Ilustrasi Pemeriksaan Sidang Perdata |
Pengertian Eksepsi
Exceptie (Belanda), exception (Inggris)
memiliki pengertian umum yaitu pengecualian.[1] Undang-undang
tidak menjelaskan pengertian eksepsi. Menurut R. Supomo,[2] exceptie adalah
bantahan yang menangkis tuntutan penggugat sedangkan pokok perkara tidak
langsung disinggung. Sedangkan menurut Mertokusumo[3] dalam
hukum acara, secara umum eksepsi dapat diartikan sebagai suatu sanggahan atau
bantahan dari pihak tergugat terhadap gugatan penggugat yang tidak langsung
mengenai pokok perkara, yang berisi tuntutan batalnya gugatan.
Singkatnya, eksepsi adalah suatu tangkisan atau
sanggahan yang tidak menyangkut pokok perkara yang akan atau sedang diperiksa.
Eksepsi disusun dan diajukan berdasarkan isi gugatan yang dibuat Penggugat
dengan mencari kelemahan-kelemahan atau pun hal lain di luar gugatan yang dapat
menjadi alasan sehingga pengadilan dapat menolak atau tidak menerima gugatan
tersebut.[4]
Sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan pokok pengajuan
eksepsi, yaitu agar peradilan mengakhiri proses pemeriksaan tanpa lebih lanjut
memeriksa materi pokok perkara.[5]
Pengakhiran (mengadili) yang diminta (petitum) dalam
eksepsi bertujuan agar pengadilan:
1)
Menjatuhkan
putusan negatif, yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk);
2)
Berdasarkan
putusan negatif itu, pemeriksaan perkara diakhiri tanpa menyinggung
penyelesaian materi pokok perkara.[6]
Mengenai eksepsi, HIR (Herzien Inlandsch Reglement)
hanya mengenal satu macam eksepsi saja yaitu eksepsi mengenai tidak berkuasanya
hakim. Pasal 125 ayat (2), Pasal 132, Pasal
133, dan Pasal 134 HIR hanya
memperkenalkan eksepsi kompetensi absolut dan relatif. Kedua macam eksepsi di
atas termasuk eksepsi yang menyangkut acara dalam hukum acara perdata disebut
eksepsi prosesuil.
Eksepsi Prosesuil dan Eksepsi Materiil
Faure membagi eksepsi menjadi eksepsi prosesuil dan
eksepsi materiil.[7] Eksepsi
prosesuil adalah upaya yang menuju kepada tuntutan tidak diterimanya gugatan.
Pernyataan tidak diterima berarti suatu penolakan atau dikenal dengan
istilah in limine litis, berdasarkan alasan-alasan di luar pokok
perkara.[8] Menurut
Lilik Mulyadi, eksepsi prosesuil adalah eksepsi atau tangkisan tergugat/para
tergugat atau kuasanya yang hanya menyangkut segi acara.[9]
Macam-macam Eksepsi Prosesuil adalah:
A.
Eksepsi
deklinator (declinatoir
exceptie; declinatory exception) yaitu eksepsi atau tangkisan dalam hukum acara
perdata yang diajukan oleh tergugat/para tergugat atau kuasanya dengan
berdasarkan ketentuan hukum formal (acara) yaitu tentang:
1.
Kompetensi
absolut, contohnya, yakni eksepsi
mengenai hal yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk
mengadili perkara tergugat/terlawan, dikarenakan persoalaan yang menjadi dasar
gugatan atau perlawanan tidak termasuk wewenangan Pengadilan Negeri tetapi
merupakan wewenangan badan peradilan lain. (vide Pasal 160
Rbg/Pasal 134 HIR) Bahwa, kemudian sebagaimana
ketentuan Pasal 18 jo. Pasal 25 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menyatakan bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Peradilan umum di sini
adalah Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili perkara tertentu,
dikarenakan persoalan yang menjadi dasar gugat tidak termasuk wewenang
Pengadilan Negeri tetapi merupakan wewenang badan peradilan yang lain. Selain
ketentuan tersebut terdapat kekuasaan mengadili peradilan khusus yang
bersifat extra judicial yang secara absolut
berwenang mengadili sengketa tertentu diatur dalam undang-undang tertentu
seperti Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dan Pasal 250
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran mengenai Mahkamah Pelayaran.
