Ilustrasi Tindak Pidana Korupsi by: dreamstime.com |
Pengantar
Hingga saat ini belum ada definisi yang secara tegas
diberikan terhadap “Tindak Pidana Korupsi” ataupun “Korupsi” itu sendiri.
Sebagaimana Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang tentang
Tipikor yang lama) hanya menentukan secara terbatas tindakan-tindakan seperti
apa yang termasuk dalam suatu tindak pidana korupsi, tidak memberikan definisi.
Hal tersebut didapatkan dari adanya frasa dalam Pasal
1 ayat (1) undang-undang tersebut yaitu “dihukum karena tindak pidana
korupsi ialah...” hal tersebut menunjukan bahwa selain
tindakan-tindakan yang diatur dalam pasal a quo bukan termasuk
tindak pidana korupsi.
Kemudian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Undang-Undang tentang Tipikor yang baru dan masih
berlaku) juga merumuskan hal yang serupa namun dengan teknis perumusan yang
berbeda.
Secara harfiah “Korupsi” merupakan sesuatu yang busuk,
jahat, dan merusak. Jika membicarakan Korupsi memang akan menemukan kenyataan
semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat, dan keadaan yang
busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan
dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi, dan politik, serta penempatan
keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya. Dengan
demikian, secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah
korupsi memiliki arti yang sangat luas:
a.
Korupsi,
penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya)
untuk kepentingan pribadi atau orang lain;
b.
Korupsi: busuk;
rusak; suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok
(melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).[1]
Karena itu, tindak pidana korupsi telah dianggap
sebagai suatu perkara “seriousness of a crime”, kejahatan serius
yang sangat mengganggu hak ekonomi dan hak sosial masyarakat, dan negara dalam
skala besar, sehingga penanganannya harus dilakukan dengan cara “extraordinary
treatment” (penanganan yang luar biasa) serta pembuktiannya
membutuhkan langkah-langkah yang serius, professional, dan independen.[2]
Persoalan mengenai Tindak Pidana Korupsi merupakan
satu di antara persoalan besar yang menjadi perhatian bukan hanya di Indonesia
(National Issue) akan tetapi juga bagi banyak negara di
dunia (International Issue) karena tindak pidana korupsi dinilai
menyebabkan kerugian secara kompleks terhadap suatu negara dan sekitarnya,
dikarenakan dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi tidak hanya
berkaitan dengan kerugian keuangan negara yang bersangkutan tetapi juga merusak
nilai-nilai etika dan keadilan secara universal.
Sehingga pada tahun 2003 Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) atau United Nations (UN) membentuk Konvensi Anti Korupsi
(United Nation Convention Against Corruption-UNCAC) yang bertujuan untuk
mencegah korupsi secara global dengan melakukan kerjasama internasional untuk
bersama-sama melakukan langkah-langkah menghapuskan korupsi di seluruh dunia
dalam Sidang Umum PBB pada Oktober 2003 dan telah ditandatangani oleh 140
negara dengan 38 negara di antaranya telah meratifikasinya.[3] Dan
Indonesia pun termasuk satu di antara negara yang ikut meratifikasi Instrumen
Hukum Internasional tersebut ke dalam aturan domestic dalam negeri
berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang
Pengesahan United Nation Convention Against Corruption 2003 (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) tertanggal 18 April
2006, sebagai bentuk Pemerintah Indonesia kala itu mengambil langkah serius
untuk mengentaskan Tindak Pidana Korupsi di tanah air.
Trend Kasus Korupsi dalam Beberapa Tahun Terakhir
Pada semester pertama tahun 2020 Indonesia
Corrupption Watch (ICW) menemukan ada sebanyak 169 (seratus enam
puluh sembilan) kasus korupsi yang ditangani oleh Aparat Penegak Hukum
(APH). Sejumlah 372 (tiga ratus tujuh puluh dua) orang dari berbagai
jenis latar belakang profesi telah ditetapkan menjadi tersangka atas dugaan
tindak pidana korupsi.
