layananhukum

Seberapa Penting Pencatatan Perkawinan Campuran: Perkawinan antara WNI-WNA

Ilustrasi Perkawinan Campuran


Kembali mengutip Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyebutkan Dasar Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.

Dalam konteks Perkawinan Campuran sebagaimana Pasal 57 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa:

“Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”


Kemudian, mengenai pelaksanaan Perkawinan Campuran yang dilakukan di luar negeri itu dapat kita lihat menurut ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara 2 (dua) orang yaitu Warga Negara Indonesia (WNI) dengan Warga Negara Indonesia (WNI) lainnya atau dengan orang Warga Negara Indonesia (WNI) dengan Warga Negara Asing (WNA) adalah sah apabila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan bagi warga negara Indonesia tersebut tidak melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang ini (Undang-Undang Perkawinan).

Kemudian ditambahkan lagi pada Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi bahwa:

“dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka”

Ini bersesuaian sebagaimana Pasal 83 dan 84 KUHPerdata. Kemudian setelah keberlakuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan jangka waktu tersebut menjadi 30 (tiga puluh) hari (vide Pasal 37 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan).

Jadi, bagi warga Negara Indonesia yang beragama Islam maupun Non-Islam tunduk pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, dan sebagai konsekuensinya tunduk pada ketentuan ayat (2) juga, yaitu perkawinanan yang dilakukan secara agama masing-masing tadi dicatatkan bagi yang beragama Islam pencatatan dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk jo. Pasal 1 Angka 2 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan, yaitu dilakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA).

Sedangkan bagi yang Non-Islam tunduk pada ketentuan umum seperti dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor  9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2018 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil, yaitu dilakukan Kantor Catatan Sipil.

Dalam hal ini, status Perwakilan Republik Indonesia yang berada di luar negeri (ketika perkawinan itu dilaksanakan di luar negeri, menurut ketentuan hukum di negara tersebut dan tidak bertentangan dengan Hukum Indonesia khususnya Undang-Undang Perkawinan) sebagai wilayah ekstrateritorial Republik Indonesia di suatu Negara yang terdapat Wakil Negara Republik Indonesia di negara tersebut.

Ini mengandung pengertian bahwa hukum Republik Negara Indonesia dapat diberlakukan sebagaimana ketentuan Pasal 3 Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik (The Vienna Convention on Diplomatic Relations of 1961), yang menyebutkan satu di antaranya suatu perwakilan diplomatik atau seorang pejabat diplomatik, memiliki fungsi-fungsi melindungi (di wilayah negara penerima) kepentingan negara dan warga negara yang diwakilinya.

Kepengurusan administrasinya diselesaikan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di negara yang bersangkutan.  Pada saat mengajukan Surat Pengantar Perkawinan, kedua calon mempelai (calon istri dan calon suami) harus datang ke KBRI dan tidak dapat diwakilkan. (Di sini Persyaratannya)

Ini sejatinya bersesuaian dengan Pasal 16 AB (Algemene Bepalingen van wetgeving), yang menjelaskan bahwa warga negara Indonesia dimana pun ia berada akan tunduk pada hukum Indonesia.

Kemudian terkait syarat sahnya Perkawinan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu harus memenuhi syarat formil dan syarat materill. Untuk syarat formil diatur dalam Pasal 18 AB yakni tunduk pada hukum dimana perkawinan tersebut dilangsungkan (lex loci celebrationis).

Untuk syarat materill misalnya mengenai:

1.        Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai; (vide Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan)

2.       Mendapatkan izin prang tua bagi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun; (vide Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan)

3.      Mensyaratkan baik mempelai laki-laki dan perempuan berumur 19 tahun. (vide Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan)

Sepanjang syarat-syarat yang tersebut di atas di negara dimana asal dari salah satu pihak mengatur hal yang tidak bertentang dengan Undang-Undang Perkawinan Indonesia maka perkawinan tersebut dianggap sah, wajib dilaporkan dicatatkan.

Bagaimana jika tidak dilaporkan dan lewat 30 (tiga puluh) hari sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang Administrasi Kependudukan? Dikenakan denda administrasi. Dendanya menjadi kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda) yang di setiap daerah aturannya terkait besaran denda diatur dalam Perdanya masing-masing.  

Kemudian, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadilan Baik Di Lingkungam Pengadilan Negeri Dan Pengadilan Agama, selanjutnya disebut dengan “SEMA/3/2015

menyebutkan:

“Dalam hal terjadi perkawinan yang dilakukan di luar negeri yang tidak dicatatkan di kantor pencatatan perkawinan di Indonesia maka perkawinan itu dianggap tidak pernah ada.”

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.

Formulir Isian