Ilustrasi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP) |
Pertanyaan
Kak, boleh dijelaskan mengenai skema Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah kaya pembangunan proyek jalan atau bangunan gedung gitu dong dalam aturan hukum? Terima kasih.
Jawaban
PengantarSejarah Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP)
diyakini telah dilakukan sejak perkiraannya sekitar 3.000 (tiga ribu) tahun
Sebelum Masehi (SM) oleh Bangsa Sumeria.[1] Peradaban
Bangsa tersebut saat itu sangat maju, yang mana ditunjukkan dengan fakta
bahwa orang
Sumeria adalah penemu kaca.
Di samping itu, diyakini bahwa bangsa Sumeria juga
merupakan pengrajin spesialis perunggu.[2] Kegiatan
pengrajin ini menimbulkan pertanyaan terkait dengan asal bahan mentah yang
mereka gunakan, karena tidak ada logam di Mesopotamia Selatan kala itu yang
memadai. Penulis sejarah lain juga mencatat bahwa papan tanah liat merah yang
ditemukan di Suriah menjelaskan adanya perintah untuk menukar “50 guci minyak
wangi dengan 600 porsi biji-bijian”.[3]
Oleh karena itu, beberapa pihak menilai peradaban ini
dianggap telah lama mempunyai Sistem Perdagangan Nasional dan Internasional
(pada zamannya) yang dapat digolongkan sebagai Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
(PBJP) ketika dilakukan oleh Kerajaan atau Negara Kota.
Catatan sejarah yang kuat lainnya tampak pada tahun
1086 tatkala William I The Conqueror (William I Sang Penakluk)
yang memerintahkan pembuatan “Domesday Book’ adalah catatan manuskrip
dari “Great Survey” di sebagian wilayah besar Inggris dan sebagian
Wales. Naskah ini awalnya dikenal dengan nama Latin Liber de Wintonia,
yang berarti ‘Kitab Winchester”, di mana awalnya disimpan di perbendaharaan
kerajaan. Dalam Kronik Anglo-Saxon menyatakan bahwa pada tahun 1085 raja
mengirim utusannya untuk memeriksa setiap wilayah di Inggris, untuk membuat
daftar kepemilikan tanah dan pembayaran iuran yang harus dibayarkan kepadanya.[4]
Langkah tersebut diyakini mendasari adanya pengadaan
dana dan jasa yang disusun rapi oleh Raja. Para sejarawan juga mencatat temuan
menarik yang menunjukkan bahwa sistem PBJP kuno memuat berbagai aturan
tertentu; seperti penulisan kontrak (perjanjian kerja sama) yang diikuti hari
ini (dalam tatanan praktis) yang mana hal tersebut sudah dikenal pada masa
Romawi.
Kemudian, dalam catatan sejarah PBJP modern dimulai
pada abad ke-18 di Amerika Serikat. Menurut Page[5],
kala itu percetakan adalah salah satu jasa yang pengadaannya ditugaskan oleh
pemerintah. Di samping itu, barang dan jasa yang diperlukan oleh pemerintah
dipasok oleh pelaku usaha yang menerima komisi atas apa yang mereka sediakan.
Kemudian, tercatat bahwa pada tahun 1810, negara bagian Oklahoma mendirikan
badan untuk melakukan pengadaan secara terpusat atas nama semua departemen dan
badan negara bagian. Setelah itu, banyak badan publik lain mengikuti jejak
Oklahoma.
Sejak awal, telah tampak praktik ketidakjujuran
terjadi di PBJP. Isu ini pertama kali tercatat ketika AS melakukan PBJP untuk
keperluan pertahanan guna memperoleh perlengkapan militer dalam Perang Saudara
(Civil War) Amerika Serikat.
Tercatat bahwa penyedia pemerintah mengirimkan daging
busuk, kapak tanpa kepala, selimut berukuran seperempat, serta sepatu dan
pelana yang pecah. Menanggapi situasi ini, Kongres menyusun False Claims Act (vide 18
U.S.C. § 286, 18 U.S.C. § 287, 31 U.S.C. § 3279 et seq) pada tahun 1863
untuk memberantas kecurangan yang dilakukan terhadap pemerintah oleh
kontraktor perang saudara.
Dilaporkan juga bahwa kegiatan ini tetap rentan
terhadap korupsi karena pers melaporkan pelbagai klaim yang tidak masuk
akal dalam praktik penagihan, seperti Angkatan Laut yang harus membayar
$345 untuk palu biasa dan $640 untuk toilet. Oleh karena itu, regulasi
itu diamendemen dengan perluasan dan penambahan pada 1986 dan 2009.