Setelah dikalkulasikan jumlah kerugian negara yang
berhasil dihitung akibat tindak pidana korupsi tersebut adalah sejumlah Rp
18.100.000.000.000,- (delapan belas triliun seratus milyar rupiah) di
sisi lain jumlah suap yang berhasil diungkap oleh Aparat Penegak Hukum (APH)
sebesar Rp 20.200.000.000,- (dua puluh milyar dua ratus juta rupiah),
dan jumlah pungutan liar (pungli) sebesar Rp 44.600.000.000,- (empat puluh
empat milyar enam ratus juta rupiah).[4]
Kemudian sepanjang tahun 2021, Indonesia
Corruption Watch (ICW) kembali mencatat terdapat 533 penindakan
kasus korupsi yang dilakukan Aparat Penegak Hukum (APH). Dari seluruh
kasus tersebut, total potensi kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp29,4
triliun. Jumlah kasus korupsi yang berhasil ditindak Aparat Penegak Hukum (APH)
pada tahun 2021 lebih banyak dari tahun sebelumnya, dan cenderung
fluktuatif dalam 5 (lima) tahun terakhir. Dan, tren nilai potensi kerugian
negara cenderung terus meningkat selama periode 2017-2021, seperti terlihat
pada grafik di bawah:
Menurut ICW, hal ini mengindikasikan bahwa pengelolaan
anggaran yang dilakukan oleh Pemerintah tiap tahun semakin buruk dari segi
pengawasan. ICW pun memberikan penilaian terhadap penindakan kasus tindak
pidana korupsi yang dilakukan Aparat Penegak Hukum (APH),
yakni Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).
Dalam konteks keterbukaan informasi penanganan kasus,
ICW menilai Kepolisian dan Kejaksaan cenderung tertutup, sedangkan KPK sangat
informatif. Adapun kinerja tiap Aparat Penegak Hukum (APH) pada tahun 2021
hanya mencapai 24% dari target sehingga ICW memberikan nilai “D” atau “buruk”.
Penjelasan Klasifikasi Tindak Pidana Korupsi
Menurut perspektif hukum, seperti yang kami jelaskan
di awal, Undang-Undang tidak memberikan definisi korupsi secara gamblang, akan
tetapi beberapa klasifikasi bentuk dari tindak pidana korupsi itu dijelaskan
dalam beberapa pasal sebagaimana Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan
ke dalam 30 (tiga puluh) bentuk atau jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal
tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan
pidana penjara karena korupsi.
Ke-30 (tiga puluh) bentuk/jenis tindak pidana korupsi
tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.
Kerugian
Keuangan Negara:
-
Pasal 2 ayat (1)
dan ayat (2);
-
Pasal 3.
2.
Suap-Menyuap:
-
Pasal 5 ayat (1)
huruf a;
-
Pasal 5 ayat (1)
huruf b
-
Pasal 13;
-
Pasal 5 ayat (2);
-
Pasal 12 huruf a;
-
Pasal 12 huruf b;
-
Pasal 11;
-
Pasal 6 ayat (1)
huruf a;
-
Pasal 6 ayat (1)
huruf b;
-
Pasal 6 ayat (2);
-
Pasal 12 huruf c;
-
Pasal 12 huruf d.
3.
Penggelapan
Dalam Jabatan:
-
Pasal 8;
-
Pasal 9;
-
Pasal 10 huruf a;
-
Pasal 10 huruf b;
-
Pasal 10 huruf c.
4.
Pemerasan:
-
Pasal 12 huruf e;
-
Pasal 12 huruf g;
-
Pasal 12 huruf h
5.
Perbuatan
Curang:
-
Pasal 7 ayat (1)
huruf a;
-
Pasal 7 ayat (1)
huruf b;
-
Pasal 7 ayat (1)
huruf c;
-
Pasal 7 ayat (1)
huruf d;
-
Pasal 7 ayat (2);
-
Pasal 12 huruf h.
6.
Benturan
Kepentingan Dalam Pengadaan:
-
Pasal 12 huruf i.
7.
Gratifikasi:
-
Pasal 12 B jo.
Pasal 12 C.
Selain tindak pidana korupsi yang sudah dijelaskan di
atas, masih ada beberapa tindak pidana lain yang berkaitan dengan
tindak pidana korupsi. Jenis tindak pidana lain itu tertuang pada Pasal
21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal
24 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Adapun jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan
tindak pidana korupsi terdiri atas:
1.
Merintangi
Proses Pemeriksaan Perkara Korupsi:
-
Pasal 21.
2.
