Ilustrasi Restorative Justice, Sumber Foto: Mr.Online. |
Dua pengendara Motor Gede (moge) Harley Davidson
menjadi perhatian publik beberapa waktu belakangan setelah kasus penabrakan
yang mengakibatkan dua anak kembar, Husen Firdaus (8) dan Hasan Firdaus (8),
meninggal dunia ditabrak dua pengendara moge saat melintas di Jalan
Kalipucang-Pangandaran, pada Sabtu (12/3) siang.
Mengutip Kumparan,
melaporkan bahwa Keluarga Korban dan Pelaku Penabrakan melakukan upaya damai
dengan dua pengendara motor gede itu. Dua pengendara motor itu yang juga bagian
dari klub motor sudah memberikan uang duka senilai Rp 50 juta. Sontak mendengar
kabar yang demikian membuat netizen berang dan ada yang berkomentar bahwa
proses pidana terhadap kasus tersebut harus tetap berjalan.
Dua pengendara moge berinisial AG dan AN yang menabrak
anak kembar di Jalan Raya Banjar-Pangandaran, kini telah ditetapkan sebagai
tersangka.
Mereka dijerat Pasal 310 Ayat
(4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”).
“Hukumannya bisa sampai enam tahun,” kata Kabid Humas
Polda Jabar Kombes Pol Ibrahim Tompo di Mapolda Jabar, Selasa (15/3).
Kembali mengutip Kumparan,
Pakar Hukum Pidana UGM, M Fatahillah Akbar menjelaskan soal restorative justice
ini, Kejaksaan telah mengeluarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020.
Kemudian Kapolri juga telah mengeluarkan Perpol Nomor 8 Tahun 2021. Akan tetapi
kedua peraturan tersebut tidak bisa serta merta digunakan dalam kasus ini.
“Dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan
Keadilan Restoratif, selanjutnya
disebut sebagai “Perpol/8/2021”atau Peraturan Kejaksaan
Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan
Berdasarkan Keadilan Restoratif, selanjutnya disebut sebagai “Perja/15/2020”, ada
batasan-batasannya di mana kalau misalkan kita lihat di dalam batasannya tidak
bisa itu kecelakaan yang mengakibatkan meninggalnya orang lain itu diselesaikan
dengan mekanisme restoratif,” kata Akbar melalui sambungan telepon, Senin
(14/3).
Hal ini pun sesuai dengan KUHAP maupun KUHP, di situ
tidak diatur penyelesaian damai dalam perbuatan yang menghilangkan nyawa orang
lain. Baik itu karena kealpaan maupun kesengajaan.
“Berdasarkan dasar-dasar itu tidak bisa menerapkan
keadilan restoratif juga. Kalau restoratif itu mengembalikan, kalau
mengembalikan sudah meninggal kan bagaimana,” katanya.
Kemudian menjadi pertanyaan, lantas apa dan bagaimana
yang dimaksud serta mekanismenya Restorative Justice itu?
Kapan dan apa batasannya dan bagaimana hal itu baru dapat digunakan dan
diterapkan khususnya di Indonesia?
Apa itu Restorative Justice?
Restorative Justice (Keadilan Restoratif) disingkat RJ atau biasa disebut Pemulihan Keadaan, punya dua pengertian yang memang harus dipahami dengan baik antara pengertian secara konseptual dan pengertian secara proses.
Pengertian Secara Konsep
Pengertian secara konsep RJ adalah suatu pemulihan
keadilan yang tidak menitikberatkan pada suatu penghukuman dalam suatu bangunan
pemikiran physical punishment or corporal punishment yang
cenderung ke soal Retributive Justice, baca De Legibus Cicero.
Konsep keadilan restoratif dalam tataran bangsa-bangsa
diperkenalkan oleh Tenth United
Nations Congress on thePrevention of Crime and the Treatment of Offenders
Vienna, 10-17 April 2000, yaitu Pendekatan
restoratif bertujuan untuk memberantas kejahatan dan mengedapankan pemulihan
tidak hanya bagi korban tetapi juga pemulihan bagi pelaku dan masyarakat yang
terkena dampak darinya “Aware of the promise of restorative approaches
to justice that aim to reduce crime”.
