PENDAPAT HUKUM (LEGAL OPINION)
DUDUK PERKARA
1.
Bahwa BM
sekiranya bulan April 2020 melangsungkan Perkawinan secara agama dengan seorang
perempuan yang bernama INW di Kota Palembang, Sumatera Selatan dengan wali
nikah adik kandung laki-laki dari INW yang bernama RK;
2.
Bahwa ketika BM
melangsungkan perkawinan secara agama (siri) dengan INW, ketika itu masih
berstatus istri (kedua) dari seorang pria yang Bernama GSG yang merupakan
seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) berdasarkan buku nikah yang terbit pada
tanggal 14 September 2004;
3.
Bahwa ketika
melangsungkan pernikahan (secara agama/siri) dengan BM, INW sudah berstatus
sebagai PNS, INW diangkat sebagai PNS Kabupaten KR sebagai tenaga lapangan /
Staff Penyuluh Petani atau PPL mulai pada tahun 2009 hingga saat ini;
4.
Bahwa sekiranya
pada Maret 2020 INW telah meminta suami sebelumnya, GSG untuk menceraikan
dirinya, namun itu belum dilakukan sampai dengan perkawinan (siri) antara BM
dan INW diberlangsungkan dan itu diketahui oleh GSG;
5.
Bahwa setelah
pernikahan (siri) telah dilakukan oleh BM dan INW, GSG masih sering mengajak
INW bertemu tanpa sepengetahuan dari BM di hotel untuk melakukan hubungan
layaknya sepasang suami-istri.
DASAR HUKUM
1.
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
2.
Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan;
3.
Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri
Sipil;
4.
Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil;
5.
Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam;
6.
Surat Edaran
Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor 48/SE/1990 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian
Bagi Pegawai Negeri Sipil;
7.
Peraturan Bupati
Kubu Raya Nomor 93 Tahun 2020 tentang Pendelegasian Kewenangan Dalam Bidang
Kepegawaian.
LEGAL OPINION
STATUS PERKAWINAN BM DENGAN ISTRI SIRI-NYA YANG BELUM DICERAIKAN SECARA RESMI SUAMINYA
Berdasarkan duduk perkara di atas, kami menangkap:
1.
Sdri. INW yang
melangsungkan perkawinan dengan Sdr. BM secara siri masih terikat dengan
perkawinan terdahulu karena belum ada putusan berkekuatan hukum tetap yang
menyatakan bahwa ia dan suaminya telah resmi bercerai;
2.
Sejauh mana hak
serta kewajiban Sdr. BM dalam status perkawinan sirinya?;
3.
Terkait dengan
berhubungan badan antara Sdri. INW dengan Sdr. GSG yang dengan sepengetahuan
atau pun tanpa sepengetahuan Sdr. Bobby Muslim, apakah Sdr. Bobby Muslim dapat
melakukan upaya hukum terkait hal itu secara pidana ataupun perdata?
Pertama-tama perlu diketahui bahwa dalam Pasal
34 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan antara lain
mengatakan bahwa bagi mereka yang beragama Islam, suatu perceraian dianggap
terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan
Pengadilan Agama (PA) yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Ini artinya, jika Anda ingin melangsungkan perakwinan
dengan seorang perempuan secara siri paling tidak ia sudah mengajukan upaya
hukum di tingkat pertama, banding, ataupun kasasi, dan harus memiliki kekuatan
hukum tetap (in kracht van gewijsde). Dengan kata lain, perkawinan
antara perempuan yang akan Anda ingin kawini atau sudah Anda nikahi dengan
suaminya itu harus sudah putus secara hukum negara, jika tidak, Anda tidak
dapat melangsungkan perkawinan dengannya.
Meski pun demikian, berdasarkan Pasal 14
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang
menyebutkan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
-
Calon Suami;
-
Calon Isteri;
-
Wali Nikah;
-
Dua orang saksi
dan;
-
Ijab dan kabul.