Tidak
Memberi Keterangan atau Memberi Keterangan yang Tidak Benar:
-
Pasal 22 jo.
Pasal 28.
3.
Bank yang
Tidak Memberikan Keterangan Rekening Tersangka:
-
Pasal 22 jo.
Pasal 29.
4.
Saksi atau
Ahli yang Tidak Memberi Keterangan atau Memberi Keterangan Palsu:
-
Pasal 22 jo. Pasal
35.
5.
Orang yang
Memegang Rahasia Jabatan Tidak Memberikan Keterangan atau Memberi Keterangan
Palsu:
-
Pasal 22 jo.
Pasal 36;
6.
Saksi yang
Membuka Identitas Pelapor:
-
Pasal 24 jo.
Pasal 31.
Pembahasan Mengenai Tindak Pidana Korupsi Mengenai Kerugian Keuangan Negara
Untuk Tindak Pidana Korupsi Terkait dengan Kerugian
Keuangan Negara sendiri berikut penjelasan singkat kami sebagaimana
ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kami akan membahas terlebih dahulu ketentuan Pasal
2 ayat (1), yang menyatakan bahwa:
“Setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam
Pasal di atas mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam
arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perudang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena
tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata
“dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan
bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana
korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan
bukan dengan timbulnya akibat.
Akan tetapi, sejak Rabu, 25 Januari 2017, ketentuan
frasa”dapat” sebagaimana tersebut di atas dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
25/PUU-XIV/2016. Artinya ketentuan Pasal 2 ayat (1) di atas pun menjadi
berbunyi:
“Setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Kemudian, ketentuan Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyatakan bahwa:
“Dalam
hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam
keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam
ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi
pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan
terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya,
bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas,
penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana
korupsi.[5]
Kemudian Penjabaran Kerugian Keuangan Negara,
berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyatakan bahwa:
“Setiap
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Dan sebagaimana Penjelasan Pasal 3
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, menyatakan bahwa:
“Kata
“dapat” dalam ketentuan ini diartikan sama dengan Penjelasan
Pasal
2.”
Sama seperti ketentuan Pasal 2 bahwa sejak Rabu, 25
Januari 2017, ketentuan frasa “dapat” dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 25/PUU-XIV/2016.
Yang kemudian membuat ketentuan Pasal 3 di atas
berbunyi:
“Setiap
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda
paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Kemudian, pada tanggal 8 Juli 2020, Mahkamah Agung
Republik Indonesia menetapkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang bertujuan antara lain:
a.
Memudahkan Hakim
dalam mengadili perkara tindak pidana Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
b.
Mencegah
perbedaan rentang penjatuhan pidana terhadap perkara tindak pidana Pasal 2 dan
Pasal 3 UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memiliki
karakteristik yang serupa tanpa disertai pertimbangan yang cukup dengan tidak
mengurangi kewenangan dan kemandirian Hakim;
c.
Mewajibkan Hakim
untuk mempertimbangkan alasan dalam menentukan berat ringannya pidana terhadap
perkara tindak pidana Pasal 2 dan Pasal 3 UndangUndang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi; dan
d.
Mewujudkan
kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan yang Proporsional dalam menjatuhkan
pidana terhadap perkara tindak pidana Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[6]
Dalam Peraturan Mahkamah Agung tersebut , juga, dalam
menentukan berat ringannya pidana, Mahkamah Agung menekankan Hakim yang
memeriksa perkar Tindak Pidana Korupsi terkait harus mempertimbangkan secara
berurutan tahapan sebagai berikut:
a.
Kategori kerugian
keuangan negara perekonomian negara;
b.
Tingkat
kesalahan, dampak, dan keuntungan;
c.
Rentang
penjatuhan pidana;
d.
Keadaan-keadaan
yang memberatkan dan meringankan;
e.
Penjatuhan
pidana; dan
f.
Ketentuan lain
yang berkaitan dengan penjatuhan pidana.[7]
Oleh karenya, dalam hal mengadili perkara Tindak
Pidana sebagaimana Pasal 2 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, kerugian keuangan negara atau perekonomian negara terbagi ke dalam 4
(empat) kategori antara lain:
a.
Kategori paling
berat, lebih dari Rp l00.000.000.000,- (seratus miliar rupiah);
b.
