layananhukum

Subjek Hukum: “Hukum tentang Orang dan Badan Hukum”

 


Kata “orang” atau dalam Bahasa Inggrisnya “Person” memiliki banyak arti.[1] Secara etimologis berasal dari kata pesonare, istilah yang berkaitan dengan histrionalis larva, yang berarti topeng. Dalam pengertian ini, orang atau person tadi dipahami sebagai sebuah topeng yang menutupi wajah seorang penyair yang sedang membacakan syair-syair dalam sebuah adegan drama; tujuan dengan adanya topeng tersebut adalah untuk membuat suara sang penyair menjadi terdengar lebih bersemangat dan lantang.

Belakangan pun, sejak itu orang-orang mulai menggunakan istilah “person” yaitu sebutan yang diberikan pada sang penyair bertopeng tadi. Mereka mengasosiasikan “Person” itu sebagai makhluk alami dari spesies yang disebut dengan manusia - berdasarkan actus hominis actus humanus.[2] Karena hanya mereka yang disebut manusia yang dapat melakukan hal tersebut.

Secara historis, para Sarjana Hukum mengalami kesulitan mendefinisikan “person atau orang” secara tepat, walau pun fiksasi terkait “person” tadi dilakukan melalui suatu aturan, akan selalu berubah sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan. Di bawah ini adalah contoh beberapa definisi yang menjadi tolak ukur untuk memberikan definisi dari “Person” itu sendiri.

Francesco Carnelutti[3], seorang Ahli dan Sarjana Hukum dari Italia, memahami bahwa “orang perseorangan” sebagai subjek hukum itu dapat dikategorikan dalam dua bentuk antara lain: adanya kepentingan (interest) diri yang menyakut unsur ekonomi di dalamnya; dan adanya hak subjektif atau disebut hukum substantif yaitu menyangkut unsur hukum di dalamnya, yang mana keduanya saling bertemu vis-a-vis kemudian memiliki suatu hubungan antar satu sama lain.

Menurut Carnelutti, orang (person) adalah “titik pertemuan antara 2 (dua) elemen sebagaimana yang sudah disebutkan, yang pada intinya hal inilah yang memenuhi unsur orang (person) tersebut terbentuk”.[4]

Selain itu, ia mengatakan bahwa Subjek Hukum juga dapat mencakup lebih dari seorang perseorangan atau satu orang saja. Ia mencontohkan di mana ada kepentingan kolektif yang menyatukan beberapa orang (“Person” tadi) untuk bertindak seolah-olah mereka adalah satu, itu baginya yang disebut dengan badan kolektif (collective entities).

Bahwa badan kolektif (collective entities) tadi itu terbentuk dengan sendirinya sebagai entitas kolektif ketika unsur ekonomi (kepentingan) dan unsur hukum (substantif) yang memiliki kaitan yang erat bersinggungan satu sama lain, dan kemudian itu menciptakan landasan kepentingan bersama. Lebih lanjut, menurut Carnelutti Subjek hukum pun akhirnya mencakup orang perseorangan (secara individu) dan badan kolektif (collective entities). 

Kedua bentuk ini terbentuk karena adanya titik konvergensi (sesuatu yang berbeda melebur menjadi satu) antara unsur (kepentingan) ekonomi dan (substantif) hukum tadi; meskipun yang collective entities ini terdiri dari banyak orang (bukan hanya satu) yang disatukan oleh kepentingan bersama.[5]

Sedangkan Julien Bonnecase[6] mendefinisikan hak perseorangan atau “Person” tadi sebagai seperangkat aturan dan institusi yang berlaku untuk orang tersebut, baik sebagai perseorangan (dibedakan dengan yang lainnya) dan dalam tindak tanduknya. Lebih lanjut Bonnecase menjelaskan bahwa Hukum mengenai Perseorangan dapat dibagi menjadi tiga bagian:

1)       Eksistensi dan individuasi orang perseorangan, yaitu unsur-unsur yang membedakan seorang individu (dengan individu lainnya) dan menentukan status hukumnya. Unsur pembeda meliputi nama, ciri fisiologis, dan tempat domisili;

2)      Kapasitas melakukan sesuatu perbuatan (person) dan perbedaannya antar satu dengan yang lain. Di satu sisi, ini didasarkan pada kapasitas hukum orang perseorangan yang ditentukan oleh anggaran rumah tangga organisasi. Di sisi lain, ini mencakup studi tentang entitas yang dimaksudkan untuk menutupi kekurangan orang-orang yang secara alami yang sudah menjadi satu kesatuan yang disebut dengan badan hukum;

3)      Keberadaan, individuasi, dan kapasitas badan hukum.