Dengan demikian, apabila syarat dan rukun nikah
tersebut terpenuhi, nikah siri (nikah menurut Agama Islam) sudah sah menurut
ketentuan Hukum Islam. Sekali lagi jika bicara soal legalitas, hal yang paling
mendasar dalam hukum perkawinan sebagaimana yang diatur dalam UU Perkawinan,
Indonesia menganut asas monogami dan tidak menganut asas poliandri,
yang artinya suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri
dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami, oleh karena
berlaku Pasal 34 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di atas
itu tadi. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya
memberikan izin bagi suami untuk memiliki lebih dari satu istri dengan berbagai persyaratan
(vide Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (2),
dan Pasal 5 ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan).
Lagipula, kalaupun kemudian perempuan itu telah resmi
bercerai dengan suaminya, maka ia masih harus menunggu masa iddah.
Perempuan bersuami yang masih berada dalam lindungan suaminya tidak
halal menikah dengan orang lain. Supaya halal menikah dengan
laki-laki lain, maka harus terpenuhi dua syarat, yaitu:
-
Telah lepas dari
tangan suami, baik karena meninggal dunia maupun karena talak (bercerai); dan
-
Telah habis iddah
(masa tunggu-pen) yang diperintahkan oleh Allah. Selama dalam masa iddah
tersebut masih dalam tanggung jawab suami terdahulu.
ATURAN HUKUM PERKAWINAN BAGI PNS
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1974 telah diatur ketentuan tentang Perkawinan yang berlaku bagi seluruh warga
negara dan penduduk Indonesia, tentu termasuk di dalamnya adalah warga negara
yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang Wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka beristri lebih
dari seorang dan perceraian sejauh mungkin harus dihindarkan. (vide Pasal
1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan)
Pegawai Negeri Sipil adalah unsur aparatur negara,
abdi negara, dan abdi masyarakat yang harus menjadi teladan yang baik bagi
masyarakat dalam tingkah laku, tindakan, dan ketaatan kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, termasuk menyelenggarakan kehidupan
berkeluarga serta menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga. (vide Pasal
11 huruf g Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa
Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil).
Pegawai Negeri Sipil yang telah melangsungkan
perkawinan pertama kalinya (jejaka atau perawan), wajib mengirimkan laporan
perkawinan secara tertulis kepada Pejabat melalui saluran hirarki,
selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah perkawinan dilangsungkan. Ketentuan
ini juga berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil yang menjadi duda/janda yang
melangsungkan perkawinan lagi. (vide Pasal 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian
Bagi Pegawai Negeri Sipil sebagaimana yang telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang tentang Izin Perkawinan
Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil)
PNS telah diatur mengenai Izin perkawinan dan
perceraiannya sebagaimana ketentuan di atas. PNS yang tidak memberitahukan
perkawinan pertamanya secara tertulis kepada Pejabat dalam jangka waktu
selambat-lambatnya satu tahun setelah perkawinan dilangsungkan, dapat dijatuhi
satu di antara hukuman disiplin berat sesuai Pemerintah Nomor 53
Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil dan
ketentuan khusus yang mengatur tentang izin perkawinan PNS untuk beristri lebih
dari satu (poligami) terdapat dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil,
adapun bunyinya sebagai berikut:
1)
Pegawai Negeri
Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih
dahulu dari Pejabat.
2)
Pegawai Negeri
Sipil Wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat.
3)
Permintaan
izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis.
4)
Dalam surat
permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), harus dicantumkan alasan
yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang.
Selanjutnya, dalam Penjelasan Pasal 4 ayat
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi
Pegawai Negeri Sipil disebutkan bahwa ketentuan ini mengandung
pengertian bahwa selama berkedudukan sebagai istri kedua/ketiga/keempat
dilarang menjadi PNS.