PBJP dapat dikonseptualisasikan dengan ilustrasi bahwa Pemerintah telah lama menyadari ketidakmampuannya untuk melakukan aktivitas tertentu tanpa bantuan pihak luar. Akibatnya, pemerintah mungkin akan memilih untuk menugaskan aktivitas ini kepada pihak luar pemerintah.
Pelaku usaha memahami bahwa pihaknya berkesempatan
memperoleh uang dari penugasan ini. Oleh karena itu, secara naluriah mereka
harus bersaing agar ditetapkan sebagai pemenang pada proses tender. Kompetisi
memaksa mereka untuk memberikan penawaran terbaik dan membuktikan bahwa mereka
dapat menjalankan tugas yang dibicarakan tersebut.
Demi fairness, kontrak harus diberikan
kepada penawaran terbaik dalam hal harga dan kualitas. Dengan demikian,
pembayar pajak akan puas karena tugas public dijalankan secara
profesional dan uang rakyat dibelanjakan secara efisien.
Tuntutan kompetisi di atas merupakan konsep yang
diterapkan secara umum. Hal ini kerap disebut “prosedur terbuka”[6],
yaitu prosedur tetap yang senantiasa dipraktikkan, kecuali dimungkinkan
penyimpangan dengan alasan yang dibenarkan oleh regulasi.
Alasan konseptual untuk menyimpangi prosedur tetap
biasanya didasarkan pada pertimbangan bahwa prosedur terbuka tidak dapat
diterapkan secara efektif atau tidak dapat memenuhi tujuan PBJP itu sendiri,
misalnya untuk pengadaan hal yang sederhana dan bernilai rendah, PBJP yang
berulang, PBJP yang terlampau kompleks, dan PBJP dalam keadaan
mendesak/darurat.
Konsep Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang Baik
Transparency International (TI) memandang Pengadaan Barang/Jasa yang baik (good
public procurement (GPP)) sebagai tindakan pemerintah (badan hukum
publik) untuk memenuhi kebutuhan rakyat, secara fair pada
pelaku usaha, dengan mampu memitigasi dan/atau menghindari terhamburnya
anggaran belanja negara, dan menggunakan PBJP sebagai alat untuk menerapkan
kebijakan public (public policy).[7]
Jadi, intinya Pengadaan Barang/Jasa (procurement)
adalah proses suatu organisasi memperoleh barang dan jasa untuk memenuhi
kebutuhan internal dan/atau eksternal organisasi. Oleh karena itu hampir semua
organisasi, baik organisasi yang bergerak di sektor bisnis (organisasi profit),
sektor nirlaba (non-profit), maupun sektor pemerintah, melakukan proses
pengadaan untuk memenuhi kebutuhan dalam melaksanakan kegiatan mereka
masing-masing.
Meski demikian, terdapat perbedaan di antara
organisasi-organisasi tersebut dalam proses pengadaan barang/jasa-nya, misalnya
antara lain perbedaan dalam sumber pendanaan, cara mendapatkan penyedia,
kepentingan pelayanannya, dan lain sebagainya.
Definisi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
Sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 1
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan
Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
menyebutkan bahwa:
“Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut Pengadaan Barang/Jasa adalah
kegiatan Pengadaan Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah yang
dibiayai oleh APBN/APBD yang prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampai
dengan serah terima hasil pekerjaan.”
Dari ketentuan di atas dapat kita petik sebagai
berikut:
1.
Bahwa PBJP
merupakan suatu kegiatan yang dibiayai yang prosesnya sejak identifikasi
kebutuhan, sampai dengan serah terima hasil pekerjaan;
2.
Bahwa pembiayaan
itu dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD);
3.
Bahwa kegiatan
dan pembiayaan itu dilakukan oleh Instansi Pemerintah seperti
Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah dan lain sebagainya.
Apa yang dimaksud dengan Instansi Pemerintah
Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah tersebut?
