layananhukum

Kiat-Kiat Sederhana Hukum Kewarisan Perdata

 

Gambaran Singkat Kasus:

1.        Bahwa pada hari Rabu 15 Oktober 2008 sehari setelah merayakan ulang tahun ke-66 tahun, Artis Suzanna atau yang memiliki nama lengkap Suzanna Martha Frederika van Osch meninggal dunia;

2.       Bahwa pemakaman Suzanna dilakukan secara tertutup (terbatas) dan itu merupakan permintaan mendiang sebagaimana Surat Wasiat yang dikabarkan dibuat olehnya, Surat Wasiat tersebut disimpan dan dibuat di hadapan Notaris Kunsri Hastuti, Notaris yang tinggal di Jalan Pahlawan, Magelang yang mendapatkan mandat dari Suzanna agar tak menggungkapkan apa isi Surat Wasiatnya kepada siapa pun. Dia hanya diizinkan untuk menyampaikan sebagian kecil isi Surat Wasiatnya itu;

3.      Bahwa secara garis besar isi Surat Wasiat sebagaimana yang diungkapkan suaminya Clift Andro Nathalia (Clift Sangra). Jika diperlukan, seperti untuk keperluan visum, Clift lah yang harus menghubungi dokter, polisi, RT, dan RW Keluarga tidak perlu dilibatkan dalam Tata Cara Pemakaman dan Kepengurusannya, semua dibebankan pada Clift. Permintaan tersebut disampaikan dalam surat bertuliskan tangan miliknya Suzanna. Clift lah yang mendampingi Suzanna hingga tutup usia di rumah tinggalnya, Kampung Kebondalem, Kelurahan Potrobangsan, Magelang, dan ia melaksanakan dengan baik isi Surat Wasiat sang istri tersebut. Tak heran, kematian Suzanna tak banyak diketahui publik, termasuk keluarga dan tetangga sekitar. Hanya orang-orang tertentu yang diberitahu dan diizinkan untuk melihat jasad Suzanna sebelum dimakamkan di Pemakaman Umum Giriloyo, Magelang, Kamis 16 Oktober 2008. Keinginan lain Suzanna berpesan kepada Clift Sangra agar dapat menjadikan Rama Yohanes yang merupakan anak angkat mereka menjadi anggota TNI dan itu pun tercapai;

4.       Bahwa Ketika disinggung soal isi Surat Wasiat Suzanna secara detail, Clift enggan menanggapinya (dahulu – tahun-tahun awal Suzanna meninggal dunia), walau akhirnya simak video di bawah (berdasarkan video wawancara oleh TV Swasta Nasional) ia membacakan isi Surat Wasiat yang dibuat oleh Suzanna dihadapan Notaris Kunsri Hastuti;

Untuk lebih lengkap dapat tonton di sini:

5.       Bahwa kematian Suzanna rupanya masih menimbulkan ganjalan bagi anaknya, Kiki Maria. Meski Clift Sangra, suami Suzanna, sudah menyatakan Suzanna meninggal akibat penyakit diabetes yang diderita sejak 30 tahun lalu, namun, Kiki tetap meragukan keterangan tersebut. Untuk memenuhi hasrat keingintahuannya, termasuk langkah hukum yang mungkin akan dilakukan (ketika itu), Kiki terus mengumpulkan fakta mengenai penyebab kematian ibundanya tersebut. Alasannya, Kiki melihat ada keanehan saat menjelang kematian Suzanna;

6.      Bahwa Kiki Maria pernah dilaporkan ke pihak Kepolisian dan dimintai keterangan terkait dugaan perusakan rumah di Jalan Kebon Dalem II No 1 yang dilaporkan Clift Sangra. Perusakan pagar rumah itu sendiri dilaporkan Clift ke Polresta Magelang, pada tanggal 13 Desember 2008. Dalam kesempatan yang sama, sebaliknya, Kiki juga melaporkan Clift sebagai pelaku pemalsuan Akta Hibah Tanah dan Bangunan dari rumah milik almarhum Suzanna Jalan Kebon Dalem II No 1, Kota Magelang tersebut;

