Hukum Perpajakan merupakan bagian dari Hukum Publik: (seperti Hukum Tata
Negara, Hukum Administrasi Negara, dan Hukum Pidana), oleh karenanya
berlakulah Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali – Hukum yang khusus, yang mana hubungan antara Hukum Pajak dan Hukum Pidana
dapat dilihat sebagaimana ketentuan Pasal 103 KUHP. Sifat khas
dari Hukum Pajak adalah bersifat imperatif, pelaksanaannya tidak dapat
ditunda.
Berdasarkan Asas-Asas:
-
Asas Tempat Tinggal;
-
Asas Sumber.
Karakteristik Pajak:
-
Dipungut oleh negara berdasarkan Undang-Undang serta peraturan
pelaksananya;
-
Dalam pembayarannya wajib tidak ada kontra prestasi (tanpa imbalan
timbal balik);
-
Tujuan utama pembayaran pajak sebagai sumber keuangan negara;Pajak
dipungut disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang
memberikan kedudukan tertentu seseorang.
Unsur-Unsur Pajak:
1.
Iuran Rakyat kepada negara bersifat wajib;
2.
Berdasarkan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Pelaksana
yang berlaku umum (ciri khas hukum publiknya);
3.
Tanpa timbal balik secara langsung yang dapat ditunjuk dan/atau
diterima;
4.
Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara (dalam menjalankan dan
melaksanakan amanat konstitusi).
Hukum Pajak juga berkaitan dengan Hukum Perdata, yang mana Hukum Pajak
menganut prinsip pemajakan terjadi jika terpenuhi 2 (dua) syarat yaitu
syarat subjektif dan syarat objektif. Baik syarat subjektif maupun
syarat objektif berkaitan erat dengan ketentuan hukum perdata. (vide Pasal 2 Angka 1 Pasal 2 ayat (1) beserta Penjelasannya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan)
Syarat Subjektif Perpajakan
Adapun persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan
ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan
1984 dan perubahannya, yaitu terdiri dari Orang Pribadi / Perseorangan
atau badan, badan yang dimaksud di sini adalah badan usaha yang tidak
berbadan hukum seperti CV, Firma, Persekutuan Dagang, Persekutuan
Perdata, dsb. Dan badan usaha yang berbadan hukum seperti Perseroan
Terbatas (PT), Yayasan, Koperasi, Perkumpulan, dsb-nya. Selain itu
mengenai Waris yang belum dibagi.
Kemudian, untuk subjek orang/perseorangan atau badan tadi berupa Subjek
Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri.
1. Subjek Pajak Dalam Negeri:
-
Orang yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu dua belas bulan atau orang yang dalam suatu
tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia.
-
Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan (domisili) di
Indonesia.
-
Bentuk Usaha Tetap.
2. Subjek Pajak Luar Negeri:
Yang dimaksudkan dengan Subyek Pajak luar negeri adalah Subyek Pajak
yang tidak bertempat tinggal, tidak didirikan, atau tidak berkedudukan
di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia.
Syarat Objektif Perpajakan
Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima
atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan
pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak
Penghasilan 1984 dan perubahannya. Yang menjadi objek pajak adalah
penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa
pun, termasuk:
a.
Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,
komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk
lainnya termasuk natura dan/atau kenikmatan, kecuali ditentukan lain
dalam Undang-Undang ini;
b.
Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c.
Laba usaha;
d.
Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1.
Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2.
Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau
anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
3.
Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan
dalam bentuk apa pun;
4.
Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara
pihak-pihak yang bersangkutan; dan
5.
Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh
hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau
permodalan dalam perusahaan pertambangan;
e.
Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f.
Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
g.
Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis;
h.
Royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j.
Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k.
Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l.
Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m.
Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n.
Premi asuransi;
o.
Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang
terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan
bebas;
p.
Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak;
q.
Penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r.
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s.
Surplus Bank Indonesia. (vide BAB III Pajak Penghasilan Pasal 3 Angka 1 Pasal 4 ayat (1) dan ayat
(2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan)
Jenis-Jenis Pungutan oleh Negara
Adapun dengan Jenis-Jenis Pungutan oleh Negara yang secara umum
diketahui adalah sebagai berikut:
1.
Bumi, Air, Kekayaan Alam Pajak Bumi dan Bangunan (PBB): Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) masuk didalamnya;
2.
Pajak, Bea, Cukai, Retribusi, Sumbangan:
Penerimaan Negara Berupa Pajak:
1)
Pajak Penghasilan (PPh);
2)
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPn);
3)
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM);
4)
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
5)
Pajak Ekspor;
6)
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB);
7)
Cukai dan Bea Masuk;
8)
Pajak Perdagangan Internasional;
9)
Bea Materai.
Bea: Pungutan yang dikenakan atas suatu kejadian atau perbuatan berupa
lalu lintas barang dan perbuatan lainnya berdasarkan Undang-Undang;
Cukai: Pungutan yang dikenakan atas barang-barang tertentu, biasanya
barang yang dikonsumsi berdasarkan peraturan perundang-undangan;
Retribusi: Iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksakan dengan jasa
timbal balik langsung yang dapat ditunjuk;
Sumbangan: Iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksakan secara yuridis
dan ekonomis yang ditujukan dan dimaksudkan untuk golongan tertentu.
3.
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP);
4.
Hasil Perusahaan Negara;
5.
Sumber Percetakan Uang, Pinjaman, etc.
Pajak Pusat
Pajak Berasal dari Penerimaan Negara Pajak dibagi menjadi 2 (dua) yaitu
Pajak Pusat dan Pajak Daerah, adapun pengaturan atau dasar hukum dari
Pajak Pusat sebagai berikut:
1.