Instansi pemerintah yang dimaksud adalah Kementerian
Negara, Lembaga Pemerintah, dan/atau Perangkat Daerah, yang biasa disingkat
K/L/PD: Kementerian Negara (ke depan disebut Kementerian saja) adalah perangkat
pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Contohnya:
Kementerian Dalam Negeri membidangi urusan di dalam negeri, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan membidangi urusan Pendidikan dan kebudayaan
masyarakat dan bangsa Indonesia, dan sebagainya. (vide Pasal
1 Angka 2 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah)
Kemudian, Lembaga Pemeritahan (ke depan disebut
Lembaga saja) adalah organisasi non-Kementerian Negara dan instansi lain
pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan
Undang-Undang Dasara Negera Republik Indonesia tahun 1945. Contohnya,
LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) yang dibentuk dengan
tujuan untuk mengembangkan dan merumuskan kebijakan PBJP. (vide Pasal
1 Angka 3 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah)
Dan, Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Kepala
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam penyelenggaraan urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. Contohnya Dinas Pertanian dan
Perikanan di suatu Provinsi atau Kabupaten/Kota yang tugasnya membantu Gubernur
atau Bupati/Walikota mengurusi urusan pertanian dan perikanan di daerah
tersebut. (vide Pasal 1 Angka 4 Peraturan Presiden Nomor 12
Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah)
Perangkat Daerah berbeda pengertian dengan Pemerintah
Daerah. Pemerintah Daerah didefinsikan sebagai kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah otonom. Contoh, Pemerintah Daerah misalnya
Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta atau Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten
yang ada pada setiap propinsi. (vide (vide Pasal
1 Peraturan Angka 5 Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah jo. Pasal
1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah jo.
Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah)
Pelaku Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Pelaku Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah terdiri dari
beberapa istilah yang popular biasa kita dengar sebagai berikut:
-
Pengguna
Anggaran yang selanjutnya
disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian
Negara/Lembaga/Perangkat.[8]
-
Kuasa
Penggunna Anggaran pada
Pelaksanaan APBN yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh
kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab
penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/ Lembaga yang bersangkutan. Apabila
di tingkat daerah maka Kuasa Pengguna Anggaran pada Pelaksanaan APBD yang
diberi kuasa untuk melaksanakan sebagian kewenangan Pengguna Anggaran (PA)
dalam melaksanakan Sebagian tugas dan fungsi Perangkat Daerah. [9]
-
Pejabat
Pembuat Komitmen yang
selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA
untuk mengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan
pengeluaran anggaran belanja negara/anggaran belanja daerah.[10]
-
Pejabat
Pengadaan adalah pejabat
administrasi/pejabat fungsional/personel yang bertugas melaksanakan Pengadaan
Langsung, Penunjukan Langsung, dan/atau E-purchasing.[11]
-
Kelompok Kerja
Pemilihan yang selanjutnya
disebut Pokja Pemilihan adalah sumber daya manusia yang ditetapkan oleh Kepala
Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ) untuk mengelola pemilihan Penyedia.[12]
-
Agen Pengadaan adalah Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ)
atau Pelaku Usaha yang melaksanakan sebagian atau seluruh pekerjaan Pengadaan
Barang/Jasa yang diberi kepercayaan oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah
sebagai pihak pemberi pekerjaan.[13]
-
Penyelenggara
Swakelola adalah tim yang
menyelenggarakan kegiatan secara Swakelola.[14] Dan
- Penyedia di sini adalah Pelaku Usaha yang menyediakan barang/jasa berdasarkan kontrak.[15]
Perencanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP)
Setelah mengetahui para pihak yang ada dalam PBJP,
timbul pertanyaan, bagaimana proses awal PBJP tersebut?
Begini, proses PBJP diawali dengan instansi melakukan
identifikasi kebutuhan barang/jasa untuk kegiatan organisasi pemerintah, sampai
dengan proses serah terima hasil pekerjaan atau hasil pengadaan. Sebagaimana
ketentuan Pasal 18 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ini disebut juga dengan Perencanaan PBJP,
yaitu dilakukan dengan:
1.
Identifikasi
kebutuhan;
2.
Penetapan
barang/jasa;
3.
Cara;
4.
Jadwal; dan
5.
Anggaran
Pengadaan Barang/Jasa.
Selanjutnya, perencanaan pengadaan tersebut terdiri
atas:
a.
Perencanaan
pengadaan melalui Swakelola; dan/atau
b.
