“Penafsiran” dalam hukum memiliki pengertian yang
berbeda.[1] Kata
“penafsiran” itu sendiri harus ditafsirkan.[2] Abaron
mengartikan bahwa penafsiran adalah kegiatan rasional dalam pemberian makna
pada suatu teks hukum.[3] Syaratnya
adalah rasionalitas yang menjadi kunci utama— a coin toss is not
interpretive activity. Artinya, penafsiran dengan mengutip Kelsen, adalah
suatu aktivitas intelektual,[4] yang
berkaitan dengan penentuan suatu pesan normatif yang muncul dari suatu “teks”.
Kemudian timbul pertanyannya lagi, apa yang dimaksud dengan “teks” itu? Dan
apakah teks itu sahih adalah pertanyaan yang berkaitan dengan penafsiran
tersebut, akan tetapi keduanya berbeda.
Dapat dianggap bahwa dengan adanya suatu “teks” dalam
teks dan konten itu adalah “teks hukum”maka itu bermakna sahih. Pertanyaannya
lagi adalah apa makna yang dilampirkan pada teks tersebut? Dapat didefinisikan
bahwa, penafsiran membentuk isi dari norma yang “terjebak” di dalam suatu teks.
Teks yang menjadi objek penafsiran dapat bersifat umum (seperti dalam
Undang-Undang Dasar (Konstitusi), Undang-Undang, Studi Kasus Hukum, atau
kebiasaan) atau subjek (seperti dalam kontrak atau wasiat, dsb). Ini mungkin tertulis
(seperti dalam konstitusi atau pertimbangan hukum hakim) atau lisan
(seperti dalam keterangan saksi, ahli, atau kontrak yang tersirat dalam suatu
fakta hukum).
Kata “teks” itu sendiri tidak terbatas pada teks yang
bersifat tertulis. Untuk tujuan penafsiran itu sendiri, maka setiap perilaku
yang menciptakan norma hukum adalah “teks” itu sendiri.
Untuk lebih jelasnya, dalam tulisan ini penulis
membagi metode penafsiran hukum menjadi 5 (lima) bagian yang secara umum
digunakan, yang mana masing-masing Metode yang berbeda menghasilkan hasil yang
berbeda dalam menafsirkan hukum itu sendiri.
Metode Literalisme (Plain Meaning Rule) atau Metode Sematik
Literalisme atau metode sematik adalah satu di antara
dari tiga metode dalam penafsiran hukum peraturan undang -undang yang
secara tradisional diterapkan oleh pengadilan di Inggris dan juga Amerika
Serikat.[5]Atau
disebut juga Penafsiran ekstensif penekanan pada aspek gramatikal dengan
melupakan mens auctoris.[6] Dalam
metode penafsiran ini menekan "Just read the words: All answers
found in the wording of the Constitution. Baca saja kata-katanya:
Semua jawaban ditemukan dalam kata per kata dalam ketentuan
perundang-undangan.
Akhirnya membuka peluang Peradilan menafsirkan
bagaimana undang-undang itu harus diterapkan dalam kasus tertentu karena tidak
ada Pasal dalam suatu ketentuan undang-undang yang secara jelas dan khusus
menangani semua masalah yang ada. Maka, tidak ada sumber eksternal yang
cukup mendukung hal tersebut mengingat ruang lingkup dari metode ini cukup
terbatas dan keyakinan penuh pada suatu ketentuan perundang-undanglah yang
memberikan jawaban tersebut, atau makna literal yang mudah dipahami. Keuntungan
dari Metode ini Removes judge's predisposition: Follow the law, not
what the judge wants the law to say atau menghindari kecenderungan apa
yang hakim inginkan bagaimana hukum itu akan tetapi tetap mengikuti bagaimana
hukum itu secara literalnya.
Masalah dengan Literalisme:
1.
Apa yang
dihasilkan tidak selalu konsisten; kadang bertentangan satu sama lain, antara
satu ketentuan perundang-undangan dengan undang-undangan yang lainnya.
2.
Kurangnya
ketepatan dalam penggunaan suatu Bahasa itu sendiri yang menimbulkan pemaknaan
yang berbeda; kata-kata yang dirumuskan memiliki arti dan konteks yang berbeda
dalam konten yang sama.
3.
Beberapa nilai
dalam Aturan Hukum tertentu bertentangan satu sama lain, dan pendekatan
literalis sama sekali tidak memberikan pedoman untuk menyelesaikan perbedaan
penafsiran justru semakin memperlebar makna yang diyakini masing-masing para
praktisi dan teorikus hukum.
