layananhukum

Terkena Pinjaman Online Illegal, Jangan Panik, Begini Aturannya

 


Pengantar

Meski sudah di era digital seperti saat ini, dimana semua informasi sudah dapat diakses secara public, masih maraknya dan banyak kasus-kasus mengenai pinjaman online illegal tetap terjadi. Bagaimana dari pandangan hukum mengenai Fintech Lending (Pinjol) ini?

Saat mendengar istilah Fintech tentu saja identik dengan Pinjaman Online (Pinjol) padahal belum tentu semua Fintech selalu identik dengan Pinjaman Online, kalau begitu apa yang dimaksud Fintech itu dan bedanya dengan Pinjol?

Mengutip FAQ Otoritas Jasa Keuangan Republik IndonesiaFintech adalah sebuah inovasi pada industri jasa keuangan yang memanfaatkan penggunaan teknologi. Produk Fintech biasanya berupa suatu sistem yang dibangun guna menjalankan mekanisme transaksi keuangan yang spesifik.

Melansir Investopedia, istilah Fintech (Financial Technology) atau Teknologi Keuangan digunakan untuk menggambarkan teknologi baru yang berupaya meningkatkan dan mengotomatiskan pengiriman dan penggunaan layanan keuangan melalui dalam jaringan (daring).

Pada intinya, Fintech digunakan untuk membantu perusahaan, pemilik bisnis, dan konsumen mengelola operasi keuangan, proses, dan kehidupan mereka dengan lebih baik dengan memanfaatkan perangkat lunak dan algoritme khusus yang digunakan pada komputer, smartphone, dan lain sebagainya.

Terus hubungannya dengan Pinjaman Online apa? Kemudian ada istilah Fintech Lending atau Fintech Peer-to-Peer LendingFintech Lending atau disebut juga Fintech Peer-to-Peer Lending (Fintech P2P Lending) atau dalam bahasa (resminya) dikenal dengan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) adalah salah satu inovasi pada bidang keuangan dengan pemanfaatan teknologi yang memungkinkan pemberi pinjaman dan penerima pinjaman melakukan transaksi pinjam meminjam tanpa harus bertemu langsung. (vide Pasal 1 angka 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi)

Mekanisme transaksi pinjam meminjam dilakukan melalui sistem yang telah disediakan oleh Penyelenggara Fintech P2P Lending, baik melalui aplikasi maupun laman website. Inilah yang secara umum kemudian dikenal dengan Pinjaman Online atau Pinjol.

Terus, apakah beda Fintech dengan Fintech LendingFintech itu bersifat umum dan tidak terbatas pada satu industri jasa keuangan tertentu. Sedangkan, Fintech Lending/Lending terbatas pada inovasi jasa keuangan pada transaksi pinjam meminjam saja.

Siapa Penyelenggara Fintech Lending?

Penyelenggara Fintech Lending berupa suatu Badan Hukum dapat berbentuk:

1.        Perseroan Terbatas (vide Pasal 1 Angka 6 dan Pasal 2 ayat (2) huruf a Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, jo. Pasal 109 Angka 1 Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagaimana Mengubah Ketentuan Sebagaimana Dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas); atau

2.       Koperasi (vide Pasal 1 Angka 6 dan Pasal 2 ayat (2) huruf b Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, jo.Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian).

Yang memiliki sistem untuk melaksanakan mekanisme transaksi pinjam meminjam secara online, baik melalui aplikasi maupun laman website (situs web) secara resmi di bawah pengawasan dari Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia.

Bagaimana Cara Kerja Fintech Lending?

Penyelenggara Fintech Lending atau Fintech P2P Lending hanya berperan sebagai perantara yang mempertemukan Pemberi Pinjaman dan Penerima Pinjaman. Pemberi Pinjaman dan Penerima Pinjaman terlebih dahulu harus melakukan registrasi dan mengisi data diri yang diperlukan sebelum dapat mengajukan pemberian pinjaman ataupun permohonan pinjaman.

Peraturan terkait Fintech P2P Lending tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, kemudian yang kita sebut dengan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang LPMUBTI.

Apa Saja yang Diatur Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang LPMUBTI?

Ketentuan Umum, Penyelenggaraan, Pengguna Jasa LPMUBTI, Perjanjian, Mitigasi Risiko, Tata Kelola Sistem Teknologi Informasi (TI), Edukasi dan Perlindungan Pengguna LPMUBTI, Tanda Tangan Elektronik, Prinsip dan Teknis Pengenalan Nasabah, Larangan, Laporan Berkala, Sanksi, Ketentuan Lain, Ketentuan Peralihan, Ketentuan Penutup.