Kategori berat,
lebih dari Rp 25.000.000.000,- (dua puluh lima miliar rupiah) sampai
dengan Rp l00.000.000.000,- (seratus miliar rupiah);
c.
Kategori sedang,
lebih dari Rp l.000.000.000,- (satu miliar rupiah) sampai dengan
Rp25.000.000.000,- (dua puluh lima miliar rupiah); dan
d.
Kategori ringan,
lebih dari Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) sampai Rp
l.000.000.000,- (satu miliar rupiah).[8]
Sedangkan, dalam hal mengadili perkara tindak
pidana Pasal 3 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, kerugian keuangan negara atau perekonomian negara terbagi ke
dalam 5 (lima) kategori antara lain:
a.
Kategori paling
berat, lebih dari Rp l00.000.000.000,- (seratus miliar rupiah);
b.
Kategori berat,
lebih dari Rp 25.000.000.000,- (dua puluh lima miliar rupiah) sampai
dengan Rp l00.000.000.000,- (seratus miliar rupiah);
c.
Kategori sedang,
lebih dari Rp l.000.000.000,-(satu miliar rupiah) sampai dengan Rp
25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah);
d.
Kategori ringan,
lebih dari Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) sampai dengan Rp
l.000.000.000,- (satu miliar rupiah); dan
e.
Kategori paling
ringan, sampai dengan Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).[9]
Beberapa Kaidah Hukum Terkait Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Berikut beberapa Kaidah-Kaidah Hukum yang kami rangkum
secara singkat dapat Anda jadikan rujukan terkait Perkara Tindak Pidana Korupsi
yang sudah kami susun secara runut dan jelas:
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013
Kaidah
Hukum:
Pidana
maksimum layak dijatuhkan terhadap Terdakwa yang secara aktif memprakarsai
pertemuan dan meminta imbalan (fee) memenuhi unsur-unsur tindak pidana
korupsi.
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 964 K/Pid.Sus/2016:
Kaidah Hukum:
Kewenangan jabatan yang dimiliki Terdakwa berada dalam
lingkup jabatan privat/swasta yang tidak tunduk pada ketentuan jabatan
kewenangan sebagaimana dimaksud Pasal 3 juncto Pasal 1 ayat
(2) Undang-Undang Tipikor dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah.
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1396 K/Pid.Sus/2016:
Kaidah Hukum:
Kepala Kantor Cabang Pembantu Bank BUMN tetap
bertanggungjawab jika ada kerugian negara akibat terjadinya kredit macet,
walaupun yang menandatangani perjanjian kredit adalah Direktur Bisnis Bank.
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1985 K/Pid.Sus/2016:
Kaidah Hukum:
Unsur setiap orang yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1)
UU Tipikor berlaku umum kepada siapa saja sebagaimana dimaksud dalam penjelasan
tersebut, diperuntukkan baik bagi swasta, maupun pegawai negeri atau
penyelenggara negara, pejabat yang mempunyai wewenang.
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1987 K/Pid.Sus/2016 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 361 K/Pid.Sus/2017:
Kaidah Hukum:
Unsur setiap orang diperuntukkan baik bagi swasta,
maupun pegawai negeri atau penyelenggara negara, pejabat yang mempunyai
wewenang, yang mampu bertanggungjawab dalam segala tindakannya, terhadap
perbuatan yang dilakukan tanpa harus membedakan kedudukan atau jabatan,
sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi tersebut.
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1988 K/Pid.Sus/2016 jo. Putusan Mahkamah
Agung Nomor 1989 K/Pid.Sus/2016:
Kaidah Hukum:
Unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan merupakan perbuatan
melawan hukum yang bersifat khusus yang merupakan bagian melawan hukum yang
bersifat umum, tidak terletak pada subyek/pelaku dan unsur menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan, tetapi terletak pada unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau korporasi, atau unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dan
unsur besar kecilnya kerugian negara yang ditimbulkan oleh tindak pidana
korupsi tersebut.
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 2029 K/Pid.Sus/2016:
Kaidah Hukum:
Perhitungan nilai kerugian keuangan Negara yang akan
dibebankan sebagai uang pengganti dalam perkara ini adalah sebesar nilai
keuntungan yang secara nyata diterima atau dinikmati oleh Terdakwa sendiri.