Original Intent: Historical Basis; Intent/Motives of
Framers (Penafsiran
Historis atau Maksud dari si Pembuat Undang-Undang)
Original intent adalah teori
dalam hukum tentang penafsiran hukum yang sering digunakan
sebagai sinonim untuk orisinalitas.[7] Orisinalitas
itu sendiri adalah sebuah konsep tentang penafsiran Konstitusi
di Amerika Serikat yang menegaskan bahwa semua pernyataan dalam
konstitusi harus ditafsirkan berdasarkan pemahaman asli “pada saat ketentuan
itu dibuat”.
Konsep ini memandang Konstitusi sebagai acuan stabil
sejak ia diundangkan dan bahwa makna isinya hanya dapat diubah dengan
langkah-langkah yang diatur dengan sebagaimana mestinya.[8]
Metode ini lebih menggunakan pendekatan seperti:
1.
Apa yang dimaksud
dengan hukum itu? Dan Tujuan Hukum itu?
2.
Apa yang
dimaksudkan oleh para penyusun Undang-Undang saat hukum itu dibuat?
Hal yang baik menggunakan Metode ini adalah jika
menyimpang dari niat si pembuat undang-undang atau secara historikal berarti
mengubah sifat Undang-Undang tersebut, artinya maksud dan tujuan dari si
pembuat undang-undang yang baik tidak disimpangi. Selain itu, hukum
tidak berubah menurut penafsiran hakim. Titik awal ketika
menghadapi keadaan yang tidak terduga: dengan menurunkan prinsip dan terapkan
pada keadaan.
Untuk kekurangannya:
1.
Kurangnya catatan
lengkap: Tidak ada transkrip debat atau catatan lengkap naskah akademik maupun
risalah pembuatan hukum itu dibuat ketika hendak membaca apa yang dimaksudkan
oleh pembuatnya;
Niat siapa yang kita ikuti? Siapa yang dimaksud
dengan framer atau si pembuat undang-undang?
Menuntut agar hakim mengetahui sesuatu yang dalam
beberapa hal tidak dapat diketahui olehnya: Bagaimana kita dapat benar-benar
mengetahui maksud sebenarnya apa?
Metode Penafsiran Doktrinal
Ini yang kemudian kita kenal dengan istilah
Yurisprudensi. Yurisprudensi sendiri dikenal dengan 2 (dua) asas yang erat
seperti asas “Res Judicata” (yang berarti “perkara yang
diputus”) dan stare decisis non quieta et movere atau biasa
dikenal dengan asas stare decisis (yang berarti “ikuti
preseden di masa lalu dengan tidak mengganggu apa yang telah diputus di masa
sekarang” adalah prinsip-prinsip dalam hukum acara umum dari segi teori dan
praktek yang telah diterima sebagai salah satu sumber hukum, baik dalam sistem
hukum civil law maupun common law. Keduanya
mengatur efek disposisi sebelumnya tetapi secara faktual mirip dengan
perkara-perkara berikutnya. Untuk perkara-perkara di pengadilan,
Pengadilan cenderung memeriksa penerapan prinsip-prinsip ini dalam kaitannya
dengan putusan sebelumnya. Tetapi daya kekuatan mengikatnya Yurisprudensi tadi
bagi para hakim dalam sistem hukum Civil Law, memang berbeda dengan
hakim pada sistem hukum Common Law.
Walaupun harus diakui bahwa dalam kenyataan dan
perkembangan hukum sekarang, perbedaan tersebut tidak lagi terlalu mutlak untuk
secara ketat harus dipertentangkan satu sama lain, melainkan sudah saling
memasuki dan mempengaruhi sehingga batasnya menjadi tipis.[9]
Metode “the binding force of precedent” atau
asas “stare decisis” atau “stare decisis et quita non
movere” itu sendiri secara gradual mengikat hakim pada yurisprudensi
untuk perkara serupa, dengan isi yurisprudensi yang bersifat esensial yang
disebut ratio decidendi. “Perkara baru harus diputuskan dengan
cara yang sama seperti memutuskan perkara lama.” Ketergantungan pada
keputusan masa lalu adalah sifat mendasar dari setiap proses pengambilan
keputusan yang teratur, itu yang menjadi poin kunci dari metode
penafsiran ini.
Dengan mengambil pengalaman dari keputusan masa lalu
memainkan peran penting dalam mengamankan keseragaman dan stabilitas hukum yang
diperlukan. Kebutuhan akan memutuskan perkara hukum yang koheren jelas terlihat
bergantung pada keputusan pengadilan lain sebelum dalam mengambil keputusan.
