Ilustrasi Hukum Kewarisan |
Pertanyaan
Izin bertanya pak, saya perempuan berumur 34 Tahun
status saat ini adalah janda dengan 2 (dua) anak yang masing-masing berusia 13
(tiga belas) tahun anak saya yang pertama dan 9 (Sembilan) tahun anak saya yang
kedua. Keduanya anak hasil Perkawinan dengan suami saya yang bernama JS (57)
yang sudah meninggal pada tahun 2018 silam. Selama perkawinan dengan suami saya
JS, kami tinggal di rumah yang ketika itu masih belum lunas karena masih dalam
kredit di bank. Selama 13 tahun berjalan perkawinan dengan alm. Suami saya JS,
saya pernah ikut membayar cicilan rumah tersebut dan baru saya lunasi pada
tanggal 21 Maret 2022 kemarin. Saat ini rumah tersebut saya tempati bersama
anak-anak saya. Pertanyaan saya, apakah saya sebagai istri kedua memiliki hak
atas harta suami seperti rumah yang baru saya jelaskan yang mana ternyata,
setengahnya pernah dicicil saat istri pertama suami saya JS masih hidup?
Kemudian, apakah jika saya ingin menjual rumah tersebut untuk kebutuhan dan
keperluan hidup saya dan anak-anak, saya harus mendapat persetujuan dari
seorang anak kandung (dari istri pertama) alm. suami saya? Terima kasih.
Jawaban
Pengantar
Sebelum lebih jauh terlebih dahulu perlu rasanya kami
jelaskan kembali ketentuan umum yang berlaku terkait dengan Harta Benda dalam
Perkawinan terkhususnya Harta Bersama menurut ketentuan perundang-undangan atau
disebut juga van de wettelijke gemeenschap van goederen.
Bahwa sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka
menurut hukum (van rechtswege) terjadi harta bersama (gemeenschap van
goederen) menyeluruh antara suami isteri, sejauh tentang hal itu
tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta
bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah
dengan suatu persetujuan antara suami isteri. (vide Pasal 119
KUHPerdata)
Kemudian, berkenaan dengan soal keuntungan, maka harta
bersama itu meliputi barang-barang bergerak dan barang-barang tak bergerak
suami isteri itu, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, juga
barang-barang yang mereka peroleh secara cuma-cuma, kecuali bila dalam hal
terakhir ini yang mewariskan atau yang menghibahkan menentukan kebalikannya
dengan tegas. (vide Pasal 120 KUHPerdata)
Kemudian sejak tanggal 2 Januari 1974 dengan
berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
sebagaimana ketentuan Pasal 66 Undang-Undang tentang Perkawinan,
menyebutkan:
“Untuk
perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan
atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks
Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran
(Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan
lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam
Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.”
Kemudian, aturan yang telah diatur dalam
Undang-Undang ini yaitu tentang (gemeenschap van goederen)
sebagaimana dalam KUHPerdata dapat dilihat pada ketentuan Pasal 35
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ada 2 (dua) jenis
Harta Benda Dalam Perkawinan, pertama ada yang dikenal dengan
istilah “Harta Bersama” (gemeenschappelijk) dan “Harta
Bawaan” (aanbreng). Berikut bunyi Pasal 35
Undang-Undang tentang Perkawinan:
(1)
Harta benda
yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2)
Harta bawaan
dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Artinya, Undang-Undang tentang Perkawinan hanya
kembali menegaskan dan memperjelas saja ketentuan mengenai harta Bersama dengan
tidak jauh berbeda dengan aturan yang ada dalam KUHPerdata. Makanya berlaku
asas hukum lex posterior derogat legi priori yang pada intinya
aturan tentang Perkawinan sebagaimana Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan merupakan aturan baru yang secara historis
semangatnya sebagai bentuk penyatuan hukum bagi semua golongan (unifikasi),
hukum untuk semuanya.[1]
Lantas apa itu “Harta Bersama”? Undang-Undang tentang
Perkawinan memang tidak menyebutkan dalam ketentuan umumnya (general
Provisions - algemene bepalingen) mengenai pengertian atau
definisi dari Harta Bersama, akan tetapi sebagaimana Pasal 35 Ayat
(1) Undang-Undang tentang Perkawinan di atas menyebutkan
bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi “Harta
Bersama”.
