layananhukum

Hendak Menceraikan Istri Anda? Pahami Begini Ketentuannya

 

Ilustrasi Cerai Talak dan Hubungan Renggang Suami-Istri


 

Seperti tulisan kami yang berjudul “Perbedaanantara Cerai Gugat dan Khuluk oleh Istri di Pengadilan Agama” pernah kami jelaskan bahwa berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang menyatakan perkawinan dapat putus karena tiga sebab, yaitu: kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan, kedua perceraian harus melalui putusan pengadilan.

Perceraian merupakan jalan untuk memutuskan hubungan perkawinan antara suami dengan istri yang bukan disebabkan oleh kematian salah satu pihak, akan tetapi didasarkan atas keinginan dan kehendak dari para pihak. Sebagaimana Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa:

“Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”.

Perkara perceraian bisa timbul entah dari pihak suami dan juga dari pihak istri. Perkara perceraian yang oleh suami disebut talak, suami menjadi pemohon dan istri menjadi termohon.[1] Sedangkan, perkara yang diajukan oleh istri disebut perkara cerai-gugat, istri sebagai Penggugat dan suami menjadi Tergugat.[2]

Perkawinan dapat putus disebabkan karena perceraian sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tersebut di atas, berbeda sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang tidak mengenal istilah talak, Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan yang dimaksud dengan talak adalah ikrar suami dihadapan siding pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 129, 130, dan 131 Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Kemudian, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama juga menjelaskan bahwa seorang suami yang beragama islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.[3] Kemudian permohonan Cerai Talak tersebut harus memuat nama, umur, dan tempat kediaman atau alamat pemohon dan termohon disertai dengan alasan- alasan yang menjadi dasar cerai talak (posita) perceraian.[4] Permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.[5]

Apabila termohon (istri) bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon (suami).[6]

Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.[7] Untuk Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta Bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.[8]

Jenis-Jenis Talak

Kompilasi Hukum Islam (KHI) memuat aturan- aturan yang berkenaan dengan pembagiaan talak. Adapun Kompilasi Hukum Islam (KHI) membagi talak menjadi beberapa jenis talak:

1)       Talak Raj`I; (vide Pasal 118 Kompilasi Hukum Islam (KHI))

2)      Talak ba’in Shughraa; (vide Pasal 119 Kompilasi Hukum Islam (KHI)) dan

3)      Talak ba’in Kubraa. (vide Pasal 120 Kompilasi Hukum Islam (KHI))

Talak Raj`I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah. Sedangkan Talak Ba`in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah. Selain itu Talak Ba`in Shughraa dibagi lagi menjadi talak yang terjadi qabla al dukhul, talak dengan tebusan atau khuluk, talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.

Untuk Talak Ba`in Kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali, apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri, menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba`da al dukhul dan habis masa iddahnya.

Kemudian, Talak ini ditinjau dari waktu menjatuhkanya, itu dibagi menjadi 2 (dua) antara lain:

1)       Talak sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.[9]

2)      Talak bid`I adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.[10]

Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan.

Hak Istri yang Harus Suami Penuhi dalam Cerai Talak

Konsekuensi terhadap perkara cerai talak sebagaimana, diatur dalam Pasal 41 Huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

menyebutkan:

“Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.”

Kemudian, sebagaimana mana ketentuan Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan:

“Bilamana perkawinan putus karena cerai talak maka bekas suami wajib:

a.       memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul;

b.      memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telahdi jatuhi talak ba’in atau nusyus dan dalam keadaan tidak hamil;

c.       melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul;

d.      memberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.”

Kedua dasar hukum tersebut dirasa menjadi suatu hal yang mengikat dalam setiap perkara cerai talak wajib bagi mantan suami untuk memberikan nafkah iddah, nafkah mut’ah, nafkah madiyah, dan nafkah anak.

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


[1] vide Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

[2] vide Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

[3] vide Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

[4] vide Pasal 67 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

[5] vide Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

[6] vide Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

[7] vide Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

[8] vide Pasal 66 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

[9] vide Pasal 121 Kompilasi Hukum Islam (KHI).

[10] vide Pasal 122 Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Formulir Isian