Ilustrasi Foto Perkawinan Sepasang Calon Suami-Istri |
Pengantar
Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.[1] Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah.[2]
Kemudian, berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Mahaesa.
Menurut Ali Hasan[3], secara bahasa Nikah adalah
berkumpul atau bercampur, sedangkan menurut syariat secara hakikat (nikah)
adalah akad (nikah) dan
secara majaz adalah al-wath’u (hubungan
seksual) menurut pendapat yang shahih, karena tidak diketahui sesuatu pun
tentang penyebutan kata nikah dalam kitab Allah Subhanahu wa ta’ala- kecuali untuk makna at-tazwiij (perkawinan). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.[4]
Anda dapat membaca tulisan kami terkait Perkawinan di beberapa tulisan
kami di sini tentang “Pro KontraPerkawinan Beda Agama, Begini Aturannya” dan “Seberapa Penting PencatatanPerkawinan Campuran: Perkawinan antara
WNI-WNA” dan juga “Kenapa PerjanjianPerkawinan Begitu Penting?” yang mana dalam beberapa tulisan tersebut ada juga mengulas
mengenai Perkawinan atau Pernikahan secara lengkap dan jelas.
Fokus pada tulisan kami kali adalah mengenai “Aturan Isbat Nikah Melalui Pengadilan Agama Sebagai Dasar Pencatatan
Perkawinan” yang mana tulisan ini sebagai lanjutan dari tulisan kami yang
berjudul “Pentingnya Pencatatan Perkawinan”.
Nah, agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam (khususnya
di Indonesia) setiap perkawinan tadi harus dicatat.[5] Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatat
Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan
Rujuk jo. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya
Undang-Undang Republik Indonesia Tanggal 21 Nopember 1946 No.22 Tahun
1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar
Jawa dan Madura.[6]
Adapun untuk saat ini aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019
tentang Pencatatan Pernikahan, yang mana disebutkan:
“Pegawai Pencatat Nikah yang selanjutnya disingkat PPN adalah pegawai
negeri sipil yang ditugaskan oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk
untuk melakukan pencatatan nikah masyarakat Islam.”[7]
Perlu kami tegaskan lagi, bahwa suatu perkawinan sudah dianggap sah apabila perkawinan itu dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya (masing-masing
setiap Warga Negara Indonesia).[8]
Akan tetapi itu tidak cukup, mengingat disebutkan bahwa tiap-tiap
perkawinan (tersebut) wajib dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.[9] Undang-Undang yang berlaku di
sini sebagaimana ketentuan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan:
“Perkawinan yang sah menurut Peraturan Perundang-undangan wajib
dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya
perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal
perkawinan.”
Tentu tujuannya supaya setiap Warga Negara Indonesia (WNI) untuk tertib
secara administrasi dan juga gunanya untuk kepentingan dari Warga Negara
Indonesia (WNI) itu sendiri sebagai bentuk pengakuan negara terhadap
peristiwa yang disebut dengan peristiwa penting tersebut.[10]
Artinya, tidak cukup jika perkawinan yang sudah dianggap “sah” tadi belum
atau tidak dicatatkan secara resmi pada Lembaga Pencatatan Negara, ini
yang sering pula diistilahkan dengan perkawinan atau pernikahan tersebut
disebut dengan perkawinan atau pernikahan di bawah tangan.
Yang mana nikah di bawah tangan ini adalah nikah yang dilakukan tidak
menurut hukum negara (ketentuan perundang-undangan). Nikah yang dilakukan
tidak menurut hukum negara ini yang menurut Basith Mualy dianggap nikah
liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum, berupa pengakuan dan
perlindungan hukum.[11]
Catatan Tambahan:
Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan sumber hukum materiil dalam lingkungan peradilan (baik
umum atau pun khusus: seperti peradilan agama). Namun saat ini dalam
perkara peradilan tidak sepenuhnya merujuk pada Undang-Undang tersebut,
karena berlakunya asas atau adagium hukum lex specialis derogat legi generali, yaitu hukum bersifat khusus menyampingkan hukum yang bersifat umum.