Apabila sengketa yang terjadi merupakan wewenang badan peradilan khusus, tetapi
penggugat mengajukan ke Pengadilan yang tidak memiliki kewenangan absolutnya,
maka tergugat dapat mengajukan eksepsi kompetensi absolut. Yurisprudensi
Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 22
K/Sip/1974 tanggal 11 Desember 1975, pernah mengadili dan menyatakan:
“Karena Eksepsi (kompetensi absolut) yang diajukan oleh Terbantah I dianggap
benar, pemeriksaan tidak perlu diteruskan dengan memeriksa pokok perkara.”
Kemudian, melalui eksepsi absolut inilah yang kemudian
Tergugat/Terlawan menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang memeriksa perkara
(exceptie van onbevoegdheid).
2.
Kompetensi
relatif, contohnya, bahwa suatu
Pengadilan Negeri tertentu adalah tidak berwenang mengadili perkara tertentu
berdasarkan wilayah hukumnya. Contohnya, untuk perkara yang diajukan
berdasarkan subjek domisili dari Penggugat berada, atau berdasarkan objek
sengeketa pertanahan berada yang mana, bukan wewenang Pengadilan Negeri
Pontianak untuk mengadilinya karena Penggugat berada di Sungai Rengas dan tanah
Penggugat berada di wilayah Kabupaten Kuburaya, tetapi merupakan wewenang
Pengadilan Negeri Mempawah. Eksepsi tersebut berkaitan dengan Pasal
118 HIR yang mengatur mengenai kompetensi relatif yang berkaitan
dengan wilayah hukum suatu pengadilan. Juga, diatur dalam Pasal 133
HIR/Pasal 59 Rbg jo. Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1340/K/Sip/1971 tanggal 13 September 1971, yang menyatakan:
“Eksepsi mengenai kompetensi relative diajukan sebagai keberatan kasasi karena
telah dilanggar oleh judex factie tidak dapat dibenarkan,
karena berdasarakan Pasal 133 HIR, eksepsi tersebut harus diajukan pada jawaban
pertama maka hal ini tidak dapat diajukan lagi. Hal yang sebelumnya tidak
pernah diajukan dalam pemeriksaan tingkat pertama dan tingkat banding tidak dapat
diajukan sebagai keberatan kasasi yang merupakan novum.”
B.
Eksepsi inkracht
van gewijsde zaak yaitu
eksepsi yang diajukan oleh tergugat/para tergugat atau kuasanya atas surat
gugatan penggugat yang telah pernah diperkarakan dan telah mempunyai kekuatan
hukum tetap sehingga surat gugatan penggugat/para penggugat atau kuasanya
adalah ne bis in idem berdasarkan Pasal 1917
KUHPerdata. Ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu putusan
hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, daya kekuatan dan mengikatnya
terbatas mengenai substansi putusan tersebut. Gugatan yang diajukan dengan
dalil hukum yang sama dan diajukan oleh dan terhadap pihak yang sama dalam
hubungan yang sama dengan putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, maka di dalam putusan tersebut melekat unsur ne bis in idem atau res
judicata.[10]
C.
Eksepsi litis
pendentis yaitu eksepsi yang
diajukan oleh tergugat apabila sengketa yang digugat penggugat, sama dengan
perkara yang sedang diperiksa oleh pengadilan. Misalnya, sengketa yang digugat
sama dengan perkara yang sedang diperiksa dalam tingkat banding atau kasasi,
atau sedang diproses dalam lingkungan peradilan lain.[11]
D.
Eksepsi
diskualifikator (disqualificatoire exceptie) yaitu eksepsi yang diajukan oleh tergugat/para
tergugat atau kuasanya atas surat gugatan pihak penggugat atau kuasanya karena
mereka tidak mempunyai kualitas/kedudukan untuk mengajukan gugatan.[12]
E.