7.       Bahwa menurut Kiki, tanah dan bangunan yang sekarang menjadi milik Clift tersebut adalah termasuk harta warisan dari orangtuanya, mendiang Suzanna dan Dicky Suprapto. Pada tanggal 27 Juni 1986, Sertifikat Hak Milik Nomor 688 dari Tanah dan Bangunan itu dihibahkan kepada Kiki, dengan Akta Hibah Nomor 61/IV/1986. Dalam perjalanannya, pada tanggal 5 Juli 1999, Suzanna membuat akta hibah baru dengan Akta Hibah Nomor 134/MUT/1999 di hadapan Notaris Kunsri Hastuti. Akta tersebut menyatakan bahwa tanah dan bangunan dihibahkan kepada Clift dan putranya, Rama Yohanes (14);

8.      Bahwa Kiki meragukan keaslian akta tersebut karena proses pembuatan akta sama sekali tidak melibatkan dia sebagai penerima hibah tanah dan bangunan sebelumnya. “Terus terang, saya pun ragu apakah ibu saya benar-benar telah membuat akta baru ataukah ini hanya sebatas rekayasa Clift semata,” katanya. Dengan dugaan ini, Clift dan Kunsri Hastuti pun dilaporkan Kiki sebagai pemalsu akta hibah. Sumber: Kiki Maria Diperiksa Polisi;

9.      Bahwa berdasarkan wawancara di atas Clift memperlihatkan Surat Wasiat yang dibuat oleh Suzanna terdapat 2 (dua) Akta yg dibuat dihadapan Notaris Kunsri Hastuti yaitu Akta Turunan Nomor 90 (Sembilan Puluh) Tertanggal 26 Mei 2004 & dan Akta Nomor 1 (Satu) Tertanggal 1 Maret 2007.

Pertanyaan Hukum Dari Kasus di Atas 

1.        Apa itu Hukum Waris?

a.     Apa itu Pewaris?;

b.     Apa itu Ahli Waris?;

c.     Apa itu Wasiat?;

d.     Apa itu Hibah? dan

e.     Apa itu Hibah Wasiat?;

2.       Bagaimana ketentuan pembagian waris menurut KUHPerdata berdasarkan status perkawinan antara Clift dan Suzanna?;

3.      Apa itu Legitime Portie dan bagaimana Legitime Portie tersebut dianggap tidak berhak mendapatkan bagian dari waris?

Hukum Waris Perdata

Pengantar Sebelum lebih jauh membahas dan menjawab satu persatu pertanyaan di atas, perlu diberikan informasi awal adalah bahwa tulisan ini khusus membahas soal Hukum Waris berdasarkan Burgerlik Wetboek (B.W) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berlaku di Indonesia dan yang berlaku bagi seluruh orang Indonesia yang tidak tunduk terhadap ketentuan Kompilasi Hukum Islam - KHI (Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991) yaitu Hukum Perdata Khusus bagi yang beragama Islam dan berlaku bagi semua orang Indonesia yang beragama Islam. Sebelum lebih jauh membahas apa itu Hukum Waris? Dapat pula melihat gambar-gambar berikut di bawah: 

Hukum Waris yang akan kita bahas (khusus) mengenai Hukum Waris (erfrecht) dengan mengutip Martha Eri Safira, dalam “Hukum Perdata” yang menjelaskan bahwa pengertian waris diatur dalam Pasal 833 KUHPerdata (BW) yakni pewarisan sebagai suatu proses perpindahan hak milik dari seseorang kepada orang lain atas segala barang, segala hak dan segala piutang dari seseorang yang meninggal dunia kepada para ahli warisnya.[1]

Pada dasarnya pewarisan adalah suatu perpindahan segala hak dan kewajiban seseorang yang meninggal kepada para ahli warisnya. Sedangkan menurut Effendi Perangin, menjelaskan hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya, serta adanya suatu proses perpindahan/peralihan hak dan kewajiban dalam lapangan Hukum Harta Kekayaan (vermogenrecht) bagi orang yang meninggal (pewaris) kepada (ahli) warisnya.[2]

Dengan meninggalnya seseorang tersebut, tidak berarti hak dan kewajiban (tanggung jawabnya) terhadap hubungan hukum dalam lapangan Hukum Harta Kekayaan menjadi berakhir, melainkan hak dan kewajibannya beralih kepada para ahli warisnya. Poin penting terkait Hukum Waris adalah peralihan hak dan kewajiban itu timbul oleh karena ada peristiwa yang disebut dengan kematian (dood), karena sejak kematian itulah warisan terbuka.