Undang-Undang tentang Perkawinan adalah aturan umum yang berlaku untuk
semua Warga Negara Indonesia (WNI), sedangkan Undang-Undang tentang
Peradilan Agama adalah aturan khusus yang berlaku hanya untuk Warga Negara
Indonesia yang beragama Islam.[12]
Terkait permasalahan Isbat Nikah sebagaimana dalam ketentuan Pasal 7 ayat (3) huruf d Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa Isbat Nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama terbatas ketika adanya
perkawinan yang terjadi “sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.”
Akhirnya terjadi kekosongan hukum dan timbul pertanyaan, bagaimana dengan
Perkawinan yang dilakukan “setelah” berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan?
Karena kebutuhan (pencatatan perkawinan) tersebut penting ditambah negara
harus mampu menjamin kepastian hukum bagi semua warga negaranya agar
tertib administrasi dan terdata dengan baik untuk mengakomodasi setiap
kepentingan hukum warga negaranya.
Itulah kenapa Isbat Nikah dapat dimintakan Penetapannya ke Pengadilan
Agama saat ini, yang mana Hakim Pengadilan Agama pun melakukan “ijtihad”
dengan menyimpangi ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai
“sebelum” berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
tadi, yang kemudian mengabulkan Permohonan Isbat Nikah dengan dasar
hukumnya ketentuan Pasal 7 Ayat (3) huruf e Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Pengertian Isbat Nikah
Isbat nikah memiliki pengertian penetapan tentang kebenaran nikah.[13] Menurut bahasa Isbat Nikah terdiri dari dua kata yaitu kata
“itsbat” yang merupakan masdar atau asal kata dari تتبثا yang memiliki arti “menetapkan”, dan kata “nikah” yang berasal dari
kata “nakaha” yang memiliki arti “saling menikah”, dengan
demikian kata “isbat nikah” memiliki arti yaitu “penetapan pernikahan”.[14]
Lebih lanjut menurut Munawir[15], Isbat adalah
penguatan. Sedang Nikah dalam kamus hukum diartikan sebagai akad yang
memberikan faedah untuk melakukan mut’ah secara sengaja, kehalalan seorang
laki laki untuk beristimta’ dengan seorang wanita selama tidak ada faktor
yang menghalangi sahnya pernikahan tersebut secara syar’i.[16]
Sedangkan menurut Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015
tentang Pelayanan Terpadu Sidang Keliling Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Agama /Mahkamah Syar’iyah dalam Rangka Penerbitan Akta
Perkawinan, Buku Nikah, dan Akta Kelahiran, menyebutkan bahwa pengertian isbat nikah adalah pengesahan nikah bagi
masyarakat beragama Islam yang dilakukan oleh Pengadilan Agama/Mahkamah
Syar’iyah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.[17]
Ketentuan Hukum tentang Isbat Nikah
Bahwa disebutkan Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan
dengan:
a)
Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b)
Hilangnya Akta Nikah;
c)
Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan;
d)
Adanyan perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974[18]; dan
e)
Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan
perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.[19]
Perlu diketahui sebelumnya, bahwa Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis
Peradilan Agama atau yang dikenal dengan Buku II diberlakukan sebagai
pedoman di lingkungan Peradilan Agama atas dasar Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: KMA/032/SK/
IV/2006 tanggal 4 April 2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan.
Buku II Edisi 2007 itu kemudian mulai disosialisasikan pada saat Rakernas
Akbar Mahkamah Agung dengan Para Ketua dan Panitera/Sekretaris Pengadilan
Tingkat Banding dan Tingkat Pertama Seluruh Lingkungan Peradilan di
Jakarta Agustus 2008. Untuk menyesuaikan dengan peraturan yang berkembang,
Buku II beberapa kali mengalami revisi, yang terakhir adalah tahun
2013.