Penekanan dari konsep restoratif dalam deklarasi ini
tidak hanya bertumpu pada hak dan kepentingan dari korban saja, tetapi juga
memperhatikan hak dan kepentingan pelaku dan masyarakat serta pemangku
kepentingan terkait (stakeholder) guna memulihkan kerusakan yang sudah
terjadi dalam keadaan semula.
Oleh sebab itu, Keadilan Restoratif ini merupakan
suatu kritikan terhadap paradigma penyelesaian perkara pidana “Hukum Pelaku
Habis Perkara”, yang seringkali kurang akomodatif terhadap kepentingan dan hak
korban (sendiri) untuk mendapatkan pemulihan.
RJ dalam hal ini bagian dari Politik Sistem Peradilan
Pidana untuk menerapkan keinginan dari pelaku dan korban yang dirugikan untuk
mendapatkan pilihan terbaik (solusi) sebagai pengganti hukuman (alternative)
yang dinilai lebih manusiawi terlebih juga dapat menghemat biaya dan beban
kerja peradilan tradisional dengan menitikberatkan pada efektivitas dan
kemanfaatan hukum.
Meskipun demikian, istilah Restorative Justice (RJ)
atau Keadilan Restoratif tetap digunakan pada tingkat yang berbeda dengan
konten serta konteks yang tidak dapat terhadap semua jenis Tindak Pidana.
Pertama-tama, ia mengacu pada konsep keadilan yang mengatasi logika tradisional
retribusi (keadilan retributif) dalam filosofi pemidanaan (Trenczek, 2014).
Menurut Prof. Thomas Trenczek, penderitaan yang
dialami dari tindakan ketidakadilan harus dikompensasikan sejauh mana tatanan
yang diterima secara adil dalam atau oleh komunitas sosial (tertentu) yang
titik beratnya harus (kembali) didirikannya keadilan tersebut (untuk memulihkan
keadilan seperti keadaan semula - restitutio in integrum)
Dalam pendekatan ini, yang ditujukan untuk kompensasi
dan reparasi, terdapat berbagai model teoretis dan praktis dengan cakupan (scope)
yang berbeda.
Penting untuk dicatat bahwa pendekatan RJ tidak
terbatas pada suatu perbuatan pidana, tetapi mencakup soal keperdataan juga
soal Administrasi, sosial budaya, juga ekonomi antar komunitas yang terdampak
secara langsung oleh karena ada ketidakadilan dan penderitaan pribadi (secara
hakiki) yang dialami oleh Pelaku.
Secara internasional, prosedur RJ digunakan tidak hanya dalam hukum pidana, tetapi juga dalam konflik di tempat kerja (ketenagakerjaan), di sekolah, dan di lembaga-lembaga publik.
Pengertian Secara Proses
Sedangkan RJ menurut pengertian secara proses adalah
penyelesaian kasus atau perkara yang melibatkan pelaku dan korban.
Menurut Kent Roach dalam “Changing
punishment at the turn of the century: Restorative justice on the rise” membandingkan
RJ dengan model keadilan tradisional, keadilan restoratif menawarkan pendekatan
yang lebih positif dan konstruktif untuk memulihkan hubungan antara korban
dengan orang yang melakukan suatu perbuatan pidana, dan masyarakat secara keseluruhan.
Sedangkan menurut Robert Cario dalam “Mediasi Pidana
Antara Represi dan Reparasi,” (1998), pendekatan RJ tidak menghilangkan
penolakan dan penegasan kembali pada norma-norma sosial yang sudah berlaku di
masyarakat secara umum, tetapi cenderung membuat rasa keadilan yang lebih
berbelas kasih dan lebih peka terhadap penderitaan individu dan komunitas yang
terkena dampak kejahatan secara nyata.
Keadilan restoratif juga, menurutnya mempromosikan
nilai-nilai seperti penyembuhan bagi pelaku dan korban, masukan dari
masyarakat, dialog kontributif dan partisipatif antara pihak-pihak yang
terlibat, pengampunan, akuntabilitas, dan persaudaraan. Ini disajikan sebagai
alternatif dari sistem keadilan yang berlawanan dan penangkal terhadap
kebijakan penghukuman fisik dalam proses pemenuhan keadilan tersebut.