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 2120 K/Pid.Sus/2016:
Kaidah Hukum:
Terdakwa adalah termasuk sebagai Pegawai Negeri karena
Para Terdakwa sebagai orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat, sehingga Judex
Facti tidak salah dalam menerapkan hukum.
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 2256 K/Pid.Sus/2016:
Kaidah Hukum:
Meskipun berat ringannya pidana yang dijatuhkan
terhadap Terdakwa adalah wewenang Judex Facti, akan tetapi secara
kasuistis prinsip umum tersebut dapat diterobos seperti dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor 47 K/Kr/1979 tanggal 07 Juni 1982, manakala pidana yang dijatuhkan
terhadap Terdakwa tidak memadai / tidak setimpal dengan perbuatannya, baik dilihat
dari segi edukatif, korektif, preventif, maupun represif, dan tidak memberikan
efek jera (deterrent effect).
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 2305 K/Pid.Sus/2016:
Kaidah Hukum:
Penerapan terhadap Pasal 2 ayat (1) maupun Pasal 3
tidaklah didasarkan pada kedudukan Terdakwa/pelaku melainkan diukur dari
kerugian Negara yang terjadi beralasan kerugian Negara pada suatu ketentuan dan
signifikan memperkaya diri sendiri maka diterapkan Pasal 2 ayat (1) sedangkan
bilamana kerugian Negara kurang dari Rp100.000.000,- (seratus juta) maka
dikenakan Pasal 3 ayat (1).
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 2391 K/Pid.Sus/2016:
Kaidah Hukum:
Lembaga lain selain BPK misalnya BPKP, untuk dan atas
nama BPK dapat melakukan audit investigasi untuk menentukkan besaran kerugian
keuangan Negara dan hasilnya dapat diterima atau digunakan.
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 2423 K/Pid.Sus/2016:
Kaidah Hukum:
Perbedaan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor pada
konsep bestandeel delict (inti delik) mengandung cacat yuridis
sejak lahir karena orang yang menjadi subyek hukum Pasal 3 yang mempunyai
wewenang, kedudukan, atau jabatan yang notabene digaji oleh negara yang
melakukan korupsi yang merugikan keuangan justru dipidana lebih ringan dari
orang lain yang melakukan korupsi, misalnya orang/wiraswasta yang dalam
melakukan aktivitas bisnis untuk mencari untung yang terlibat korupsi dalam
pengadaan barang dan jasa justeru mendapat pidana yang lebih berat daripada
pegawai negeri, pejabat negara, pejabat BUMN dan BUMD, yang mepunyai
kewenangan, kedudukan atau jabatan. Karena kebijakan legislatif yang menetapkan
perbedaan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor berdasarkan perbedaan inti
delik mengandung cacat yuridis sejak lahirnya, maka Kamar Pidana Mahkamah Agung
sejak tahun 2012 menetapkan perbedaan esensial antara Pasal 2 Ayat (1) dan
Pasal 3 UU Tipikor tidak terletak pada inti delik, tetapi pada unsur memperkaya
diri sendiri, orang lain, atau korporasi dan unsur menguntungkan diri sendiri,
orang lain atau korporasi.
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 2689 K/Pid.Sus/2016:
Kaidah Hukum:
Kebijakan Kamar Pidana Mahamah Agung tidak lagi
membedakan penerapan pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dari sudut subyek
hukum yang mempunyai jabatan, kedudukan, dan kewenangan dengan subyek hukum
yang tidak mempunyai jabatan, kedudukan, dan kewenangan, dan dari sudut sifat
melawan hukum yang bersifat umum (luas) dengan sifat melawan hukum yang
bersifat khusus yang terkait dengan yang ada karena jabatan atau kedudukan
karena terdapat cacat yuridis dalam pengaturan kedua pasal tersebut, yaitu
ketentuan Pasal 3 dengan subyek hukum pelaku yang mempunyai kewenangan, jabatan
atau kedudukan yang digaji dan mendapat fasilitas dari negara ketika melakukan
tindak pidana korupsi, pidana yang dapat dijatuhkan kepada mereka justeru lebih
ringan dibanding dengan subyek hukum pelaku lain yang tidak mempunyai kewengan,
jabatan, dan kedudukan; menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana.
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 2726 K/Pid.Sus/2016:
Kaidah Hukum:
Konsep setiap orang berarti meliputi siapa saja,
Pegawai Negeri atau bukan Pegawai Negeri, swasta atau bukan swasta, petani,
buruh dan sebagainya, yang mempunyai wewenang.