Dalam Buku II “Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan
Agama”[20], menjelaskan bahwa proses pengajuan,
pemeriksaan dan penyelesaian permohonan pengesahan nikah/isbat nikah harus
memedomani hal-hal sebagai berikut:
(1)
Permohonan isbat nikah dapat dilakukan oleh kedua suami-isteri atau salah
satu dari suami isteri, anak, wali, nikah dan pihak lain yang
berkepentingan dengan perkawinan tersebut kepada Pengadilan Agama/Mahkamah
Syar'iyah dalam wilayah hukum Pemohon bertempat tinggal, dan permohonan
isbat nikah harus dilengkapi dengan alasan dan kepentingan yang jelas
serta konkrit.
(2)
Proses pemeriksaan permohonan isbat nikah yang diajukan oleh kedua suami
isteri bersifat voluntair, produknya berupa penetapan. Jika
isi penetapan tersebut menolak permohonan isbat nikah, maka suami dan
isteri bersama-sama atau suami, isteri masing-masing dapat mengajukan
upaya hukum kasasi.
(3)
Proses pemeriksaan permohonan isbat nikah yang diajukan oleh salah
seorang suami atau isteri bersifat kontensius dengan
mendudukkan isteri atau suami yang tidak mengajukan permohonan sebagai
pihak Termohon, produknya berupa putusan dan terhadap putusan tersebut
dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi.
(4)
Jika dalam proses pemeriksaan permohonan isbat nikah dalam angka (2) dan
(3) tersebut di atas diketahui bahwa suaminya masih terikat dalam
perkawinan yang sah dengan perempuan lain, maka isteri terdahulu tersebut
harus dijadikan pihak dalam perkara. Jika Pemohon tidak mau merubah
permohonannya dengan memasukkan isteri terdahulu sebagai pihak, permohonan
tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima.
(5)
Permohonan isbat nikah yang dilakukan oleh anak, wali nikah, dan pihak
lain yang berkepentingan harus bersifat kontensius, dengan
mendudukkan suami dan isteri dan/atau ahli waris lain sebagai
Termohon.
(6)
Suami atau isteri yang telah ditinggal mati oleh isteri atau suaminya,
dapat mengajukan permohonan isbat nikah secara kontensius dengan
mendudukkan ahli waris lainnya sebagai pihak Termohon, produknya berupa
putusan dan atas putusan tersebut dapat diupayakan banding dan kasasi.
(7)
Dalam hal suami atau isteri yang ditinggal mati tidak mengetahui ada ahli
waris lain selain dirinya maka permohonan isbat nikah diajukan
secara voluntair, produknya berupa penetapan. Apabila
permohonan tersebut ditolak, maka Pemohon dapat mengajukan upaya hukum
kasasi.
(8)
Orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam
perkara permohonan isbat nikah tersebut dalam angka (2) dan (6), dapat
melakukan perlawanan kepada Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar'iyah yang
memutus, setelah mengetahui ada penetapan isbat nikah.
(9)
Orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam
perkara permohonan isbat nikah tersebut dalam angka (3), (4) dan (5),
dapat mengajukan intervensi kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah
yang memeriksa perkara isbat nikah tersebut selama perkara belum
diputus.
(10)
Pihak lain yang mempunyai kepentingan hukum dan tidak menjadi pihak dalam
perkara permohonan isbat nikah tersebut dalam angka (3), (4) dan (5),
sedangkan permohonan tersebut telah diputus oleh Pengadilan Agama/Mahkamah
Syar'iyah, dapat mengajukan gugatan pembatalan perkawinan yang telah
disahkan oleh Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar'iyah tersebut.
(11)
Ketua Majelis Hakim 3 (tiga) hari setelah menerima PMH, membuat PHS
sekaligus memerintahkan jurusita pengganti untuk mengumumkan permohonan
pengesahan nikah tersebut 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal
pengumuman pada media massa cetak atau elektronik atau sekurang-kurangnya
diumumkan pada papan pengumuman Pengadilan Agama /Mahkamah Syar'iyah.
(12)
Majelis Hakim dalam menetapkan hari sidang paling lambat 3 (tiga) hari
setelah berakhirnya pengumuman. Setelah hari pengumuman berakhir, Majelis
Hakim segera menetapkan hari sidang.