Menurut Wirjono Prodjodikoro Mantan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, bahwa pengertian kewarisan menurut KUHPerdata memperlihatkan unsur, yaitu:[3]

1)       Seorang peninggal warisan (erflater) pada wafatnya meninggalkan kekayaan. Unsur pertama ini menimbulkan persoalan, yaitu bagaimana dan sampai di mana hubungan seorang peninggal warisan dengan kekayaannya yang dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan di mana si peninggal warisan berada;

2)      Seseorang atau beberapa ahli waris (erfgenaam) yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu. Hal ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai di mana harus ada tali kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli waris agar kekayaan si peninggal warisan beralih kepada si ahli waris;

3)      Harta warisan (Nalatenschap), yaitu wujud kekayaan yang ditinggakan dan beralih kepada ahli waris itu.

Hal ini menimbulkan persoalan, yaitu bagaimana dan sampai di mana wujud kekayaan yang beralih itu dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, di mana si peninggal warisan dan ahli waris bersama-bersama berada.

Pewaris dan Ahli Waris

Sebagaimana ketentuan Pasal 830 KUHPerdata yang menyebutkan pewarisan hanya terjadi karena kematian. Mengenai apa yang dimaksud dengan kematian itu sebagaimana penjelasan di atas?  Itu berdasarkan medis yaitu terjadi secara alami (natuurlijke dood) dan berdasarkan hukum.

Kematian berdasarkan medis yang dimaksud kematian secara nyata dan dapat dipertanggungjawabkan secara medis dengan berpedoman terhadap berhentinya denyut nadi jantung seseorang. 

Sedangkan kematian berdasarkan hukum adalah suatu keadaan seseorang yang meninggalkan tempat tinggalnya selama 5 (lima) tahun berturut-turut, serta tidak memberi kuasa kepada wakilnya untuk mengurus hak dan kewajiban akan harta kekayaannya. (vide Pasal 468 KUHPerdata dan Pasal 467 KUHPerdata). 

Kematian termasuk dalam Peristiwa Penting (vide Pasal 1 Angka 17 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan).

Yang mana dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan menyatakan bahwa setiap kematian wajib dilaporkan oleh ketua rukun tetangga atau nama lainnya di domisili Penduduk kepada Instansi Pelaksana setempat paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal kematian (vide Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Kependudukan beserta Perubahannya)

Menurut Hukum Perdata terjadinya waris / pewarisan dapat melalui dua cara yaitu:

1.        Pewarisan berdasarkan Undang-Undang (vide Pasal 832 KUHPerdata);

2.       Pewarisan berdasarkan testamen/Surat Wasiat (vide Pasal 899 KUHPerdata).

Hukum kewarisan Perdata dikenal ada dua cara seseorang memperoleh hak warisan, yaitu pewarisan menurut Undang-Undang (secara ab-intestato) dan pewarisan secara testamentair (wasiat)[4]

Pewarisan berdasarkan Undang-Undang (door de wet) yaitu selain bersifat mengatur dan melengkapi (aanvullend) ia juga bersifat memaksa (dwinged) sedangkan jika pewarisan berdasarkan testamen/Surat Wasiat itu lebih menekan pada kehendak (vrijwillig) dari pada pewaris. 

Dalam istilah hukumnya pewarisan berdasarkan Undang-Undang tadi disebut dengan pewarisan ab-intestato. Dimana untuk menjadi ahli waris secara ab-intestato haruslah ada hubungan darah (bloedverwanten) dengan pewaris. Pengaturan lebih lanjut mengenai siapa saja mereka yang berdasarkan undang-undang ini disebut sebagai ahli waris dalam KUHPerdata. (vide Pasal 832 KUHPerdata)

Pengertian hubungan darah menurut Pasal 832 KUHPerdata ini adalah hubungan darah perkawinan yang sah maupun di luar kawin

Yang dimaksudkan anak di luar kawin menjadi ahli waris ini berdasarkan kenyataan bahwa anak di luar kawin sekalipun tetap dapat mewaris harta kekayaan dari pewaris (orang tuanya) yangt elah meninggal walau berdasarkan hukum perdata sebagaimana Pasal 862 KUHPerdata dengan adanya frasa “yang telah sah diakui menurut undang-undang” atau wettelijk erkende, dengan diakuinya anak di luar perkawinan ini maka terciptalah hubungan hukum pewarisan itu dapat diterima olehnya,  apalagi pasca adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang menyatakan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga  ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai  hubungan darah sebagai ayahnya. Ini semata-mata untuk melindungi kepentingan hukum anak terutama anak di luar perkawinan yang tidak dianggap oleh ayah kandungnya.