Ikuti preseden jika fakta serupa dalam kasus sebelumnya.[10]
Keuntungan Penggunaan Metode ini:
1.
Mengadopsi
prinsip dan berlaku untuk perkara-perkara dengan keadaan serupa: Upaya
konsistensi internal oleh hakim dalam memutuskan perkara.
2.
Konsistensi dan
kontinuitas dalam hukum.
Permasalahan Metode ini
1.
Pendekatan yang
digunakan menjadi umum dalam pertimbangan hukumnya, akhirnya membuat hakim
dalam memutuskan perkara melihat mayoritas dan minoritas putusan mana yang
sering diputus berdasarkan preseden yang pernah diputus sebelumnya.
2.
Adanya perbedaan
antara ratio decidendi : asas/aturan yang
mendasari pertimbangan dalam putusan dengan obiter dictum : pernyataan
hakim berkaitan dengan pandangan atau pertimbangannya terhadap suatu kasus atau
perkara, di dalamnya mencakup pandangan terhadap aturan-aturan,
prinsip-prinsip, maupun penerapan hukum, atau dapat juga merupakan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan berkenaan dengan kasus tertentu, akan tetapi
tidak berkaitan secara langsung dengan substansi (pokok permasalahan)
suatu perkara Hakim selalu dapat memutuskan fakta kasus yang berbeda dari
preseden: Tidak ada pedoman untuk mengikuti preseden.
Metode Imaginative Reconstruction
“The judge should put himself in the shoes of the
legislators and try to imagine how they would have answered the
question.” Atau Hakim
harus menempatkan dirinya pada posisi legislator dan mencoba membayangkan
bagaimana mereka melakukan penafsiran itu untuk menjawab pertanyaan yang muncul
di muka sidang.[11] Konsepsi
tentang bagaimana seharusnya seorang hakim menafsirkan undang-undang akan
kemudian diberi label “rekonstruksi imajinatif”oleh Richard Posner, yang
secara singkat mendukung pandangan tersebut di awal karir peradilannya.[12] Keuntungan
metode ini membuat hakim lebih dapat memutuskan perkara berdasarkan
keyakinannya dalam memaknai hukum itu dengan tetap dapat berlandaskan pada
aspek keadilan dan kemanfaatan dari hukum. Permasalahannya, “it is
impossible to know what they would have said about it, if [they] had.” Yap,
sangat mustahil bagi hakim untuk tahu apa yang dimaksudkan oleh pembuat
undang-undang dahulunya dalam hal ini legislator dalam maksud dan tujuan
pembentukan undang-undang itu dalam alam berpikir pembuat undang-undang.
Bagaimana caranya?[13]
Metode Penafsiran Kontekstual
Penafsiran kontekstual bertujuan untuk menemukan makna
yang benar dan akurat dari suatu norma sesuai dengan kerangka umum tempatnya,
atau lebih baik: “melibatkan dan menempatkan ketentuan dalam konteks dan
menafsirkannya dalam kaitannya dengan ketentuan lain”.[14] Pada
proses konstruksi semantik kontekstual dimulai dengan ekspresi dan
frasa tunggal yang merupakan bagian dari kalimat hukum (melibatkan pengertian
dan referensi), kemudian sampai pada produksi terhadap makna penuh yang mungkin
dari kalimat yang sama, sebagai hasil dari koneksi, secara sintaksis “terbentuk
dengan baik” dari makna kata-kata dan frasa tunggal yang telah dikaitkan dengan
bagian integaral secara keseluruhan organik.[15]
Dimensi semantik konvensional dapat memungkinkan kita
untuk mengenali beberapa jenis interpretasi yang salah : tepatnya
interpretasi yang benar-benar tidak dapat dibenarkan keluar dari bingkai
semantik yang terkandung dalam suatu kalimat. Di sini kita dapat
menggunakan skema epistemologis realisme negatif , yang digunakan
oleh Eco untuk mengatakan, berbicara tentang teks dan aspek penggunaannya dalam
realitas, bahwa “ogni ipotesi interpretativa semper rivedibile.., ma,
se non si può dire definitivamente se una interpretazione sia giusta, si può
semper dire quando sbagliata”;[16] yaitu
artinya setiap hipotesis interpretatif selalu dapat direvisi (untuk disesuaikan
dengan keadaan).., tetapi, jika tidak mungkin untuk secara definitif mengatakan
apakah (itu akan menjadi) suatu interpretasi benar, seseorang selalu dapat
mengatakan kapan itu salah (bergantung pada ruang dan waktunya) dan, dalam hal
ini, sekiranya perlu kembali mengingat dengan menggunakan contoh ketentuan
hukum tentang “No vehicles in a park”, dimana Debat
antara Lon Fuller dan H.L.A Hart yang diterbitkan
dalam Harvard Law Review pada tahun 1958 tentang moralitas dan
hukum, yang menunjukkan perbedaan
antara filsafat positivis dan hukum alam (lex naturalis).