Lalu, apakah Fintech Lending harus terdaftar atau berizin? Jelas, bahwa penyelenggara Fintech Lending harus mendapatkan tanda terdaftar sebelum menjalankan kegiatan operasionalnya. (vide Pasal 8 ayat (5) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang LPMUBTI)

Kemudian, penyelenggara yang telah terdaftar di OJK, wajib mengajukan Permohonan Izin sebagai penyelenggara dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal terdaftar di OJK. (vide Pasal 10 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang LPMUBTI)

Apakah Perbedaan Penyelenggara Fintech Lending Terdaftar dengan Berizin?

Keduanya sama-sama dapat menjalankan kegiatan operasional sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penyelenggara yang terdaftar dapat menjalankan kegiatan operasional hingga 1 (satu) tahun setelah mendapat Tanda Terdaftar dari OJK dan selanjutnya wajib mengajukan Permohonan Perizinan, apabila tidak mengajukan permohonan perizinan maka penyelenggara terdaftar harus mengembalikan tanda terdaftarnya kepada OJK. Sementara Penyelenggara berizin tidak memiliki masa kedaluwarsa atas tanda berizin yang dimilikinya.

Perlu diketahui juga bahwa Pembatalan Tanda Bukti Terdaftar belum menyampaikan pemenuhan persyaratan perizinan maka penyelenggara tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang LPMUBTI, maka dilakukan Pembatalan Tanda Bukti Terdaftar tersebut.

Lantas Bagaimana Perkembangan dan Melihat Mana Saja Perusahaan Pinjaman Online yang Sudah Terdaftar dan Memiliki Izin?

Berdasarkan Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sampai dengan 22 April 2022, total jumlah penyelenggara Fintech Peer-To-Peer Lending atau Fintech Lending yang berizin di OJK adalah sebanyak 102 perusahaan. Terdapat 1 (satu) perubahan nama sistem elektronik dan laman website yang dimiliki PT Creative Mobile Adventure. OJK selalu mengimbau masyarakat untuk menggunakan jasa penyelenggara Fintech Lending yang sudah berizin dari OJK. Anda dapat mengakses informasi tersebut pada lama resmi OJK di sini (Update per-Juli 2024) dan selalu memantau perkembangan terkini untuk mengenai Penyelenggaran Fintech P2P yang Anda gunakan memang memiliki legalitas dan dijamin aman.

Lantas Apa Langkah Hukum yang Dapat Diambil Jika Ada Transfer Dana yang Masuk Secara Misterius?

Hal lain yang wajib diketahui oleh masyarakat adalah transfer dana oleh Pinjol Ilegal secara tiba-tiba bisa dilakukan tanpa sepengetahuan pemohon karena beberapa kemungkinan.

Yang pertama, nasabah pernah mengakses situs website atau aplikasi pinjaman online ilegal. Data nasabah pun terinput dan memberikan akses ke seluruh kontak dan galeri, meski pinjaman telah dibatalkan atau ditolak.

Kedua, nasabah merupakan korban dari penyalahgunaan data yang telah dilakukan oknum pelaku penyebar atau jual-beli data.

Lantas apakah ada aturan terkait lainnya tentang Pinjaman Online sebagai bentuk Perlidungan yang menjamin nasabah atau masyarakat pada umumnya?

Iya, ada kok. Selain pengaturan pinjol berbasis teknologi informasi termuat dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang LPMUBTI. Mengingat, bahwa aspek kewenangan OJK terhadap inovasi keuangan digital di sektor jasa keuangan diatur juga dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.02/2018 Tahun 2018 tentang Inovasi Keuangan Digital Di Sektor Jasa Keuangan.

OJK diberi kewenangan berkaitan erat terhadap pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Secara spesifik, OJK berwenang melakukan pengawasan penyelenggaraan pinjol yang terdaftar.

Pengawasan OJK berkenaan dengan kewajiban bagi penyelenggara untuk menyampaikan laporan berkala secara elektronik kepada OJK, baik laporan bulanan maupun laporan tahunan. Termasuk di dalamnya memuat laporan atas pengaduan Pengguna disertai tindak lanjut penyelesaian pengaduan.

Atas Aduan Korban Tersebut, Lantas Bagaimana Peran OJK?

Seperti yang sudah kami jelaskan di atas, dan perlu dicatat bahwa yang berwenang dalam melakukan pengawasan dan penindakan pinjol Ilegal adalah Satgas Waspada Investasi (SWI). Berupa sanksi administratif. Baik berupa peringatan tertulis, denda, pembatasan kegiatan usaha, dan pencabutan izin.