Tujuan keadilan restoratif menurut Cario adalah
memberikan peran yang lebih besar kepada korban; untuk memenuhi kebutuhan
mereka akan informasi tentang alasan dan keadaan berlakunya suatu pertanggung
jawaban Pidana; memungkinkan mereka untuk merasa lebih didengarkan dan
memperoleh kompensasi secara nyata atau simbolis; dan mendapatkan kembali
kemerdekaan dan kekuasaan yang telah direnggut oleh kejahatan dari mereka.
Pengertian secara proses itu juga dapat ditemukan
dalam Basic
Principles On The Use Of Restorative Justice Programmes In Criminal Matters,
ECOSOC Res. 2000/14, U.N. Doc. E/2000/INF/2/Add.2 at 35 (2000) mengartikan
keadilan restoratif sebagai:
“any
process in which the victim, the offender and/or any other individuals or
community members affected by a crime actively participate together in the
resolution of matters arising from the crime, often with the help of a fair and
impartial third party. Examples of restorative process include mediation,
conferencing and sentencing circles,”
(Setiap
proses yang melibatkan korban, pelaku, dan atau pihak lain yang dipengaruhi
oleh tindak pidana, secara bersama berpartisipasi aktif untuk menyelesaikan
permasalahan yang timbul akibat tindak pidana, dan biasanya dibantu oleh pihak
lain yang tidak berpihak. Contohya seperti melakukan mediasi, pertemuan dan
seputar pemberian sanksi)
Ini kemudian dapat dilihat pengertian RJ dalam Pasal
1 Angka 3 Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021
tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Yang
menyebutkan adalah:
“Keadilan
Restoratif adalah penyelesaian Tindak Pidana dengan melibatkan pelaku, korban,
keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat
atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil
melalui perdamaian dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula,”
Itu pun ada diatur dalam Pasal 1 Angka
1 Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang
Penghentian penuntutaan Berdasarkan Keadilan Restoratif, yaitu:
“Keadilan
Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku,
Korban, keluarga pelaku/Korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama
mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan
semula, dan bukan pembalasan,”
Jika proses itu sampai dan sudah menjadi kewenangan
Jaksa. Di tingkat Pengadilan lagi, itu diatur lagi berdasarkan Surat
Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor
1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice di
Lingkungan Peradilan Umum. Titik tekan lebih mendekati RJ itu memang
condong ke soal pengertian secara proses, yaitu dengan memperhatikan
kepentingan korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi
terhadap korban dan mengupayakan perdamaian dan penghukuman kepada pelaku lebih
ke hukuman kerja sosial atau dengan dibuatnya kesepakatan-kesepakatan lainnya.
Syarat RJ di Tingkat Kepolisian
Kepolisian Republik Indonesia (“Polri”) telah menerbitkan Surat
Edaran Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor SE/8/VII/2018 tentang
Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Penyelesaian Perkara Pidana dan Pasal
1 Angka 27 dan Pasal 12 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana jo. Pasal
3 dan Pasal 4 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021
tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif yang
menjabarkan tentang syarat serta mekanisme penyelesaian perkara dengan
menggunakan keadilan restorative.
Kalau persyaratan RJ berdasarkan Pasal 1 Angka 27 dan Pasal 12 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana (disingkat: Perkap/6/2019), menyebutkan bahwa:
Pasal
1 Angka 27 Perkap/6/2019:
“Keadilan
restoratif adalah penyelesaian kasus pidana yang melibatkan pelaku, korban
dan/atau keluarganya serta pihak terkait, dengan tujuan agar tercapai keadilan
bagi seluruh pihak.”
Pasal
12 Perkap/6/2019:
“Dalam
proses penyidikan dapat dilakukan keadilan restoratif, apabila terpenuhi
syarat:
Syarat
Materiil, meliputi:
1.
tidak
menimbulkan keresahan masyarakat atau tidak ada penolakan masyarakat;
2.
tidak berdampak
konflik sosial;
3.
adanya pernyataan
dari semua pihak yang terlibat untuk tidak keberatan, dan melepaskan hak
menuntutnya di hadapan hukum;
4.
prinsip pembatas:
pada
pelaku:
1. tingkat kesalahan
pelaku relatif tidak berat, yakni kesalahan dalam bentuk kesengajaan; dan
2.
pelaku
bukan residivis;
pada
tindak pidana dalam proses:
1.
penyelidikan; dan
2.
penyidikan,
sebelum SPDP dikirim ke Penuntut Umum;
Syarat
Formil, meliputi:
1.
