Ilustrasi Penipuan by all america speaker |
Konsep perjanjian pada dasarnya adalah hubungan
keperdataan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (B.W.) atau
dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Apabila
orang yang berjanji tidak memenuhi janji yang telah ditentukan, maka
berdasarkan Pasal 1238 KUHPerdata orang tersebut dapat
disebut dinyatakan lalai atau telah melakukan wanprestasi atau cidera janji.
Namun, pada praktiknya, masih ada orang-orang yang
dilaporkan ke Polisi karena tidak memenuhi janji yang telah ditentukan.
Umumnya, pihak pelapor merasa bahwa orang tersebut telah menipu pelapor karena
janji yang harus dilaksanakan ternyata tidak dipenuhi, padahal pelapor telah
menyerahkan barang dan/atau uang kepada orang tersebut.
Kondisi ini menimbulkan permasalahan hukum dan timbul
pertanyaan yaitu kapan sih seseorang yang tidak memenuhi sebuah perjanjian
dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi, sehingga penyelesaian perkaranya
harus dilakukan secara perdata? Kemudian, kapan orang tersebut dapat dikatakan
telah melakukan penipuan yang penyelesaian perkaranya dilakukan secara pidana?
Sebelum melangkah jauh membahas dan membedah kedua hal
ini, alangkah lebih baiknya untuk mengetahui dan memahami apa sih perjanjian
menurut hukum dan bagaimana perjanjian yang sah itu? Kemudian baru membahas
soal, apa itu wanprestasi? Tentu, jika bicara wanprestasi, ada yang namanya
prestasi atau pemenuhan terhadap kewajiban yang dituangkan dalam perjanjian
itu. Maka muncul lagi pertanyaan, apa sih Prestasi itu?
Prestasi dalam suatu Perikatan, Perjanjian, atau Kontrak
Mengenai prestasi itu sendiri, diatur dalam Pasal
1234 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa:
“perikatan
ditunjukkan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak
berbuat sesuatu,”
Sekarang pertanyaannya, apa sih perikatan itu?
Sebagaimana Pasal 1233 KUHPerdata menyebutkan bahwa,
perikatan lahir karena persetujuan atau karena undang-undang (alle verbindtenissen ontstaan of uit overeenkomst,
of uit de wet). Apalagi maksudnya itu? Perikatan yang lahir oleh karena
persetujuan tentu itu yang akan dibahas ini terkait dengan asas dalam hukum
kontrak yang disebut juga asas kebebasan berkontrak sebagaimana Pasal
1338 KUHPerdata yaitu:
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan
undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua
belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang,
persetujuan harus dilakukan dengan itikad baik,”
Dapat dikatakan bahwa berdasarkan pada asas kebebasan berkontrak (pacta sunt servanda) dalam Pasal 1338 KUHPerdata di atas, para pihak dalam kontrak bebas untuk membuat perjanjian, apapun isi dan namanya, dan bagaimanapun bentuknya.
Entah itu nantinya dalam kontrak bentuknya kontrak bernama (benoemde) atau disebut dengan Kontrak Nominaat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1319 KUHPerdata atau bentuknya kontrak tidak bernama (onbenoemde overeenkomst) atau kontrak innominat yang disebut juga Menurut Iris Sidonie Josephine Houben sebagai Een onbenoemde overeenkomst is een overeenkomst die niet als zodanig wettelijk is geregeld; dit in tegenstelling tot de benoemde, of bijzondere, over- eenkomsten, die hun regeling voornamelijk in Boek 7 BW hebben gevonden.[1] Yaitu Kontrak tidak bernama adalah kontrak yang tidak diatur sedemikian rupa oleh undang-undang; ini berbeda dengan kontrak-kontrak bernama atau khusus, yang pengaturannya terutama dalam Buku 7 KUHPerdata Belanda. Atau dapat dikatakan kontrak tersebut diatur di luar dari KUHPerdata dikenal pula perjanjian lainnya, seperti kontrak joint venture, kontrak production sharing, leasing, franchise, kontrak karya dan lain sebaginya.
Asas kebebasan berkontrak tersebut tetap tidak boleh melanggar syarat- syarat sahnya perjanjian dalam KUHPerdata. Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata antara lain:[2]
1.
