Seperti yang kita ketahui bahwa Perkawinan adalah
ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (vide Pasal 1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan respons dari
masalah sosial yang terjadi di masyarakat oleh karena banyaknya praktik
perkawinan di bawah tangan (perkawinan yang tidak dicatatkan) atau perkawinan
siri ternyata menimbulkan permasalahan yang masif di masyarakat. Banyak perempuan
dan anak-anak yang menjadi korban dari perkawinan yang tidak memiliki bukti
otentik atau Akta Perkawinan atau buku nikah.[1]
Satu di antara kasus akibat perkawinan yang tidak
dicatatkan adalah kasus perkawinan siri Machica Mukhtar dengan Murdiono yang
berlangsung pada tahun 1993. Dari perkawinan tersebut lahir anak laki-laki yang
bernama M. Iqbal Ramadhan. Meski perkawinan
Machica dan Murdiono dianggap sah oleh agama, di mata hukum
Indonesia Iqbal tidak memiliki hubungan keperdataan dengan sang ayah.
Akibatnya, Iqbal tidak berhak atas nafkah dan harta warisan sang ayah. Merasa
diperlakukan tidak adil akhirnya Machica mencari keadilan dengan menggunakan
hak konstitusional yang ia miliki dengan mengajukan Judicial Review ke
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang kemudian diputus dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010, tanggal
17 Februari 2012. Walau demikian Machica terakhir mengajukan Gugatan ke
Pengadilan Agama sampai ke Mahkamah
Agung Republik Indonesia hasilnya justru berbading terbalik dari
Putusan MK tersebut.
Melihat fenomena di atas, bahwa masih banyak Warga
Negara Indonesia (WNI) yang tidak mencatatkan perkawinannya kepada Pegawai
Pencatat Nikah (PPN). Perkawinan yang dilakukan oleh mereka hanya memenuhi
tuntutan agamanya tanpa memenuhi tuntutan administratif. Salah satu sebabnya
adalah karena ketidaktegasan hukum pencatatan perkawinan.
Akibatnya, perkawinan mereka tidak mendapatkan akta
kawin, sehingga suami atau istri tidak dapat melakukan Tindakan hukum
keperdataan berkaitan dengan rumah tangganya. Anak-anak yang dilahirkannya
hanya diakui oleh negara sebagai anak di luar kawin yang hanya memiliki
hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya.
Implikasinya, jika seorang istri dan anaknya
ditelantarkan oleh suami atau ayah biologisnya, maka tidak dapat melakukan
tuntutan hukum baik pemenuhan hak ekonomi maupun harta kekayaan milik bersama.[2]
Begitu pula segala akibat yang timbul dari perkawinan
tidak dicatat itu. Kemudian, ketentuan pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal
2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menyatakan:
(1)
Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2)
Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan perkawinan adalah pendataan administrasi
perkawinan yang ditangani oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN) dengan tujuan untuk
menciptakan ketertiban dan kepastian hukum.
Perlu diingat bahwa perbuatan pencatatan perkawinan,
bukanlah menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Pencatatan Perkawinan bersifat administratif, yang
menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu memang ada dan terjadi. Dengan
pencatatan itu perkawinan menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun
pihak-pihak lainnya. Suatu perkawinan yang tidak tercatat dalam Akta
Perkawinan dianggap tidak ada oleh negara dan tidak mendapat kepastian hukum.
Bila dicermati ketentuan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perkawinan, kemudian
dihubungkan dengan prinsip pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal
2 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perkawinan,
pemaknaannya bersifat ambiguitas dan memiliki potensi untuk saling melemahkan
bahkan bertentangan. Hal ini dikemukakan Hakim Konstitusi Maria
Farida Indrati yang memiliki alasan berbeda (concurring opinion)
terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
46/PUU-VIII/2010, tanggal 17 Februari 2012 yang menyatakan:
“Keberadaan
Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 menimbulkan ambiguitas bagi pemaknaan Pasal 2 ayat
(1) UU 1/1974 karena pencatatan yang dimaksud oleh Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang a quo tidak ditegaskan apakah sekadar pencatatan
secara administrative yang tidak berpengaruh terhadap sah atau
tidaknya perkawinan yang telah dilangsungkan menurut agama atau kepercayaan
masing-masing, ataukah pencatatan tersebut berpengaruh terhadap sah atau
tidaknya perkawinan yang dilakukan. Keberadaan norma agama dan norma hukum
dalam satu peraturan perundang-undangan yang sama, memiliki potensi untuk
saling melemahkan bahkan bertentangan. Dalam perkara ini, potensi saling
meniadakan terjadi antara Pasal 2 ayat (1) dengan Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974.
