layananhukum

Apa itu Delik, Tindak Pidana, Perbuatan Pidana, dan Unsur-Unsurnya

Ilustrasi Pemeriksaan Sidang Pidana

Pengantar

Kata “delik” berasal dari Bahasa Latin yakni delictum. Dalam Bahasa Jerman disebut delict, dalam Bahasa Prancis disebut delit, dan dalam Bahasa Belanda disebut delict. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring[1] arti delik disebut sebagai berikut:

“perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana.”

Menurut Prof Mr Hendri van der Hoeven[2] seorang advocaat-generaal atau Jaksa Agung pada Pengadilan Banding di Den Haag dengan mengutip Leden Marpaung[3] bahwa menurut van der Hoeven rumusan sebagaimana tersebut di atas mengenai delik itu tidak tepat karena yang dapat dihukum itu bukan perbuatannya akan tetapi manusianya.

Sedangkan Prof Moeljatno, menggunakan istilah “Perbuatan Pidana” untuk kata “delik”, menurutnya kata “Tindak” lebih sempit cakupannya daripada “perbuatan”. Kata “tindak” tidak menunjukkan pada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkret.[4] Sedangkan E. Utrecht, memakai istilah “peristiwa pidana” karena yang ditinjau adalah peristiwa (feit)nya dari sudut pandang hukum pidana.[5]

Keberatan Prof Mr Hendri van der Hoeven dinilai oleh beberapa pakar sesungguhnya kurang beralasan mengingat bahwa jika diperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan:

“Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu”[6]

Dalam hal ini, tepat sebagaimana yang dikemukan oleh van Hattum bahwa suatu perbuatan dan orang yang melakukannya sama sekali tidak dapat dipisahkan. Kemudian para pakar Pidana pun sepakat menggunakan istilah “strafbaar feit” untuk kata “delik” itu sendiri.

Sebagaimana menurut Wirjono Prodjodikoro[7] mengartikan “strafbaar feit” sebagai “Tindak pidana”. Tindak pidana di sini adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana dan pelakunya itu dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana.

Artinya, tidak ada perbedaan sejatinya antara istilah “delik”, “Perbuatan Pidana”, “Tindak Pidana”, itu sendiri. Lantas untuk membentuk suatu serangkaian dari suatu “delik”, “perbuatan pidana”, atau “tindak pidana” itu sendiri memiliki yang disebut unsur-unsur delik, atau “unsur-unsur tindak pidana”, unsur-unsur itu pun terdiri dari 2 (dua) bentuk yaitu:

1.        Unsur Subjetif Delik;

2.       Unsur Objektif Delik.

Unsur Subjektif Delik adalah unsur yang berasal dari dalam diri seseorang (manusia) atau bisa disebut sebagai faktor internal (internal factor) yang mana kemudian berlakulah juga asas dalam hukum pidana yang dikenal dengan geen straf zonder schuld atau “tiada hukuman tanpa kesalahan”, atau juga disebut an act does not make a person guilty unless the mind is guilty or actus non facit reum nisi mens sit rea) yang diterjemahkan menjadi “Suatu perbuatan tidak membuat orang bersalah, terkecuali jika terdapat sikap batin yang jahat”. Ini berarti bahwa kejahatan terdiri dari 2 (dua) unsur yaitu: dilakukannya suatu perbuatan yang salah atau kesalahan, yang dikenal sebagai actus reus, dan kehadiran pikiran bersalah, yang dikenal sebagai mens rea.

Kesalahan yang dimaksud dengan adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan kealpaan atau kelalaian (negligence/culpaacknowledgment of error).

