, serta kepastian hukum dimana undang-undang ini bertujuan menjamin
terwujudnya kesejahteraan yang lebih mendalam sebab perkawinannya didasarkan
kepada keyakinan dan perkawinan tersebut juga harus dicatat sehingga menjamin
kepastian hukum untuk mendapatkan hak.[13]
Catatan menarik bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, sebelum berlakunya Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau disebut
juga UUPA hukum tanah pada zaman Hindia Belanda masih bersifat dualistis.
Artinya, berlaku secara berdampingan dua perangkat hukum tanah yaitu, hukum
tanah adat dan hukum tanah barat. Setelah berlakunya UUPA, sifat dualisme hukum
tanah itu diganti dengan unifikasi hukum tanah artinya, memberlakukan satu
macam hukum tanah yakni hukum tanah nasional. Menurut Dr. H.M. Arba, [14] UUPA
memiliki sifat kodifikasi terletak pada sifat tertulisnya dan berbagai
peraturan pelaksananya, sedangkan sifat unifikasinya hanya ada satu
undang-undang tentang agraria yaitu UUPA (tidak lagi dualism).
Pembedaan Hukum
Hukum dibedakan atas beberapa macam yang mana cara
membedakannya yaitu berdasarkan:
1.
Pembedaan Hukum
Berdasarkan Sumbernya;
2.
Pembedaan Hukum
Berdasarkan Isinya;
3.
Pembedaan Hukum
Berdasarkan Kekuatan Mengikatnya;
4.
Pembedaan Hukum
Berdasarkan Dasar Pemeliharaannya;
5.
Pembedaan Hukum
Berdasarkan Tempat dan Waktu Berlakunya;
6.
Pembedaan Hukum
Berdasarkan Bentuknya;
7.
Perbedaan Hukum
Berdasarkan Wujudnya;
8.
Pembedaan Hukum
Berdasarkan Penerapannya.[15]
Pembedaan Hukum Berdasarkan Sumbernya
Menurut Sumbernya, hukum dapat dibedakan atas:
-
Undang-Undang (by
laws or written law or by codes);
-
Kebiasaan (customary
law);
-
Traktat;
-
Yurisprudensi;
-
Doktrin.
Pembedaan Hukum Berdasarkan Isinya
Menurut isinya, hukum dibedakan antara lain:
-
Hukum Publik,
ialah hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum yang menyakut kepentingan
umum, banyak orang. Misalnya, Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, Hukum Tata
Pemerintahan, Hukum Acara Pidana, Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan, Hukum
Pajak, Hukum Administrasi Negara, Hukum Internasional, dan lain sebagainya;
-
Hukum Privat,
ialah hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum yang menyangkut kepentingan
pribadi atau individu. Misalnya, Hukum Perdata, Hukum Dagang, Hukum Perdata
Internasional.
Antara Hukum Publik dan Privat sesungguhnya tidak
dapat dipisahkan secara tegas satu sama lain, karena segala hubungan hukum
dalam masyarakat selalu dapat dikatakan termasuk hukum public dan hukum privat.
Perbedaannya terletak pada titik berat kepentingan yang diatur.[16]
Pembedaan Hukum Berdasarkan Kekuatan Mengikatnya
Menurut kekuatan mengikatnya hukum dibedakan
berdasarkan:
-
Hukum Pelengkap
(hukum fakultatif atau aanvullend recht);
-
Hukum memaksa
(hukum imperative atau dwingend recht).
Pembedaan Hukum Berdasarkan Dasar Pemeliharaannya
Menurut dasar pemeliharaannya, hukum itu dibedakan
berdasarkan:
-
Hukum Materiil,
yaitu hukum yang mengatur mengenai isi daripada hubungan-hubungan hukum (rechtsverhouding, atau rechtsbetrekking)
dalam masyrakat.
-
Hukum Formil,
yaitu hukum yang mengatur mengenai bagaimana caranya mempertahankan atau
menegakkan hukum materiil.
Hukum materiil juga disebut sebagai “Hukum Substantif”
sedangkan hukum formil disebut juga “Hukum Ajektif”.
Pembedaan Hukum Berdasarkan Tempat dan Waktu Berlakunya
Menurut tempat berlakunya, hukum dibedakan antara
lain:
-
Hukum Nasional (Domestic
Law);
-
Hukum
International (International Law).
Sedangkan untuk waktu berlakunya terdiri antara lain:
-
us Constitutum
(Hukum Positif), ialah hukum yang
berlaku dalam suatu negara pada saat sekarang.