Pasal 2 ayat (1) yang pada pokoknya menjamin bahwa perkawinan adalah sah jika
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, ternyata
menghalangi dan sebaliknya juga dihalangi oleh keberlakuan Pasal 2 ayat (2)
yang pada pokoknya mengatur bahwa perkawinan akan sah dan memiliki kekuatan
hukum jika telah dicatat oleh instansi berwenang atau pegawai pencatat nikah.
Jika Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 dimaknai sebagai pencatatan secara
administratif yang tidak berpengaruh terhadap sah atau tidak sahnya suatu
pernikahan, maka hal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak
terjadi penambahan terhadap syarat perkawinan. Seturut dengan itu, kata
“perkawinan” dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang a quo juga
akan dimaknai sebagai perkawinan yang sah secara Islam atau perkawinan menurut
rukun nikah yang ke-lima. Namun demikian, berdasarkan tinjauan sosiologis
tentang lembaga perkawinan dalam masyarakat, sahnya perkawinan menurut agama
dan kepercayaan tertentu tidak dapat secara langsung menjamin terpenuhinya
hak-hak keperdataan istri, suami, dan/atau anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut karena pelaksanaan norma agama dan adat di masyarakat
diserahkan sepenuhnya kepada kesadaran individu dan kesadaran masyarakat tanpa
dilindungi oleh otoritas resmi (negara) yang memiliki kekuatan pemaksa.”[3]
Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di
tempat terjadinya peristiwa perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari
sejak tanggal perkawinan. (vide Pasal 34 ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan)
Yang dimaksud dengan “perkawinan” adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan. Perkawinan bagi Penduduk yang beragama Islam
dicatat oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. (vide Penjelasan Pasal 34 ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan)
Kemudian, Pencatatan Perkawinan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 Undang-Undang Administrasi Kependudukan berlaku
pula bagi:
a.
Perkawinan yang
ditetapkan oleh Pengadilan; dan
b.
Perkawinan Warga
Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan Warga Negara Asing
yang bersangkutan. (vide Pasal 35 Undang-Undang tentang
Administrasi Kependudukan)
Pencatatan perkawinan pada prinsipnya merupakan hak
dasar dalam keluarga. Selain itu merupakan upaya perlindungan terhadap istri
maupun anak dalam memperoleh hak-hak keluarga seperti hak waris dan lain-lain.
Pencatatan Perkawinan juga diatur dalam Pasal
2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1975 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menyatakan bahwa:
(1)
Bagi yang
beragama Islam pencatatannya oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1954 tentang
Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk.
(2)
Bagi mereka yang
bukan Islam, pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor
Catatan Sipil.
Dengan kata lain bagi mereka yang melakukan perkawinan
menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) (vide Pasal
1 Angka 2 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019
tentang Pencatatan Pernikahan), pada umumnya dilaksanaan bersamaan
dengan upacara akad nikah karena petugas pencatat nikah dari KUA hadir dalam
acara akad nikah tersebut.
Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha,
Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil setelah kedua mempelai
melakukan perkawinan menurut agamanya masing- masing.
Misalnya bagi mereka yang memeluk agama Katholik atau
Kristen, terlebih dahulu kedua mempelai melakukan prosesi perkawinan di gereja,
dengan membawa bukti (surat kawin) dari gereja barulah perkawinan tersebut
dicatatkan di Kantor Catatan Sipil setempat.
Akibat Hukum Tidak Dicatatnya Perkawinan
1.
Perkawinan
Dianggap Tidak Sah Karena Tidak Tercatat
Meski perkawinan menurut Undang-Undang adalah sah
Ketika dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing, namun di mata
negara perkawinan Anda dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan
Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil (KCS).
2.
Anak di
Luar Perkawinan yang Tidak Dicatat Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan
Keluarga Ibu, Dapat Memiliki Hubungan Perdata dengan Ayahnya Sepanjang Dapat
Dibukti dengan Tes DNA dan Ada Putusan/Penetapan Pengadilan yang Berkekuatan
Hukum Tetap
Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau
perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (vide Pasal
42 dan Pasal 43 Undang-Undang Republik Indonesia
tentang Perkawinan jo. Putusan MK Nomor
46/PUU-VIII/2010).
3.
Anak dan
Ibunya tidak Berhak atas Nafkah dan Warisan
Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat
adalah, baik istri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut
tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau
langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini.
Terima Kasih.
[1]
Itsnaatul Lathifah, “Pencatatan
Perkawinan: Melacak Akar Budaya Hukum dan Respon Masyarakat Indonesia Terhadap
Pencatatan Perkawinan”, (Yogyakarta; Jurnal Prodi Perbandingan Mazhab Fakultas
Syari'ah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga, 2015), 49.
[2]
Masruhan, “Pembaruan Hukum
Pencatatan Perkawinan di Indonesia Perspektif Maqāsid Al-Shari’ah” (Surabaya;
Jurnal Al-Tahrir, Volume 13, Nomor 2, Fakultas Syari’ah Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel, 2013), 235.
[3] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, 39-40.