Menurut Prof Satochid Kartanegara[8] adalah sulit untuk menerjemahkan perkataan “schuld” ke dalam Bahasa Indonesia, karena tidak ada kata yang tepat untuk mendeskripsikan kata “schuld” ke dalam Bahasa Indonesia. Yang paling mendekati arti kata “schuld” ke dalam Bahasa Indonesia adalah “kesalahan”, akan tetapi ini pun kurang tepat sebab “kesalahan” itu sendiri dapat diartikan “fout” yang artinya “salah” yang membuka interpretasi yang lain lagi.[9]

Selain itu berikut unsur subjektif delik yang berupa dari dalam diri seseorang (manusia) atau bisa disebut sebagai faktor internal (internal factor) tadi yang terbagi menjadi kesengajaan dan kelalaian, untuk bentuk dari kesengajaan (intention/opzet/dolus), itu sendiri antara lain:

1.        Kesengajaan Sebagai Maksud atau tujuan (oogmerk or Dolus Directus);

2.       Kesengajaan dengan Kesadaran atau tujuan pasti atau merupakan suatu keharusan (opzet als zekerheidsbewustzijn);

3.      Kesengajaan dengan Kesadaran akan Kemungkinan (Dolus Evantualis) atau juga dikenal dengan Kesengajaan dengan Syarat (voorwaardelijke opzet).[10]

Sedangkan untuk kealpaan/lalai/culpa terdiri dari 2 (dua) bentuk antara lain:

1.        Culpa Levis atau voorzienbaarheid (ordinary fault/neglect) atau tidak berhati-hati;

2.       Culpa Lata atau onvoorzichtigheid (gross fault/neglect) atau dapat menduga akibat perbuatan itu.

Sedangkan Unsur Objektif Delik adalah unsur dari luar diri pelaku (external factor) yang terdiri atas:

1.        Perbuatan Manusia berupa:

a.       Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif;

b.       Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negative, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan.[11]

2.       Akibat (result) perbuatan manusia

Akibat perbuatan tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya.

3.      Keadaan-Keadaan (circumstances)

Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain:

-        Keadaan pada saat perbuatan itu dilakukan;

-        Keadaan setelah perbuatan itu dilakukan.

4.       Sifat dapat dihukum atau sifat melawan hukum

Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman (pertanggung jawaban pidana/ toerekenbaarheid). Adapun sifat melawan hukum (wederrechtelijk) adalah apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum atau peraturan perundang-undangan, yakni berkenaan dengan larangan dari perintah undang-undang.[12]

Unsur Sengaja

Kesengajaan Sebagai Maksud atau Tujuan (oogmerk or Dolus Directus)

Yang dimaksud dengan Kesengajaan Sebagai Maksud atau Tujuan (oogmerk or Dolus Directus) dibagi menjadi 2 (dua) antara lain:

1.        Kesengajaan Sebagai Maksud atau Tujuan (oogmerk or Dolus Directus) yang bersifat formil; dan

2.       Kesengajaan Sebagai Maksud atau Tujuan (oogmerk or Dolus Directus) yang bersifat materiil.[13]

Yang dimaksud dengan Kesengajaan Sebagai Maksud atau Tujuan (oogmerk or Dolus Directus) yang bersifat formil adalah apabila seseorang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja dilakukan yang memang maksud dan tujuan perbuatan itu memang menjadi inti yang dilakukan oleh si pelaku. Dalam hal ini maka perbuatan itu adalah yang dikehendaki atau dituju (gewild en beoogd).[14] Sedangkan, yang dimaksud dengan Kesengajaan Sebagai Maksud atau Tujuan (oogmerk or Dolus Directus) yang bersifat materiil, apabila seseorang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja menimbulkan sesuatu akibat, sedangkan akibat tersebut memang merupakan tujuan dan maksud dari si pelaku. Juga dalam hal ini, akibat itu adalah “gewild” (dikehendaki) dan “toogd” (dituju).[15]

Contohnya: 

A melepaskan tembakan dengan sengaja terhadap B, dengan tujuan menimbulkan matinya si B. Perbuatan A itu (secara formil) adalah mempunyai makna kesengajaan dan tujuan atau maksud. Akibat (secara materiil) dari perbuatan tadilah kemudian tujuan atau maksud tadi merupakan keharusan yang pasti dari perbuatan tersebut.