Berkaitan dengan duduk perkara yang ada di
atas, dari ketentuan ini dapat dilihat bahwa Sdr. GSG dapat saja beristri lebih
dari satu, setelah mendapat izin perkawinan dari Pejabat. Di
samping itu, dari ketentuan ini bisa juga kita simpulkan juga bahwa
GSG tidak boleh menikah dengan wanita yang berstatus sebagai PNS
karena ini akan menjadikannya sebagai istri keduanya dan itu melanggar ketentuan
aturan yang ada di atas. Karena PNS wanita dilarang untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat.
Namun perlu dipahami jika INW dan GSG ketika melangsungkan perkawinan
saat itu INW tidak berstatus sebagai PNS, namun meski pun demikian tetap berlaku
ketentuan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, jika GSG saat itu
sudah memiliki istri pertama sebelum INW.
Ini pun bersesuaian dengan Bagian Romawi
III. Angka 1 mengenai Pengawai Negeri Sipil Pria yang Akan Beristri Lebih dari
Seorang dan Romawi IV. angka 1 dan 2 mengenai PNS Wanita Tidak Diizinkan
Menjadi Istri Kedua/Ketiga/Keempat, Surat Edaran Badan Administrasi Kepegawaian
Negara Nomor 48/SE/1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor
45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
KETENTUAN MENGENAI IZIN KAWIN BAGI PNS
Secara umum, dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan telah diatur bahwa jika seorang
suami akan beristeri lebih dari seorang, maka si suami wajib mengajukan
permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (vide Pasal
4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan)
Pengadilan hanya akan memberikan izin kepada si suami untuk beristeri lebih
dari satu jika (Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (vide Pasal
4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:
-
Isteri tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
-
Isteri mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
-
Isteri tidak
dapat melahirkan keturunan.
Selain hal-hal di atas, si suami dalam mengajukan
permohonan kepada Pengadilan untuk beristeri lebih dari satu orang, harus
memenuhi syarat-syarat (vide Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) sebagai berikut:
-
Adanya
persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
-
Adanya kepastian
bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan
anak-anak mereka;
-
Adanya jaminan
bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Persetujuan isteri/isteri-isterinya tidak diperlukan
jika isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak
dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari
isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab
lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan (vide Pasal
5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Jadi secara umum, jika suami ingin menikah lagi harus
memenuhi beberapa persyaratan salah satunya persetujuan isteri. Tetapi bagi
PNS, ada peraturan khusus lagi yang mengatur hal itu tidak hanya ketentuan yang
tersebut di atas. Mengenai syarat memperoleh izin terlebih dahulu dari Pejabat,
adapun yang dimaksud dengan pejabat menurut Pasal 1 huruf b
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian
Bagi Pegawai Negeri Sipil adalah:
1)
Menteri;
2)
Jaksa Agung;
3)
Pimpinan Lembaga
Pemerintah Non Departemen;
4)
Pimpinan
Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara;
5)
Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I;
6)
Pimpinan Bank
milik Negara;
7)
Pimpinan Badan
Usaha milik Negara;
8)
Pimpinan Bank
milik Daerah;
9)
Pimpinan Badan
Usaha milik Daerah.
Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristri
lebih dari seorang ini wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang
dikemukakan dalam surat pemintaan izin dan pertimbangan dari atasan PNS yang
bersangkutan. Demikian yang disebut dalam Pasal 9 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri
Sipil. Pemberian atau penolakan pemberian izin bagi PNS untuk beristri
lebih dari seorang dilakukan oleh Pejabat secara tertulis dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai ia menerima permintaan izin
tersebut. Hal ini disebut dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor
45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Jika
Pejabat menilai bahwa alasan-alasan dan syarat-syarat yang
dikemukakan dalam permintaan izin tersebut kurang meyakinkan, maka Pejabat
harus meminta keterangan tambahan dari istri PNS yang mengajukan permintaan izin
atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan keterangan yang
meyakinkan. Ketentuan ini disebut dalam Pasal 9 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian
bagi Pegawai Negeri Sipil. Sebelum mengambil keputusan,
pejabat tersebutpun memanggil PNS (pria) yang bersangkutan atau bersama-sama
dengan istri-nya untuk diberi nasihat (vide Pasal 9 ayat (3)
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian
bagi Pegawai Negeri Sipil.)