Perencanaan
pengadaan melalui Penyedia. (vide Pasal 18 ayat (4) Peraturan
Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah)
Hasil perencanaan Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana
dimaksud di atas kemudian dimuat dalam Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa yang
selanjutnya disingkat RUP adalah daftar rencana Pengadaan Barang/Jasa yang akan
dilaksanakan oleh Kementerian/ Lembaga/ Perangkat Daerah.[16]
Yang maksud dengan Perencanaan Pengadaan Barang/Jasa
melalui Swakelola yang selanjutnya disebut Swakelola adalah cara memperoleh
barang/jasa yang dikerjakan sendiri oleh Kementerian/ Lembaga/Perangkat Daerah,
Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah lain, organisasi kemasyarakatan, atau
kelompok masyarakat. (vide Pasal 1 Angka 23 Peraturan Presiden
Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun
2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah)
Yang dimaksud “Organisasi Kemasyarakatan” yang
selanjutnya disebut Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh
masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan,
kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi
tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila. (vide Pasal 1 Angka 24 Peraturan Presiden Nomor 12
Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah)
Dan, Kelompok Masyarakat adalah kelompok masyarakat
yang melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa dengan dukungan anggaran belanja dari
APBN/APBD. (vide Pasal 1 Angka 25 Peraturan Presiden Nomor 12
Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah)
Kemudian, Perencanaan Pengadaan Barang/Jasa melalui
Penyedia adalah cara memperoleh barang/jasa yang disediakan oleh Pelaku Usaha.
(vide Pasal 1 Angka 26 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021
tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah) Pelaku Usaha di sini adalah badan usaha atau
perseorangan yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu. (vide
Pasal 1 Angka 27 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan
atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah)
Perencanaan pengadaan melalui Swakelola yang sudah
kami jelaskan di atas meliputi:
a.
Penetapan tipe
Swakelola;
b.
Penyusunan
spesifikasi teknis/Kerangka Acuan Kerja (KAK); dan
c.
Penyusunan
perkiraan biaya/Rencana Anggaran Biaya (RAB). (vide Pasal 18 ayat
(5) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah)
Dalam hal penetapan tipe swakelola sebagaimana yang
sudah kami jabarkan terdiri atas:
a.
Apabila Tipe I
yaitu Swakelola yang direncanakan, dilaksanakan, dan diawasi oleh
Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah penanggung jawab anggaran;
b.
Untuk Tipe II
yaitu Swakelola yang direncanakan dan diawasi oleh
Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah penanggung jawab anggaran dan dilaksanakan
oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah lain pelaksana Swakelola;
c.
Untuk Tipe III
yaitu Swakelola yang direncanakan dan diawasi oleh
Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah penanggung jawab anggaran dan dilaksanakan
oleh Ormas pelaksana Swakelola; atau
d.
Tipe IV yaitu
Swakelola yang direncanakan oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah
penanggung jawab anggaran dan/atau berdasarkan usulan Kelompok Masyarakat, dan
dilaksanakan serta diawasi oleh Kelompok Masyarakat pelaksana Swakelola. (vide
Pasal 18 ayat (6) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah)
Sedangkan, untuk Perencanaan pengadaan melalui
Penyedia meliputi:
a.
Penyusunan
spesifikasi teknis/KAK;
b.
Penyusunan
perkiraan biaya/RAB;
c.
Pemaketan
Pengadaan Barang/Jasa;
d.
Konsolidasi
Pengadaan Barang/Jasa; dan
e. Penyusunan biaya pendukung. (vide Pasal 18 ayat (6) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah)
Spesifikasi Teknis/Kerangka Acuan Kerja
Bahwa dalam Menyusun spesifikasi teknis/kerangka acuan
kerja (KAK) dilakukan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dengan menggunakan:
a.
Produk dalam
negeri;
b.
Produk
bersertifikat SNI;
c.
Produk usaha
mikro dan kecil serta koperasi dari hasil produksi dalam negeri; dan
d.
Produk ramah
lingkungan hidup.[17]
Pemenuhan penggunaan produk sebagaimana dimaksud
dilakukan sepanjang tersedia.[18] Untuk
produk ramah lingkungan hidup yang tersebut di atas dibuktikan dengan
menggunakan barang dan jasa yang berlabel ramah lingkungan hidup.[19]
Kemudian dalam penyusunan spesilikasi teknis/KAK
tersebut dimungkinkan untuk penyebutan merek terhadap:
a.
Komponen
barang/jasa;
b.
Suku cadang;
c.
Bagian dari satu
sistem yang sudah ada; atau
d. Barang/jasa dalam katalog elektronik atau Toko Daring.[20]
Pemaketan Pengadaan Barang/Jasa
Dalam Pemaketan Pengadaan Barang/Jasa dilakukan dengan
berorientasi pada:
a.
Keluaran atau
hasil;
b.