Kesepakatan (toestemming),
mereka yang mengikatkan dirinya. Atau sederhananya kesepatakatan para pihak.
Kesepakatan berarti ada persesuaian kehendak yang bebas antara para pihak
mengenai hal-hal pokok yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal ini, antara
para pihak harus mempunyai kemauan yang bebas (sukarela) untuk mengikatkan
diri, di mana kesepakatan itu dapat dinyatakan secara tegas maupun diam-diam.
Bebas di sini artinya adalah bebas dari kekhilafan (dwaling, mistake),
paksaan (dwang, dures), dan penipuan (bedrog, fraud).
Secara a contrario, berdasarkan Pasal 1321 KUHPerdata dan
lebih lanjut dalam Pasal 1328 KUHPerdata, perjanjian menjadi
tidak sah, apabila kesepakatan terjadi karena adanya unsur-unsur kekhilafan,
paksaan, atau penipuan;
2.
Kecakapan (bekwaamheid)
untuk membuat suatu perikatan atau kecakapan para pihak. Menurut Pasal
1329 KUHPerdata, pada dasarnya semua orang cakap dalam membuat
perjanjian, kecuali ditentukan tidak cakap menurut undang-undang, contohnya
anak di bawah umur atau mereka yang dengan gangguan kejiwaan;
3.
Suatu pokok
persoalaan tertentu (een bepaald onderwerp). Persolaan tertentu artinya
adalah apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak, yang
paling tidak barang yang dimaksudkan dalam perjanjian ditentukan jenisnya.
Menurut Pasal 1333 KUHPerdata, objek perjanjian tersebut
harus mencakup pokok barang tertentu yang sekurang-kurangnya dapat ditentukan
jenisnya. Pasal 1332 KUHPerdata menentukan bahwa objek
perjanjian adalah barang-barang yang dapat diperdagangkan;
4.
Suatu sebab yang
tidak dilarang atau biasa dikenal dengan suatu sebab yang halal (eene
geoorloofde oorzaak). Sebab yang halal adalah isi perjanjian itu sendiri,
yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Isi dari
perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun
dengan ketertiban umum. Hal ini diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata.
Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata syarat
sahnya perjanjian tersebut dibagi lagi menjadi dua yaitu syarat
subjektif dan syarat objektif.
1)
Kesepakatan para
pihak dalam perjanjian;
2)
Kecakapan para
pihak dalam perjanjian.
Ini disebut juga syarat subjektif suatu
perjanjian yang sah menurut hukum. Sedangkan,
3)
Suatu hal
tertentu;
4)
Sebab yang halal.
Disebut sebagai syarat objektif suatu
perjanjian yang sah menurut hukum.
Lantas bagaimana dengan Istilah “Penipuan” sebagaimana
yang ada dalam Pasal 1328 KUHPerdata yang berbunyi
demikian:
“Penipuan
merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang
dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa
pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu
muslihat. Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira, melainkan
harus dibuktikan,”
Ini bersesuaian berdasarkan Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2986 K/Pdt/2013, tanggal 11 Maret 2014 menyatakan
dalam pertimbangan hukumnya bahwa penipuan tidak dipersangkakan tetapi harus
dibuktikan (terlebih dahulu), yang dalam hal ini diartikan harus ada putusan
pidana terlebih dahulu. Barulah dapat suatu kesepakatan tersebut dapat
dikatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Jadi, penipuan itu
tidak serta merta berdasarkan dugaan.
Kemudian, terkait kecakapan para pihak merupakan salah
satu syarat subjektif dari sahnya perjanjian, dan yang termasuk tidak cakap
oleh KUHPerdata adalah orang-orang yang belum cukup umur, orang-orang yang
ditempatkan di bawah pengampuan dan wanita bersuami.
Akan tetapi berdasarkan Surat Edaran
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1963 tertanggal 5 September
1963, seorang istri berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan
atau izin suaminya. Menurut Pasal 330 KUHPerdata yang
belum cukup umur (dewasa) adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua
puluh satu) tahun dan belum kawin sebelumnya. Jika belum berumur 21 namun telah
menikah, maka dianggap telah dewasa secara perdata dan dapat mengadakan
perjanjian.
Suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka
perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan, suatu perjanjian
tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut adalah batal
demi hukum.
Setelah mengetahui itu semua, dan apa itu perjanjian
selanjutnya mengenai Wanprestasi yang menjadi pokok pembahasan di sini ialah
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1238 KUHPerdata,
yang menyatakan bahwa:
“Debitur adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah, atau dengan suatu akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau dengan perikatannya sendiri, ialah jika ia menetapkan, bahwa debitur akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
Menurut Prof Subekti[3], wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat macam yaitu:
-
Tidak melakukan
apa yang disanggupi akan dilakukan;
-
Melaksanakan apa
yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
-
Melakukan apa
yang dijanjikannya tetapi terlambat;
- Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Pihak yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa menuntut pemenuhan perjanjian atau menuntut pembatalan perjanjian. Yang menurut J. Satrio [4] bahwa “menuntut pemenuhan” atau “menuntut pembatalan”, keduanya, baik dengan maupun tanpa disertai biaya, kerugian, dan bunga.
Contoh Perkara-Perkara Wanprestasi
Mahkamah Agung Republik Indonesia pernah berpendapat bahwa apabila seseorang tidak memenuhi kewajiban dalam sebuah perjanjian, dimana perjanjian tersebut dibuat secara sah dan tidak didasari itikad buruk, maka perbuatan tersebut bukanlah sebuah penipuan, namun masalah keperdataan, sehingga orang tersebutharus dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum. Pandangan ini dapat ditemukan dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 598K/Pid/2016 (Ati Else Samalo) yang menyebutkan bahwa:
“Terdakwa terbukti telah meminjam uang kepada saksi Wa Ode Ikra binti La Ode Mera (saksi korban) sebesar Rp4.750.000,00 (empat juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah), namun Terdakwa tidak mengembalikan hutang tersebut kepada saksi korban sesuai dengan waktu yang diperjanjikan, meskipun telah ditagih berulang kali oleh saksi korban, oleh karenanya hal tersebut sebagai hubungan keperdataan bukan sebagai perbuatan pidana, sehingga penyelesaiannya merupakan domain hukum perdata, dan karenanya pula terhadap Terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum.”
Pandangan serupa juga tercantum dalam beberapa putusan. Selanjutnya, dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1357 K/Pid/2015 (Hein Noubert Kaunang), yang menyatakan:
“Bahwa
berdasarkan fakta tersebut, Mahkamah Agung berpendapat bahwa hubungan
hukum yang terjalin antara para Terdakwa dengan saksi korban adalah hubungan
keperdataan berupa hubungan hutang piutang dengan jaminan sebidang
tanah kebundan tanah atau rumah milik para Terdakwa, dan ternyata dalam
hubungan hukum tersebut para Terdakwa melakukan ingkar janji atau
wanprestasi dengan cara tidak menyerahkan tanah kebun dan tanah atau
rumah miliknya kepada saksi korban. Perbuatan para Terdakwa tersebut bukan
merupakan tindak pidana, akan tetapi perbuatan para Terdakwa tersebut
merupakan perbuatan yang bersifat keperdataan yang penyelesaiannya
dapat ditempuh melalui hukum keperdataan.”
Kemudian, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1316 K/Pid/2016 (Linda Wakary), yang menyatakan:
“Karena kasus
ini diawali dengan adanya perjanjian jual beli antara Saksi korban dengan
Terdakwa dan Terdakwa tidak memenuhi kewajibannya dalam perjanjian itu,
oleh karenanya perkara a quo adalah masuk lingkup
perdata. Sehubungan dengan itu, maka Terdakwa harus dilepas dari
segala tuntutan hukum.”
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1336 K/Pid/2016 (Agusmita):
“Bahwa
sekiranya dikemudian hari saksi Apriandi tidak bisa mengembalikan
pinjaman uang kepada saksi korban di antaranya disebabkan karena Terdakwa juga
belum membayar pinjamannya kepada saksi Apriandi, maka permasalahan
tersebut merupakan dan masuk ranah hukum perdata yang secara yuridis
harus diselesaikan di hadapan Hakim perdata.”
dan, Putusan Mahkamah Agung Nomor 902 K/Pid/2017 (Asmawati) yang menyatakan:
“Bahwa perkara a
quo bermula dari adanya pinjam meminjam sejumlah uang antara
Terdakwa dengan korban, namun pada saat jatuh tempo yang dijanjikan
Terdakwa tidak bisa mengembalikan pinjaman tersebut, sehingga
merupakan hutang dan masuk ranah perdata, sehingga penyelesaiannya
melalui jalur perdata.”