Eksepsi plurium
litis consortium yaitu
eksepsi tergugat/para tergugat atau kuasanya yang menyatakan surat gugatan
harus ditolak karena mengandung cacat formal yaitu kurang lengkapnya para pihak
yang digugat.[13]
F.
Eksepsi
koneksitas (connexiteit exceptie) yaitu eksepsi yang diajukan tergugat/para tergugat atau kuasanya
atas surat gugatan yang ada koneksitas/hubungannya dengan perkara yang masih
ditangani oleh pengadilan/instansi lain dan belum ada putusan.[14]
G.
Eksepsi van
Beraad yaitu eksepsi yang
diajukan tergugat/para tergugat atau kuasanya atas surat gugatan dimana
sebenarnya belum waktunya diajukan karena dalam perkara tergugat/para tergugat
mempunyai hak untuk berpikir terlebih dahulu.[15]
H.
Eksepsi
Surat Kuasa Khusus Tidak Sah yaitu
eksepsi yang diajukan tergugat/para tergugat atau kuasanya terhadap surat kuasa
yang tidak memenuhi syarat bertitik tolak dari Pasal 123 ayat (1)
HIR dan SEMA Nomor 1 Tahun1971 jo. SEMA
Nomor 6 Tahun 1994.[16] Berdasarkan
ketentuan tersebut, surat kuasa khusus harus dengan tegas dan jelas menyebut
secara spesifik kehendak untuk berperkara di Pengadilan Negeri tertentu sesuai
dengan kompetensi relatif, identitas para pihak yang berperkara, menyebut
secara ringkas dan konkrit pokok perkara dan objek perkara yang diperkarakan
serta mencantumkan tanggal serta tanda tangan pemberi kuasa. Apabila salah satu
syarat tidak terpenuhi, maka surat kuasa mengandung cacat formil dan tergugat
dapat mengajukan eksepsi agar Pengadilan Negeri menyatakan gugatan tidak dapat
diterima atas alasan gugatan dibuat dan ditandatangani penerima kuasa
berdasarkan surat kuasa khusus yang tidak sah.
I.
Eksepsi Error
In Persona yaitu eksepsi
yang diajukan oleh tergugat/para tergugat atau kuasanya karena pihak yang
ditarik sebagai tergugat keliru dan tidak tepat.[17]
J.
Eksepsi Obscuur
Libel, berdasarkan yurisprudensi,
teori, dan praktik hukum acara yang berlaku, maka suatu gugatan dapat
dikategorikan/diklasifikasikan sebagai gugatan kabur dan tidak jelas (obscuur
libel) apabila posita gugatan tersebut tidak relevan dengan petitum gugatan
dan/atau tidak mendukung petitum.[18]
Dalam praktik, bentuk eksepsi obscuur
libel didasarkan pada faktor-faktor yaitu:
1)
Posita atau
fundamentum petendi tidak menjelaskan dasar hukum dalil gugatan dan kejadian
yang mendasari gugatan atau sebaliknya;
2)
Tidak jelasnya
obyek sengketa;
3) Petitum gugat
tidak jelas atau ada kontradiksi antar posita dengan petitum sehingga gugatan
menjadi kabur. Antara posita dengan petitum harus saling mendukung dan tidak
boleh bertentangan. Hal-hal yang dapat dituntut dalam petitum harus mengenai
penyelesaian sengketa yang didalilkan dalam posita;
4)
Penggabungan
masalah posita Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dalam satu
gugatan. Misalnya, dalam posita, gugatan didasarkan atas perjanjian, namun
dalam petitum dituntut agar tergugat dinyatakan melakukan perbuatan melawan
hukum. Gugatan seperti itu mengandung kontradiksi dan gugatan
dikategorikan obscuur libel.
Eksepsi materiil merupakan bantahan lainnya yang
didasarkan atas ketentuan hukum materiil.[19] Eksepsi
berdasarkan hukum materiil ada 2 (dua) macam, yakni:
1.
