Tindak Pidana Pelecehan Seksual dapat terjadi di mana,
kapan, dan korbannya bisa siapa saja. Terdapat beberapa tempat yang rawan
menjadi lokasi terjadinya Tindak Pidana Pelecehan Seksual, satu di antaranya di
ruang publik, seperti contoh yang baru saja viral kemarin, terjadi di
transportasi publik dan terekam oleh kamera secara jelas.
Dikisahkan oleh seorang
wanita penumpang kereta api lewat unggahan Twitter-nya, pemilik akun @Selasarabu_ ini
menceritakan pengalamannya ketika duduk bersebelahan dengan seorang pelaku
pelecehan seksual yang dapat Anda baca.
Lantas bagaimana aturan hukum terkini tentang Tindak
Pidana Pelecehan Seksual ini dan bagaimana terkait mekanisme Pidananya? Berikut
penjelasan kami.
Apa itu Pelecehan Seksual?
The
Equal Employment Opportunity Commission (EEOC) telah mendefinisikan Pelecehan Seksual
dalam buku pedomannya sebagai:
“Unwelcome
sexual advances, requests for sexual favors, and other verbal or physical conduct
of a sexual nature when submission to such conduct is made either
explicitly or implicitly a term or condition of an individual's employment, or submission
to or rejection of such conduct by an individual is used as a basis for
employment decisions affecting such individual, or such conduct has
the purpose or effect of unreasonably interfering with an individual's work
performance or creating an intimidating, hostile, or offensive working
environment”.[1]
Sederhana Pelecehan Seksual adalah suatu perbuatan
seksual yang tidak diinginkan, yang menjurus pada suatu perbuatan seksual
berupa Tindakan verbal atau pun fisik yang bersifat seksual ketika perilaku
tersebut dilakukan baik secara eksplisit maupun implisit sebagai syarat atau
ketentuan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu yang sejatinya itu
tidak ia inginkan, atau perilaku tersebut oleh individu tertentu digunakan
sebagai dasar untuk suatu pekerjaan tertentu yang mana hal itu mempengaruhi pengambilan
keputusan individu tersebut, atau perilaku tersebut memiliki tujuan atau efek
mengganggu kinerja seseorang secara tidak wajar atau menciptakan lingkungan
kerja yang mengintimidasi, tidak bersahabat, atau tidak sehat.
Unwelcome Behavior atau perilaku yang tidak diinginkan adalah kata
kuncinya. Tidak diinginkan tidak berarti “tidak disengaja” (“involuntary”).
Saat seorang korban dapat menyetujui atau tidak menyetujui perilaku tertentu
dan secara aktif berpartisipasi di dalamnya padahal patut diketahui bahwa hal
itu tidak menyenangkan baginya, itu sudah termasuk dalam Pelecehan Seksual.
Istilah Pelecehan Seksual, dalam buku “Sexual Harassment”, oleh
Martin Eskenazi and David Gallen, mereka menyebut ini dengan istilah unwelcome
attention yang secara yuridis oleh Deborah L.Rhode didefinisikan
sebagai imposition of unwelcome sexual demand or the creation of
sexually offensive environment.[2]
Sedangkan menurut Margaret Crouch[3] adalah:
“Sexual
harassment is a means of maintaining women’s status as subordinate in society;
it is also a means of keeping women in certain physical spaces and out others,
or, at least, of controlling women’s behavior in those spaces”
Pengaturan Hukum terkait “Pelecehan Seksual” dan Penjelasan
Kabar baiknya sejak tanggal 9 Mei 2022, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dinyatakan
berlaku. (vide Pasal 93 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) Selain itu
dinyatakan juga dalam Undang-Undang tersebut bahwa Undang-Undang lain
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
(vide Pasal 92 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual)
Sebelum membahas terkait “Pelecehan Seksual”
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku baiknya memahami dulu, apa itu “Tindak
Pidana Kekerasan Seksual”.
Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur
tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan perbuatan
kekerasan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang sepanjang
ditentukan dalam Undang-Undang ini. (vide Pasal 1 Angka 1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual)
Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang dimaksudkan itu
antara lain:
a.
Pelecehan
Seksual Nonfisik;
b.
Pelecehan
Seksual Fisik;
c.
Pemaksaan
Kontrasepsi;
d.
Pemaksaan
Sterilisasi;
e.
Pemaksaan
Perkawinan;
f.
Penyiksaan
Seksual;
g.
Eksploitasi
Seksual;
h.
Perbudakan
Seksual; dan
i.
Kekerasan Seksual
Berbasis Elektronik. (vide Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual)
Selain Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana
dimaksud di atas, Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga meliputi:
a.
Perkosaan;
b.
Perbuatan Cabul;
c.
Persetubuhan
terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/ atau eksploitasi seksual
terhadap Anak;
d.
Perbuatan
melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak Korban;
e.
Pornografi yang
melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan
eksploitasi seksual;
f.
Pemaksaan
pelacuran;
g.
Tindak pidana
perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual;
h.