Kesengajaan dengan Kesadaran atau tujuan pasti atau merupakan suatu keharusan (opzet als zekerheidsbewustzijn)

Perbuatan sebagaimana Kesengajaan Sebagai Maksud atau Tujuan (oogmerk or Dolus Directus) tadi kemudian menimbulkan 2 (dua) akibat antara lain:

1.        Akibat yang tertentu;

2.       Akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang yang timbul pula, berhubungan dengan dilakukannya perbuatan (tersebut) untuk mencapai akibat tertentu tadi.

Dalam hal (tadi) kehendak manusia yang dilakukan terhadap suatu akibat tertentu, itu masih masuk dalam klasifikasi Kesengajaan Sebagai Maksud atau Tujuan (oogmerk or Dolus Directus), akan tetapi jika ia sadar atau “dengan kesadaran atau insyaf”, bahwa dengan ia melakuan perbuatan tadi guna mencapai akibat tertentu itu akan menimbulkan akibat lain yang dilarang dan berhubungan dengan dilakukannya perbuatan tersebut yang bukan merupakan tujuan dari perbuatannya.

Terhadap akibat, yang bukan tujuan dari perbuatan itu, akan tetapi akan pasti menimbulkan akibat yang ia sadari dengan baik bahwa orang itu mempunyai Kesengajaan dengan Kesadaran atau tujuan pasti atau merupakan suatu keharusan (opzet als zekerheidsbewustzijn).

Contohnya: 

A mempunyai kehendak membunuh B. Guna mencapai tujuannya A membawa sepucuk senjata api, dengan maksud untuk melepaskan tembakan ke arah B. Kehendak A untuk membunuh B dengan membawa senjata api itu merupakan “Kesengajaan Sebagai Maksud atau Tujuan (oogmerk or Dolus Directus)”. Selanjutnya, setelah sampai di rumah B, A melihat C berdiri di depan B, disebabkan perasaan atau kondisi emosional yang tidak terbendungkan A pun melepaskan tembakan senjata apinya mengenai C, kemudian (karena jarak dekat) proyektil peluru yang mengenai C tadi tembus kemudian juga mengenai B, sehingga C dan B tewas seketika di tempat.

Dalam hal ini, maka kehendak A akan matinya B adalah “Kesengajaan Sebagai Maksud atau Tujuan (oogmerk or Dolus Directus)”, sedangkan untuk perbuatan terhadap C mengadung Kesengajaan dengan Kesadaran atau tujuan pasti atau merupakan suatu keharusan (opzet als zekerheidsbewustzijn).[16]

Kesengajaan dengan Kesadaran akan Kemungkinan (Dolus Evantualis) atau juga dikenal dengan Kesengajaan dengan Syarat (voorwaardelijke opzet)

Masih mengenai suatu perbuatan sebagaimana Kesengajaan Sebagai Maksud atau Tujuan (oogmerk or Dolus Directus) tadi kemudian menimbulkan 2 (dua) akibat antara:

1.        Akibat yang tertentu;

2.       Akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang yang timbul pula, berhubungan dengan dilakukannya perbuatan (tersebut) untuk mencapai akibat tertentu tadi.

Seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang mana maksud atau tujuannya untuk menimbulkan akibat tertentu, akan tetapi masih dapat ia sadari atau insyafi bahwa apabila ia lakukan perbuatan yang dilarang tersebut, maka perbuatan itu berhubungan dengan perbuatan tertentu (lainnya) yang dilakukannya untuk mencapai akibat tertentu yang diancam dengan hukuman oleh undang-undang, perbuatan tersebut pun masuk dalam klasifikasi Kesengajaan dengan Kesadaran atau tujuan pasti atau merupakan suatu keharusan (opzet als zekerheidsbewustzijn).

Sedangkan, Kesengajaan dengan Kesadaran akan Kemungkinan (Dolus Evantualis) atau juga dikenal dengan Kesengajaan dengan Syarat (voorwaardelijke opzet) ialah timbulnya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang berhubungan dengan dilakukannya perbuatan (tersebut) untuk mencapai akibat tertentu tadi, bukanlah tujuan atau maksudnya, walau pun demikian hal tersebut tidak menghalangi pelaku untuk melakukan perbuatan tersebut. 