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 2787 K/Pid.Sus/2016 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 2788
K/Pid.Sus/2016:
Kaidah Hukum:
Unsur melawan hukum merupakan anasir konstitutif
setiap delik tanpa membedakan kualitasnya dan tergantung pada nilai kerugian
negara yang terjadi serta penilaian hakim terhadap perbuatan yang dilakukan
Terdakwa. Unsur menyalahgunakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
juga termasuk unsur melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
UU Tipikor.
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 2790 K/Pid.Sus/2016:
Kaidah Hukum:
Unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi terpenuhi bilamana kerugian Negara lebih dari batas
Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah).
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 285 K/Pid.Sus/2017:
Kaidah Hukum:
Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dapat
diterapkan kepada setiap orang, baik pegawai negeri atau penyelenggara
negara/pejabat publik maupun swasta.
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 390 K/Pid.Sus/2017 jo. Putusan
1093 K/Pid.Sus/2016:
Kaidah Hukum:
Unsur menyalahgunakan kewenangan adalah juga bagian
dari perbuatan melawan hukum yang sifatnya spesies dari perbuatan melawan
hukum.
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1016 K/Pid.Sus/2017:
Kaidah Hukum:
Penerapan asas lex specialis derogat leg
generali untuk redaksi Pasal 2 dan Pasal 3 menjadi tidak tepat dan
tidak proporsional.
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 463 K/Pid.Sus/2017:
Kaidah Hukum:
Sifat melawan hukum secara umum dalam Pasal 2 UU
Tipikor dan sifat melawan hukum secara khusus yang dirumuskan dalam Pasal 3 UU
Tipikor berupa penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya
tidak didasarkan pada konsep perbuatan aktif dan perbuatan pasif. Perbedaan
sifat melawan hukum dalam pasal 2 dan pasal 3 tersebut menurut politik hukum
pembentuk UU Tipikor terletak pada subyek hukumnya, yaitu melawan hukum dalam
bentuk penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan adalah untuk subyek hukum pegawai negeri dan pejabat
negara, sedang melawan hukum secara umum yang dirumuskan dalam Pasal 2 adalah
untuk selain pegawai negeri dan pejabat negara. Namun karena konsep tersebut
mengandung cacat yuridis karena kedudukan sebagai pegawai negeri dan pejabat
negara yang seharusnya menjadi alasan pemberatan pidana justeru sebagai alasan
memperingan pidana sehingga yurisprudensi Mahkamah Agung membedakan Pasal 2 dan
Pasal 3 dari segi memperkaya diri atau menguntungkan dan/atau besar kecilnya
kerugian negara.
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 516 K/Pid.Sus/2017:
Kaidah Hukum:
Penerimaan yang dikelola/dikumpulkan Baitul Mal
berasal dari sumbangan masyarakat, pemotongan gaji PNS serta berasal dari para
Pengusaha/Kontraktor. Oleh karena itu, dana yang dikelola oleh Baitul Mal
termasuk Keuangan Negara.
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 539 K/Pid.Sus/2017:
Kaidah Hukum:
Unsur memperkaya diri atau orang lain atau suatu
korporasi tidaklah harus dinikmati secara fisik, tetapi cukup dengan berada
atau diperoleh dalam kekuasaan dan tanggung jawab Terdakwa, maka unsur ini
telah cukup terpenuhi atau terbukti.
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1016 K/Pid.Sus/2017:
Kaidah Hukum:
Penerapan asas lex specialis derogat leg
generali untuk redaksi Pasal 2 dan Pasal 3 menjadi tidak tepat dan
tidak proporsional.
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1492 K/Pid.Sus/2017:
Kaidah Hukum:
Pemahaman kata setiap orang sebagaimana dimaksud Pasal
2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan
ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi tidak dapat diartikan siapa saja baik swasta maupun pemangku
jabatan publik/pemerintahan. Kata setiap orang menurut sejarah pembentukan
undang-undang mengandung arti subjek pelaku tindak pidana korupsi terdiri dan
korporasi dan orang perorang.