Kekerasan seksual
dalam lingkup rumah tangga;
i.
Tindak pidana
pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan
Seksual; dan
j.
Tindak pidana
lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. (vide Pasal
4 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak
Pidana Kekerasan Seksual)
Berdasarkan Topik yang kita bahas adalah Pelecehan
Seksual, Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual kita sebagaimana
penjelasan kami di atas mengenal ada dua jenis Pelecehan Seksual yaitu Pelecehan
Seksual Nonfisik dan Pelecehan Seksual Fisik.
Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
memberikan definisi “Pelecehan Seksual Nonfisik” adalah pernyataan,
gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas
dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan. (vide Penjelasan
Pasal 5 Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual)
sedangkan untuk “Pelecehan Seksual Fisik” Undang-Undang memang tidak memberikan
definisi secara tekstual apa yang dimaksud dengan “Pelecehan Seksual Fisik”.
Sebagaimana Pasal 5 Undang-Undang tentang
Tindak Pidana Kekerasan Seksual mengenai “Pelecehan
Nonfisik” menyebutkan:
“Setiap
Orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang
ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan
maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas
dan/atau kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik,
dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan/ atau
pidana denda paling banyak Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).”
Adapun unsur-unsur sebagaimana delik di atas:
1.
Setiap Orang;
2.
Melakukan
perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan
terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi;
3.
Dengan maksud
merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau
kesusilaannya.
Dalam Pasal ini tidak menyebutkan apa yang
didefinisikan dari “Dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang
berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaan”, pada akhirnya akan dapat
memerlukan “Interpretasi Hukum” yang menimbulkan pertanyaan “merendahkan harkat
dan martabat berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaan seperti apa dan
bagaimanakah itu?”
Kemudian disebut dalam Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual bahwa Kekerasan
Seksual nonfisik itu merupakan delik aduan.
Delik aduan (klachtdelict) adalah delik dimana
seseorang hanya dapat dituntut jika korban dari delik tersebut telah
menunjukkan keinginannya untuk membawa persoalaan tersebut ke peradilan (de
verdachte pas vervolgd kan worden als het slachtoffer van het delict zelf heeft
aangegeven strafrechtelijke vervolging te wensen). Jika korban tidak
ingin mengadu, maka tidak dilakukan penuntutan. Jaksa yang menentukan
apakah penuntutan benar-benar akan terjadi. Artinya kita dapat kembali
lagi ke soal doktrin hukum yang mana membedakan delik aduan menjadi dua yaitu:
(1)
Delik Aduan
Absolut (absolute
klachtdelicten) (yang didefinisikan sebagai delik yang hanya dapat dituntut
atau diadakan penyidikan dan penuntutan apabila ada pengaduan, seperti
delik dalam Pasal 284 KUHP (perzinahan), dan Pasal
310 KUHP (penghinaan - belediging);
(2)
Delik Aduan
Relatif (relatieve
klachtdelicten) yang diartikan sebagai delik yang untuk penyidikan dan
penuntutannya tidak dibutuhkan pengaduan, di mana pengaduan hanya dibutuhkan
apabila antara pelaku dan korban terdapat hubungan keluarga (vermogensdelicten
gepleegd door een familierelatie tot en met de tweede graad tussen slachtoffer
en verdachte), seperti tindak pidana pencurian dalam keluarga. Tindak
pidana pencurian merupakan tindak pidana biasa, namun jika terjadi di dalam
keluarga maka ia menjadi delik aduan (vide Pasal 364 KUHP).
Jika melihat secara doktrin di atas maka delik aduan
yang dimaksud adalah delik aduan absolut.
Selanjutnya terkait dengan “Pelecehan
Seksual Fisik”, dibagi menjadi 3 (tiga) bentuk pelecehan seksual secara
fisik antara lain:
(1)
Setiap Orang
yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh,
keinginan seksual, dan/ atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang
berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya yang tidak termasuk dalam
ketentuan pidana lain yang lebih berat dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (vide Pasal 6 huruf
a Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) dan ketentuan
ini juga merupakan delik aduan. (vide Pasal 7
ayat (1) Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual)
Adapun
Unsurnya sebagai berikut:
1.
Setiap Orang;
2.
Melakukan
perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan
seksual, dan/ atau organ reproduksi;
3.
Dengan
maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan
seksualitas dan/atau kesusilaannya yang tidak termasuk dalam
ketentuan pidana lain yang lebih berat.
(2)
Setiap Orang
yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh,
keinginan seksual, dan/ atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan
seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di
luar perkawinan dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/
atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). (vide Pasal 6 huruf b
Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual)
Adapun
Unsurnya sebagai berikut:
1.
Setiap Orang;
2.
Melakukan
perbuatan seksual secara fisik yarg ditujukan terhadap tubuh, keinginan
seksual, dan/ atau organ reproduksi;
3.
Dengan maksud
menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam
maupun di luar perkawinan.