Dari putusan-putusan tersebut terlihat bahwa pada
dasarnya, suatu perkara yang diawali dengan adanya hubungan
keperdataan, seperti perjanjian, dan perbuatan yang menyebabkan perjanjian
tersebut tidak dapat dilaksanakan terjadi setelah perjanjian tersebut dibuat,
maka perkara tersebut adalah perkara perdata dan bukan perkara pidana.
Hal ini juga sejalan dengan yang disebutkan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1601 K/Pid/1990 yang menyatakan:
“bahwa
apabila perbuatan yang mengakibatkan gagalnya perjanjian terjadi setelah
perjanjian dilahirkan, maka akibat hukum yang timbul adalah wanprestasi yang
merupakan ranah hukum perdata.”
Pandangan ini juga ditemukan dalam Putusan
Mahkamah Republik Indonesia Nomor 43 K/Pid/2016 (Haryono
Eddyarto), Putusan Mahkamah Agung Nomor 1327 K/Pid/2016 (Apriandi), Putusan
Mahkamah Agung Nomor 342 K/Pid/2017 (Markus Baginda), dan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 994 K/Pid/2017 (Aprida Yani).
Contoh-Contoh Perkara Penipuan
Namun demikian tidak semua perbuatan tidak
melaksanakan kewajiban perjanjian tidak dapat dipandang sebagai penipuan.
Apabila perjanjian tersebut dibuat dengan didasari itikad buruk/tidak baik niat
jahat untuk merugikan orang lain, maka perbuatan tersebut bukan merupakan
wanprestasi, tetapi tindak pidana penipuan.
Mungkin masih ada yang bingung, mengenai bagaimana menentukan itikad buruk dalam suatu perjanjian apakah hanya sebatas jika ada satu pihak dari pihak saja yang melaksanakan kewajibannya atau bagaimana?
Mengutip Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor
7 Tahun 2012 tentang Permasalahan Itikad Buruk Menentukan Ranah Perdata atau
Ranah Pidana, menyatakan bahwa itikad buruk dapat dilihat dengan cara
satu di antara pihak menggunakan modus perjanjian, sebagai alasan menghindari
tanggung jawab Pidana.
Apa maksudnya? Dalam perkara pidana yang di dalamnya
mengandung terdapat suatu ikatan perjanjian penyelesaiannya memang masuk dalam
ranah perdata.
Akan tetapi penyelesaiannya dilakukan secara
kasuistis, (sebagai bentuk standar menentukan adanya itikad baik atau itikad
buruk sebagai alasan baginya menghindari tanggung jawab pidana) karena tidak
semua perkara pidana yang mengandung suatu ikatan perjanjian (dapat serta
merta) diselesaikan dalam ranah perdata, apabila dapat dibuktikan ada unsur
itikad buruk, dengan sengaja untuk memiliki dengan melawan hukum maka masuk
dalam ranah pidana.
Penipuan sendiri merupakan alasan yang dapat untuk
membatalkan suatu persetujuan (atau perikatan itu sendiri), bila penipuan itu
digunakan oleh salah satu pihak sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan
mengadakan penjajian itu tanpa adanya tipu muslihat, dan unsur-unsurnya juga
tidak hanya dapat dikira-kira namun harus dibuktikan itu tertuang dalam Pasal
1328 KUHPerdata.
Pandangan ini juga terdapat dalam Putusan Mahkamah AgungNomor 1689 K/Pid/2015 (Henry Kurniadi) yangmenyebutkan bahwa:
“Bahwa
alasan kasasi Terdakwa yang menyatakan kasus Terdakwa bukan kasus pidana
melainkan kasus perdata selanjutnya utang piutang, antara Terdakwa dengan
Astrindo Travel tidak dapat dibenarkan karena Terdakwa dalam pemesanan tiket
tersebut telah menggunakan nama palsu atau jabatan palsu, hubungan hukum
keperdataan yang tidak didasari dengan kejujuran,dan itikat buruk untuk
merugikan orang lain adalah penipuan.”