Volume
barang/jasa;
c.
Ketersediaan
barang/jasa;
d.
Kemampuan Pelaku
Usaha; dan/atau
e.
Ketersediaan
anggaran belanja.[21]
Dalam melakukan pemaketan Pengadaan Barang/Jasa,
dilarang:
a.
Menyatukan atau
memusatkan beberapa paket Pengadaan Barang/Jasa yang tersebar di beberapa
lokasi/daerah yang menurut sifat pekerjaan dan tingkat efisiensinya seharusnya
dilakukan di beberapa lokasi/daerah masing-masing;
b.
Menyatukan
beberapa paket Pengadaan Barang/Jasa yang menurut sifat dan jenis pekerjaannya
harus dipisahkan;
c.
Menyatukan
beberapa paket Pengadaan Barang/Jasa yang besaran nilainya seharusnya dilakukan
oleh usaha kecil; dan/atau
d. Memecah Pengadaan Barang/Jasa menjadi beberapa paket dengan maksud menghindari Tender/Seleksi.[22]
Persiapan Pengadaan Barang/Jasa Swakelola
Setelah perencanan sebagaimana yang sudah kami
jabarkan selajutnya dilakukan persiapan PBJP tersebut yang dipisahkan antara
swakelola dan melaluu penyedia. Apabila melalui swakelola maka meliputi
penetapan sasaran, Penyelenggara Swakelola, rencana kegiatan, jadwal
pelaksanaan, dan RAB.[23] Penetapan
sasaran pekerjaan ditetapkan oleh PA/KPA.[24]
Sedangkan untuk rencana kegiatan ditetapkan oleh PPK dengan memperhitungkan
tenaga ahli/peralatan/bahan tertentu yang dilaksanakan dengan Kontrak
tersendiri.[25] Tenaga
ahli sebagaimana dimaksud hanya dapat digunakan dalam pelaksanaan Swakelola
tipe I dan jumlah tenaga ahli tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari
jumlah anggota Tim Pelaksana. Kemudian, hasil persiapan Pengadaan Barang/Jasa
melalui Swakelola dituangkan dalam KAK kegiatan/subkegiatan/output. Untuk
rencana kegiatan yang diusulkan oleh Kelompok Masyarakat dievaluasi dan
ditetapkan oleh PPK.[26]
Catatan:
Bahwa biaya Pengadaan Barang/Jasa melalui Swakelola dihitung berdasarkan komponen biaya pelaksanaan Swakelola dan PA dapat mengusulkan standar biaya masukan/keluaran Swakelola kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara atau kepala daerah.[27]
Persiapan Pengadaan Barang/Jasa Melalui Penyedia
Bahwa Persiapan Pengadaan Barang/Jasa melalui Penyedia
oleh PPK meliputi kegiatan:
a.
Menetapkan Harga
Perkaraan Sendiri (HPS), yang telah memperhitungkan biaya tidak langsung,
keuntungan dan Pajak Pertambahan Nilai;
b.
Menetapkan
rancangan kontrak;
c.
Menetapkan
spesifikasi teknis/KAK; dan/atau
d.
Menetapkan uang
muka, jaminan uang muka, jaminan pelaksanaan, jaminan pemeliharaan, sertifikat
garansi, dan/atau penyesuaian harga.[28]
HPS dihitung secara keahlian dan menggunakan data yang
dapat dipertanggungawabkan. Selain itu, nilai HPS bersifat tidak rahasia
sedangkan rincian HPS bersifat rahasia. HPS digunakan sebagai:
a.
Alat untuk
menilai kewajaran harga penawaran dan/atau kewajaran harga satuan;
b.
Dasar untuk
menetapkan batas tertinggi penawaran yang sah dalam Pengadaan Barang/Pekerjaan
Konstruksi/Jasa Lainnya; dan
c.
Dasar untuk
menetapkan besaran nilai Jaminan pelaksanaan bagi penawaran yang nilainya
kurang dari 80% (delapan puluh persen) dari nilai HPS.
Perlu diketahui bahwa HPS tidak menjadi dasar
perhitungan besaran kerugian negara. Penyusunan HPS dikecualikan untuk
Pengadaan Barang/Jasa dengan Pagu Anggaran paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah) E-purchasing, dan Tender pekerjaan terintegrasi.
Untuk penetapan HPS paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja sebelum batas
akhir untuk:
a.