Eksepsi
Dilatoir
Eksepsi dilatoir adalah eksepsi yang menyatakan bahwa
gugatan penggugat belum dapat dikabulkan. Disebut juga dilatoria
exceptie, yang berarti gugatan penggugat belum dapat diterima untuk
diperiksa sengketanya di pengadilan, karena masih prematur, dalam arti gugatan
yang diajukan masih terlampau dini.[20] Misalnya
oleh karena penggugat telah memberikan penundaan pembayaran. Sifat atau keadaan
prematur melekat pada batas waktu untuk menggugat sesuai dengan jangka waktu
yang disepakati dalam perjanjian belum sampai atau batas waktu untuk menggugat
belum sampai karena telah dibuat penundaan pembayaran oleh kreditur atau
berdasarkan kesepakatan antara kreditur dan debitur.[21] Tertundanya
pengajuan gugatan disebabkan adanya faktor yang menangguhkan, sehingga
permasalahan yang hendak digugat belum terbuka waktunya. Misalnya, ahli waris
yang menggugat pembagian harta warisan, padahal pewaris masih hidup. Gugatan
itu prematur. Selama pewaris masih hidup, tuntutan pembagian warisan masih
tertunda.
2.
Eksepsi
Peremptoir
Eksepsi peremptoir adalah eksepsi yang menghalangi
dikabulkannya gugatan, misalnya karena gugatan telah diajukan lampau waktu,
dengan perkataan lain telah kadaluwarsa, atau bahwa utang yang telah menjadi
dasar gugatan telah dihapuskan.[22] Eksepsi
ini berisi sangkalan, yang dapat menyingkirkan (set a side) gugatan
karena masalah yang digugat tidak dapat diperkarakan.[23]
Bentuk eksepsi peremptoir terdiri dari:
1)
Exceptio
Temporis (Eksepsi Daluwarsa)
Menurut Pasal 1964 KUHPerdata,
daluwarsa atau lewat waktu menjadi dasar hukum untuk memperoleh sesuatu dan
untuk membebaskan seseorang dari suatu perikatan setelah jangka waktu tertentu.
Eksepsi daluwarsa dapat diajukan pada setiap tingkat pemeriksaan maupun pada
tingkat banding berdasarkan Pasal 1951 KUHPerdata. Dengan
demikian eksepsi ini tidak tunduk pada ketentuan Pasal 136 HIR,
sehingga tidak mesti diajukan pada jawaban perdata bersama-sama dengan bantahan
terhadap pokok perkara. Meskipun boleh diajukan pada setiap tingkat
pemerikasaan, namun penerapannya tidak dibenarkan secara ex-officio oleh
hakim, tetapi mesti diajukan oleh pihak tergugat sebagai eksepsi. Eksepsi
daluwarsa diperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara, tidak
diperiksa dan diputus tersendiri dalam bentuk putusan sela, tetapi sekaligus
merupakan bagian yang tidak terpisah dengan pokok perkara dalam bentuk putusan
akhir.[24]
2)
Exceptio Doli
Mali/Presentis
Eksepsi berisi keberatan mengenai penipuan yang
dilakukan dalam perjanjian. Jadi merupakan eksepsi yang menyatakan penggugat
telah menggunakan tipu daya dalam pembuatan perjanjian. Eksepsi ini berkaitan
dengan ketentuan Pasal 1328 KUHPerdata yang berbunyi
”Penipuan merupakan salah satu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu
muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa hingga
terang dan nyata bahwa yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak
dilakukan tipu muslihat tersebut.” Berhasil atau tidaknya eksepsi ini
menyingkirkan gugatan atas alasan adanya penipuan yang dilakukan penggugat,
tergantung kepada tergugat untuk membuktikan membuktikannya.