Kemudian apa itu “Harta Bawaan”? Hal tersebut
juga tidak diatur secara definsi dan pengertiannya, akan tetapi Pasal
35 Ayat (2) Undang-Undang tentang Perkawinan menyebutkan “Harta
Bawaan” masing-masing suami istri, baik harta tersebut
diperoleh sebelum perkawinan atau dalam perkawinan yang
diperoleh masing-masing sebagai harta pribadi, contohnya, hadiah atau warisan.
Setelah mengetahui pemisahan antara kedua bentuk Harta
Benda dalam Perkawinan di atas, sekarang ada persetujuan terkait
pemanfaatan atau perbuatan hukum atas Harta Benda tersebut jika itu “Harta
Bersama” ada frasa “dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak” siapa
kedua belah pihak di sini?
Tentu Suami dan/atau Istri yang
terikat dalam Perkawinan sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas.
Catatan:
Perkawinan di sini harus dalam definisi Perkawinan
yang sudah memenuhi ketentuan Pasal 2 Undang-Undang tentang
Perkawinan ya, baik ayat (1) dan ayat
(2) Undang-Undang tentang Perkawinan tersebut.
Sedangkan, untuk “Harta Bawaan” yang tersebut di
atas, masing-masing, suami dan istri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (tersebut).
Untuk menggolongkan dan membedakan kedua Jenis Harta
Benda tersebut oleh karena memerlukan yang disebut dengan Perjanjian
Perkawinan. Dapat dibaca pada tulisan kami tentang “Kenapa
Perjanjian Perkawinan Begitu Penting?”
Kemudian, jika berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Indonesia, pengertian “Harta Bersama” sejalan dengan pengertian harta bersama
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
disebutkan adanya “Harta Bersama” dalam perkawinan itu tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri (vide Pasal
85 jo. Pasal 1 huruf f Kompilasi Hukum Islam
(KHI), yang menyebutkan bahwa harta kekayaan dalam perkawinan
atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik
sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama
dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut “Harta
Bersama”, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
Kemudian, dalam Pasal 86 ayat (1) Kompilasi
Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa pada dasarnya tidak ada
percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.
Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga
harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya.
Bahwa kemudian, “Harta Bawaan” masing-masing suami dan
isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan
adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan
lain dalam perjanjian perkawinan. Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya
untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah,
hadiah, sodaqah atau lainnya. (vide Pasal
87 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Untuk konteks pertanyaan pada kasus di atas, ada 2
(dua) pertanyaan yang kami tangkap yaitu:
1.
Apakah istri
kedua (Anda) memiliki Hak atas Harta alm. suami Anda seperti rumah yang
setengahnya dicicil saat istri pertama ketika masih hidup, dan sisanya
dilunasi saat perkawinan dengan Anda dan oleh Anda?
2.
Apakah jika
hendak menjual rumah tersebut untuk kebutuhan dan keperluan hidup Anda dan
anak-anak harus mendapat persetujuan anak kandungnya (perkawinan terdahulu
antara alm. suami Anda dan istri pertama yang sudah meninggal juga?
Jawabannya untuk Pertanyaan Pertama:
Punya, sepanjang Harta tersebut masuk dalam
kategori “Harta Bersama” bukan “Harta Bawaan” antara
alm. suami Anda dan Anda. (sebagaimana penjelasan kami di atas soal
perbedaan kedua harta tersebut)
Karena yang jadi masalahnya di sini, adalah apakah
sisa pelunasan atas rumah tersebut yang Anda lakukan ketika dalam perkawinan
dengan Alm. suami Anda, dapat dimaknai bahwa harta tersebut secara otomatis
masuk dalam kategori “Harta Bersama”?
Sebelum lebih jauh lagi, kami mengasumsikan bahwa
Perkawinan Anda di sini (katakanlah) tercatat, (untuk pembahasan mengenai Pentingnya
Pencatatan Perkawinan, silakan dibaca saja) dan Anda yang bertanya
perihal di atas (katakanlah juga) beragama Islam.