Pemasukan
penawaran untuk pemilihan dengan pasca kualifikasi; atau
b. Pemasukan dokumen kualifikasi untuk pemilihan dengan prakualifikasi.[29]
Pelaksanaan Swakelola
Pelaksanaan Swakelola tipe I dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a.
PA/KPA dapat
menggunakan pegawai Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah lain dan/atau tenaga
ahli;
b.
Penggunaan tenaga
ahli tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari jumlah Tim
Pelaksana; dan
c.
Dalam hal
dibutuhkan Pengadaan Barang/Jasa melalui Penyedia, dilaksanakan sesuai
ketentuan dalam Peraturan Presiden.[30]
Kemudian, Pelaksanaan Swakelola tipe II dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
PA/KPA melakukan
kesepakatan kerja sama dengan Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah lain
pelaksana Swakelola; dan
b.
PPK
menandatangani Kontrak dengan Ketua Tim Pelaksana Swakelola sesuai dengan
kesepakatan kerja sama sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas.[31]
Untuk Pelaksanaan Swakelola tipe III dilakukan berdasarkan Kontrak PPK dengan pimpinan Ormas.[32] Pelaksanaan Swakelola tipe IV dilakukan berdasarkan Kontrak PPK dengan pimpinan Kelompok Masyarakat.[33] Untuk pelaksanaan Swakelola tipe II, tipe III, dan tipe IV sebagaimana dimaksud, nilai pekerjaan yang tercantum dalam Kontrak sudah termasuk kebutuhan barang/jasa yang diperoleh melalui Penyedia.[34]
Pelaksanaan PBJP melalui Penyedia
Adapun pelaksanaan PBJP melalui beberapa metode
pemilihan Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya terdiri atas:
E-purchasing, dilaksanakan untuk Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa
Lainnya yang sudah tercantum dalam katalog elektronik atau Toko Daring.[35] Dalam
Pelaksanaan E-purchasing wajib dilakukan untuk barang/jasa
yang menyangkut pemenuhan kebutuhan nasional dan/atau strategis yang ditetapkan
oleh menteri, kepala lembaga, atau kepala daerah. [36]
Pengadaan
Langsung, dilaksanakan untuk
Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling banyak Rp
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).[37] Dalam
Pelaksanaan Penunjukan Langsung dilakukan dengan mengundang 1 (satu) Pelaku
Usaha yang dipilih, dengan disertai negosiasi teknis maupun harga.[38]
Penunjukan
Langsung dilaksanakan untuk
Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dalam kebadaan tertentu.[39] Kriteria
Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya untuk keadaan tertentu sebagaimana
dimaksud meliputi:
a.
Penyelenggaraan
penyiapan kegiatan yang mendadak untuk menindaklanjuti komitmen internasional
yang dihadiri oleh Presiden/Wakil Presiden;
b.
Barang/jasa yang
bersifat rahasia unttik kepentingan Negara meliputi intelijen, perlindungan
saksi, pengamanan Presiden, dan Wakil Presiden, Mantan Presiden dan Mantan
Wakil Presiden beserta keluarganya serta tamu negara setingkat kepala
negara/kepala pemerintahan, atau barang/jasa lain bersifat rahasia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c.
Pekerjaan
Konstruksi bangunan yang merupakan satu kesatuan sistem konstruksi dan satu
kesatuan tanggung jawab atas risiko kegagalan bangunan yang secara keseluruhan
tidak dapat direncanakan/diperhitungkan sebelumnya;
d.
Barang/Pekerjaan
Konstruksi/Jasa Lainnya yang hanya dapat disediakan oleh 1 (satu) Pelaku Usaha
yang mampu;
e.
Pengadaan dan
penyaluran benih unggul yang meliputi benih padi, jagung, dan kedelai, serta
pupuk yang meliputi Urea, NPK, dan ZA kepada petani dalam rangka menjamin
ketersediaan benih dan pupuk secara tepat dan cepat untuk pelaksanaan
peningkatan ketahanan pangan;
f.
Pekerjaan
prasarana, sarana, dan utilitas umum di lingkungan perumahan bagi Masyarakat
Berpenghasilan Rendah yang dilaksanakan oleh pengembang yang bersangkutan;
g.
Barang/Pekerjaan
Konstruksi/Jasa Lainnya yang spesifik dan hanya dapat dilaksanakan oleh
pemegang hak paten, atau pihak yang telah mendapat izin dari pemegang hak
paten, atau pihak yang menjadi pemenang tender untuk mendapatkan, izin dari
pemerintah;
h.
