Ilustrasi Penghinaan di Media Sosial |
Pengantar
Dalam ketentuan Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dinyatakan dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis.
Artinya, masyarakat perlu memahami batasan hukum yang berlaku sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang ada dalam konteks kenapa adanya pengaturan
mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik, maka sebuah kewajaran
bahwasannya hal tersebut merupakan perbuatan melawan hukum
(wederrechtelijk) sebagaimana yang diatur dalam Ketentuan Pasal 310 KUHP yang berbunyi:
“Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang
dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu
diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling
lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah,”
Konsep Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik
Penghinaan atau Pencemaran Nama Baik secara umum diatur dalam Pasal 310 sampai dengan Pasal 321 BAB XVI tentang Penghinaan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, penghinaan yaitu secara umum sebagai “menyerang kehormatan dan nama baik
seseorang”, dan yang diserang itu merasakan malu.
Istilah Penghinaan atau Pencemaran Nama Baik dibagi menjadi 2 (dua)
yaitu:
1)
Penghinaan materiil;
2)
Penghinaan formil.
Dalam buku Oemar Seno Adji[1], menjelaskan bahwa
Penghinaan Materiil ialah Penghinaan yang terdiri dari suatu kenyataan
yang meliputi pernyataan yang objektif dalam kata-kata secara lisan maupun
secara tertulis, maka yang menjadi faktor menentukan adalah isi dari pernyataan baik yang digunakan secara tertulis maupun
lisan. Masih ada kemungkinan untuk membuktikan bahwa tuduhan tersebut dilakukan
demi kepentingan umum.
Kemudian, Penghinaan Formil, bahwa dalam hal ini tidak ditemukan isi dari
penghinaan, melainkan bagaimana pernyataan yang bersangkutan itu
dikeluarkan. Bentuk dan caranya yang merupakan faktor menentukan. Pada umumnya cara untuk menyatakannya adalah dengan cara kasar dan tidak
objektif. Kemungkinan untuk membuktikan kebenaran dari tuduhan tidak ada dan
dapat dikatakan bahwa kemungkinan tersebut adalah ditutup.
Sedangkan menurut Adami Chazawi membagi menjadi 2 (dua) tafsir mengenai
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik ini.
Pertama, penafsiran sempit, bahwa dalam KUHP tidak
ada jenis tindak pidana penghinaan. Penghinaan merupakan kualifikasi pidana.
Sifat menghina dengan menyerang kehormatan dan nama baik terdapat dalam 5
(lima) bentuk penghinaan lainnya, namun dalam ayat tersebut hanya menyebut
pencemaran nama baik. (lihat kembali Pasal 310 KUHP)
Kedua, penafsiran secara luas. Istilah “penghinaan” harus
diartikan sebagai penghinaan sebagai arti genus, terhadap setiap
perbuatan yang menyerang kehormatan dan nama baik orang. Dengan alasan bahwa
menurut konsepsi KUHP, istilah penghinaan (belediging) adalah nama
(kualifikasi) kelompok jenis-jenis tindak pidana yang didasarkan pada
perlindungan hukum yang sama.[2]
Selain itu yang perlu diperhatikan juga adalah mengenai unsur-unsur tindak
pidana Penghinaan atau Pencemaran nama baik yang lagi-lagi dibagi menjadi 2
(dua) yaitu:
-
Unsur objektif tindak pidana pencemaran nama baik adalah: barangsiapa,
menyerang kehormatan nama baik, dengan menuduhkan kepada orang lain.
-
Sedangkan unsur subjektif yaitu dengan maksud yang nyata supaya tuduhan itu
diketahui orang lain, dengan sengaja.
Seperti yang sudah kami jelaskan bahwa secara umum aturan mengenai
penghinaan atau “pencemaran nama baik” dalam suatu aturan Hukum Pidana (lex generalis), itu ada 6 (enam) macam:
1)
Menista (smaad) – (vide Pasal 310 ayat (1) KUHP)
2)
Menista dengan surat (smaadschrift) – (vide Pasal 310 ayat (2) KUHP)
3)
Memfitnah (laster) – (vide Pasal 311 KUHP)
4)
Penghinaan ringan (eenvoudige belediging) – (vide Pasal 315 KUHP)
5)
Mengadu secara menfitnah (lasterlijke aanklacht) – (vide Pasal 317 KUHP)
6)
Tuduhan secara menfitnah (lasterajke verdhartmaking) – (vide Pasal 318 KUHP)
Sedangkan di aturan khusus (lex specialis) yang diatur di luar KUHP
sebagaimana jika ketentuan hukumnya diatur di luar ketentuan KUHP,
tersendiri dan memiliki kekhasan atau kekhususan akan tetapi tetap tidak
terpisah dari segi konseptual pengaturan “penghinaan” atau “pencemaran nama
baik” yang sudah ada di dalam KUHP seperti Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang berbunyi:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik.”
Diaturnya ketentuan di atas lebih rinci mengenai pengaturan hukum yang
belum diatur di dalam KUHP sehingga menjamin kepastian hukum terhadap
hubungan antara sesama warga negara, selain itu jika yang diatur di dalam
KUHP itu jelas lebih memperlihatkan delik materiil dibandingkan ketentuan
yang ada dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik di atas.[3]
Perkembangan Delik Penghinaan atau Pencemaran Nama Baik
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 atas Judicial Review Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa penghinaan yang diatur dalam KUHP
(penghinaan offline) tidak dapat menjangkau delik penghinaan dan pencemaran
nama baik yang dilakukan di dunia cyber (penghinaan online) karena ada unsur
di muka umum.
Dapatkah perkataan unsur “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan”
dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP mencakup ekspresi dunia maya?