(13)
Untuk keseragaman, amar pengesahan nikah berbunyi sebagai berikut:
“Menyatakan sah perkawinan antara ..... dengan ..... yang dilaksanakan
pada tanggal ..... di .....”.
Juga disebutkan Pencatatan Nikah berdasarkan Putusan Pengadilan Agama
atau Isbat Nikah dapat dilakukan di KUA Kecamatan yang ditunjuk dalam
Penetapan Pengadilan Agama.[21] Dalam hal amar
putusan pengadilan agama tidak menyebutkan KUA Kecamatan tertentu untuk
mencatat isbat nikah (tersebut), maka pencatatan dilakukan atas dasar:
a.
Surat Permohonan Pencatatan Isbat; dan
b.
Surat Pernyataan Belum Pernah Mencatatkan Isbat Nikah Pada Kua
Kecamatan.[22]
Sebagaimana diketahui pasca revisi tahun 2013, beberapa peraturan sebagai
pedoman administrasi dan persidangan telah diterbitkan seperti:
1)
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pelayanan Terpadu
Sidang Keliling Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah
dalam Rangka Penerbitan Akta Perkawinan, Buku Nikah, dan Akta
Kelahiran;
2)
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi;
3)
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili
Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum;
4)
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara
Dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik (e-court);
5)
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian
Gugatan Sederhana; dan
6)
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili
Permohonan Dispensasi Kawin.
Oleh karenanya, kurang lebih setelah 9 tahun berselang dari terbitnya
Buku II Pedoman sebagaimana kami terangkan di atas, untuk menyesuaikan
kebutuhan Ditjen Badan Peradilan Agama membentuk Tim Penyempurnaan Draft Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Peradilan Agama (Buku II). Tim ini diketuai Direktur Pembinaan
Administrasi Peradilan Agama, Dr. Dra. Nur Djannah Syaf, S.H., M.H.,
sedangkan anggotanya terdiri hakim-hakim yustisial yang bertugas di
Mahkamah Agung.
Kegiatan ini merupakan lanjutan dari kegiatan yang dilakukan akhir tahun
2020 yang lalu. Setelah proses inventarisasi permasalahan dilakukan dari
seluruh pengadilan agama, Tim kemudian menyusun kembali berdasarkan
regulasi-regulasi terbaru yang relevan.
Proses penyempurnaan ini dilaksanakan di Hotel Mirah Bogor dari tanggal
23-27 Agustus 2021. Acara dibuka langsung oleh Dirjen Badilag, Dr. Drs. H.
Aco Nur, S.H., M.H.. Dalam arahannya, Dirjen Badilag menekankan kepada Tim
untuk memperhatikan beberapa hal.
Bahwa tim tersebut harus memperhatikan segala masukan dan beberapa hal
yang belum dimasukkan, seperti ketentuan administrasi perkara jinayat yang
belum ada dalam Buku II edisi revisi tahun 2013, administrasi persidangan
dan perkara secara elektronik, dan juga persidangan pidana elektronik, dan
semoga bisa diselesaikan secepatnya, karena Buku II ini sedang
ditunggu-tunggu seluruh warga peradilan, khususnya tenaga teknis”
Penjelasan Lebih Lanjut Mengenai Isbat Nikah di Pengadilan Agama Secara Praktik
Untuk mempermudah pemahaman terkait dengan Permohonan baik yang
bersifat voluntair dan kontensius sebagaimana
penjelasan kami di atas, kami merangkum secara sederhana berdasarkan
perkara yang sudah diputus di Pengadilan yang sudah berkekuatan hukum
tetap (inkracht van gewijsde).