Barang/Pekerjaan
Konstruksi/Jasa Lainnya yang setelah dilakukan Tender ulang mengalami
kegagalan; atau
i.
Pemilihan
penyedia untuk melanjutkan pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya
dalam hal terjadi pemutusan Kontrak.[40]
Dalam
Pelaksanaan Pengadaan Langsung dilakukan sebagai berikut:
a.
Pembelian/pembayaran
langsung kepada Penyedia untuk Pengadaan Barang/Jasa Lainnya yang menggunakan
bukti pembelian atau kuitansi; atau
b.
Permintaan
penawaran yang disertai dengan klarifikasi serta negosiasi teknis dan harga
kepada Pelaku Usaha untuk Pengadaan Langsung yang menggunakan surat perintah
kerja.[41]
Tender
Cepat dilaksanakan dalam hal
Pelaku Usaha telah terkualifikasi dalam, Sistem Informasi Kinerja Penyedia
untuk pengadaan yang:
a.
Spesifikasi dan
volume pekerjaannya sudah dapat ditentukan secara rinci; atau
b.
Dimungkinkan
dapat menyebutkan merek suku cadang dan bagian dari satu sistem yang sudah ada.[42]
Dalam
pelaksanaan pemilihan melalui Tender Cepat dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
Peserta telah
terkualifikasi dalam Sistem Informasi Kinerja Penyedia;
b.
Peserta
menyampaikan penawaran harga;
c.
Evaluasi
penawaran harga dilakukan melalui aplikasi; dan
d.
Penetapan
pemenang berdasarkan harga penawaran terendah.[43]
Tender dilaksanakan dalam hal tidak dapat menggunakan
metode sebagaimana yang sudah dijabarkan di atas, adapun untuk Pelaksanaan
pernilihan melalui Tender/Seleksi meliputi:
a.
Pelaksanaan
Kualifikasi;
b.
Pengumuman
dan/atau Undangan;
c.
Pendaftaran dan
Pengambilan Dokumen Pemilihan;
d.
Pemberian
Penjelasan;
e.
Penyampaian
Dokumen Penawaran;
f.
Evaluasi Dokumen
Penawaran;
g.
Penetapan dan
Pengumuman Pemenang; dan
h.
Sanggah.
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud untuk
pelaksanaan pemilihan Pekerjaan Konstruksi ditambahkan tahapan Sanggah Banding.
Pelaksanaan pemilihan, untuk Seleksi Jasa Konsultansi dilakukan klarifikasi dan
negosiasi terhadap penawaran teknis dan biaya setelah masa sanggah selesai.[44]
Metode-metode pemilihan yang digunakan di atas dapat
segera dilaksanakan setelah RUP diumumkan. Untuk barang/jasa yang kontraknya
harus ditandatangani pada awal tahun, pemilihan dapat dilaksanakan setelah:
a.
Penetapan Pagu
Anggaran K/L (Kementerian/Lembaga); atau
b.
Persetujuan
Rencana Kerja Anggaran (RKA) Perangkat Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pelaksanaan pemilihan sebagaimana dimaksud diatas dilakukan setelah RUP diumumkan terlebih dahulu melalui aplikasi SIRUP. Untuk penawaran harga dapat dilakukan dengan metode penawaran harga secara berulang (E-reverse Auction).[45]
Jenis Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Adapun Pengadaan Barang/Jasa dalam meliputi:
a.
Barang;
b.
Pekerjaan
Konstruksi;
c.
Jasa Konsultansi;
dan
d.
Jasa Lainnya. (vide Pasal
3 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah)
Barang adalah
setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak
bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan
oleh pengguna barang.[46]
Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi
pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, pembongkaran, dan pembangunan kembali
suatu bangunan.[47]
Jasa Konsultansi adalah jasa layanan, professional yang membutuhkan keahlian
tertentu di berbagai bidang keilmuan yang mengutamakan adanya olah pikir.[48]
Jasa Lainnya adalah jasa non-konsultansi atau jasa yang membutuhkan peralatan, metodologi khusus, dan/atau keterampilan dalarn suatu system tata kelola yang telah dikenal luas di dunia usaha untuk menyelesaikan suatu Pekerjaan.[49]
Kenapa Memunculkan Peran Organisasi Kemasyarakatan sebagai Pelaksana Swakelola?