Masih membahas soal definisi, menurut Savigny yang merupakan seorang pelopor dan juga pendukung terkuat teori tradisional, yang dikenal sebagai teori fiksi. Menjelaskan bahwa badan hukum sebagai organ yang diciptakan secara artifisial yang mampu memiliki kekayaannya sendiri akan tetapi tidak memiliki kehendak yang bebas. Dia menganggap cooperation; korporasi sebagai ciptaan hukum eksklusif yang tidak memiliki keberadaan selain dari masing-masing anggotanya yang membentuk kelompok korporasi dan yang tindakannya dikaitkan dengan entitas korporasi tersebut.[7]

Hal ini membawa Savigny pada kesimpulan bahwa “orang” adalah setiap entitas yang mampu melaksanakan hak dan kewajiban (to acquire rights and obligations). Karena badan hukum adalah fiksi hukum dan tidak memiliki kehendak bebas, oleh karenanya mereka tidak dapat menjadi subjek hukum. Menurut garis pemikiran ini, yang disebut dengan manusia adalah “orang” yang hanya ketika dia memiliki kehendak bebas untuk memperoleh hak dan kewajiban, dan kemudian itulah yang membuat manusia tadi menjadi subjek hukum. Badan Hukum di sini juga merupakan buatan negara dan ada hanya untuk melakukan sesuatu berdasarkan “kehendak orang yang ada di dalamnya”. 

Sedangkan Komentar Hans Kelsen,[8] terkait dengan teori fiksi, ia menyebutkan bahwa, berdasarkan teori fiksi, “subjek hukum adalah apa yang menjadi objek kewajiban atau hak subyektif” (istilah terakhir dipahami sebagai kapasitas melakukan suatu perbuatan hukum untuk menuntut pelaksanaan suatu hak dan kewajiban, meskipun itu bukan “sesuatu” dalam definisi “benda” melainkan bentuk “sesuatu” dalam definisi “orang”).

Bagi Kelsen,[9] orang perseorangan dan badan hukum didefinisikan oleh hak dan kewajiban yang jika digabungkan, secara metafora diekspresikan melalui konsep “orang” itu sendiri. Kelsen menyangkal adanya perbedaan antara badan hukum (berbentuk perusahaan) dan badan hukum (berbentuk perorangan). Sifat kepribadian dalam pengertian hukum hanyalah personifikasi teknis dari kompleksnya norma, hak, dan kewajiban itu sendiri.

Kemudian, Garcia Maynez[10] mendefinisikan “orang” atau “Person” sebagai “entitas apa pun yang mampu memiliki kekuasaan dan tugas tertentu.” Ia menyebutkan bahwa subjek hukum dibagi menjadi orang perseorangan (natural persons) dan badan hukum (juridical persons). Kelompok pertama mengacu pada orang dengan hak dan kewajiban; sedangkan yang kedua berfokus pada suatu perkumpulan yang diberikan dengan kepribadian (tersendiri) seperti serikat pekerja atau perusahaan. Maynez lebih suka membedakan antara kedua kelompok dengan menggunakan istilah subjek hukum orang perseorangan (individual legal entity) dan subjek hukum kolektif (collective legal entity).[11]

Dalam pengertian moral atau etika, “orang persesorangan” memiliki kehendak bebas dan alasan yang memungkinkannya untuk secara bebas merencanakan tujuan dan menemukan cara untuk mewujudkannya. Maynez mengatakan bahwa dari sudut pandang etis —dan berdasarkan ide-ide filsuf Jerman Nicolai Hartmann —[12] “seseorang” mampu membuat penilaian moral, meskipun dia menjelaskan bahwa penilaian tersebut tidak selalu menentukan perilakunya. Dengan demikian, kehendak bebas adalah elemen penting dalam kepribadian hukum.

Signifikansi hukum dari orang perseorangan terkait dengan apakah kepribadian hukum tersebut merupakan hasil yang diperlukan dari karakteristiknya, sehingga tidak menutup kemungkinan kepribadian hukum dari “subjek” fisik sebagaimana yang dijelaskan tidak selalu harus berasal dari keberadaan dari manusianya walau pun asal muasalnya dari manusia. Inilah yang menurut Maynez bahwa Badan Hukum itu harus dilihat melalui lensa “teori-teori tentang badan hukum entitas kolektif” yang tetap bertumpu pada sudut pandang etis.[13]

Mayanez kemudian secara piawai menggabung beberapa teori untuk mendukung pandangannya seperti:

1.        Teori Fiksi (Savigny): Klaim bahwa badan hukum, misalnya perusahaan dan entitas kolektif lainnya, adalah fiksi hukum, tanpa keberadaan yang efektif di dunia nyata dan hanya dibentuk oleh negara untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Dengan demikian, badan hukum mencakup setiap entitas yang mampu melaksanakan hak dan kewajiban. Catatannya ada pada mampu melaksanakan hak dan kewajiban atau melakuan suatu perbuatan tertentu[14]