Satgas Waspada Investasi (SWI) sendiri dibentuk melalui Surat Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-208/BL/2007 tanggal 20 Juni 2007 untuk masa kerja tahun 2007 yang diperbarui setiap tahunnya. Setelah beralihnya tugas dan fungsi Bapepam dan LK menjadi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Surat Keputusan Satgas Waspada Investasi tersebut diperbarui melalui Keputusan Dewan Komisioner OJK Nomor: 01/KDK.04/2013 tanggal 26 Juni 2013.

Nota Kesepakatan antar pimpinan institusi anggota Satgas Waspada Investasi (SWI) disusun sebagai payung hukum Satgas untuk memperkokoh komitmen Bersama antara Kementerian/Lembaga dalam pelaksanaan tugas pokok Satgas Waspada Investasi.

Adapun Satgas Waspada Investigasi (SWI) bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi & Informasi (Kemenkominfo) dan kementerian terkait. Satgas Waspada Investasi (SWI) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan tentu saja bekerja sama dengan Aparat Penegak Hukum (APH) dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia.

Apakah Hanya Itu Aturannya, Kok Rasanya Kurang Terlindungi dan Tetap Masih Marak Orang-Orang yang Jadi Korban Pinjol?

Sejatinya, Perlindungan Privasi dan Data Pribadi Warga Negara Secara konstitusional, menyatakan Negara berkewajiban untuk melindungi privasi dan data penduduk. Sebagaimana Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) berbunyi:

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaanya, serta berhak atas rasa aman danperlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Mengutip Hukum Online, secara umum Peraturan perundang-undangan yang melindungi data pribadi di Indonesia, antara lain:

1.        Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;

2.       Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan;

3.      Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi;

4.       Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan;

5.       Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Undang-Undang Informasi Elektronik) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;

6.      Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik;

7.       Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;

8.      Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan; dan ditambah dengan

9.      Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.

Untuk di level Undang-Undang sendiri kita punya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi yang selanjutnya disebut dengan “Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi”, sebagaimana Pasal 35 Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi yang menyatakan bahwa:

“Pengendali Data Pribadi wajib melindungi dan memastikan keamanan Data Pribadi yang diprosesnya, dengan melakukan:

a.       penyusunan dan penerapan langkah teknis operasional untuk melindungi Data Pribadi dari gangguan pemrosesan Data Pribadi yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

b.       penentuan tingkat keamanan Data Pribadi dengan memperhatikan sifat dan risiko dari Data Pribadi yang harus dilindungi dalam pemrosesan Data Pribadi.”

Kemudian disebutkan juga, Dalam melakukan pemrosesan Data Pribadi, Pengendali Data Pribadi wajib menjaga kerahasiaan Data Pribadi. (vide Pasal 36 UU tentang Perlindungan Data Pribadi)

Dalam pemanfaatan Teknologi Informasi, perlindungan data pribadi merupakan salah satu bagian dari Hak Pribadi (privacy rights) yang merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang seharusnya dijamin.

Hak Pribadi mengandung pengertian sebagai berikut:

1)       Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan;

2)      Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain tanpa tindakan memata-matai;

3)      Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang.

Kemudian kita punya Pasal 1 Angka 29 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang mana menjelaskan definisi Data Pribadi adalah setiap data tentang seseorang baik yang teridentifikasi dan/atau dapat diidentifikasi secara tersendiri atau dikombinasi dengan informasi lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung melalui Sistem Elektronik dan/atau nonelektronik.

Kemudian, Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem ElektronikData Pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya.

Dikarenakan dilindungi kerahasiaannya, maka siapa pun tidak boleh dengan sengaja/tidak sengaja memanfaatkan data pribadi seseorang tanpa seizin dari pemilik.

Kemudian dalam Pasal 36 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik, bagi pelaku usaha yang menyalahgunakan data dapat dikenakan sanksi administratif, berupa: peringatan lisan; peringatan tertulis; penghentian sementara kegiatan; dan/atau pengumuman di situs dalam jaringan (website online).

Maka, berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, nasabah yang data pribadinya disalahgunakan oleh layanan Fintech atau Fintech Lending atau Pinjol Illegal dapat mengajukan Gugatan Perihal: Gugatan Ganti Kerugian sebagaimana ketentuan Pasal 69 Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi dan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik) dan/atau mengajukan pengaduan berdasarkan Pasal 36 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik di atas, jadi tidak melulu jalur Pidana karena belum tentu uang kembali, walau pun dapat mengajukan Penggabungan Perkara Ganti Kerugian yang Anda dapat baca pada Artikel kami di sini.

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.

Formulir Isian