Contohnya, untuk yang Permohonan Isbat Nikah yang
bersifat voluntair berdasarkan Putusan Agama Mempawah Nomor 335/Pdt.P/2018/PA.Mpw, tanggal 12 September 2018 dalam pertimbangan hukumnya Hakim yang
memeriksa perkara berpendapat bahwa:
-
Bahwa pada prinsipnya isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama
menurut ketentuan Pasal 7 Ayat (3) Kompilasi Hukum Islam, terbatas pada perkawinan di bawah tangan yang terjadi sebelum
berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Sebab, dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
seharusnya tidak ada lagi perkawinan yang tidak dicatatkan karena
sebagaimana amanat Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang tersebut, bahwa
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
-
Bahwa pernikahan di bawah tangan yang terjadi setelah berlakunya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dapat diitsbatkan menurut ketentuan Pasal 7
Ayat (3) Kompilasi Hukum Islam, apabila ada alasan untuk itu, seperti
dalam rangka penyelesaian perceraian, hilangnya akta nikah, dan adanya
keraguan tentang sah atau tidaknya perkawinannya yang telah
dilangsungkan;
-
Bahwa dalam perkembangannya saat ini pernikahan di bawah tangan yang terjadi setelah berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat diitsbatkan sekalipun tidak ada
alasan yang disebutkan Pasal 7 Ayat (3) Kompilasi Hukum Islam, sepanjang
ada alasan yang dapat diterima, seperti jarak yang jauh antara tempat
tinggal dengan Kantor Urusan Agama, terjadi kerusuhan massal dan bencana
alam sehingga tidak memungkinkan untuk mengurus pencatatan pernikahan;
-
Bahwa faktor lain yang mendorong dibukanya itsbat nikah terhadap
pernikahan di bawah tangan yang terjadi setelah berlakunya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 adalah karena masih banyak pernikahan yang tidak
dicatatkan di tengah masyarakat, dan saat yang sama Pemerintah sedang menggalakkan tertib administrasi kependudukan secara nasional sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dan perubahannya dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013, maka tidak bijak apabila ketentuan isbat nikah dibatasi hanya sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
-
Bahwa walaupun demikian, bukan berarti isbat nikah lalu dibuka
seluas-luasnya karena jika demikian yang terjadi maka akan meruntuhkan
sakralitas perkawinan dan merendahkan kewibawaan Pegawai Pencatat Nikah
(PPN)/Kantor Urusan Agama sebagai pejabat/lembaga negara yang ditunjuk
untuk melakukan pencatatan perkawinan;
-
Bahwa atas dasar itu, Pengadilan mengambil jalan tengah, yaitu isbat
nikah boleh diajukan terhadap pernikahan yang terjadi setelah berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 namun dengan persyaratan yang ketat, yaitu adanya alasan kuat kenapa dahulu
pernikahannya tidak dicatat;
-
Bahwa alasan pernikahan para Pemohon tidak dicatat/didaftar karena di
lingkungan tempat tinggal para Pemohon tidak terbiasa mencatatkan pernikahan dan hal itu sudah menjadi kultur masyarakat sehingga para Pemohon tidak mengerti tentang administrasi pencatatan pernikahan. Alasan demikian bukan merupakan unsur kesengajaan untuk melanggar
hukum, oleh karena itu tidak dicatat/didaftarkannya pernikahan para
Pemohon dapat dibenarkan menurut hukum;
-
Bahwa para Pemohon adalah orang-orang yang tidak mempunyai halangan untuk menikah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, oleh
karena itu permohonan para Pemohon memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan
dalam Pasal 7 Ayat (3) huruf e Kompilasi Hukum Islam;
-
Bahwa tujuan para Pemohon mengajukan permohonan isbat nikah ini adalah
untuk mengesahkan pernikahan sehingga para Pemohon mendapatkan akta nikah dari Kantor Urusan Agama sebagai persyaratan
untuk mengurus akta kelahiran anak. Tujuan demikian merupakan tujuan baik yang patut diapresiasi dan
didukung demi mewujudkan tertib administrasi kependudukan secara nasional
dan untuk memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status
pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa
penting yang dialami oleh penduduk sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dan perubahannya
dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013;
-
Bahwa dalam akad nikah para Pemohon, selain ada calon suami dan calon istri,
juga ada wali nikah, ada dua saksi dan ada ijab kabul, oleh karena itu
pernikahan tersebut telah memenuhi rukun pernikahan sebagaimana diatur
dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam;
-
Bahwa dalam akad nikah Pemohon I memberikan mahar kepada
Pemohon II, oleh karena itu pernikahan yang demikian telah memenuhi ketentuan Pasal 30 Kompilasi Hukum Islam;
-
Bahwa masing-masing dari Pemohon I dan Pemohon II saat menikah tidak
sedang terikat perkawinan dengan pihak lain, oleh karena itu pernikahan
yang demikian telah memenuhi ketentuan Pasal 9 Undang Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 40 huruf a Kompilasi Hukum Islam;
-
Bahwa Pemohon I saat menikah tidak sedang terikat pinangan dengan pihak
lain, oleh karena itu pernikahan yang demikian telah memenuhi ketentuan
Pasal 12 Ayat (3) Kompilasi Hukum Islam;
-
Bahwa Pemohon I saat menikah tidak ada hubungan nasab, semenda ataupun
sesusuan dengan Pemohon II, oleh karena itu pernikahan yang demikian telah
memenuhi ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan jo. Pasal 39 Kompilasi Hukum Islam;
-
Bahwa dengan demikian, pernikahan para Pemohon telah memenuhi rukun dan
syarat pernikahan menurut syariat Islam dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia;
-
Bahwa berhubung perkara ini termasuk perkara permohonan
(volunteer), biaya perkara ini dibebankan kepada para Pemohon;
Adapun amar putusan Hakim sebagai berikut:
MENETAPKAN
1.
Mengabulkan permohonan para Pemohon;
2.
Menyatakan sah pernikahan antara Pemohon dan Pemohon II yang dilaksanakan
pada tanggal 12 Juli 1993 di Desa Parit Solo Kecamatan Sungai Kakap
Kabupaten Kubu Raya;
3.
Memerintahkan para Pemohon untuk mencatatkan pernikahannya ke Kantor
Urusan Agama Kecamatan Sungai Kakap Kabupaten Kubu Raya;
4.
Membebankan kepada para Pemohon untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp
91.000,- (sembilan puluh satu ribu rupiah);
Untuk Contoh Perkara atau Penjelasan terkait Isbat Nikah yang bersifat kontensius akan kami ulas di tulisan kami berikutnya.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.
[1]
vide Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI).
[2]
vide Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI).
[3]
M.Ali Hasan, “Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam”, (Jakarta:
Prenada Media,
2003), 295.
[4]
vide Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam (KHI).
[5]
vide Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
jo. Pasal 5 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam.
[6]
vide Pasal 5 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.
[7]
vide Pasal 1 Angka 3 Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang
Pencatatan Pernikahan.
[8]
vide Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
[9]
vide Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
[10]
vide Pasal 1 Angka 17 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan.
[11]
Basith Mualy, “Panduan Nikah Sirri dan Akad Nikah”, (Surabaya: Quntum
Media, 2011), 12.
[12]
vide Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
[13]
Kemendibud, “KBBI Daring”,
Kbbi.kemdikbud.go.id. (2022). Retrieved 18 July 2022, from
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/isbat%20nikah.
[14]
Ahmad Warsono Munawir, “Al–Munawir Kamus Arab-Indonesia”, (Yogyakarta:
Pustaka
Progresif, 2002), 145.
[15]
Ibid.
[16]
Kamus Hukum (Bandung: Citra Umbara, 2008), 271.
[17]
vide Pasal 1 Angka 3 Perma Nomor 1 Tahun 2015.
[18]
vide Penjelasan Pasal 49 huruf a Angka 22 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.
[19]
vide Pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam (KHI).
[20]
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, “Pedoman Pelaksanaan Tugas
dan Administrasi Peradilan Agama Buku II”, (Jakarta, Mahkamah Agung
Republik Indonesia), 153-156.
[21]
vide Pasal 25 ayat (1) Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun
2019 tentang Pencatatan Pernikahan.
[22]
vide Pasal 25 ayat (2) Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun
2019 tentang Pencatatan Pernikahan.