Ilustrasi Perkawinan Beda Agama |
Pengantar
Ayu Kartika Dewi, Staf Khusus Presiden Jokowi telah
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria bernama Gerald Bastian di Hotel
Borobudur secara Islam dan setelah itu mengikuti misa pemberkatan di Gereja
Katedral, Jumat, (18/03/2022), Jakarta Pusat.
Akad nikah dan sakramen perkawinan disiarkan langsung
dari akun YouTube Ayu Kartika Dewi. Misa pemberkatan dipimpin langsung oleh
Uskup KAJ, Kardinal Ignatius Suharyo.
Lantas bagaimanakah Hukum Perkawinan di Indonesia
mengatur terkait perkawinan Beda Agama seperti yang diberlangsungkan oleh Ayu
Kartika? Simak penjelasan singkat berikut:
Definisi Perkawinan
Pertama-tama perlu dilihat dulu dari definisi bahwa
secara resmi, istilah yang dipakai di Indonesia adalah Undang-Undang
Perkawinan, bukan Undang-Undang Pernikahan.
Walau pun dalam beberapa kesepakatan ada istilah
“Isbat Nikah” di lingkungan Peradilan Agama, pada awalnya isbat nikah sangat
terbatas.
Jika berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebenarnya isbat nikah
tidak boleh, kecuali untuk perkawinan sebelum tahun 1974, akan tetapi Mahkamah
Agung membuat terobosan hukum baru, dengan dalil atau alasan untuk membantu
masyarakat, khususnya yang kurang mampu, untuk memperoleh identitas perkawinannya
diakui secara hukum.
Selain itu, menurut Hasbi
Hasan, Direktur Pembinaan Administrasi Peradilan Agama, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 awalnya Undang-Undang Pernikahan, tapi ketika diplenokan
diubah menjadi Undang-Undang Perkawinan, supaya tidak terkesan hanya untuk
orang Islam.
Mengingat bahwa kalau nikah serapan dari bahasa Arab,
dan kawin bahasa Indonesia. Lebih tepatnya menurut Aprilia
Kumala, dalam tulisannya “Bedanya Nikah dan Kawin: Mana Duluan?”
menjelaskan bahwa kawin itu berasal dari Bahasa sansekerta, dalam bahasa
Sansekerta, terdapat kata vini yang berarti 'membawa pergi', 'melatih kuda',
atau 'menyiksa'.
Setelah diturunkan ke bahasa Jawa Kuno, kata ini
berubah menjadi hawin atau awin, yang mekananya adalah 'membawa' atau
'memboyong'. Seiring berjalannya waktu, kata awin mendapat imbuhan ka
(ka-awin), dan membuatnya berarti 'dibawa' atau 'diboyong'. Konon, kata vini
inilah yang menjadi cikal bakal kata bini di Betawi.
Mencermati batang tubuh Undang-Undang Perkawinan
adalah menyantap ketentuan awal, yakni Pasal 1 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
memberikan definisi tentang perkawinan yang intinya menegaskan
bahwa:
“Perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa,”
Definisi ini diberikan oleh pembentuk undang-undang
yang diharapkan sebagai pembakuan pengertian tentang perkawinan, menyoalkan
definisi, jika dibandingkan dengan pengaturan perkawinan di dalam KUHPerdata.
Ketentuan awalnya justru tidak berisi pemberian
definisi perkawinan tetapi malah menegaskan bahwa Lembaga perkawinan hanya
dilihat dari segi perdatanya saja. Ini dapat disimak pada Pasal 26
KUHPerdata yang menyatakan:
“Undang-undang
memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata,”
Bagaimana Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia?
Sebelum berlakunya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada zaman
Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda berdasarkan Pasal 131 Jo. Pasal
163 IS (Indische Staatsregeling), penduduk Hindia Belanda
kala itu dibagi menjadi 3 (tiga) golongan besar yakni Eropa, Pribumi, dan Timur
Asing yang tunduk pada aturan Keperdataan yang berbeda-beda.
Gologan Eropa dikuasi oleh Hukum Eropa sebagaimana
diatur dalam BW (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) atau yang dikenal
dengan KUHPerdata.
Sedangkan, Pribumi tunduk pada Hukum Adat, lalu Timur
Asing tunduk pada KUHPerdata Sebagian juga tunduk pada Hukum Adat mereka.