Putusan lain yang menyatakan hal serupa adalah Putusan Mahkamah AgungNomor 366K/Pid/2016 (I Wayan Sunarta) yang menyatakan dengan tegas:
“Bahwa
perjanjian yang didasari dengan itikad buruk atau niat jahat untuk merugikan
orang lain bukan wanprestasi tetapi penipuan dan Putusan Mahkamah Agung Nomor
211 K/Pid/2017 (Erni Saroinsong) yang pada intinya menyatakan bahwa meskipun
hubungan hukum antara Terdakwa dan Saksi Korban Robert Thoenesia awalnya pinjam
meminjam uang sebesar Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk modal kerja
proyek pengadaan bibit kakao Dinas Perkebunan Propinsi Sulawesi Selatan. Namun,
sebelum melakukan pinjaman tersebut Terdakwa telah memiliki itikad tidak baik
kepada Saksi Korban Robert Thoenesia, maka perbuatan materiil Terdakwa telah
memenuhi seluruh unsur Pasal 378 KUHP (penipuan).”
Sebagaimana juga Putusan Mahkamah Agung
Nomor 39/K/Pid/1984 yang menyebutkan bahwa hubungan hukum yang
terjadi antara terdakwa dengan saksi merupakan hubungan perdata dalam bentuk
perjanjian jual beli dengan syarat pembayaran dalam tempo 1 (satu) bulan, yang
tidak dapat ditafsirkan sebagai tindak pidana penipuan Pasal 378
KUHPidana selama itu tidak terpenuhinya unsur perbuatan pidananya.
Kemudian Putusan Mahkamah Agung Nomor
133/K/Kr/1973 yang menyebutkan juga bahwa seseorang yang
menyerahkan cek, padahal ia mengetahui bahwa cek itu tidak ada dananya,
perbuatan itu termasuk dalam tipu muslihat seabgaimana termaksud dalam Pasal
378 KUHPidana.
Penerapan terhadap Yurisprudensi di atas harus tetap
memerhatikan kasus atau secara kasuistis karena tidak setiap penyerahan cek
yang tidak ada dananya merupakan tindak pidana sebagaimana Pasal 378
KUHPidana, karena catatan pentingnya dalah saksi (korban yang ditipu)
harus dianggap mengerti atau tidak secara benar tentang nilai-nilai
kuitansi-kuitasi yang ia terima sebagaimana dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor 104/K/Kr/1971.
Kemudian berdasarkan juga Yuridprudensi
Mahkamah Agung Nomor 4/Yur/Pdt/2018 dapat ditarik kesimpulan bahwa
untuk dapat menilai apakah suatu wanprestasi termasuk sebagai penipuan atau
masalah keperdataan harus dilihat apakah perjanjian tersebut didasari atas
itikad buruk/tidak baik atau tidaknya dengan catatan Kaidah Hukumnya para pihak
yang tidak memenuhi kewajiban dalam suatu perjanjian yang dibuat secara sah
bukanlah suatu penipuan, melainkan wanprestasi, ranah keperdataan, kecuali jika
perjanjian tersebut didasari dengan itikad buruk/tidak baik yang harus dibukti
terpenuhi tidak unsur-unsur sebagaimana Pasal 378 KUHPidana.
Mengingat kembali bahwa seseorang tidak dapat secara
hukum (rehcmatig) memakai nama orang lain. (Putusan Mahkamah Agung
Nomor 74/K/Kr/1962.)
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.
Sumber Hukum:
- Yuridprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4/Yur/Pdt/2018.
[1]
I. S. J. Houben, “Onbenoemde overeenkomsten: Bijzondere overeenkomsten”, (Wolters Kluwer, Dutch, 2019), IX.
[2]
Salim H.S., “Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak”,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2015), 33-34.
[3]
Subekti, “Hukum Perjanjian”, (Jakarta: Penerbit PT Intermasa, 2004),
45.
[4] J. Satrio, “Wanprestasi Menurut KUHPerdata, Doktrin, dan Yurisprudensi”, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014), 11.