Menurut Idris Ramulyo, unsur-unsur bagaimana seorang ahli waris itu bisa tampil adalah karena:[5]

1.        Ahli waris yang tampil dalam kedudukannya sendiri atau mewaris secara langsung (uit eigen hoofed) jika diklasifikan ini ada 4 (empat) golongan antara lain:

-       Anak, atau keturunannya dan istri (suami) yang hidup (vide Pasal 832 jo. Pasal 842 jo. Pasal 852 (a) KUHPerdata – mereka yang disebut dengan golongan I);

-       Orang Tua (ayah dan ibu) dan saudara pewaris (vide Pasal 854 KUHPerdata - mereka yang disebut dengan golongan II);

-       Nenek dan kakek, atau leluhur lainnya dalam garis lurus ke atas (vide Pasal 853 KUHPerdata -  mereka yang disebut dengan golongan III);

-       Sanak keluarga dalam garis ke samping sampai tingkat keenam (vide Pasal 861 ayat1 KUHPerdata - mereka yang disebut dengan golongan IV).

2.       Ahli waris berdasarkan penggatian (bij plaatsvervulling) dalam hal ini disebut ahli waris tidak langsung, baik penggantian dalam garis lurus kebawah maupun penggatian dalam garis ke samping, penggantian dalam garis samping, juga melibatkan penggantian anggota anggota keluarga yang lebih jauh (vide Pasal 848 KUHPerdata);

3.      Pihak ketiga yang bukan ahli waris dapat menikmati harta. Orang yang menerima Legaat disebut sebagai Legaataris.

Wasiat

Dalam hal wasiat mempunyai 3 (tiga) bentuk yaitu: (vide Pasal 931 KUHPerdata)

1.        Wasiat yang harus ditulis sendiri (olographis testament);

2.       Wasiat umum (openbaar testament); dan

3.      Wasiat rahasia.

Kemudian terkait dengan Pewarisan berdasarkan testamen/Surat Wasiat, pewarisannya disebut juga pewarisan testamentaire. Masih mengutip Prof. Subekti, itu adalah pernyataan dari seseorang tentang apa yang ia kehendaki setelah ia meninggal,[6] lebih lanjut menurut Prof. Subekti pada dasarnya suatu pernyataan itu keluar dari satu pihak saja (eenzijdig) dan setiap waktu dapat ditarik kembali oleh si pembuat wasiat.

Dengan demikian dapat dimengerti bahwa segala yang dikehendaki oleh seseorang tersebut sebagaimana yang  tertuang dalam wasiatnya juga diperbolehkan atau dapat dilaksanakan. Pasal 875 KUHPerdata menyebutkan:

“Een testament of uiterste wil is eene acte, houdende de verklaring van hetgeen iemand wil dat na zijnen dood zal geschieden, en welke acte door hem kan worden herroepen.” 

Atau

“Surat wasiat atau testamen adalah sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya.” 

Dari Pasal di atas pengertian wasiat/testamen terkadung dua pengertian yaitu wasiat secara materiil dan wasiat secara formil.

Wasiat secara materiil adalah ditinjau dari segi isi dimana wasiat tersebut merupakan kehendak terakhir sebelum ia meninggal.  Sedangkan wasiat secara formil adalah ditinjau dari bentuk yaitu merupakan suatu akta yang memenuhi sebagaimana disyaratkan oleh Undang-Undang (vide Pasal 930 KUHPerdata dan seterusnya) sepanjang tidak ditentukan lain oleh Undang-Undang.