Kami buka dulu dengan Kaidah Hukum dari Mahkamah Agung
sebagaimana Yuridprudensi Mahkamah Agung Nomor 32 K/AG/2002 menyatakan:
“Untuk
membagi harta peninggalan yang di dalamnya terdapat harta bersama, maka harta
bersama harus dibagi terlebih dahulu, dan hak pewaris atas harta tersebut
menjadi harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak.”
Kemudian, dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung melalui
Putusan Nomor 90 K/AG/2003 tertanggal 11 November 2004,
dalam Kaidah Hukumnya menyatakan:
“Harta
bersama harus dirincikan antara harta diperoleh selama perkawinan dan harta
milik pribadi (harta bawaan, hadiah, hibah, warisan).”
Bagaimana cara pembagiannya?
Pertama-tama, berlakulah ketentuan Hukum Waris Islam
sebagaimana yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI),
yang menyebutkan ketentuan sebagai berikut sebagaimana yang tertuang
dalam Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan:
“Apabila
terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan
yang hidup lebih lama.”
Kemudian, berdasarkan Pasal 97 Kompilasi
Hukum Islam (KHI) menyebutkan:
“Janda
atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta Bersama sepanjang
tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”
Kemudian berdasarkan Pasal 174 huruf b
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan bahwa selain berhak atas
“Harta Bersama”, suami merupakan satu di antara dari kelompok ahli
waris yang berdasarkan hubungan perkawinan terdiri dari:
1.
Duda (suami);
atau
2.
Janda (istri).
Jika itu merupakan “Harta Bersama” antara Alm.
Suami Anda dengan Istri Pertamanya yang sudah meninggal, “Harta Bersama” tadi
terbagi menjadi dua yaitu, pertama, “Harta Bersama” itu
menjadi “Harta Bawaan” alm. suami Anda sepanjang itu diperoleh dari Waris
dari bagian istri yang sudah meninggal, artinya Anda tidak memiliki hak atas
harta tersebut. Kemudian, barulah ketika selama perkawinan bersamanya (di luar
dari “Harta Bawaan” miliknya) tersebut sepanjang karena ada
campur tangan Anda terlebih dalam melangsungkan pembayaran tertentu, maka harta
tersebut dapat menjadi “Harta Bersama” antara Anda dan alm. suami
Anda.
Dan yang kedua, “Harta Warisan” dalam
harta tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 87 ayat (1) Kompilasi
Hukum Islam (KHI) antara alm. suami Anda dan istri pertamanya.
Karena yang lebih dahulu meninggal adalah istri pertama maka yang menjadi
ahli waris adalah suami (duda).
Catatan:
Kami kekurangan informasi apakah Anda pada saat
melangsungkan Perkawinan dengan suami Anda saat itu alm. suami Anda masih
berstatus kawin dengan istri pertamanya atau setelah cerai mati (?), harusnya
pengurusan “Harta Bersama” tadi untuk dibagi-bagikan dilakuan sebelum
melangsungkan perkawinan bersama Anda.
Kemudian, berapakah besaran terkait Waris yang duda
dapatkan dari sisa “Harta Bersama” milik istri pertama yang sudah
meninggal?
Duda mendapat separuh bagian, bila pewaris (istri)
tidak meninggalkan anak (atau tidak punya anak), dan bila pewaris meninggalkan
anak (atau punya anak hasil perkawinan tersebut), maka duda (suami) mendapat ¼
bagian (dan ini sama dengan ketentuan dalam KUHPerdata. (vide Pasal
179 Kompilasi Hukum Islam (KHI))
Jadi, untuk Anak dari Istri Pertama berhak mendapatkan
¾ bagian dari “Harta Bersama” yang turun waris kepadanya mengingat seperti yang
Anda bilang bahwa ada seorang anak kandung dari hasil perkawinan antara alm.
suami Anda dan Istri Pertamanya.
Terus, untuk konteks kasus di atas istri kedua apakah
punya hak mengingat yang setengahnya dilunasi olehnya selama perkawinannya
dengan duda tersebut?