Tidak heran biasanya unsur kesengajaan ini biasanya disebut unsur kesengajaan gradasi ke-3 (ketiga) karena ia tidak termasuk sebagaimana 2 (dua) kesengajaan yang dimaksudkan di atas, dengan sudah melewati keduanya.

Sederhananya, apabila dalam hal ia melakukan suatu delik, di samping terjadinya akibat yang menjadi tujuan, terhadap hal tersebut dan akan timbulnya kemungkinan akibat yang mana ia insyafi atau suatu keharusan yang terjadi, tidak menghalanginya untuk melakukan perbuatan tersebut, maka akibat terhadap akibat tertentu itu tadi seseorang tersebut dapat dikatakan memiliki “Kesadaran akan Kemungkinan (Dolus Evantualis) atau juga dikenal dengan Kesengajaan dengan Syarat (voorwaardelijke opzet)” sebagaimana dalam perkara Hoomse Taart Arrest berdasarkan Putusan Arrest Hoge Raad Tanggal 19 Juni 1911, W.9203.

Contohnya:

Si A hendak membunuh si B dengan cara diracun lewat minuman. Si A menyadari kemungkinan terjadinya akibat lain yang sebenarnya tidak dikehendaki olehnya, namun kesadaran tentang kemungkinan terjadinya akibat lain (yang tidak dikehendakinya) itu tidak membuat si A membatalkan niatnya dan ternyata akibat yang tidak dikehendakinya tersebut benar-benar terjadi yaitu si C yang mati setelah meneguk racun yang ada di dalam minuman si B, mengingat pada hari itu si B dan si C berada dalam satu ruangan yang sama dan si B memberikan minumannya pada si C tanpa si B tahu bahwa minuman dari si A tersebut memiliki racun memantikan. Dengan kata lain, si A pernah berpikir tentang kemungkinan terjadinya akibat yang dilarang undang-undang (yaitu matinya orang lain terlepas dari tujuannya yaitu ingin membuat A mati), namun ia mengabaikannya dan kemungkinan itu ternyata benar-benar terjadi.

Menurut Hukum Jerman, dalam Dolus Eventualis atau Voorwaardelijk Opzet / opzet bij mogelijkheidsbewustzjin ini haruslah ada billigend in kauf nehmen atau eventualvorsatz yaitu menerima penuh risiko terwujudnya suatu kemungkinan. Moeljatno menyebut itu dengan teori apa boleh buat.[17] Mengutip pendapat Mezger, Moeljatno menjelaskan bahwa dolus eventualis: seseorang yang perbuatannya sama sekali tidak menghendaki adanya akibat yang dilarang oleh hukum pidana. Kendati pun demikian, jika akibat yang tidak dikehendaki timbul, orang tersebut harus berani memikul risikonya.

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


[1] Hasil Pencarian - Kbbi daring. (n.d.). Retrieved July 24, 2022, from https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/delik

[2] M.J. Kronenberg & B. de Wilde, “Grondtrekken van het Nederlandse strafrecht” (Wolters Kluwer: Deventer, 2020), 339.

[3] Leden Marpaung, “Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), 7.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] R. Soesilo, “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)”, (Bogor: Politeia, 1995), 27.

[7] R. Tresna, “Azas-azas Hukum Pidana Disertai Pembahasan Beberapa Perbuatan Pidana Yang Penting”, (Jakarta: Tiara LTD, 1979), 27.

[8] Prof. Satochid Kartanegara, “Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian Satu”, (Balai Lektur Mahasiswa, Tanpa Tahun), 242.

[9] Ibid.

[10] Ibid, 257.

[11] Leden Marpaung, loc.cit., 9-10.

[12] Ibid.

[13] Ibid.

[14] Ibid.

[15] Ibid.

[16] Prof. Satochid Kartanegara, 259.

[17] Didik Endro Purwolekso, “Hukum Pidana”, (Surabaya: Airlangga Univesity Press, 2016), 71.

Formulir Isian