Surat permohonan
perdamaian kedua belah pihak (pelapor dan terlapor);
2. Surat pernyataan
perdamaian (akte dading) dan penyelesaian perselisihan para pihak yang
berperkara (pelapor, dan/atau keluarga pelapor, terlapor dan/atau keluarga
terlapor dan perwakilan dari tokoh masyarakat) diketahui oleh atasan Penyidik;
3.
Berita acara
pemeriksaan tambahan pihak yang berperkara setelah dilakukan penyelesaian
perkara melalui keadilan restoratif;
Rekomendasi gelar perkara khusus yang menyetujui
penyelesaian keadilan restoratif; dan
Pelaku tidak keberatan dan dilakukan secara sukarela atas tanggung jawab dan ganti rugi.”
Kemudian berdasarkan Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 7 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (disingkat: Perpol/8/2021), menyebutkan bahwa:
Pasal
3 Perpol/8/2021:
“Penanganan
Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 harus memenuhi persyaratan:
1.
Umum; dan/atau
2.
Khusus.
Persyaratan
umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, berlaku untuk penanganan Tindak Pidana berdasarkan
Keadilan Restoratif pada kegiatan Penyelenggaraan Fungsi Reserse Kriminal,
Penyelidikan atau Penyidikan.
Persyaratan
khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, hanya berlaku untuk penanganan Tindak Pidana berdasarkan
Keadilan Restoratif pada kegiatan Penyelidikan atau Penyidikan.”
Pasal
4 Perpol/8/2021:
“Persyaratan
umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, meliputi:
1.
Materiil; dan
2.
Formil.”
Pasal
7 Perpol/8/2021:
“Persyaratan
khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b, merupakan
persyaratan tambahan untuk Tindak Pidana:
1.
Informasi dan
transaksi elektronik;
2.
Narkoba; dan
3.
Lalu lintas.”
Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, mengatur lebih spesifik (ketimbang Perkap/6/2019) terkait Tindak Pidana apa saja yang mendapatkan persyaratan khusus dan Lalu Lintas termasuk di dalamnya sebagaimana ketentuan itu tertuang pada Pasal 10 Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang menyebutkan bahwa:
Pasal
10 Perpol/8/2021:
“Persyaratan
khusus untuk Tindak Pidana lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf
c, meliputi:
1.
kecelakaan lalu
lintas yang disebabkan mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara dan keadaan
membahayakan yang mengakibatkan kerugian materi dan/atau korban luka ringan;
atau
2.
kecelakaan lalu
lintas di jalan karena kelalaiannya yang mengakibatkan korban manusia dan/atau
kerugian harta benda.”
Ketentuan Pasal 10 Perpol/8/2021 di
atas itu bertalian dengan ketentuan Pasal 310 Ayat (1) dan Ayat
(2) Undang-Undang Nomor22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan (“UULLAJ”), dengan mengecualikan Pasal
310 Ayat (3) dan Ayat (4) UULLAJ.
Damai Tidak Menghapus Pidana Jika Itu Terkait dengan Menghilangkan Nyawa Dalam UULLAJ
Selain itu perlu dipahami juga berdasarkan Pasal
235 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ) mengatakan bahwa:
“Jika
korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan
Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya
pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara
pidana.”
Sebagaimana kasus yang ada Pihak Kepolisian tampaknya
akan menerapkan Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang unsur-unsurnya adalah
sebagai berikut:
1.
Unsur Setiap
Orang;
2.
Unsur
Mengemudikan Kendaraan Bermotor Yang Karena Kelalaianya Mengakibatkan
Kecelakaan Lalu-Lintas Yang Mengakibatkan Orang Lain Meninggal Dunia.