Itu yang kami sebut tadi sepanjang Harta tersebut
merupakan “Harta Bersama” istri kedua tersebut dengan suaminya (duda) ia
mendapat bagiannya sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas atau si
istri kedua ini pun mendapatkan bagian dari waris “Harta Bersama” dengan
alm. suaminya atau duda tersebut.
Mengingat “Harta Bersama” ini, suami atau istri dapat
bertindak untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama
tersebut melalui persetujuan kedua belah pihak. Semua harta yang
diperoleh suami-istri selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama baik
harta tersebut diperoleh secara tersendiri maupun diperoleh secara
bersama-sama.
Dengan demikian juga harta yang dibeli selama ikatan
perkawinan berlangsung adalah menjadi “Harta Bersama”. Dicatat lagi dulu
untuk pertanyaan pertama bahwa, “Harta yang diperoleh keduanya selama dalam
ikatan perkawinan.”
Jawabannya untuk Pertanyaan Kedua:
Sebagaimana Dalam Pasal 85 KHI disebutkan
adanya “Harta Bersama” dalam perkawinan itu tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri,
kemudian, Pasal 92 KHI mengatur menganai persetujuan
penggunaan “Harta Bersama” yaitu “suami atau istri tanpa
persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau
memindahkan harta bersama.”
Masih terkait dengan pertanyaan pertama tadi, memang
muncul masalah yaitu sejauh mana Hukum Waris (konteks dalam hal ini Hukum Waris
Islam) dalam KHI mengatur hak dari Anda sebagai istri kedua ini, mengingat
sejak perkawinan dengan duda (alm. suami) tersebut semua bentuk harta benda
yang ada ikut campur tangannya dengan Anda (istri kedua) dan itu merupakan
“Harta Bawaan” (duda) dan bahkan masih berstatus “Harta Bersama” yang masih
memerlukan Penetapan Pengadilan perihal pembagian waris terlebih dahulu.
Muncul pertanyaan lagi, apa yang dimaksud dengan
adanya kemungkinan harta milik masing-masing? Dan apa yang dimaksud pihak lain
(tersebut)?
Sebagaimana yang sudah kami terangkan di atas, adanya
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami-istri, suami (duda) sebelum
perkawinan dengan istri kedua (Anda) yaitu melalui “Harta Besama” dari
perkawinan pertama atau cerai mati tersebut. (vide Pasal 35
Ayat (2) Undang-Undang tentang Perkawinan jo. Pasal
94 KHI)
Oleh karenanya, tetap perlu adanya persetujuan anak
(dari Perkawinan alm. suami Anda dengan istri Pertamanya) yang merupakan Ahli
Waris dari pewaris (istri pertama yang sudah meninggal dunia) yang namanya jika
tidak tercantum dalam perjanjian jual beli tanah (jika ada perjanjiannya) yang
dilakukan oleh Anda istri kedua dari ayahnya dan berlaku pula ketentuan Pasal
175 Ayat (1) huruf d Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang senyatanya
wajib dilaksanakan oleh alm. suami (duda) sebagai Ahli Waris.
Jika ada Akta Jual Beli (AJB) yang dilakukan tanpa
sepengetahuan atau persetujuan anak sebagai ahli waris yang diketahui olehnya
belum dibaginya bagian terhadap “Harta Bersama” dari perkawinan pertamanya
tersebut tanpa sepengetahuan ahli waris yang lainnya, maka ahli waris yang
lainnya dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Perihal Sengketa
Kewarisan.
Mengingat pentingnya keabsahan peralihan hak pewarisan
tersebut harus melihat ketentuan Pasal 111 Ayat (1) huruf c angka 4
Peraturan Menteri Agraria Nomor 3 Tahun 1997 sebagaimana yang
sudah diubah dengan Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun
1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah, mengenai untuk membuktikan siapa saja yang
berhak sebagai pemilik atas tanah tersebut dan yang harus memberikan
persetujuan untuk menjual tanah tersebut, serta persetujuan para ahli waris
atas penjualan tanah waris tersebut maka harus dibuktikan juga dengan tanda
bukti sebagai ahli waris yang dapat berupa :
1.