Ini bagian terpentingnya isi dari testamen atau Surat Wasiat itu bebas sepanjang memerhatikan beberapa larangan yang antara lain:

1)       Harus mengenai sesuatu yang diperbolehkan oleh Undang-Undang;

2)      Tidak mengakibatkan bahaya tata tertib umum;

3)      Tidak melanggar kesusilaan; 

4)      Tidak boleh melanggar aturan mengenai Legitime Portie.

Terus mengenai bentuk wasiat dapat dikatakan tidak bebas, artinya orang yang membuat wasiat itu tidak menurut kehendak yang dikehendaki oleh Undang-Undang maka wasiat tersebut tidak sah.

Kemudian akan dibahas soal apa itu Legitime Portie sebelum membahasnya, akan ke soal hibah terlebih dahulu dalam konteks hukum perdata secara sederhana, apa perbedaannya dengan Wasiat dan apalagi itu hibah wasiat? Lantas dalam konteks kasus Suzanna di atas masuk yang manakah?

Hibah

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (B.W), hibah diatur dalam Buku ketiga Tentang Perikatan, mulai dari Pasal 1666 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1693 KUHPerdata.

Syarat-syarat bagi pemberi hibah, adalah cakap dan dewasa (vide Pasal 1676 KUHPerdata-1677 KUHPerdata). 

Tata cara penghibahan, jika objek hibah berupa benda tak bergerak seperti tanah, maka penghibahan harus dilakukan dengan Akta Notaris (vide Pasal 1682 KUHPerdata). Akan tetapi jika harta hibah berupa benda bergerak cukup dengan penyerahan saja kepada penerima hibah  (vide Pasal 1687 KUHPerdata).

Mari lihat ketentuan Pasal 1666 KUHPerdata menyatakan bahwa “hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, diwaktu hidupnya, dengan Cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu barang guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.”

Sekarang lihat bedanya tadi dengan Wasiat sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas?





Meskipun hibah sebagai perjanjian sepihak yang menurut rumusannya dalam Pasal 1666 KUHPerdata tidak dapat ditarik kembali, melainkan atas persetujuan pihak penerima hibah, akan tetapi dalam Pasal 1688 KUHPerdata dimungkinkan bahwa hibah dapat ditarik kembali atau bahkan dihapuskan oleh penghibah, yaitu:

1)       Karena syarat–syarat resmi untuk penghibahan tidak dipenuhi;

2)      Jika orang yang diberi hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan kejahatan lain terhadap penghibah;

3)      Apabila penerima hibah menolak memberi nafkah  atau tunjangan kepada penghibah, setelah penghibah jatuh miskin.

Apabila penarikan atau penghapusan hibah ini terjadi, maka segala macam barang yang telah dihibahkan harus segera dikembalikan kepada penghibah dalam keadaan bersih dari beban-beban yang melekat di atas barang tersebut.

Undang–Undang tidak mengakui hibah selain hibah dari pada antara orang–orang yang masih hidup, dan dalam Pasal 1667 KUHPerdata menyebutkan, bahwa hibah hanyalah mengenai benda–benda yang sudah ada, jika hibah itu meliputi benda–benda yang baru akan ada kemudian hari maka hibahnya adalah batal.

Hibah Wasiat

Banyak orang yang menganggap hibah wasiat (van legaten) dan wasiat adalah dua hal yang sama atau pula sama dengan hibah, padahal kesemuanya berbeda.

Kalau menurut Prof Subekti, ia mengungkapkan bahwa Legaat adalah suatu pemberian kepada seseorang (pihak ketiga). Dengan kata lain Hibah Wasiat.[7]

Hibah wasiat memang merupakan bagian dari wasiat oleh karenanya ia tetap tunduk dengan ketentuan pengaturan mengenai  wasiat sebagaimana yang dijelaskan di atas dan beberapa bagian darinya mirip juga dengan hibah, akan tetapi hibah wasiat bukanlah wasiat seutuhnya dan juga hibah, oleh karena wasiat sendiri terdiri dari dua jenis yaitu wasiat pengangkatan waris dan hibah wasiat

Menurut Pasal 957 KUHPerdata, hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus, dengan mana si yang mewariskan kepada seorang atau lebih memberikan beberapa barang-barangnya dari suatu jenis tertentu, seperti misalnya, segala barang bergerak, barang tidak bergerak atau memberikan hak pakai hasil atas seluruh atau sebagian harta peninggalannya.