Berdasarkan kondisi tersebut, potensi masalah pun akan muncul yang kemudian dikenal dengan Perkawinan Campuran, sehingga aturan itu pun kemudian diatur dalam Gemengde Huwelijken Reglement / Regeling op de Gemengde Huwelijken (G.H.R) yang mana Adapun jenis perkawinan campuran yang dimaksudkan adalah:
1. Perkawinan yang para
pihaknya berbeda golongan;
2. Perkawinan yang para
pihaknya berbeda kewarganegaraan;
3. Perkawinan yang para
pihaknya berbeda regio;
4. Perkawinan yang para
pihaknya berbeda Hukum Adat mereka;
5. Perkawinan yang para
pihaknya berbeda agama.
Mengingat dalam perkawinan campuran itu calon
mempelainya tundak pada hukum yang berbeda, maka timbul pertanyaan hukum mana
yang akan diberlakukan (applicable law)?
Untuk memecahkan permasalahan itu maka
berdasarkan Pasal 2 jo. Pasal 6 G.H.R,
intinya menerangkan bahwa yang berlaku adalah hukum calon suami.
Kemudian dengan lahir dan berlakunya Undang-Undang
Repulik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana
amanat konstitusi menjadi aturan utama yang menakhiri era pluralisme hukum
perkawinan yang sudah demikian lama berlaku di tanah air.
Lahirnya Undang-Undang ini menjadi Langkah awal
unifikasi hukum perkawinan Indonesia sehingga untuk seluruh warga negara
Indonesia untuk urusan kawin harus tunduk pada ketentuan Undang-Undang
Repulik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Mengingat berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Repulik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa:
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya
Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74),
Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898
No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh
telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku,”
Kemudian berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Repulik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,”
Pada dasarnya hukum positif kita mengenal adanya Perkawinan Campuran sebagaimana Pasal 57 Undang-Undang Repulik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa:
“Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam
Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk
pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu
pihak berkewarganegaraan Indonesia,”
Ini berbeda sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 Ayat (2) G.H.R yaitu:
“Perbedaan agama, golongan penduduk atau asal usul
tidak dapat merupakan halangan pelangsungan perkawinan,”
Hukum positif kita tidak mewadahi dan tidak mengakui perkawinan beda agama, meskipun pengantin laki-lakinya beragama Islam. Meskipun dalam ketentuan Pasal 40 Huruf C Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyebutkan:
“Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria
dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: seorang wanita yang tidak
beragama islam,”
Oleh karena itu, perkawinan tersebut tidak bisa
dilakukan dan didaftarkan secara Islam, yaitu di Kantor Urusan Agama (KUA)
sebagaimana ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah,
Talak, dan Rujuk dan yang dapat dilakukan hanyalah mencatatkan
perkawinan tersebut di catatan sipil, sebagaimana pendudukan non-muslim
lainnya.
Sedangkan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Repulik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan:
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”
Jika kita baca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi dengan seksama Mahkamah menetapkan bahwa:
1.
Pencatatan
perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan.
2.
Pencatatan
merupakan kewajiban administratif yang Diwajibkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Mengingat juga, semenjak 1 Januari 1989 (melalui Keppres
Nomor 12 Tahun 1983) Kantor Catatan Sipil tidak lagi berwenang untuk
mengawinkan, hanya mencatatkan.
Artinya, peran negara di sini bukan untuk menyatakan
sah atau tidak suatu perkawinan berdasarkan Pasal 2 Ayat (1)
Undang-Undang Perkawinan, karena sah tidaknya itu sifatnya
keperdataan, barulah kemudian Ayat (2) terkait
soal administrasi, yang menjadi peran negara.
Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 34
ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan sebagaimana kali terakhir diubah
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 yang
kita sebut juga dengan Undang-Undang Adminduk, menyatakan bahwa perkawinan
yang sah wajib dicatatkan.
Sebaliknya, ketika perkawinan dilangsungkan tanpa
mengikuti hukum agama dan kepercayaan sehingga perkawinannya dianggap tidak
sah, maka perkawinan bahkan menjadi tidak bisa dicatatkan karena perkawinannya
bahkan dianggap tidak pernah terjadi.