Kemudian, apa saja syarat-syarat yang wajib Anda
penuhi sebagai bahan pertimbangan dari Pejabat itu? Berdasarkan
Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, izin
untuk beristri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila
memenuhi sekurang- kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat
kumulatif yang disebut dalam Pasal 10 ayat (2) dan (3) Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi
Pegawai Negeri Sipil.
Syarat alternatif dan kumulatif tersebut adalah:
A.
Syarat
Alternatif:
1)
Istri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai istri;
2)
Istri mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau
3)
Istri tidak dapat
melahirkan keturunan.
B.
Syarat
Kumulatif:
1)
Ada
persetujuan tertulis dari istri;
2)
Pegawai Negeri
Sipil pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai
lebih dari seorang istri dan anak anaknya yang dibuktikan dengan surat
keterangan pajak penghasilan; dan
3)
Ada jaminan
tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil
terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
Selain hal-hal di atas, ada syarat lain yang
harus dipenuhi agar dapat beristri lebih dari satu dan atau menjadi istri kedua
dari seorang PNS, yaitu bahwa hal tersebut tidak bertentangan dengan ajaran
agama yang dianut masing-masing pihak. Hal ini karena izin untuk beristri lebih
dari seorang tidak diberikan oleh Pejabat apabila (vide Pasal
10 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan
dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil):
-
Bertentangan
dengan ajaran/peraturan agama yang dianut PNS yang bersangkutan;
-
Tidak memenuhi
setidaknya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif;
-
Bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
-
Alasan yang
dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; dan/atau
-
Ada kemungkinan
mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.
SANKSI BAGI PNS YANG TIDAK MENDAPATKAN IZIN MENIKAH
Apa sanksinya jika PNS yang bersangkutan tidak
mendapatkan izin dari pejabat untuk berpoligami atau tidak melaporkan
perkawinannya? Untuk menjawabnya, kita mengacu pada Pasal 15
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi
Pegawai Negeri Sipil yang mengatur bahwa PNS yang tidak melaporkan
perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya
satu tahun terhitung sejak perkawinan tersebut dilangsungkan, dijatuhi salah
satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil sebagaimana yang
telah diubah menjadi Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai
Negeri Sipil.
Perlu diketahui bahwa Peraturan Pemerintah
Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil telah
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Pasal 50 Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Adapun jenis hukuman disiplin berat yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(4) Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil terdiri
dari:
-
Penurunan pangkat
setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun;
-
Pemindahan dalam
rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah;
-
Pembebasan dari
jabatan;
-
Pemberhentian
dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS;
-
Pemberhentian
tidak dengan hormat sebagai PNS.
Dapat dikatakan, PNS yang melakukan perkawinan secara
diam-diam atau tanpa izin pejabat yang berwenang bisa dikenakan sanksi hukuman
disiplin PNS sebagaimana yang diatur dalam Pemerintah Nomor 53 Tahun
2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. PNS yang melakukan
pelanggaran disiplin dijatuhi hukuman disiplin oleh pejabat yang berwenang
menghukum. Istri (sah) dapat melaporkan suaminya pada pejabat yang berwenang
untuk menghukum. Merujuk pada duduk perkara di atas, PNS melakukan
poligami tanpa izin istri pertama maka jika dikenakan sanksi disiplin berat dan
diberhentikan maka pemberhentian sebagai PNS ditetapkan oleh Pemerintah,
pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan Pasal
4 Peraturan Bupati Kubu Raya Nomor 93 Tahun 2020 tentang Pendelegasian
Kewenangan Dalam Bidang Kepegawaian yang berhak memberikan
izin perkawinan dan atau perceraian bagi PNS dengan golongan IV/a dan golongan
ke atas ialah Sekretaris Daerah dan Pasal 6 Peraturan Bupati Kubu
Raya Nomor 93 Tahun 2020 tentang Pendelegasian Kewenangan Dalam Bidang
Kepegawaian diberikan oleh Bupati terhadap Kepala Badan
Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kabupaten, yang
punya kewenangan memberikan izin perkawinan baik yang pertama dan kedua,
juga perceraian terhadap pegawai dengan Golongan I/a dan Golongan III/d.