2.       Teori Tujuan (Brinz): yang mengajarkan bahwa kekayaan dari badan hukum tidak dimiliki oleh entitas fiktif yang dibuat oleh negara dan tidak dimiliki oleh siapa pun. Intinya, kekayaan atau harta yang dimaksudkan bukan milik orang perseorangan akan tetapi untuk suatu tujuan – “Zweckvermögen”. Meskipun apa yang disebut “teori tujuan” hanya memiliki sedikit pengikut, teori ini mengandung unsur kebenaran yang penting; bahwa harta atau kekayaan yang dimiliki oleh badan hukum, hanya untuk tujuan tertentu. Catatannya ada pada kekayaannya untuk tujuan tertentu.[15]

3.      Teori Realis: bahwa badan hukum, baik swasta maupun publik, adalah nyata alias bukan fiksi. Dengan demikian, mereka yang memiliki hak tidak hanya mencakup satu orang yang ada di dalamnya tetapi setiap orang yang memiliki kehendak dan keputusannya sendiri yang ada di dalamnya. Menurut pemikiran ini, badan hukum adalah sebagai entitas yang nyata secara objektif dan hukum hanya mengakui dan memberlakukan keberadaannya. Dengan demikian, hukum tidak dapat menciptakan entitas tetapi hanya mengakui keberadaannya. Teori-teori turunnya dari teori ini termasuk “teori organisme,” teori jiwa kolektif , dan teori organisme sosial. Catatannya pada pengakuan dan keberlakuan keberadaannya.

4.       Teori formalis atau Teori Realitas Teknis (Francisco Ferrara). Kata “orang” memiliki tiga arti bagi Ferrara:

a.     biologis, mengacu pada makhluk rasional;

b.     filosofis, mengacu pada makhluk rasional yang mampu mengajukan dan melaksanakan tujuan; dan

c.     hukum, yang memperlakukan orang sebagai subjek hukum dengan hak dan kewajiban yang sama.

Ferrara menganggap yang terakhir hanya sebagai status atau keadaan, yang hanya mencakup perusahaan dan organisasi sosial.[16]

Ferrara[17] percaya bahwa pengakuan dari suatu subjek hukum untuk Badan Hukum adalah konsekuensi efektivitas konstitutif yang artinya badan hukum tidak diciptakan oleh undang-undang tetapi sudah ada; hukum hanya mengakui dan memberlakukan keberadaan mereka. Catatannya ada pada pengakuan akan keberadaan yang memang sudah ada, tidak dibuat.

Menurut Prof Subekti[18] perkataan orang (person) berarti pembawa hak atau subjek di dalam hukum. Lebih lanjut Subektif menjelakan bahwa seseorang atau orang (person) sebagai pembawa hak tersebut tadi, dimulai dari ia dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal.[19] Oleh karenanya kalau menurut Chaidir Ali[20], manusia itu dibagi menjadi dua pengertian, yaitu sebagai makhluk biologis dan makhluk yuridis. Dalam pengertian yuridis inilah emudian yang disebut dengan person atau orang sebagai subjek hukum. Selain itu manusia yang diakui sebagai subjek hukum (rechtpersoonlijheid) tadi ini memiliki dua karakteristik antara lain:

1.        Mempunyai hak-hak subjektif; dan

2.       Melakukan suatu perbuatan tertentu yaitu terkait dengan kecakapan menjadi subjek hukum, sebagaimana disebut oleh Prof Subektif tadi pendukung hak dan kewajiban.

Untuk lebih sederhana melihat Subjek Hukum itu sebagai Orang Perseorangan dan Badan Hukum yang berlaku di Indonesia berdasarkan perkembangannya dapat Anda lihat pada bagan di bawah.

 


Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


[1] Elvia Arcelia Adriano, “Natural Persons, Juridical Persons and Legal Personhood.” Mexican Law Review 8 (2015): 104.

[2] Jose L. de Benito, “La personalidad jurídica de las compañías y sociedades mercantiles”, (Madrid; Revista de Derecho Privado, 1943), 32. (dalam Bahasa:”Tinjuan Karakteristik Hukum Perusahaan dan Perusahaan Komersial”)

[3] Elvia Arcelia Adriano, Loc.cit.

[4] Ibid, 105.

[5] Ibid.

[6] Julien Bonnecase, “The Elements of Civil Law”(Jose m. Cajica, Translate, Civil Law, Volume I, 1945), 281.

[7] Carl Friedrich von Savigny, “System of Modern of Roman Law” (J. Higginbotham, 1867), 279

[8] Hans Kelsen, “Pure Theory of Law”, (New Jersey; The LawBook Exchange, LTD, 2005), 178.

[9] Ibd, 183.

[10] Elvia Arcelia Adriano, Op.cit, 106.

[11] Ibid, 107.

[12] Ibid.

[13] Ibid.

[14] Ibid.

[15] Ibid.

[16] Francisco Ferrara, “Theory of Legal Persons”, (Reus Publisher 1929), 342.

[17] Ibid.

[18] Subekti, “Pokok-Pokok Hukum Perdata”, (Jakarta; Penerbit PT Internusa, 2005), 19.

[19] Ibid, 20.

[20] Chaidir Ali, “Badan Hukum”, (Bandung; Alumni, 1999), 10-11.

Formulir Isian