-
Ius
Constituendum ialah hukum yang
dicita-citakan atau diharapkan berlaku pada waktu yang akan datang.[17]
Pembedaan Hukum Berdasarkan Bentuknya
Menurut bentuknya hukum dibedakan antara lain:
-
Hukum Tertulis (geschreven
recht) ialah hukum sebagaimana tercantum dalam peraturan
perundang-undangan, yang kemudian ada dikenal dengan adagium hukum antara
lain: lex scipta (hukum itu harus tertulis), lex
certa (hukum itu harus jelas), lex stricta (hukum itu
harus dimaknai tegas tanpa ada analogi);
-
Hukum Tidak
Tertulis (ongeschreven recht), ialah hukum yang hidup di masyrakat (living
law), atau customary law, atau seperti Savigny’s
thought about law stems from his reflection on the development of law in
civilized nations, that law grows naturally in society and is not deliberately
made by certain (political) forces. Law is a part of social life that can be
observed in the form of people’s behavior and consciousness, as well as
language and manners. It and other social aspects are united which arises from
and reflects the spirit of the people (volksgeist) as well. (Hukum
merupakan bagian dari kehidupan sosial yang dapat dilihat dalam wujud perilaku
dan kesadaran masyarakat, seperti halnya Bahasa dan tata krama. Hukum beserta
aspek sosial lainnya itu merupakan satu kesatuan, yang muncul dan sekaligus
mencerminkan jiwa rakyat atau bangsa (volksgeist).[18]
Perbedaan Hukum Berdasarkan Wujudnya
Menurut wujudnya hukum dibedakan antara lain:
-
Hukum Objektif,
yaitu hukum yang ada dalam suatu negara yang berlaku umum. Hukum ini hanya
menyebut peraturan hukum saja yang mengatur hubungan-hubungan hukum;
-
Hukum Subjektif,
ialah peraturan hukum (hukum objektif) yang dihubungkan dengan seseorang
tertentu dan dengan demikian menimbulkan hak dan kewajiban baginya.[19]
Pembedaan Hukum Berdasarkan Penerapannya
Menurut penerapannya, hukum dibedakan antara lain:
-
Hukum in
abstracto, yaitu semua peraturan hukum yang berlaku pada suatu negara
yang belum diterapkan terhadap sesuatu kasus oleh pengadilan;
-
Hukum in
concreto, yaitu peraturan hukum yang berlaku pada suatu negara yang
telah diterapkan oleh pengadilan negara yang telah diterapkan oleh pengadilan
terhadap sesuatu kasus yang terjadi dalam masyarakat.
Hukum in abstracto berlaku umum
sedangkan Hukum in concreto hanya berlaku terhadap pihak-pihak
yang berperkara saja. Hukum in abstracto termuat dalam
peraturan perundang-undangan serta bentuk-bentuk formil lainnya, sedangkan
Hukum in concreto termuat dalam putusan pengadilan yang sudah
berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau
langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini.
Terima Kasih.
[1] Elsevier and
Microsoft Corporation “Winkler
Prins: Encarta encyclopedia” (Microsoft Corporation/Het Spectrum, 1993–2002) sv “codification”.
[2] Randall Lesaffer, “Pengantar Sejarah
Hukum Eropa”, (Leuven: Leuven University Press, 2008), 328.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid, 329.
[7] JCT
Simorangkir Dkk, “Kamus Hukum”(Jakarta: Aksara Baru, 1987), 27.
[8] C.S.T Kansil, “Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia”, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 72.
[9] Ibid.
[10] A. Ridwan
Halim, “Pengantar Ilmu Hukum dalam Tanya Jawab”, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2005), 103.
[11] Ibid.
[12] Ibid, 105.
[13] Wienarsih Imam Subekti dan Sri
Soesilowati, “Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Barat”, (Jakarta: Gitama Jaya,
2005), 43.
[14] Dr. H.M. Arba, “Hukum Agraria
Indonesia”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2019), 34.
[15] Titik Triwulan
Tutuk, “Pengantar Ilmu Hukum”, (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2006), 197.
[16] Ibid, 197-198.
[17] Ibid, 200.
[18] Zulfa Aulia, “Friedrich
Carl von Savigny tentang Hukum: Hukum sebagai Manifestasi Jiwa Bangsa”, (Jambi,
Jurnal Fakultas Hukum Univesitas Jambi, Vol. 3 No. 1 (2020): 201-236, 2020), 202.
[19] Titik Triwulan Tutuk, loc.cit, 199-200.