Akibat dari tidak adanya pencatatan adalah tidak ada
perlindungan yang diberikan kepada pasangan yang melangsungkan perkawinan beda
agama dan kepercayaan sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Maria Farida Indrati di
dalam concurring opinion pada Putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 tertanggal 17
Februari 2012 di halaman 39-40.
Pasal 34 Undang-Undang Adminduk menyatakan:
“Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada instansi Pelaksana di
tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal
perkawinan.”
Selanjutnya, Pasal 35 huruf a Undang-Undang Adminduk menyatakan:
“Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 berlaku pula bagi: perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan,”
Penjelasan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Adminduk menyatakan:
“Yang dimaksud dengan "Perkawinan yang ditetapkan
oleh Pengadilan" adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda
agama.”
Ketika Pasal 34, Pasal
35 huruf a, dan Penjelasan Pasal 35 huruf a Undang-Undang
Adminduk dibaca bersamaan, maka dapat disimpulkan bahwa
perkawinan beda agama dan kepercayaan adalah perkawinan yang “sah” sehingga
dapat dicatatkan, sepanjang dilakukan dengan penetapan pengadilan.
Ada beberapa pendapat hakim-hakim yang menyatakan bahwa perkawinan beda agama dan kepercayaan dapat dilakukan seperti dalam Penetapan Nomor 112/Pdt.P/ 2008/PN.Ska, Penetapan Nomor 156/Pdt.P/2010/PN.Ska, Penetapan Nomor 04/Pdt.P/2012/PN.MGL, Penetapan Nomor 198/Pdt.P/2013/PN.Lmj, Penetapan Nomor 210/Pdt.P/2013/PN.Jr, Penetapan Nomor 772/Pdt.P/2013/PN.Mlg, Penetapan Nomor 12/Pdt.P/2022/PN.Ptk, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400K/PDT/1986, alasan yang secara umum digunakan adalah sebagai berikut:
1.
Bahwa
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur bahwa
perkawinan beda agama dan kepercayaan merupakan suatu larangan perkawinan.
Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk melarang perkawinan beda agama dan
kepercayaan karena ketentuan tersebut hanya berlaku terhadap perkawinan antara
dua orang yang memeluk agama yang sama;
2.
Bahwa dengan
diajukannya permohonan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, maka Pemohon
telah berkehendak untuk tidak melangsungkan perkawinan berdasarkan agamanya
sehingga ia dianggap telah menghiraukan status agamanya;
3.
Bahwa Pasal 27
dan Pasal 28B ayat (1) UUD NRI 1945 yang menetapkan bahwa setiap orang berhak
untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah
dan Pasal 29 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing;
4.
Bahwa Indonesia
memiliki masyarakat yang plural sehingga perkawinan beda agama dan kepercayaan
merupakan suatu peristiwa yang sangat mungkin terjadi. Akan tetapi,
satu-satunya undang-undang yang mengatur mengenai perkawinan, yaitu
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak secara tegas mengatur
mengenai perkawinan beda agama dan kepercayaan sehingga terjadi kekosongan
hukum sehingga perlu dilakukan suatu penemuan hukum oleh hakim.
Khusus untuk Putusan Mahkamah Agung dalam Putusan
Nomor 1400K/PDT/1986 kembali menyatakan dan menegaskan bahwa Pasal
2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
mengatur perkawinan antaragama sehingga terdapat kekosongan hukum. Akibat
kekosongan hukum tersebut mengakibatkan penyelundupan penutupan nilai-nilai
sosial, agama, maupun hukum-hukum positif.
Bahwa menurut putusan Mahkamah Agung a quo,
permohonan kasasi tersebut diajukan oleh Andy Voni Gani P. bermaksud
melangsungkan perkawinan antara agama di Kantor Catatan Sipil (KCS) dengan
Andrianus Petrus Hendrik Nelwan, akan tetapi KCS menolaknya dengan alasan tidak
ada dasar hukumnya.
Melalui putusan Mahkamah Agung tersebut, Mahkamah
Agung memerintahkan KCS untuk memasukkan pernikahan dan mencatat perkawinan
dari Pemohon dan calon pasangannya karena di masa depan akan banyak
permasalahan hukum terkait perkawinan antar agama.