Hart mengambil pandangan positivis dalam menyatakan
bahwa moralitas dan hukum itu terpisah. Jawaban Fuller dalam debat
tersebut menyatakan moralitas sebagai sumber kekuatan yang mengikat bagi hukum.
Kemudian, Hart percaya bahwa metode untuk memutuskan kasus melalui logika atau
deduksi tidak selalu salah, seperti halnya belum tentu benar untuk memutuskan
kasus sesuai dengan tujuan sosial atau moral.
Hart mengambil contoh masalah “the core and
the penumbra” untuk mengilustrasikan gagasan bahwa hukum harus
dikaitkan dengan makna kata-kata, bukan keyakinan alami atau terikat dengan
moral apa pun. “core” atau “inti” dari masalah adalah dimaksudkan
untuk dicakup oleh suatu peraturan perundang-undangan diatur secara tegas,
lugas, dan jelas. Dalam contoh klasik, undang-undang yang melarang
kendaraan di taman (“No vehicles in a park”) jelas dimaksudkan
untuk melarang mobil untuk masuk. Kemudian untuk istilah, “penumbra”,
istilah ini muncul ketika peraturan perundang-undangan yang tidak
dipertimbangkan oleh pembuat undang-undang sebelumnya mengenai keterbatasan
definisi dari apa yang dimaksud dengan vehicles itu? Bagaimana
seperti skateboard, atau bagaimana jika ambulance yang
hendak masuk untuk menjemput orang yang sedang sekarat, misalnya? Maka pada
contoh di atas, seorang hakim yang menafsirkan hukum semacam itu dari
sudut pandang positivis akan melihat definisi kata-kata dalam undang-undang
tersebut dan dalam pandangan hukum alam percaya bahwa penciptaan hukum harus
didasarkan pada hukum alam atau moral yang ada secara umum.[17]
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau
langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini.
Terima Kasih.
[1] Abaron Barak, “Purposive Interpretation in Law”, (The United Kingdom; Pricenton University Press, 2005), 3.
[2] Kimberly Kessler Ferzan and Stephen J. Morse, “Legal, Moral, and Metaphysical Truths: The Philosophy of Michael S. Moore”, (Oxford, Oxford University Press, 2016), 359.
[3] Loc.cit
[4] H. Kelsen, “Pure Theory of Law” (German, Knight Tran, 2d ed, 1967), 348.
[5] Elmer Driedger, “Construction of Statutes”, (Toronto: Butterworths, 1983), 1.
[6] Diah Imaningrum Susanti, “Penafsiran Hukum: Teori dan Metode”, (Jakarta, Sinar Grafika, 2019), 158.
[7] Freeman, et al., “Justia Law”, (v. Quicken Loans, Inc., 566 U.S, 2012), 624.
[8] Bret Boyce, “Originalism and the Fourteenth Amendment”, Wake Forest Law Review, Vol. 33, 1998, 99.
[9] Paulus Effendi Lotulung, “Peranan Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum”, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1997), 10.
[10] M L Shahabuddeen, “Precedent in the World Court” (Cambridge, Cambridge University Press, 1996.
[11] Learned Hand, How Far Is a Judge Free In Rendering A Decision? (1933), reprinted In The Spirit Of Liberty 103 (Irving Dilliard ed., 3d ed. 1963), 106.
[12] Richard A. Posner, “Statutory Interpretation—in the Classroom and in the Courtroom”, (50 U. CHI. L. REV. 800, 817, 1983.
[13] Thomas W. Merrill, “The Hands Lecture Learned Hand On Statutory Interpretation: Theory And Practice”, (87 Fordham L. Rev. 1, 2018), 3.
[14] Brown, L.N. and Kennedy, T., The Court of Justice of the European Communities, (London: Sweet & Maxwell, 1994), 311.
[15] Ibid.
[16] Umberto Eco, “Di un realismo negative”, in M. De Caro & M. Ferraris (ed.), Bentornata realtà. Il nuovo realismo in discussione, (Torino, Einaudi, 2012), 105.
[17] H. L. A. Hart, “Positivism and the Separation of Law and Morals”, (Harvard Law Review, 71 (4), 1958, 593–629.