Wasiat dari
pewaris, atau
2.
Putusan
Pengadilan, atau
3.
Penetapan
hakim/Ketua Pengadilan; atau
4.
Dapat berupa
Surat Keterangan Waris.
Terus kalau anak-anak dari perkawinan pertama dari
duda tersebut masihlah anak di bawah umur bagaimana?
Maka berlakulah Pasal 184 Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yaitu bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak
mampu melaksanakan hak dan kewajibannya, maka baginya diangkat wali berdasarkan
keputusan Hakim atas usul anggota keluarga. Dapat juga atas usul ibunya
(istri kedua) tadi.
Simpulan dari
kami, selesaikan dulu terkait hak waris dari para ahli waris lainnya yang
berhak atas tanah dan bangunan yang ada di atasnya, untuk mencegah di kemudian
hari terjadi sengketa kewarisan.
Perlu diingat, begini melihatnya secara sederhana:
1)
“Harta Bersama”
tadi merupakan Harta yang diperoleh selama perkawinan, baik yang diperoleh
sendiri-sendiri atau bersama-sama.
2)
Salah satu pihak
meninggal terlebih dahulu, maka dibagi dua, separuh sisanya dari pembagian
“Harta Bersama” tersebut menjadi “Harta Warisan”.
3)
Bila pewaris
tidak meninggalkan anak duda mendapatkan separuh bagian tersebut, dan bila
pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat ¼ bagaian.
Beberapa-beberapa cara dapat dilakukan secara konkrit
yang dapat Anda tempuh:
1.
Bertemu dengan
ahli waris dan membicarakan terkait persoalaan yang ada untuk mengurus
persoalaan hak waris miliknya berupa Surat Keterangan Waris dapat melalui
Kelurahan atau Kecamatan, sebagaimana ketentuan Pasal 5 ayat (1)
huruf b dan ayat (2) huruf t Peraturan Wali Kota Pontianak Nomor 51 Tahun 2015
tentang Standar Pelayanan Kecamatan dan Kelurahan di Lingkungan Pemerintah Kota
Pontianak;
2.
Dalam Permohonan
Surat yang hendak dibuat ke Kantor Kelurahan atau Kecamatan setempat dengan
Lampiran beberapa dokumen antara lain:
A.
Surat Pengantar
RT;
B.
Akta Kematian;
C.
Fotocopy KTP Ahli
Waris;
D.
Fotocopy KK Ahli
Waris;
E.
Fotocopy KTP
saksi 2 (dua) orang yang dilegalisasi);
F.
Surat Pernyataan
Ahli Waris bermaterai Rp. 10.000,- Surat pernyataan Silsilah Ahli Waris dengan
2 orang saksi;
G.
Fotocopy Surat
Nikah Waris/Itsbaat Nikah;
H.
Surat Kuasa dari
ahli waris apabila diwakilkan oleh pihak ketiga, lunas PBB tahun berjalan;
I.
Surat Keterangan
Waris bermaterai Rp. 10.000,
Catatan:
a.
Untuk persyaratan
KTP yang berfotocopy wajib melampirkan/menunjukkan asli atau dilegalisasi oleh
Kantor Catatan Sipil setempat)
b.
Surat Kuasa wajib
bermaterai Rp. 10.000, (jika menggunakan Kuasa).
3.
Cara ketiga ini
jika dan hanya jika ahli waris menolak untuk mengurus Harta Warisan yang
seharusnya menjadi bagian miliknya, dengan alasan apapun. Maka dapat mengajukan
Gugatan ke Pengadilan yang berwenang, semata-mata agar Anda selain mendapatkan
bagian dari Hak Anda atas rumah yang Anda tempat saat ini juga terjamin
kepastian hukum dan terhindar dari konflik berkepanjangan ke depannya.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau
langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini.
Terima Kasih.
[1] Taufiqurohman dkk, “Pembaharuan Hukum Keluarga di Dunia Islam”, (Bandung; CV Media Sains Indonesia, 2021), 3.