Bagi hakim-hakim yang menyatakan bahwa perkawinan beda agama dan kepercayaan tidak dapat dilakukan, seperti dalam Penetapan Nomor 08/Pdt.P/2013/PN.Ung dan Penetapan Nomor 527/Pdt/P/2009/PN.Bgr, alasan yang secara umum digunakan adalah:
1.
Agama adalah
unsur dari perkawinan yang tidak dapat dilepaskan; dan
2.
Pasal 25
huruf a Undang-Undang Adminduk hanya mengatur mengenai kewenangan Pejabat Catatan Sipil untuk mencatat
perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan, sedangkan mengenai syarat,
larangan, dan tata cara pelaksanaan perkawinan masih mengacu pada ketentuan
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Bagaimana jika melakukan peralihan agama sebagai
alasan untuk melangsungkan perkawinan?
Perlu dicatat bahwa Peralihan agama tidak membubarkan
perkawinan. Pendapat ini merupakan pendapat terbanyak para sarjana (communis
opinio doctorum), antara lain Lemaire dan van Hasselt. Hanya dapat
dijadikan alasan oleh yang tidak turut beralih agama untuk mengajukan tuntutan
perceraian.
Contoh:
Putusan Landraad Banyumans 1934, di mana istri mengajukan tuntutan cerai dengan alasan suami menjadi bukan Kristen (masuk Islam dan kawin lagi dengan perempuan lain). Sekarang, menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), murtadnya salah satu pasangan suami atau istri, merupakan alasan untuk bercerai.
Akhir kata, Solusi yang dapat ditempuh pada akhirnya adalah untuk tetap dapat melangsungkan perkawinan beda agama antara lain:
1.
Melangsungkan
perkawinan di luar negeri setelah 1 (satu) tahun kembali dan harus dicatat di
Kantor Catatan Sipil di Indonesia;
2.
Melangsungkan
perkawinan tetap di Indonesia akan tetapi dilakukan di 2 (dua) instansi agama
yang berbeda (seperti Vihara, Gereja, dan lain sebagainya), lalu dicatat di
Kantor Catatan Sipil;
3. Melangsungkan perkawinan di 1 (satu) instansi agama saja, misalnya gereja atau KUA, lalu minta penetapan pengadilan yang memerintahkan agar Kantor Pencatatan Sipil mencatatkan.
Update-an Informasi Baru
Informasi terbaru, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI), M. Syarifuddin telah menerbitkan Surat
Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara
Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-umat Berbeda Agama dan Kepercayaan
tanggal 17 Juli 2023. Sejumlah kalangan menyambut positif terbitnya SEMA itu
guna mengakhiri polemik pengesahan pencatatan perkawinan berbeda agama dan
kepercayaan melalui pengadilan.
Hanya saja, perlu diketahui bahwa terbitnya SEMA Nomor 2 Tahun 2023 itu bukan berarti mengakhiri praktik
perkawinan beda agama. Mengingat, bahwa ruang perkawinan beda agama masih tetap terbuka dengan
keberadaan Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”) yang dilandasi dengan semangat pemenuhan hak administrasi warga tanpa praktik
diskriminatif. Artinya, ini harus diselesaikan
melalui harmonisasi antar norma di sejumlah peraturan perundang-undangan. Jadi,
terbitnya, SEMA saja tidak cukup.
Selama ini dalam beberapa kasus,
perkawinan beda agama mendapat legitimasi dari pengadilan. Kasus teranyar, pada
26 April 2022 lalu, Hakim Tunggal PN Surabaya Imam Supriyadi mengabulkan
permohonan dengan penetapan mengizinkan pasangan berinisial RA dan EDS
melangsungkan perkawinan beda agama di hadapan Pejabat Kantor Dinas Dukcapil
Kota Surabaya. Hakim merujuk Pasal 21 ayat (3) UU Perkawinan jo Pasal 35
Adminduk terkait kewenangan pengadilan untuk mengadili bila ada pasangan yang
perkawinannya ditolak (seperti kawin beda agama).
Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK)
melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 24/PUU-XX/2022 dan
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 68/PUU-XII/2014 tentang
pengujian Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan
konsisten telah menolak untuk melegalkan perkawinan beda agama melalui
pengujian kedua pasal tersebut.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau
langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini.
Terima Kasih.