Artinya, dalam hibah wasiat Pemberi Hibah Wasiat menjelaskan secara spesifik barang apa yang mau diwasiatkan. Hibah wasiat dibuat pada saat Pemberi Hibah Wasiat masih hidup,  tetapi pelaksanaannya dilakukan pada saat Pemberi Hibah Wasiat telah meninggal dunia. 

Menurut Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn., dalam bukunya “Kiat-kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Mengatasi Masalah Hukum Pertanahan”, pada dasarnya, hibah wasiat adalah sama dengan hibah biasa, tetapi ada satu hal penting yang menyimpang dari hibah biasa, yaitu ketentuan bahwa pemberi hibah masih hidup.

Sedangkan dalam hibah wasiat, pemberian hibah justru baru berlaku pada saat pemberi hibah meninggal dunia.  Selain itu berdasarkan Penerima hibah wasiat harus meminta barang yang dihibahkan kepada para ahli waris atau penerima wasiat yang diwajibkan untuk menyerahkan barang yang dihibahkan itu. 

Ada tiga macam cara membuat hibah wasiat, yaitu:

1.        Testament rahasia (geheim);

2.       Testament tak rahasia (openbaar);

3.      Testament tertulis sendiri (olografis), yang biasanya bersifat rahasia atau juga mungkin tidak rahasia. 

Dalam ketiga cara Wasiat ini dibutuhkan campur tangan seorang Notaris.

Wasiat Rahasia (geheim)

Sebagaimana Pasal 940 KUHPerdata dan Pasal 941 KUHPerdata menentukan tentang syarat-syarat untuk wasiat/testament rahasia ini.

Ditetapkan, bahwa si penghibah wasiat diharuskan menulis sendiri atau bisa pula menyuruh orang lain untuk menuliskan keinginan terakhirnya tersebut. Setelah itu ia harus menandatangani tulisan tersebut. Selanjutnya tulisan tersebut dapat dimasukkan dalam sebuah sampul tertutup,  dan disegel serta kemudian diserahkan kepada Notaris.

Penutupan dan penyegelan ini bisa juga dilaksanakan di hadapan notaris dan 4 (empat) orang saksi. Selanjutnya penghibah wasiat harus membuat suatu pernyataan di hadapan Notaris dan saksi-saksi, bahwasannya yang ada dalam sampul itu  adalah wasiatnya, dan menyatakan benar bahwa ia sendiri yang menulis dan menandatanganinya. Atau yang ditulis oleh orang lain serta ia yang menandatanganinya.

Kemudian Notaris membuat akte superscriptie, yaitu untuk menyetujui keterangan tersebut.  Akte ini bisa ditulis dalam surat yang memuat keterangan atau pada sampulnya. Notaris, si penghibah wasiat dan saksi-saksi harus menandatangani akta tersebut. Jika penghibah wasiat tak dapat menandatanganinya lagi atau berhalangan untuk itu, maka harus dijelaskan pada akte superscriptie tersebut.

Jika si penghibah wasiat meninggal dunia, maka yang berkewajiban memberitahukan kepada mereka yang berkepentingan adalah Notaris, hal ini berdasarkan Pasal 943 KUHPerdata

Yang dimaksud dengan pemberitahuan disini adalah tentang adanya testament yang dibuat tersebut. Berdasarkan Pasal 930 KUHPerdata, sebuah testament tidak boleh dibuat oleh dua orang, baik untuk menguntungkan pihak ketiga maupun untuk saling menguntungkan. 

Wasiat Tak Rahasia (Openbaar)

Pasal 938 KUHPerdata menetapkan testament tak rahasia wajib dibuat di hadapan seorang Notaris dengan mengajukan 2 (dua) orang saksi. Selanjutnya orang yang meninggalkan wasiat tersebut mengutarakan keinginannya kepada Notaris dengan secukupnya,  maka Notaris wajib mencatatkan atau memerintahkan mencatat keterangan-keterangan tersebut dalam kalimat-kalimat jelas.

Wasiat Olografis

Ditetapkan bahwa wasiat semacam ini harus ditulis dan ditandatangani oleh si peninggal warisan dan selanjutnya diarsipkan oleh seorang Notaris dimana tentang pengarsipan ini wajib disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.