Penjelasan Pasal 2 Angka 1 Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan
Perpajakan jo. Penjelasan Umum Angka 6 Huruf b Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan;
2.
Pasal 1 Angka 27 jo. Pasal 12 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun
2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021
tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan;
3.
Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
8 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pemungutan, Penyetoran dan
Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah oleh Badan Usaha Milik Negara dan
Perusahaan Tertentu yang Dimiliki Secara Langsung oleh Badan Usaha
Milik Negara sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai jo. Pasal 16 Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 59 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 231 Tahun 2019 tentang Tata Cara
Pendaftaran Dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan Dan
Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Serta Pemotongan Dan/Atau
Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Bagi Instansi
Pemerintah;
4.
Pasal 11, Pasal 12 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
10 Tahun 2020 tentang Bea Materai jo. Pasal 1 Angka 11 Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 151 Tahun 2021 tentang Penetapan Pemungut
Bea Meterai dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Bea
Meterai;
5.
Pasal 2 ayat (4) jo. Pasal 1 Angka 14 Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 48 Tahun 2021 Tata Cara Pendaftaran,
Pelaporan, dan Pendataan Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan jo. Undang-Undang Nomor Republik Indonesia 12 Tahun 1985
tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
Pajak Pusat dipungut oleh Pemerintah Pusat, yang mana sebagian besar
pungutan atas pajak tersebut dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak,
Kementerian Keuangan (Ditjen Pajak Kemenkeu). Segala Bentuk
Administrasinya diarahkan ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP
Pratama) yaitu Instansi Vertikal yang berada di bawah Ditjen Pajak,
selain itu ada Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan
(KP2P), juga Kantor Wilayah Ditjen Pajak berperan penting. Sedangkan PPn
dan PPnBM dipungut oleh Kantor Pelayanan Pembendaharaan Negara,
Bendahara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan Direktorat Jenderal Bea Cukai
(Ditjen Bea Cukai).
Berikut Jenis Pajak yang termasuk dalam Pajak Pusat yang dipungut
Pemerintah Pusat:
1.
Pajak Penghasilan (PPh);
2.
Pajak Pertambahan Nilai (PPn);
3.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM);
4.
Bea Materai;
5.
Pajak Bumi dan Bangunan Tertentu (PBB-P3).
Setelah adanya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) dan berlaku
secara efektif pada tanggal 1 Januari 2010 memberikan kewenangan yang
lebih besar kepada daerah dalam mengatur Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, meningkatkan akuntabilitas dalam penyediaan layanan dan
pemerintahan, memperkuat otonomi daerah, serta memberikan kepastian
hukum bagi masyarakat dan dunia usaha. Sehingga dialihkannya Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) menjadi Pajak Daerah.
Pada awalnya PBB-P2 merupakan pajak yang proses administrasinya
dilakukan oleh pemerintah pusat sedangkan seluruh penerimaannya
dibagikan ke daerah dengan proporsi tertentu. Oleh karenanya sekarang
PBB Sektor Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan atau disebut dengan
PBB-P3, masih tetap menjadi Pajak Pusat.
Sekarang Undang-Undang Republik Indonesia 28 Tahun 2009 tentang PDRD
sudah dicabut dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah.
Pajak Daerah
Pajak Daerah dibagi lagi menjadi 2 (dua) pungutan pajak yaitu Pajak
Pemerintah Provinsi dan Pajak Pemerintah Kabupaten/Kota, adapun Pajak
Pemerintah Provinsi antara lain:
1.
Pajak Kendaraan Bermotor (PKB);
2.
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB);
3.
Pajak Alat Berat (PAB);
4.
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB);
5.
Pajak Air Permukaan (PAP);
6.
Pajak Rokok;
7.
Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan.
Sedangkan, Pajak Daerah yang dipungut oleh Pemerintah Pajak
Kabupaten/Kota, antara lain:
1.
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2);
2.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB);
3.
Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT);
4.
Pajak Reklame;
5.
Pajak Air Tanah (PAT);
6.
Pajak Mineral Bukan Logam dan dan Batuan (MBLB);
7.
Pajak Sarang Burung Walet;
8.
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor (Opsen PKB);
9.
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (Opsen BBNKB).
Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang
oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Selain Pajak Daerah juga ada yang dikenal dengan Retribusi
Daerah, apa itu Retribusi Daerah? Retribusi Daerah adalah pungutan
Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang
khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk
kepentingan orang pribadi atau badan.
Retribusi
Adapun Jenis Retirbusi antara lain:
1.
Retribusi Jasa Umum;
2.
Retribusi Jasa Usaha;
3.
Retribusi Perizinan Tertentu. (vide Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah)
Adapun Subjek Pajak dari Pajak Daerah sama saja yaitu Orang Pribadi dan
Badan, yang kemudian disebut juga sebagai Wajib Pajak.
Objek Retribusi
Penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu
kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah
Daerah. (vide Pasal 87 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022
tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah)
Referensi / Dasar Hukum:
1.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan jo.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009;
2.
Undang-Undang Nomor Republik Indonesia 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan jo. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2008;
3.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah jo. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 43 Tahun 2009;
4.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 tentang
Pajak Bumi dan Bangunan jo. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 1994;
5.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006;
6.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1995 tentang
Cukai jo. Undang Undang Republik Indonesia Nomor
39 Tahun 2007;
7.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 tentang
Pengampunan Pajak;
8.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Materai;
9.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi
Peraturan Perpajakan;
10.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
Adapun penjelasan bagan sebagai berikut:
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda
melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada
di sini. Terima Kasih.