3)
Exceptio Metus
Tergugat dapat mengajukan jenis eksepsi ini apabila
gugatan yang diajukan penggugat bersumber dari perjanjian yang mengandung
paksaan (dwang) atau compulsion (duress).[25] Eksepsi
ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 1323 KUHPerdata yang
menegaskan bahwa paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat
persetujuan, merupakan alasan batalnya perjanjian, meskipun hal itu dilakukan
oleh pihak ketiga asal untuk kepentingan orang yang membuat perjanjian. Akan
tetapi meurut Pasal 1324 KUHPerdata, suatu paksaan baru
dapat dibenarkan menjadi dasar membatalkan perjanjian apabila paksaan tersebut
sedemikian rupanya sehingga menimbulkan ketakutan bagi orang yang berpikiran
sehat, bahwa dirinya, atau harta kekayaannya terancam. Berhasil atau tidaknya
eksepsi untuk membatalkan perjanjian, tergantung tergugat dalam membuktikan
terjadinya paksaan yang dilakukan pengugat saat perjanjian dibuat.
4)
Exceptio Non
Adimpleti Contractus
Eksepsi yang dapat dikemukakan oleh debitor dalam hal
tuntutan kreditor mengenai pembatalan perikatan dengan ganti rugi, biaya, dan
bunga atas wanprestasi debitor ialah eksepsi exceptio non adimpleti
contractus, artinya tangkisan bahwa kreditor sendiri tidak melaksanakan
kewajiban membayar dalam jual beli secara tunai, maka debitor atau penjual
tidak diwajibkan menyerahkan barang yang dijual berdasarkan Pasal
1478 KUHPerdata.[26]
5)
Exceptio
Dominii
Eksepsi yang diajukan tergugat terhadap gugatan yang
berisi bantahan yang menyatakan objek barang yang digugat bukan milik
penggugat, tetapi milik orang lain atau milik tergugat.[27] Apabila
tergugat mengajukan exception dominii berarti secara teknis,
tergugat menyangkal gugatan. Berdasarkan ketentuan Pasal 163 HIR dan Pasal
1865 KUHPerdata, penggugat dibebani wajib bukti untuk membuktikan dalil
gugatannya, yaitu bahwa objek gugatan bukan miliknya.
6)
Exceptio
Circumstance
Eksepsi yang meminta gugatan disingkirkan atas alasan
tergugat dalam keadaan yang lain dari biasa. Tergugat dalam keadaan force
majeur yang tidak bisa dihindari sehingga secara objektif tergugat
berada dalam situasi imposibilitas absolut memenuhi
perjanjian.[28]
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.
[1] Prof. S. Wojowasito,
“Kamus Umum Belanda Indonesia”, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve,
2003), 185.
[2] R.Supomo, “Hukum
Acara Perdata Pengadilan Negeri”, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2005), 54.
[3] Sudikno Mertokusumo,
“Hukum Acara Perdata Indonesia”, (Yogyakarta: Liberty, 2013), 122.
[4] Sophar Maru Hutagalung, “Praktik Peradilan
Perdata, Kepailitan, dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2021), 67.
[5] M. Yahya Harahap, Hukum Acara
Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), 418.
[6] Ibid, 421.
[7] Ibid.
[8] Sudikno Mertokusumo, loc.cit.
[9] Lilik Mulyadi, “Hukum Acara Perdata
Menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia”, (Jakarta: Djambatan, 2005),
137.
[10] Ibid, 139.
[11] M. Yahya Harahap, op.cit, 440.
[12] Lilik Mulyadi, loc.cit.
[13] Ibid.
[14] Ibid, 140
[15] Ibid.
[16] M. Yahya Harahap, op.cit, 437.
[17] Ibid, 439.
[18] vide Putusan Mahkamah Agung Nomor
1075 K/Sip/1982 tanggal 8 Desember dalam perkara perdata antara Bachid Marzuk
melawan Achmad Marzuk dan Faray bin Surur Alamri.
[19] Sudikno Mertokusumo, op.cit, 123.
[20] M. Yahya Harahap, op.cit, 457.
[21] Ibid.
[22] R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, “Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Perdata (Burgerlijk Wetboek)”, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1994), 60.
[23] M. Yahya Harahap, op.cit, 458.
[24] Ibid.
[25] Ibid, 460.
[26] RM. Suryodiningrat, “Asas-Asas Hukum
Perikatan”, (Bandung: Tarsito, 1985), 48.
[27] M. Yahya Harahap, op.cit, 461.
[28] Ibid, 462.