Di saat testament tertulis ini diserahkan kepada Notaris untuk disimpan, wasiat mungkin sudah berada dalam amplop tertutup bersegel, untuk si peninggal warisan di hadapan Notaris dan para saksi harus menuliskan pada sampul, bahwa sampul tersebut berisi wasiatnya.  Selanjutnya, catatan tersebut harus ditandatanganinya.

Selanjutnya Notaris membuat amplop tersendiri atas penerimaan wasiat ini untuk disimpan pada amplop tersebut harus pula ditandatangani oleh Notaris, saksi-saksi serta si penghibah wasiat. Kemungkinan juga wasiat tersebut diserahkan kepada Notaris dengan terbuka jadi bukanlah rahasia.

Jika secara demikian maka akte penerimaan untuk disimpan, tadi oleh notaris ditulis pada testamentnya sendiri di bawah tulisan si peninggal warisan yang berisikan keinginan terakhir. 

Selanjutnya akte tersebut wajib ditandatangani oleh notaris, sakis-saksi dan si penghibah wasiat tersebut. Kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh Notaris setelah Akta Wasiat dibuat adalah wajib memberitahukan semua Akta Wasiat (testament acte) yang dibuatnya ke Seksi Daftar Pusat Wasiat (DPW) dan Balai Harta Peninggalan (BHP) baik testament terbuka (openbaar testament), testament tertulis (olographis testament), maupun testament tertutup atau rahasia. 

Tanggungjawab Notaris terhadap akta wasiat (testament acte) yang dibuat dihadapannya, yaitu tanggung jawab moral, tanggung jawab etis, dan tanggung jawab hukum yang terdiri dari segi formil dan segi materiil.

Terhadap akta wasiat (testament acte) yang dibuat dihadapannya, Notaris bertanggungjawab membacakannya dihadapan saksi-saksi. Setelah itu Notaris memberitahukan akta wasiat (testament acte) tersebut kepada Seksi Daftar Pusat Wasiat, Direktorat Perdata, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dan kepada Balai Harta Peninggalan (BHP).

Legitime Portie

Wasiat diatur dalam Pasal 875 KUHPerdata yaitu adalah suatu akta yang berisi pernyataan seseorang tentang apa yang akan terjadi setelah ia meninggal dunia dan olehnya dapat ditarik kembali. Sedangkan pada KUHPerdata ditegaskan kembali di Pasal 874 KUHPerdata bahwa segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan ahli waris menurut undang-undang ini bersesuaian juga dengan ketentuan terkait hibah wasiat di atas berdasarkan Pasal 958 KUHPerdata (yang mana tidak menyebutkan hapusnya hak dan kewajiban ahli waris.) 

Wasiat yang berisi kehendak dari pewaris tersebut tidak boleh merugikan ahli waris lainnya, yang dalam hal ini bagian tersebut telah dilindungi oleh KUHPerdata yang disebut sebagai Legitieme Portie.

Legitieme Portie yaitu bagian mutlak adalah suatu bagian dari harta peninggalan atau harta warisan yang harus diberikan kepada para ahli waris dalam garis lurus (baik garis lurus keatas maupun kebawah), dan terhadap suatu bagian dimana pewaris dilarang menetapkan sesuatu baik itu adalah suatu pemberian (hibah) atau suatu yang berupa hibah wasiat. (vide Pasal 913 KUHPerdata)

Menurut Pasal 913 KUHPerdata, “Legitieme portie atau bagian warisan menurut undang-undang ialah bagian dan harta benda yang harus diberikan kepada ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang, yang terhadapnya orang yang meninggal dunia tidak boleh  menetapkan sesuatu, baik sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup, maupun sebagai wasiat”.

Orang-Orang yang dinyatakan tidak patut menjadi Ahli Waris Menurut Pasal 838 KUHPerdata adalah orang-orang yang dinyatakan tidak patut menjadi ahli waris (onwaardig) sebagai berikut:

1.        Orang yang telah dihukum karena membunuh atau mencoba membunuh pewaris;

2.       Orang dengan keputusan hakim pernah dipersalahkan memfitnah si pewaris, berupa fitnah dengan ancaman hukuman luma tahun atau lebih berat. Dalam hal ini harus ada keputusan hakim dulu; 

3.      Orang yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si pewaris untuk mencabut surat wasiatnya;

4.       Orang yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si pewaris. 

Sepanjang hal-hal di atas belum terbukti dilakukan oleh Kiki Maria anak dari Suzanna, semestinya ia dapat mengajukan Gugatan Perihal Sengketa Kewarisan ke Pengadilan Negeri.