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 2604 K/Pid.Sus/2017:
Kaidah Hukum:
Unsur “setiap orang” bukanlah merupakan unsur delik
pokok melainkan unsur yang harus dibuktikan sebagai orang atau subjek hukum
pelaku tindak pidana yang tidak ada hubungannya dengan jabatan atau kedudukan
seseorang dalam melakukan perbuatan melawan hukum, lagi pula unsur setiap orang
justru bersifat umum dan berlaku kepada siapa saja termasuk diri Terdakwa yang
tidak ada kaitannya dengan jabatan atau kedudukan sepanjang ia mampu
bertanggungjawab secara hukum.
-
Putusan Mahkamah
Agung Nomor 2 K/Pid.Sus/2018:
Kaidah Hukum:
Setiap orang adalah siapa saja asal manusia yang
memenuhi unsur lain dari Pasal 2 ayat (1). Kalau unsur lainnya tidak terpenuhi
barulah Setiap orang ditujukan pada yang memenuhi unsur-unsur Pasal 3. Jadi,
unsur Setiap orang juga memenuhi unsur Setiap orang dalam Pasal 2 ayat (1).
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 27 K/Pid.Sus/2018 jo. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 29 K/Pid.Sus/2018:
Kaidah Hukum:
Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dapat diterapkan kepada setiap orang baik
dalam kedudukan sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara/pejabat publik
maupun swasta.
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 57 K/Pid.Sus/2018:
Kaidah Hukum:
Unsur memperkaya diri sendiri terbukti dari perbuatan
Terdakwa yang telah mengubah/item pekerjaan tetapi tidak menyesuaikan
anggarannya.
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 652 K/Pid.Sus/2018:
Kaidah Hukum:
Perbuatan menyalahgunakan kewenangan sebagai species
dari perbuatan melawan hukum yang sifatnya genus (umum) tidak ada hubungannya
dengan jabatan atau kedudukan seseorang dalam melakukan perbuatan melawan
hukum, lagi pula perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh setiap orang
sebagai subyek hukum pribadi bersifat umum serta berlaku kepada siapa, yang
tidak ada kaitannya dengan jabatan atau kedudukan, sepanjang ia mampu
bertanggung jawab secara hukum.
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1481 K/Pid.Sus/2018:
Kaidah Hukum:
Perbedaan esensial antara Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan
Yurisprudensi MA RI dan Kesepakatan Kamar Pidana MA RI teletak pada besar
kecilnya kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi.
Apabila kerugian keuangan negara relatif besar, maka diterapkan ketentuan Pasal
2 ayat (1) dan Pasal 3. Sedangkan, apabila kerugian negara relatif kecil, maka
akan diterapkan ketentuan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 384 K/Pid.Sus/2018;
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 803 K/Pid.Sus/2018;
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1085 K/Pid.Sus/2018;
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1147 K/Pid.Sus/2018;
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1213 K/Pid.Sus/2018:
Kaidah Hukum:
Perbedaan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang
Tipikor tidak terletak pada unsur subyek pelaku tindak pidana dan unsur melawan
hukum, tetapi pada unsur menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi
dan unsur memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi, dan unsur besar
kecilnya kerugian negara yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi; Jika
kerugian negara itu relatif besar, maka masuk kualifikasi pelanggaran Pasal 2
Ayat (1) UU Tipikor, namun jika kerugian negara yang ditimbulkan tindak pidana
korupsi relatif kecil, maka masuk kualifikasi Pasal 3 UU Tipikor.
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 169 PK/Pid.Sus/2019:
Kaidah Hukum:
Penghitungan kerugian keuangan negara harus membedakan
diskon penjualan dan diskon pembelian. Diskon penjualan adalah diskon yang
telah ditetapkan sebelumnya baik dan telah diketahui secara luas baik ada
maupun tidak ada transaksi, diskon ini tidak bisa disembunyikan dan dialihkan
menjadi keuntungan pihak-pihak tertentu. Diskon pembelian adalah diskon yang
baru diketahui saat terjadinya transaksi sehingga tidak bisa diprediksi,
karenanya diskon pembelian tidak dapat dijadikan dasar sebagai penyusunan Harga
Perkiraan Sendiri (HPS).
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 173 PK/Pid.Sus/2019:
Kaidah Hukum:
Pengembalian seluruh kerugian keuangan negara sebelum
perkara dilimpahkan ke pengadilan tidak menghapuskan perbuatan maupun kesalahan
namun dapat dijadikan alasan pengurangan pidana.