(3)
Setiap Orang
yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul
dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan,
ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan
menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan
atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak
Rp300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). ((vide Pasal 6 huruf c Undang-Undang tentang
Tindak Pidana Kekerasan Seksual)
Adapun Unsurnya sebagai berikut:
1.
Setiap Orang;
2.
Menyalahgunakan
kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat
atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau
ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang;
3.
Untuk melakukan
atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau
dengan orang lain.
Menurut kami perbuatan dari pelaku pelecehan seksual
secara fisik di KRL sebagaimana yang jadi pembahasan kita dapat dikenakan Pasal
6 huruf a Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual jo. Pasal
281 Ke-1 dan 289 KUHP, dengan mengutip R. Soesilo, dalam “Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi
Pasal,” menyatakan bahwa istilah perbuatan yang melanggar rasa
kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu
berahi kelamin. Misalnya, cium-ciuman, meraba-raba anggota
kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya, itu disebut sebagai perbuatan
cabul.
Unsur terkait “berdasarkan Kesusilaan” di
atas itu juga sudah dapat diterapkan pada kasus terkait, terlebih Pengertian
kesusilaan pada umumnya kata kesusilaan selalu dihubungkan dengan hal-hal yang
berbau seks saja, demikian juga apabila kita menyebutkan delik susila maka
asosiasi masyarakat pastilah pada perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan
pelanggaran-pelanggaran di bidang seksual seperti perzinaan, pelacuran,
homoseksual atau perbuatan lain yang “ sex related” sifatnya
seperti perbuatan cabul, aborsi dan lain-lain.
Menurut Oemar Senoadji dalam bukunya “Hukum
Acara (Pidana) Dalam Prospeksi”, apabila diperhatikan, dalam KUHP perumusan
kesusilaan diambil dari pengertian sosiologis dengan demikian KUHP mengadopsi
pandangan masyarakat tentang pengertian kesusilaan, hal ini sesuai dengan
pendapat Pompe, yang mengartikan kesusilaan tidak terbatas pada bidang
seksual saja tetapi termasuk di dalamnya apa yang dinamakan aturan-aturan yang
baik dan patut, yang dimiliki dan berdasarkan kesadaran hukum dari masyarakat
sebagai sumber hukum yang menunjukan adanya suatu dependensi dari sifat bangsa
atau karakter nasional.
Dari pengertian ini nampak bahwa Pompe mengartikan
kesusilaan dalam arti luas yang menyangkut keseluruhan aturan hidup yang baik
dan patuh yang bersumber dari sifat/karakter bangsa tersebut.
Berbeda dengan pendapat Van Bemelen yang membatasi
pada delik-delik yang berhubungan dengan pelanggaran-pelanggaran seksual saja.
Penyempitan pengertian kesusilaan sebagaimana disebutkan di atas membawa
konsekwensi terhadap hukum pidana khususnya bab tentang kejahatan terhadap
kesusilaan dan terhadap ketentuan-ketentuan delik susila yang menyangkut
kejahatan seksual.
Lantas, menurut hemat kami maka “Interpretasi Hukum”
terkait frasa “dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan
seksualitas dan/atau kesusilaannya…” tidak dapat dilepaskan
dari definisi kesusilaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 281
angka 1 jo. Pasal 289 KUHP terkait
dengan delik kesusilaan dan perbuatan cabul.
Bagaimana dengan Pembuktian dan Alat Bukti yang Digunakan?
Adapun Alat bukti yang sah dalam pembuktian Tindak
Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas:
a.
Alat bukti
sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana (vide Pasal 184
ayat (1) KUHAP);
b.
Alat bukti lain
berupa informasi elektronik dan / atau dokumen elektronik sebagaimana diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan (vide Pasal 5
ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik); dan
c.
Barang bukti yang
digunakan untuk melakukan tindak pidana atau sebagai hasil Tindak Pidana
Kekerasan Seksual dan/atau benda atau barang yang berhubungan dengan tindak
pidana tersebut. (vide Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang
tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual)
Perlu diketahui juga bahwa selain dikenakan pidana
penjara, pidana denda, atau pidana lainnya menurut ketentuan Undang-Undang bagi
terdakwa (pelaku), hakim wajib menetapkan besarnya Restitusi terhadap Tindak
Pidana Kekerasan Seksual yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun
atau lebih. Hakim juga dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak
asuh Anak atau pencabutan pengampuan, pengumuman identitas pelaku;
dan/atau perampasan keuntungan dan/atau harta kekayaan yang diperoleh dari
Tindak Pidana Kekerasan Seksual. (vide Pasal 16 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual)
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau
langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini.
Terima Kasih.
[1]
Preventing Sexual Harassment
(BNA Communications, Inc.) SDC IP .73 1992 manual.
[2] Deborah L. Rhode, “Justice and Gender:
Sex Discrimination and the Law” (Cambridge: Harvard University Press, 1989).
[3] Margaret Crouch, “Sexual Harassment in Public Places” (In Social Philosophy Today, vol. 25, edited by John Rowan. Philosophy Documentation Center, 2009)