Simpulan:

Dengan adanya Surat Wasiat bisa ada penyimpangan dari ketentuan yang termuat dalam undang-undang seperti konteks kasus Suzanna ini bahwa ahli waris dalam garis lurus, baik ke atas maupun ke bawah tidak dapat sama sekali dikecualikan karena menurut undang-undang mereka  dijamin dengan adanya Legitieme Portie (bagian mutlak).

Pihak yang berhak atas Legitieme Portie (LP) disebut juga Legitimaris. Legitimaris adalah ahli waris menurut undang-undang dalam garis lurus, baik ke atas maupun ke bawah. Nah dalam kasus ini Kiki Maria adalah legitimaris karena dia adalah anak kandung dari Suzanna.

Legitieme Portie bisa di tuntut apabila bagian mutlak itu berkurang karena adanya tindakan dari si pewaris sebelum dia meninggal. Dalam kasus ini bagian mutlak nya Kiki Maria malah jadi tidak ada karena wasiat Suzanna yang menyatakan memberikan hartanya ke suami kedua dan anak angkatnya.

Karena ada Legitieme Portie si Kiki Maria berhak menuntut haknya. Kiki Maria menjadi ahli waris yang onterfd (dikesampingkan sebagai ahli waris oleh si pewaris (Suzanna)) tapi karena ada peraturan tentang Legitieme Portie yang tercantum dalam Pasal 913 KUHPerdata maka Kiki Maria tetap dapat menuntut bagiannya.

Yah, beruntunglah Kiki Maria karena pembentuk undang-undang melindungi ahli waris; legitemaris agar mereka tidak dirugikan oleh tindakan sewenang-wenang si pewaris.

Jadi, menurut peraturan perundang-undangan Kiki Maria dan Clif Sangra harus berbagi harta peninggalan Suzanna. Surat warisan yang menyatakan seluruh warisan untuk suami Suzanna itu menurut hukum tidak dapat dilaksanakan karena Kiki Maria sebagai legitimaris menuntut Legitiemae Portie-nya. Lagian Kiki Maria masih patut menjadi ahli waris.

Kecuali, kalau Kiki Maria memang terbukti onwaardig maka dia tidak bisa ikut dapat warisan dan otomatis warisan mamanya jadi miliknya Cliff Sangra semua.

Berhubung belum ada pembuktian untuk itu maka Kiki Maria dan Cliff Sangra harus mengikuti aturan sebagaimana ketentuan Pasal 852a KUHPerdata yaitu bagian dari Pasangannya si Pewaris TIDAK BOLEH MELEBIHI bagian-bagian yang harus diterima oleh anak-anaknya Pewaris.

Oleh karena itu, pasangan baru dari pewaris atau pasangannya yang dari perkawinan paling baru hanya dapat memperoleh bagian waris maksimal ¼ bagian.

Bisa saja dipisahkan dulu antara Harta Bawaan dan Harta Bersamanya juga.  Yang jelas pembagiannya maksimal dari suami tidak boleh melebihi bagian-bagian yang harus diterima anak-anak pewaris dan hanya dapat memperoleh bagian warisan maksimal ¼ bagian.

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


[1] Martha Eri Safira, “Hukum Perdata”, (Ponorogo; CV Nata Karya, 2017), 43.

[2] Effendi Perangin, “Hukum Waris”, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2003), 3.

[3] M. Idris Ramulyo, “Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)”, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), 104-106.

[4] Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, “Hukum Kewarisan Perdata Barat”, (Jakarta; Kencana Renada Media Group, 2006), 16.

[5] M. Idris Ramulyo, “Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat Menurut Burgerlijk Wetboek”, (Jakarta; Sinar Grafika, 1993), 21-23.

[6] Subekti, “Pokok-Pokok Hukum Perdata” , (Jakarta: Intermasa, 1994), 95.

[7] Ibid.

Formulir Isian