Sebagaimana Pertimbangan Yang Mulia Majelis Hakim
dalam beberapa Putusan seperti Putusan Pengadilan Negeri Kayuagung
Nomor 259/Pid.Sus/2018/PN Kag, tanggal 5 Juni 2018 yang dalam
pertimbangan hukumnya Majelis Hakim menyatakan bahwa dari hasil pemeriksaan di
persidangan tidak diketemukan bukti yang menunjukkan bahwa terdakwa tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan dan tidak diketemukan
alasan pengecualian penuntutan, alasan pemaaf atau hapusnya kesalahan.
Oleh karenanya, dalam amarnya Majelis pun menjatuhkan amar sebagai berikut:
MENGADILI
1. Menyatakan Terdakwa als RHS telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia”;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut oleh karena itu pidana penjara selama 2 (dua) tahun;
3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan; Menetapkan barang bukti berupa:
- 1 (satu) unit kendaraan Truk Colt Diesel BG 8941 UD;
- 1 (satu) lembar STNK kendaraan Truck Cold Diesel BG 8941 UD
Dikembalikan kepada yang berhak melalui terdakwa.
- 1 (satu) unit kendaraan Toyota Avanza BG 1405 UW;
- 1 (satu) lembar STNK kendaraan Toyota Avanza BG 1405 UW
Dikembalikan kepada yang berhak melalui saksi Lia Ardianti.
5. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp2.000,00 (Dua ribu Rupiah).
Artinya, bahwa oleh karena semua unsur dari Pasal
310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan telah terpenuhi, maka Terdakwa haruslah dinyatakan telah
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana
didakwakan.
Majelis juga berpendapat bahwa dalam menjatuhkan
pidana kepada terdakwa menurut hemat Majelis lebih sesuai dengan rasa keadilan,
Majelis Hakim akan memperhatikan sifat yang baik dan sifat yang jahat dari
Terdakwa sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta
Keadaan yang memberatkan dan Keadaan yang meringankan bagi diriterdakwa sesuai
dengan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP.
Ini bertalian pula dengan Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 94/K/PID/2018, tanggal 21 Februari 2018 tentang
menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 8 (delapan)
bulan, telah mempertimbangkan dengan cukup semua keadaan yang melingkupi
perbuatan Terdakwa, baik keadaan yang memberatkan maupun keadaan yang
meringankan dan sifat tindak pidana yang dilakukan Terdakwa, terutama
permasalahan kecelakaan lalu lintas tersebut telah diselesaikan secara
kekeluargaan dengan perdamaian antara Terdakwa dengan keluarga korban.
Masalah Penerapan terhadap adanya RJ
Belum ada aturan setingkat Undang-Undang yang murni
mengatur secara khusus untuk Tindak Pidana apa saja yang berdasarkan syarat
& ketentuannya dapat melalui Restorative Justice kecuali
terhadap Pidana Anak sebagaimana adanya Diversi.
Semua aturan di atas (seperti Perpol, Perkap, Perja,
dan Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum) levelnya masih
teknis yang kadang kala menimbulkan tanda tanya, akibat hukumnya tanpa adanya
dasar hukum yang kuat dan mekanismenya juga seutuhnya belum dapat benar-benar
mengakomodasi kepentingan korban terutama untuk kejahatan (yang disengaja atau
lalai untuk jenis tindak pidana dengan klasifikasi tertentu), walau memang
diatur batasannya di aturan teknis tersebut.
Selain itu RJ tentunya tetap menitikberatkan perlakuan
yang dianggap “netral” bukan “imparsial” ingin seolah-olah membela kepentingan
korban akan tetapi dibatasi oleh karena tidak memihak korban untuk kasus atau
perkara tertentu dengan pertimbangan kesetaraan hak kompensasi dan asas
keseimbangan dalam upaya pemulihan itu tadi.
Masalah baru pun muncul, kalau pemulihan tadi hanya
berupa ganti rugi yang dinomimalkan (pemenuhan terhadap kepentingan fisik saja
dari korban) bagaimana dengan psikisnya? Belum lagi kalau tidak seimbangnya
status ekonomi, sosial, budaya jo. Sipil dan Politik antara pelaku
dan korban.
Keadilan Restorative jauh dari
pilihan terbaik dan tetap belum menjamin adanya keadilan dan juga kemanfaatan
yang sebenar-benarnya.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.