Memasukkan dunia maya ke dalam pengertian “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” sebagaimana
dalam KUHP, secara harafiah kurang memadai, sehingga diperlukan rumusan
khusus yang bersifat ekstensif yaitu
kata “mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diakses” muatan pencemaran nama baik. Berdasarkan pendapat Mahkamah Konstitusi
tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur di muka umum tidak menjadi unsur
dalam penyebaran informasi elektronik. Dalam UU ITE telah diatur rumusan
khusus yang bersifat ekstensif yaitu kata “mendistribusikan” dan/atau
“mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diakses”.
Ketiga istilah tersebut dapat dijelaskan pengertiannya sebagai berikut: (vide Penjelasan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik)
-
“mendistribusikan” adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik dan/
atau Dokumen Elektronik kepada banyak Orang atau berbagai pihak melalui
Sistem Elektronik.
-
“mentransmisikan” adalah adalah mengirimkan Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen
Elektronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui Sistem
Elektronik.
-
“membuat dapat diakses” adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan
mentransmisikan melalui Sistem Elektronik yang menyebabkan Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dapat diketahui pihak lain atau
publik.
Pengaturan mengenai Klasifikasi Delik dan Daluwarsa
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik “penghinaan” atau “pencemaran nama baik” merupakan delik biasa
sehingga dapat diproses secara hukum sekalipun tidak adanya pengaduan dari
korban, akan tetapi sebagaimana yang sudah kami jelaskan di atas tadi bahwa
dengan mengacu pada KUHP sebagaimana maksud Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik maka delik tersebut berubah menjadi delik aduan (klacht delic)
yang mengharuskan korban membuat pengaduan kepada pihak yang berwajib.
Muatan norma Penjelasan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik secara tidak langsung mengadopsi pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 jo. Putusan Mahkamah Konstirusi Nomor 2/PUU-VII/2009.
Dalam pertimbangan Putusan MK 50/PUU-VI/2008 disebutkan bahwa keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya
pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan
terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sehingga Pasal a quo juga harus ditafsirkan sebagai
delik yang mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di
depan Pengadilan.
Akhirnya, Pasal-pasal mengenai pencemaran nama baik yaitu Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan Pasal 310 KUHP dikategorikan sebagai Delik Aduan. Perbedaan antara
delik aduan dan delik biasa adalah delik aduan merupakan tindak pidana yang
hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan.
Sedangkan delik biasa adalah tindak pidana yang dapat dituntut tanpa
diperlukan adanya suatu pengaduan.[4]
Delik aduan dibagi lagi menjadi 2 (dua) yaitu:
1)
Delik Aduan absolut, yaitu yang penuntutannya hanya berdasarkan pengaduan
dari pihak yang merasa benar-benar dirugikan oleh karena adanya suatu dugaan
perbuatan pidana; dan
2)
Delik aduan relative, bahwa di sini karena adanya hubungan istimewa antara
pelaku dan korban, misalnya pencurian dalam keluarga.
(vide Pasal 367 ayat (2) dan (3))
Pasal-Pasal yang dapat tergolong sebagai Delik Aduan Absolut dalam KUHP selain Pasal 310 KUHP antara lain Pasal 284 KUHP, Pasal 287 KUHP, Pasal 293 KUHP, Pasal 332
KUHP, Pasal 322 KUHP, dan Pasal 369 KUHP.
Selain itu yang perlu diperhatikan adalah masalah daluwarsa dalam hal
melakukan pengaduan dan terkait pencabutan aduan yang sudah diadukan.
Dalam UU ITE sendiri tidak terdapat ketentuan daluwarsa baik dalam
mengadukan atau melaporkan tindak pidana dan juga pencabutan aduan tersebut,
maka dari itu perlu dilihat ketentuannya di dalam KUHP.
Pasal 74 KUHP menyatakan:
(1)
Pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang
berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia, atau dalam waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia.
(2)
Jika yang terkena kejahatan berhak mengadu pada saat tenggang waktu
tersebut dalam ayat (1) belum habis, maka setelah saat itu, pengaduan
masih boleh diajukan hanya selama sisa yang masih kurang pada tenggang
waktu tersebut.
Kemudian, Pasal 75 KUHP menyatakan:
“Orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah pengaduan
diajukan”.
Sedangkan pengaduan yang bersifat khusus hanya bisa dilakukan oleh pihak
tertentu yang berkepentingan, sehingga dapat dicabut sebelum sampai ke
persidangan, apabila terjadi perdamaian antara pengadu dan teradu.
Jika terjadi pencabutan pengaduan, maka perkara tidak dapat diproses lagi.
Namun demikian sehubungan dengan pencabutan pengaduan yang melampaui batas
waktu tersebut, ada perkembangan menarik berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1600 K/PID/2009 yang menyatakan pada pokoknya:
“...walaupun pencabutan pengaduan telah melewati 3 (tiga) bulan, yang
menurut Pasal 75 KUHP telah lewat waktu, namun dengan pencabutan itu
keseimbangan yang terganggu dengan adanya tindak pidana tersebut telah
pulih karena perdamaian yang terjadi antara pelapor dengan terlapor
mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui, karena bagaimanapun juga
bila perkara ini dihentikan manfaatnya lebih besar dari pada bila
dilanjutkan.”
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda
melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada
di sini. Terima Kasih.
[1]
Oemar Seno Adji, “Hukum Pidana”, (Jakarta: Erlangga, 1980), 24.
[2] Adami Chazawi dan Ardi Ferdian, “Tindak Pidana Informasi & Transaksi Elektronik : Penyerangan Terhadap Kepentingan Hukum Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik”, (Malang: Media Nusa Creative, 2015), 80 – 117.
[3]
Vide Penjelasan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang tentang ITE.
[4]
P.A.F.Lamintang, “Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia”, (Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2008), 217-218.