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 295 K/Pid.Sus/2019:
Kaidah Hukum:
Unsur “setiap orang” bukan merupakan unsur delik,
melainkan unsur yang harus dibuktikan sebagai orang atau subjek hukum pelaku
tindak pidana yang tidak ada hubungannya dengan jabatan atau kedudukan
seseorang dalam melakukan perbuatan melawan hukum. Unsur ini bersifat umum dan
berlaku kepada siapa saja termasuk kepada yang tidak ada hubungannya dengan
jabatan atau kedudukan selama ia mampu bertanggung jawab secara hukum.
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 321 K/Pid.Sus/2019:
Kaidah Hukum:
Terdapat cacat yuridis dalam konstruksi Pasal 3 UU
Tipikor, di mana subjek hukum yang memiliki kewenangan, gaji, dan fasilitas
seharusnya mendapat pemberatan pidana, namun Pasal 3 justru mengatur ancaman
pidana yang lebih ringan daripada Pasal 2. Menerapkan asas lex
specialis derogate legi generali antara Pasal 2 ayat (1) dengan Pasal
3 juga tidak tepat karena sifat melawan hukum pada Pasal 3 merupakan bagian
dari sifat melawan hukum dari Pasal 2 ayat (1), namun keduanya tidak mengatur
hal yang persis sama. Karenanya, esensi dari Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 tidak
lagi dibedakan. Kesepakatan Kamar Pidana MA juga menyepakati batas nilai
kerugian negara sebagai salah satu faktor penerapan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal
3.
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1054 K/Pid.Sus/2019:
Kaidah Hukum:
Esensi dari Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor
tidak lagi dibedakan, di mana tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat
(1) diberlakukan untuk subjek hukum yang tidak memiliki kewenangan, jabatan,
atau kedudukan, sedangkan Pasal 3 diberlakukan terhadap subjek hukum yang
memiliki kewenangan, jabatan, atau kedudukan. Dasar pemikiran yurisprudensi
tersebut dinilai oleh Kamar Pidana memiliki kecacatan yuridis dalam kebijakan
legislatif mengenai ketentuan di Pasal 3 yang seharusnya subjek hukum dengan
kewenangan, jabatan atau kedudukan yang mendapat gaji dan fasilitas negara
seharusnya mendapat pemberatan pidana, namun ketentuan dalam undang-undang
justru mengancam sanksi pidana yang lebih ringan pada Pasal 3 dibandingkan
dengan Pasal 2 ayat (1). Penerapan asas lex specialis derogate legi
generali dalam menilai relasi antara Pasal 2 ayat (1) dengan Pasal 3
juga tidak dapat dibenarkan karena ketentuan keduanya sama persis dan hanya
sifat melawan hukum pada Pasal 3 merupakan bagian dari sifat melawan hukum
Pasal 2 ayat (1).
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1769 K/Pid.Sus/2019:
Kaidah Hukum:
Unsur “memperkaya diri sendiri atau orang lain” tidak
diartikan hanya membuat diri sendiri orang lain benar-benar menjadi kaya, namun
cukup dimaknai dengan adanya pertambahan kekayaan.
-
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 2182 K/Pid.Sus/2019:
Kaidah Hukum:
Atasan yang lalai dari kewajibannya harus turut
bertanggung jawab secara hukum apabila bawahan yang ditugaskan secara sengaja
melakukan perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.
[1] Evi Hartanti, “Tindak Pidana Korupsi”,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 9.
[2] Hernold Ferry Makawimbang, “Kerugian
Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi, Suatu Pendekatan Hukum Progresif”,
(Yogyakarta: Thafa Media, 2014), 1.
[3] Schwars Marhani Tompodung, “Aspek
Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menurut Instrumen Hukum
Internasional”, (Lex Crimen, Vol. VIII, No. 3, 2019), 41.
[4] Wana Alasyah, “Laporan Tren
Penindakan Kasus Korupsi Semester I 2020”, (Jakarta: Indonesia Corruption
Watch, 2020), 10.
[5] Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
[6] vide Pasal
3 Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
[7] vide Pasal
5 ayat (1) Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal
3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
[8] vide Pasal
6 ayat (1) Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal
3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
[9] vide Pasal
6 ayat (2) Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal
3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.