Karena dalam Penyelenggara Swakelola yang terdiri atas
Tim Persiapan, Tim Pelaksana, dan/atau Tim Pengawas, peran ormas adalah sebagai
penanggung jawab anggaran dan pelaksana swakekola. Yang mana pelaksana memiliki
tugas melaksanakan, mencatat, mengevaluasi, dan melaporkan secara berkala
kemajuan pelaksanaan kegiatan dan penyerapan anggaran, terkhusus untuk
swakelola tipe III, sedangkan tipe IV penanggung jawab anggaran dan/atau
berdasarkan usulan Kelompok Masyarakat, dan dilaksanakan serta diawasi oleh Kelompok
Masyarakat pelaksana Swakelola. (vide Pasal 16 ayat (3) jo. Pasal
18 ayat (6) huruf c dan huruf d Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang
Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah)
Berikut penjelasan bagan secara sederhana di bawah:
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau
langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini.
Terima Kasih.
[1]
Guy Callender, “A Short History of Procurement”, (CIPS
Australia, 2007), 3.
[2]
Ibid.
[3]
Ibid.
[4]
J. A. Giles and J. Ingram, “The Anglo-Saxon Chronicle”, (Public
Domain in the USA, 1996).
[5]
K.V. Thai, “Public Procurement: Re-Examined”. (Journal of Public
Procurement. Volume 1, Number 1, 2001,) 11. Available to
http://ippa.org/jopp/download/vol1/Thai.pdf, diakses pada 13 Juni 2022.
[6]
United Nations Office on Drugs and Crime, “Guidebook on anti-corruption in public procurement and the
management of public finances: Good practices in ensuring compliance
with article 9 of the United Nations Convention against
Corruption”. (Vienna, United Nations Office, 2013), 5.
[7]
Lisa Prevenslik dan Kenneth Kostyo,
“Handbook for Carbing Corruption in Public Procurement”,
(Berlin, Transparency International, 2006), 28.
[8]
vide Pasal 8 jo. Pasal 1 Angka 7 Peraturan Presiden
Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16
Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[9]
vide Pasal 8 jo. Pasal 1 Angka 8 dan Angka 9 Peraturan
Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden
Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[10]
vide Pasal 8 jo. Pasal 1 Angka 10 Peraturan Presiden
Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16
Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[11]
vide Pasal 8 jo. Pasal 1 Angka 13 Peraturan Presiden
Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16
Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[12]
vide Pasal 8 jo. Pasal 1 Angka 12 Peraturan Presiden
Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16
Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[13]
vide Pasal 8 jo. Pasal 1 Angka 16 Peraturan Presiden
Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16
Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[14]
vide Pasal 8 jo. Pasal 1 Angka 17 Peraturan Presiden
Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16
Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[15]
vide Pasal 8 jo. Pasal 1 Angka 28 Peraturan Presiden
Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16
Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[16]
vide Pasal 18 ayat (8) jo. Pasal 1 Angka 19 Peraturan
Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden
Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[17]
vide Pasal 19 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021
tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[18]
vide Pasal 19 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021
tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[19]
vide Pasal 19 ayat (4) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021
tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[20]
vide Pasal 19 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021
tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[21]
vide Pasal 20 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[22]
vide Pasal 20 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[23]
vide Pasal 23 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[24]
vide Pasal 23 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[25]
vide Pasal 23 ayat (4) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[26]
vide Pasal 23 ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) Peraturan
Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah.
[27]
vide Pasal 24 Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[28]
vide Pasal 25 Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[29]
vide Pasal 26 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang
Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
[30]
vide Pasal 47 ayat (1)Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[31]
vide Pasal 47 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[32]
vide Pasal 47 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[33]
vide Pasal 47 ayat (4) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[34]
vide Pasal 47 ayat (5) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[35]
vide Pasal 38 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021
tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[36]
vide Pasal 50 ayat (5) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021
tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[37]
vide Pasal 38 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021
tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[38]
vide Pasal 50 ayat (6) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021
tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[39]
vide Pasal 38 ayat (4) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021
tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[40]
vide Pasal 38 ayat (5) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021
tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[41]
vide Pasal 50 ayat (7) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021
tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[42]
vide Pasal 38 ayat (6) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021
tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[43]
vide Pasal 50 ayat (4) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021
tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[44]
vide Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Peraturan
Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden
Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[45]
vide Pasal 50 ayat (8), ayat (9), ayat (10), dan ayat (11)
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah.
[46]
vide Pasal 1 Angka 29 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021
tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[47]
vide Pasal 1 Angka 30 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021
tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[48]
vide Pasal 1 Angka 31 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021
tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
[49] vide Pasal 1 Angka 32 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.