KETENTUAN PIDANA NIKAH SIRI
Pasal 279 KUHPidana, sekilas terlihat perbuatan Sdri. INW yang
menyembunyikan status perkawinan sebelumnya berdasarkan kronologis yang
disampaikan oleh Sdri. INW melangsungkan perkawinan dengan Anda dengan alasan
karena terdesak kebutuhan baik ekonomi maupun kebutuhan rohani dapat diancam
dengan hukum pidana.
Pasal 279 KUHPidana:
(1)
Diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun:
1.
barang siapa
mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau
perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu;
2.
barang siapa
mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau
perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.
(2)
Jika yang
melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 butir 1 menyembunyikan kepada pihak lain
bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(3)
Pencabutan hak
berdasarkan pasal No. 1 - 5 dapat dinyatakan. Menurut R. Soesilo, suatu
syarat supaya orang dapat dihukum menurut pasal ini ialah orang itu harus
mengetahui bahwa ia dulu pernah kawin dan perkawinan ini masih belum dilepaskan.
KESIMPULAN
1.
Bahwa Pernikahan
antara BM dan INW sudah memenuhi syarat dan rukun nikah; nikah siri (nikah
menurut Agama Islam) sudah sah menurut ketentuan Hukum Islam namun perkawinan
antara BM dan INW secara hukum negara tidak punya status hukum yang sah karena
hubungan antara INW dan suaminya belum putus sebelum adanya putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap mengenai perceraian keduanya;
2.
Bahwa Pegawai
Negeri Sipil yang telah melangsungkan perkawinan pertama kalinya (jejaka atau
perawan), wajib mengirimkan laporan perkawinan secara tertulis kepada Pejabat
melalui saluran hirarki, selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah perkawinan
dilangsungkan. Ketentuan ini juga berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil yang
menjadi duda/janda yang melangsungkan perkawinan lagi, ini juga berlaku bagi
INW yang melangsungkan perkawinannya dengan BM yang mana statusnya saat
perkawinan siri dengan BM adalah PNS;
3.
Bahwa Pasal 279
KUHPidana, sekilas terlihat perbuatan istri Anda yang menyembunyikan status
pernikahan sebelumnya dengan tidak melakukan izin pernikahan secara tertulis
yang mana diketahui ia merupakan PNS berdasarkan kesimpulan huruf (b) di atas
demi menikah dengan Anda dengan alasan karena terdesak kebutuhan baik ekonomi
maupun kebutuhan rohani dapat diancam dengan hukuman pidana.
(1)
Pasal 279
KUHP:
Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun:
1.
barang siapa
mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau
perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu;
2.
barang siapa
mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau
perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.
(2)
Jika yang
melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 butir 1 menyembunyikan kepada pihak lain
bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(3)
Pencabutan hak
berdasarkan pasal No. 1 - 5 dapat dinyatakan.Menurut R. Soesilo, suatu syarat
supaya orang dapat dihukum menurut pasal ini ialah orang itu harus mengetahui
bahwa ia dulu pernah kawin dan perkawinan ini masih belum dilepaskan.
4.
Bahwa Catatan
penting, sebenarnya bisa dikenakan Pasal 279 KUHPidana berdasarkan
poin kesimpulan huruf c di atas, di mana perkawinan BM terhalang dengan
perkawinan lain atau perkawinan-perkawinan lain. Untuk INW yang sudah menikah
siri dengan Sdr. BM, yang mana ia terhalang dengan perkawinan sebelumnya, yang
disebut terhalang oleh perkawinan-perkawinan lain yang disebutkan di unsur
kedua.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau
langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini.
Terima Kasih.